Chapter 8 : [Epilog] Resepsi yang Sempat Tertunda
Yoshi perlahan membuka matanya. Pemandangan di sekitarnya berwarna putih. Kini Yoshi teringat kalau setelah dia digendong Rendi, dirinya langsung pingsan. Dia dan Pak Indra pastinya langsung dilarikan ke rumah sakita agar pendarahan mereka tidak jadi semakin parah.
Kini Yoshi melirik ke sebelah kanannya. Di sana ada Delia. Pacarnya duduk di sebelahnya sambil menatapnya. Pandangan mereka saling beradu, dan Delia memberikan Yoshi sebuah senyuman.
"De ... lia ...?" ujar Yoshi, dengan suara yang agak lemah.
"Oh! Akhirnya kamu sadar juga!" sahut Delia dengan nada girang.
Sepertinya Delia sudah menantikan saat - saat di mana Yoshi siuman, karena dia kelihatannya sangat girang. Saking girangnya dia langsung berdiri dan menerjang Yoshi, lalu mengecup bibir pria itu seklias. Yoshi terkejut karena tindakan tiba - tiba Delia itu, tetapi dia tetap berusaha membalas ciumannya sebisa dia.
"Yoshi ...." ujar Delia.
"Kenapa? Kamu ini, bikin kaget saja! Untung aku nggak jantungan karenanya! Baru saja aku bangun sehabis pingsan, eh kamu main nyosor saja! Gimana nanti kalau sudah resmi ya?" sahut Yoshi.
"Kamu kali yang pas baru bangun langsung ganas! Sakit nih, doyan betul dah pake digigit segala!" kata Delia sambil menunjuk bibirnya.
Yoshi terkekeh, lalu menampilkan sebuah senyuman nakal, "Nggak suka ya?"
"Bukannya begitu, tapi kan ...."
"Kamu mau dilanjutin lagi? Kalau kamu mau ya bilang dong."
"Tidak - tidak - tidak! Kau belum boleh menjamahku sebelum kita "resmi", tuan Ikemasa! Sudah ah! Aku mau panggil dokter dulu!"
Yoshi tertawa karenanya. Dia suka dengan gagasan kalau suatu hari nanti dia dan Delia akan menikah. Delia keluar dari ruangan itu, untuk memanggil dokter seperti yang dikatakannya.
Si pria kini tersenyum. Entah berapa lama dia sudah tidak sadarkan diri. Tetapi mengingat hal terakhir yang dilakukannya membuatnya merasa senang. Setidaknya dia telah melakukan sesuatu yang benar.
Yoshi sepertinya terlalu asyik melamun, karena dia agak tersentak ketika tak lama kemudian terdengar suara pintu diketuk. Yoshi menoleh ke arah pintu, dan mempersilahkan siapapun yang berada di luar untuk masuk ke dalam. Awalnya Yoshi mengira kalau itu adalah Delia, tapi rupanya Rendi yang berada di depan pintu ruangannya.
"Halo Yo. Gimana, sudah baikan?" tanya Rendi, lalu melangkah sehingga dia bisa berada di sebelah Yoshi.
"Lumayan. Nah, kamu sendiri, apa kabar?" ujar Yoshi, bertanya balik.
"Boro - boro luka Yo, gores aja nggak."
"Kan aku nanya. Bagus deh kalau kamu nggak apa."
"Yah, aku senang kalau kamu sudah baikan. Tapi kemarin itu ... kamu mengajarkanku banyak hal baru, Yo. Sepertinya aku masih terperangkap pemikiran ala anak sekolahan ya, sehingga aku tidak bisa membiarkan orang yang aku sukai bahagia."
Yoshi tersenyum. Setidaknya, kini Rendi pikirannya sudah terbuka akan hubungannya dengan Delia. Yoshi hampir saja khawatir karena Rendi punya potensi menjadi musuh yang cukup mengerikan. Tapi sepertinya Rendi sadar setelah melihat apa yang terjadi pada Revan. Dendam tidak akan menyelesaikan semuanya. Malah itu akan membuat semuanya jadi kacau.
"Tidak apa, Ren. Kita sama - sama masih muda, kita masih butuh banyak belajar soal dunia ini. Ada banyak hal yang mungkin kita sama - sama belum tahu."
"Tapi kamu itu pria yang hebat, Yo. Seumur hidupku, mungkin aku tidak akan pernah dengan sukarela melepaskan rompi anti peluru di saat darurat seperti itu. Apalagi dengan semua kegilaan yang terjadi dan apa yang dikatakan sama Hendra, aku jadi sadar akan banyak hal. Aku sadar kalau cinta itu tidak hanya soal memiliki. Tapi juga menjaga dan melindungi. Ternyata aku sendiri tidak siap untuk melakukan hal sejantan itu sekarang. Karena itulah, aku harus melepaskan Delia. Aku tidak layak untuknya. Kamu lebih bisa menjaga Delia daripada aku. Mungkin jodohku masih ada di luar sana."
Perkataan Rendi tadi adalah sebuah pengakuan yang jujur. Kalau Rendi bilang Yoshi adalah pria yang jantan karena mau melindungi siapa yang dia sayangi, maka Rendi juga bisa dibilang sebagai seorang pria yang jantan karena dia mau mengakui kekalahannya.
"Hei, kamu juga laki - laki yang jantan kok. Tidak banyak pria yang mau mengakui kesalahan mereka dengan terbuka seperti apa yang baru kamu lakukan. Ya sudahlah, semuanya toh sudah berlalu. Mending kamu nikmatin aja masa jomblomu, Ren. Asal jangan kelamaan aja ya? Jangan kayak si Hendra tuh, sudah tua masih betah aja ngejomblo!"
"Dia itu beneran masih jomblo?"
"Iya. Kayaknya dia masih nungguin Nira deh."
"Setia banget."
"Tapi kalau yang ditungguin itu punya suami kan gila juga."
"Iya sih. Dia sepertinya memang orang yang ... agak gila."
BRAKKK!!!
Terdengar suara pintu dibanting. Dua pria yang berada di dalam ruangan itu sangat terkejut karenanya. Tapi hanya Rendi yang langsung menoleh ke arah pintu dengan tujuan untuk mencari tahu siapa yang datang. Sementara itu, Yoshi sudah bisa menebak siapa yang datang. Cuma Hendra orang yang hobi banting - banting pintu seperti itu.
"Halo semuaaa!" seru Hendra dari ambang pintu yang barusan dia banting itu.
"Hei, hati - hati! Jangan sampai tuh pintu terlempar dua meter kayak yang kemarin kamu tendang di kantor pajak! Kasian kontraktornya nanti penasaran kenapa pintunya hilang!" ujar Nira yang ada di belakangnya.
"Sori, kebiasaan sih. Kalau nggak banting pintu rasanya ada yang kurang gitu."
Nira menggelengkan kepalanya, "Aku heran bagaimana bisa pintu di rumahmu masih bisa bertahan."
"Eh, kalau di rumah, aku jarang banting pintu. Siapa tahu ayahku masih berkeliaran dalam wujud gaib di rumahku dan akan menghantuiku kalau sampai aku menghancurkan pintu rumah."
Yoshi memperhatikan mereka dari tempatnya berbaring. Hendra mengenakan seragam guru berwarna hijau yang dilapisi dengan jaket biru tua dengan dua garis putih beserta tas warna biru tua. Sementara itu Nira menggunakan seragam yang sama dan mengenakan jaket cokelat yang dirisleting, dan juga ransel berwarna merah marun. Sangat serasi, pikir Yoshi.
"Wah, kalian rupanya. Ada apa? Tumben kamu datang menjenguk," tanya Yoshi.
"Iya dong, kan aku sepupu yang baik. Oh iya, kamu sudah tahu kapan Pak Indra mau gelar resepsi?" tanya Hendra.
"Enggak. Aku ini baru siuman, woy. Ya mana aku tahu! Tapi, resepsi yang rencananya akan diadakan hari Minggu kemarin dibatalkan, iya kan? Jadi ada tanggal baru?"
"Yup! Dan acaranya malam Minggu ini! Kamu sama Pak In mungkin sudah bisa keluar rumah sakit dalam 3 hari lagi, jadi acaranya bisa diselenggarakan. Kalian datang kan?"
"Aku sih jelas," ujar Rendi.
"Aku juga. Gak mungkin lah aku mau melewatkan resepsinya Pak In," sahut Yoshi.
Hendra tersenyum. Dia tahu kalau Yoshi dan Rendi baru saja berbicara empat mata. Bagaimana dia bisa tahu? Ketika dia melihat kedua orang ini berada di dalam ruangan tanpa ada orang lain bersama mereka, dia bisa menebak kalau mereka bisa saja melakukan sedikit perbincangan. Tapi terlebih lagi, Hendra senang karena masalah ini bisa selesai dengan baik. Apalagi karena Pak Indra dan Bu Risa sudah kembali bersama, dan tidak ada teman atau keluarganya yang terluka.
~~~~~
Malam Minggu datang dengan cepat. Saat itulah resepsi pernikahan Pak Indra diselenggarakan. Mereka menggunakan konsep ballroom party dalam resepsi mereka. Suasananya cukup ramai, dengan para kolega dan keluarga yang kini berdansa, atau hanya sekedar berbincang - bincang ria sambil menikmati jamuan. Sekitar 500 undangan datang dalam acara ini dan membuat acara semakin semarak.
Saat para hadirin kebanyakan berdansa diiring dengan alunan lagu yang lambat, ada beberapa orang yang masih berdiam diri di pinggir lantai dansa. Diantaranya adalah Hendra dan Nira yang hanya mengamati keadaan sekitarnya. Keduanya tidak bicara sepatah katapun, sampai akhirnya Nira yang memecah keheningan.
"Hei, kamu nggak mau dansa atau ngapain gitu?" tanya Nira.
"Enggak lah. Aku lagi malas. Aku pengen bersantai saja. Jarang - jarang, tahu, aku bisa bersantai begini. Kadang kesal juga, karena sepertinya Tuhan nggak membiarkanku untuk bersantai. Tapi apa boleh buat, sudah resiko pekerjaan," jawab Hendra.
"Kalau begitu, kenapa kamu datang ke sini coba? Kan mending di rumah saja kalau memang kamu mau bersantai!"
"Aku cuma ingin menikmati momen saat orang lain bahagia, tanpa ada kekacauan apapun. Kan aku sebagai sobatnya Pak Indra juga senang lah dia bisa kembali bersama dengan Bu Risa. Karena itulah aku ada di sini."
"Iya deh. Tapi kamu itu, jadi laki - laki peka sedikit kenapa."
"Maksudnya?"
"Ajakin perempuan dansa kek, masa kamu diam saja sih? Kok kamu nggak bakat jadi gentleman ya, padahal dekat sama orang macam Pak Indra dan Yoshi. Atau malah kayak Pak Kazuki, yang jelas pro."
Hendra terkekeh, "Aku memang dari lahir tidak bakat jadi gentleman, Ra. Lagian, siapa juga yang bisa aku ajak dansa?"
"Ya di cari dong, siapa tahu ada yang cocok denganmu. Atau kalau mau sama aku aja, mumpung sebelahan nih. Masa iya kamu ngajakin aku ke sini, kita nggak menikmatinya dengan semestinya?"
"Memang kamu mau kalau aku ajak dansa?"
"Kalau kamu ngajak, kenapa enggak?"
"Ya sudah, yuk!"
Hendra menarik tangan Nira menuju ke lantai dansa. Sejak awal Nira sudah memancing Hendra untuk berdansa, tapi dia tidak menyangka kalau Hendra akan mengajaknya dengan secepat itu. Nira mengira kalau dirinya mungkin perlu berusaha keras dulu, seperti saat di pesta dansa San Rio beberapa bulan lalu.
Tapi semua itu tidak menjadi masalah, Nira malah senang karenanya. Dia tentunya sangat ingin menghabisan waktu berduaan dengan Hendra seperti ini.
Atau ... apakah Hendra sudah memahami apa maksudku yang sebenarnya?, pikir Nira. Dia menyimpan dugaan itu untuk dirinya sendiri. Hendra kan pintar, jadi mungkin saja dia tahu. Walau saat itu, Nira tidak peduli. Hal terpenting adalah dia bisa bersama Hendra.
"Nah, begitu dong, jadi laki - laki yang manis dikit lah," ujar Nira, menggoda Hendra.
"Iya deh, tapi sekali - sekali saja," sahut Hendra, lalu memberikan sebuah senyuman pada Nira.
Hendra sendiri, dia merasa kalau kadang dia mengabaikan Nira. Dirinya tahu dan bisa menebak ke mana arah keinginan Nira itu. Mungkin Hendra malah bisa menebak apa yang sebenarnya ada di dalam kepala Nira. Tapi ... dia memutuskan untuk melihat apa yang akan terjadi nantinya. Untuk saat ini, Hendra ingin mencoba untuk sedikit memanjakan Nira.
"Eh, sekarang udah akhir bulan Agustus kan ya?" tanya Nira, mengubah topik pembicaraan mereka.
"Iya sih, memang kenapa?"
"Hehehe ... nggak apa kok."
"Tunggu dulu ... Agustus, lalu September, berarti ... sebentar lagi Oktober! Wah, kamu jangan bikin rencana macam - macam ya pas bulan Oktober nanti!"
Nira terkekeh. Hendra tentu saja memperingatkannya. Tanggal 10 Oktober adalah hari ulang tahun Hendra. Walau begitu, apa yang dikatakan Hendra tidak akan Nira indahkan. Nira sudah memiliki sebuah ide di dalam kepalanya.
"Biarin, palingan nanti kamu bakalan ditimpukin telur di depan murid - muridmu kok."
"Kalau ditimpukin aku sih gak masalah. Tapi kalau di depan murid jangan lah!"
"Ya suka - suka aku dong!" ujar Nira sambil menjulurkan lidahnya.
"Sialan kamu!"
"Tapi tenang saja, kamu dijamin tidak akan kena timpuk kok! Aku sudah ada rencana lain, hehe ..."
Hendra mengerutkan alisnya, "Memangnya kamu punya rencana apaan?"
"Rahasia dong! Kalo dikasih tahu ya bukan surprise!"
"Kok firasatku nggak enak ya?"
Nira terkekeh, dan Hendra hanya bisa mengerutkan alisnya. Nira sudah memikirkan baik - baik apa yang akan dia berikan pada Hendra. Dia mengetahui kalau Hendra akan menyukai hadiah apa yang akan diberikannya.
Sementara itu, Hendra hanya bisa menerka apa yang akan dilakukan Nira. Di dalam kepalanya, dia memiliki beberapa tebakan, dari yang paling biasa sampai yang paling mustahil. Tapi dia tidak tahu mana yang merupakan pilihan Nira.
Kita lihat saja nanti ....
~~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top