Chapter 7 : Perisai Pelindung
"Revan? Itu kamu kan?" ujar Bu Risa, yang tiba - tiba memecah keheningan yang terjadi selama beberapa saat.
"Kau benar, sayang. Ini aku," sahut pria yang dipanggil Revan itu.
Pak Indra masih saja terdiam. Beliau ingin sekali menghajar pria yang ada di hadapannya itu, karena dia tahu apa alasan pria itu melakukan semua ini. Tapi, Pak Indra sudah belajar dari pengalamannya bahwa emosi tidak bisa menyelsaikan masalah. Dia harus sedikit bersabar sebelum bisa melayangkan serangannya pada pria ini.
Pak Indra tahu kalau emosi akan membuat banyak hal jadi kacau. Buktinya pria ini. Dia melakukan hal yang sperti ini karena dendam yang menguasai dirinya. Lalu, apa yang terjadi? Emosi itu hanya membuat masalah, bagi dirinya dan tentunya juga orang lain.
"Kau," kata Pak Indra.
"Ah, senang rasanya karena kau masih mengingatku. Yah baguslah, mungkin hanya teman - temanmu saja yang belum kenal denganku," sahut Revan.
Hendra hendak menyanggah apa yang dikatakan oleh pria itu. Karena walau dia belun pernah bertemu langsung dengan Revan, dia tahu persis siapa yang dihadapinya. Pengetahuannya akan penjahat di kota Inkuria cukup lengkap, jadi dia tahu siapa yang ada di hadapannya. Pria ini adalah orang disegani di dua sisi kota Inkuria, dan juga cukup berbahaya.
Tapi ketika Hendra menatap wajahnya yang congkak, entah kenapa dia malah ingin sekali untuk tertawa. Ah, rupanya aku tidak perlu memancing pria ini keluar dari sarangnya untuk dimusnahkan, karena dia malah muncul dengan sendirinya, pikir Hendra. Hendra tahu banyak hal yang terjadi di kota ini, termasuk apa tujuan Revan melakukan hal ini. Tapi, kalau mau jujur Hendra agak kaget karena Revan melakukan hal semacam ini. Karena menurut Hendra, hal seperti ini agak bodoh untuk penjahat semacam Revan.
"Untuk apa kau melakukan semua ini hah?" tanya Hendra, berusaha memancing percakapan.
"Ah, rupanya kau ada di sini, Hendra Wardana? Wah, aku beruntung sekali bisa bertemu denganmu! Kau tahu kan, ada banyak orang yang ingin sekali bisa menemuimu, terutama kalau mereka sudah mengetahui identitasmu yang sebenarnya. Kau bertanya untuk apa? Karena aku menuntut hak yang kumiliki. Indra merebutnya begitu saja dariku, dan aku akan mengambilnya sekarang."
Rekan - rekan mereka yang lain hanya bisa mengerutkan kening mereka karena tidak mengerti. Sementara itu, perkataan Revan tadi membuat Bu Risa mengingat hari - hari ketika dia masih bekerja di kantor polisi daerah yang berada di pinggiran Inkuria. Revan akan selalu berusaha untuk mendekatinya. Tapi dia tidak pernah tertarik padanya. Kalau mau jujur, cara Revan mendekatinya itu kadang agak menyeramkan.
Mungkin "menyukai" atau "mencintai" bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan Revan. Kata "terobsesi" lebih cocok untuk situasi ini. Karena hal ini sudah terjadi sejak lama.
Semuanya terjadi ketika Pak Indra, Bu Risa dan Revan masih merupakan polisi junior, mereka dulu sama - sama berada di Kepolisian Pusat Inkuria. Revan sudah terobsesi pada Bu Risa sejak lama, dan dia akan selalu berusaha untuk mendekati Bu Risa. Tetapi obsesinya harus terhenti karena Revan dipindahkan ke unit yang berada di daerah.
Semua orang mengira kalau Revan akan melupakan perasaannya seiring dengan waktu. Tapi sepertinya harapan itu tidak akan pernah terjadi. Setelah Bu Risa bercerai dengan Pak Indra, dia memutuskan untuk mengajukan diri dan pindah ke unit daerah. Dia tidak tahu kalau dirinya akan bertemu lagi dengan Revan di kantor barunya. Ketika keduanya bertemu, Bu Risa bisa segera mengetahui kalau pria itu masih sama seperti dulu.
Sementara itu, Hendra mengetahui sisi lain yang lebih berbahaya dari Revan. Kakeknya memberikan dia sebuah catatan tentang Revan, mengatakan kalau dirinya harus berhati - hati terhadap pria yang satu ini. Kakeknya benar soal itu. Beberapa tahun setelah kematian kakeknya, Hendra akhirnya tahu siapa Revan yang sebenarnya.
"Aku sudah bilang jutaan kali, kalau aku tidak akan, tidak pernah, dan tidak akan bisa menerima perasaanmu itu. Perasaan itu tidak bisa dipaksakan. Aku tidak pernah memiliki perasaan apapun padamu, dan kau harus menerimanya. Karena setelah beberapa tahun aku berpisah dari Indra, aku akhirnya menyadari kalau aku mencintai Indra lebih dari siapapun," kata Bu Risa.
"Kau berbohong! Aku lebih baik daripada pria tua yang mau kau jadikan suami ini. Perbedaan umur bukanlah sesuatu yang perlu dipikirkan, iya kan? Kau selalu mengelak kalau aku terlalu muda untukmu. Tapi kau tahu kalau aku adalah seorang pria sejati. Aku bahkan akan menjadikanmu ratu kalau itu memang maumu," sahut Revan.
Hendra tidak bisa menahan dirinya lagi, karena dia kini dia membiarkan dirinya tertawa dengan keras. Perkataan bahwa Revan akan menjadikan Bu Risa sebagai ratu itu hanyalah omong kosong belaka. Hendra tahu kalau Revan masih menghamba pada seseorang. Kalaupun Revan bisa mewujudkan perkataannya, dia pasti harus bersujud dulu pada orang yang lebih berkuasa darinya.
Atau yang lebih buruk lagi, bisa saja Revan benar - benar menjadikan Bu Risa seorang "ratu". Tapi, Bu Risa harus menyebrang ke sisi yang selama ini menjadi musuhnya. Hanya dua cara untuk jadi benar - benar kuat di Inkuria, yaitu dengan berada di sisi yang salah, atau dengan jadi makhluk nekat bin gila sepeti Hendra.
Tapi Hendra sudah bertekad untuk memperbaiki hal yang satu itu. Dia bertekad kalau dirinya tidak akan membiarkan kejahatan menguasai Inkuria. Untuk soal itu, kita lihat saja nanti.
Di sisi lain, rekan - rekannya menoleh ke arah Hendra, dan bertanya dalam kepala mereka kenapa pria sedeng yang satu itu tiba - tiba saja tertawa. Sementara itu, Revan harus bisa menahan dirinya agar tidak menonjok Hendra di saat itu juga.
Di dalam hatinya, Revan masih tidak bisa mempercayai keberuntungannya karena dia bisa bertemu dengan Hendra. Banyak orang yang akan membunuh untuk bisa ada di satu ruangan bersamanya, karena dengan begitu mereka akan memiliki kesempatan untuk membunuh Hendra. Betapa menyenangkannya kalau dia bisa menghabisi Hendra dengan tangannya sendiri, dan menyerahkan kepala si pembela kebenaran ini pada atasannya ....
"Ah, omong kosong yang bagus, sayangnya kau sudah terlalu terlambat, yang sudah merupakan kebiasaanmu! Saat kamu datang kemarin, prosesi ijab kabul mereka kan sudah selesai. Kekacauan yang kau bawakan dengan tujuan untuk membatalkan pernikahan mereka itu tidak ada artinya selain menjadi suatu penutup acara yang unik dan epik," sahut Hendra.
Rekan - rekannya kini mengerti mengapa Hendra tertawa. Kalau memang orang ini berniat merusak hubungan Pak Indra dan Bu Risa, maka dia sudah terlambat. Apapun yang dilakukan Revan untuk membatalkan pernikahan antara Pak Indra dan Bu Risa adalah sebuah kesia - siaan. Pernikahan sudah terselenggara, dan keduanya sudah terikat dalam janji suci. Kalau Revan ingin mengacaukan pernikahan, maka dia berhasil. Tapi dia tidak berhasil membatalkannya.
"Ma - maksudmu, kini si tua bangka ini sudah terikat kembali dengan Risa?"
"Gampangnya sih begitu. Kenapa? Kau menyesal? Karena apa yang kamu lakukan sia - sia, kan? Kamu tidak bisa mendapatkan musuhmu, dan malah membuang tenagamu dan juga kekuatan pasukan yang kau miliki dengan sia - sia karena rencana bodohmu."
"Apa yang dikatakan Hendra itu benar. Aku sudah menikah -lagi- dengan Indra. Terimalah kenyataannya," sahut Bu Risa.
"Tapi. Aku. Akan. Tetap. Berusaha," ujar Revan.
"Terdengar seperti perkataan yang tidak asing," kata Yoshi, teringat akan perkataan ngotot Rendi semalam.
Sepertinya Revan sudah mulai kesal dengan perbincangan mereka, karena dia kini menoleh ke satu sisi, lalu mengangguk. Beberapa orang mulai masuk, yang semakin lama semakin banyak. Mereka membawa senjata, siap menyerang. Sementara itu Revan mundur, diiringi dengan tawa jahat yang mengikuitnya.
"Sial, seharusnya aku sudah menduga kalau dia punya pasukan tambahan! Ah, tapi sudahlah, tidak ada gunanya juga aku menggerutu," ujar Hendra, lalu dia mengokang senjatanya.
Mereka kembali dalam posisi siap mereka, dan membuat lingkaran untuk melindungi dua rekan mereka karena mereka tidak memiliki perlindungan apapun. Tapi mereka tidak bisa diam begitu saja. Dalam keadaan seperti ini, berdiam diri di satu posisi bukan pilihan bagus. Semua orang sepertinya bisa menebak karena sasaran yang statis lebih mudah untuk dikenai daripada yang dinamis.
"Kita harus bergerak. Lawan kita kali ini sepertinya cukup banyak. Keadaan kita di sini tidak menguntungkan," kata Pak Indra.
"Setuju pak. Sepertinya, di titik ini Revan tidak peduli lagi siapa yang mati. Dia ingin kita semua dimusnahkan. Jadi, kemungkinan Bu Risa dan Delia terluka akan lebih besar," sahut Hendra.
"Aku hanya punya satu ide untuk mengatasi hal itu," kata Yoshi.
Yoshi masuk ke dalam lingkaran yang mereka buat, lalu melepaskan rompi anti peluru yang dia gunakan. Setelahnya, dia memakaikannya pada Delia. Kekasihnya mengerutkan alis karena tindakan Yoshi tadi, tapi dia tetap menurutinya.
"Yo, kamu ketularan kegilaannya Hendra atau apa sih?" tanya Delia.
"Kumohon Del, kamu harus bertahan hidup. Bukan hanya untukmu, tapi juga untukku. Dan mungkin untuk kita semua," sahut Yoshi.
"Kamu serius Yo?"
"Iyalah."
Delia tertawa, "Fix, kamu ketularan kegilaannya Pak Hein. Tapi makasih, Yo."
"Aku kan sudah bilang kalau kau bisa mengandalkanku kapan saja."
Pak Indra melirik apa yang dilakukan oleh Yoshi dari sudut matanya. Dalam hatinya, beliau dipenuhi dengan keraguan, hingga akhirnya beliau memutuskan kalau kini dirinya tidak peduli lagi. Pak Indra kemudian memasuki lingkaran itu, dan melakukan hal yang sama dengan yang Yoshi lakukan.
"Itu bukan ide yang bagus Yo, tapi tidak ada salahnya untuk dicoba," kata Pak Indra, sambil melepaskan rompi yang dikenakannya.
Bu Risa menggeleng, "Kamu harus tanggung jawab, Hendra. Karena kelamaan berteman denganmu, suamiku jadi ikutan sinting kayak kamu," canda Bu Risa.
Hendra terkekeh, "Itulah salah satu resiko kalau berani berteman denganku. Lain kali, aku mungkin harus bikin kontrak perjanjian dulu sebelum ada yang mau berteman denganku," sahut Hendra.
"Mungkin aku bertindak bodoh dan gila seperti Hendra kali ini, tapi aku jelas ingin kamu untuk bertahan hidup," ujar Pak Indra.
"Ahaha, itu malah mempermudah usahaku! Apa yang kau lakukan adalah hal terbodoh yang pernah aku temui! Aku bisa membunuhmu dengan cara yang lebih mudah lagi! Atau mungkin kau lebih suka kalau aku membunuh Risa?" tanya Revan.
Kini sang penjahat kita tengah mengamati pertempuran mereka dari salah satu pojok ruangan, tepat di atas beberapa kotak kayu yang berserakan di gudang itu. Dia sudah berpikir kalau pertarungan kali ini pasti bisa dengan mudah dimenangkan, terutama karena apa yang dilakukan oleh Pak Indra.
Apa yang Revan saksikan tentunya adalah sebuah pertunjukkan yang konyol. Siapa sih orang yang mau mengorbankan dirinya dalam pertarungan macam ini hanya untuk alasan bodoh? Ini kan bukan dongeng atau cerita novel, tentunya mereka gila karena melakukannya.
Sepertinya kegilaan Hendra memang menular. Tapi kalau dilihat, sepertinya Hendra tidak menyesal karenanya. Malah, Hendra senang karena dia berhasil "meracuni" orang lain dengan kegilaan yang dia punya.
"Kami tidak bodoh. Kami cuma terlalu baik," ujar Pak Indra.
Trio Koplak tidak mempermasalahkan keputusan kedua rekan mereka itu. Sepertinya mereka bertiga sudah terbiasa atas situasi seperti ini dan memaklumi pilihan itu. Berteman dengan Hendra memang membawa kegilaan tersendiri, dan mereka tidak berniat untuk memprotes kegilaan itu. Tepatnya, mereka tidak bisa. Hendra membawa kegilaan bersamanya, dan mereka harus menerimanya.
Sementara itu, Rendi masih tidak bisa menerima apa yang dilakukan oleh Yoshi. Tentunya karena dia masih belum mengerti akan konsep kegilaan Hendra. Apa gunanya mencintai kalau akhirnya kau akan mati? Pertanyaan itu berkelabat di kepala Rendi, dan menurutnya apa yang dilakukan Yoshi hanya akan membahayakan baik dirinya, dan mungkin juga Delia.
"Tidak ada cara lain yang lebih baik ya? Kalian kan tetap bisa melindungi mereka dengan tubuh kalian!" seru Rendi.
"Itu kalau serangannya satu arah. Tapi kamu tahu sendiri kan, dalam keadaan seperti ini tetap diam di tempat sama saja dengan tindakan bunuh diri. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain kami yang harus berkorban," sahut Yoshi.
"Kalian gila ya?!"
"Aku nggak gila. Yang gila itu Hendra. Aku cuma ketularan kegilaannya. Lagi pula, ini kemauanku sendiri. Ini kewajibanku. Dan ini pengorbananku."
"Pengorbanan macam apa itu? Kalau kau mati apa gunanya kau melindugi orang yang kau sayangi?"
"Itu pilihan mereka. Mereka kan bebas memilih dengan cara apa mereka mau mati," kata Pak Hendri.
"Kamu tidak mencegah mereka melakukan hal ini, Ndra?"
"Kalau aku berpikiran seperti itu, Pak Indra dan Bu Risa pasti sudah mati di hari pernikahan mereka. Jangan berpikiran terlalu sempit seperti itu, Ren. Aku juga tidak ingin Yoshi atau Pak Indra mati sekarang. Keduanya orang yang penting dalam hidupku. Tapi, memang itulah yang harus dilakukan. Kalau mereka mau, ya silahkan. Kamu belum kenal dunia detektif dan kriminal yang kami jalani dengan baik kalau kamu tidak mengerti kenapa aku memperbolehkan Yoshi melakukan hal yang bagimu bodoh itu. Jadi aku harap kau akan segera terbiasa dengan hal semacam ini. Aku yakin kalau suatu saat kau akan melakukan hal yang sama," sahut Hendra.
"Kau yakin mereka bisa bertahan dalam keadaan seperti ini?"
Hendra terkekeh, "Kalau begitu, misalnya kita berdua bisa keluar hidup - hidup dari sini, aku akan ajak kamu ngopi. Aku akan ceritakan bagaimana aku bisa bertahan hidup sampai sekarang. Percayalah, aku melakukan hal yang lebih gila daripada mereka dan aku masih bisa berdiri di hadapanmu sekarang ini. Tuhan itu baik, walau kadang kalau jahat, apa yang Dia lakukan itu mengerikan. Kalau Tuhan mau orang baik mati dengan cara semudah itu, tidak ada yang namanya keadilan."
Perkataan Hendra tadi mengena di dalam hati Rendi. Saat itulah dia tersadar. Apa yang Yoshi lakukan adalah bagian dari diri Yoshi. Seperti apa yang dikatakan Delia, Yoshi ya Yoshi. Cinta memang tidak akan berguna kalau kau sudah mati, secara teknis itu benar. Tapi doa orang yang mencintaimu akan tetap bersamamu. Apa lagi yang bisa lebih baik daripada mati dan mengetahui orang yang kau cintai selamat?
Rendi tersenyum. Hal ini gila, tapi itulah kehidupan. Sepertinya, kehidupan yang dia jalani sekarang ini sepertinya akan jadi lebih gila lagi dalam waktu dekat. Kalau mereka bilang bahwa Hendra membawa kegilaan pada siapapun yang menjadi temannya, sepertinya dia akan segera ikut menjadi gila karenanya. Rendi bisa meyakini kalau hal itu akan segera terjadi. Mungkin kegilaannya bukan untuk Delia, tapi untuk orang lain.
Perbincangan mereka berakhir, dan kini mereka mulai menyebar. Lawan mereka konsentrasinya terpecah, jadi mengalahkan mereka tidak akan terlalu sulit seperti sebelumnya. Bu Risa dan Delia berusaha mengelak dari serangan lawan, sambil berhati - hati agar kepala mereka tetap aman.
"Ah, aku merasa tidak berguna. Dilindungi dan berlarian seperti ini bukan gayaku. Andai aku punya senjata, maka aku aku akan merasa lebih baik," kata Delia.
"Kamu ada benarnya, Del. Kita tidak bisa diam begini dan dilindungi oleh rompi ini. Kita kan bukan tuan puteri," sahut Bu Risa, lalu terkekeh.
Tiba - tiba, sebuah senjata meluncur di lantai, dan tepat terantuk kaki Delia. Si gadis bisa melihat pak gurunya memberikan sebuah senyuman yang khas padanya.
"Ide bagus. Akan lebih baik kalau kau menggunakan kemampuanmu yang mengagumkan itu," kata Hendra.
Delia terkekeh, "Aku baru mau bilang kalau tumbenan bapak memuji kemampuan saya, tapi rasanya lebih baik kalau aku diam. Makasih pak!" sahut Delia.
"Hati - hati dengan kepala kalian!" ujar Hendra, lalu menendang satu lagi senjata yang ada di kakinya ke arah Bu Risa.
"Pastinya," kata Bu Risa.
Singkat kata, mereka menghadapi semua pasukan itu. Dengan metode menyebar, lawan bisa dikalahkan dengan lebih mudah. Semuanya baik - baik saja, kecuali Pak Indra dan Yoshi yang beberapa bagian tubuhnya terserempet banyak peluru. Pak Indra sepertinya kelelahan dan mendapatkan cukup banyak luka, karena setelah mereka selesai menghabisi lawan, langsung saja beliau rubuh ke lantai. Dia berbaring di lantai tanpa banyak bergerak walau sebenarnya dia masih sadar.
"Kalian tak apa?" tanya Delia.
"Aku lebih mengkhawatirkan kamu," ujar Yoshi dengan suara terengah sambil berusaha mengusap wajahnya yang kecipratan darah.
"Aku tak apa, percayalah!"
Setelah selesai berkata, Yoshi menjatuhkan dirinya ke lantai dalam posisi berlutut. Pakaiannya sudah berlumuran darah, yang menandakan kalau dia mendapatkan beberapa goresan yang cukup buruk.
Sementara itu, di atas kotak tempat Revan berada, dia tertawa puas tanpa tahu malu. Setelahnya, dia menjatuhkan diri dari tumpukan kotak kayu tempatnya berdiri, dan mendekati lawannya. Dalam waktu singkat, kini dia berhadapan dengan Pak Indra, yang hanya bisa terdiam dan mengamati Revan dari bawah.
"Lihat kan? Apa yang kalian lakukan itu kelewatan bodohnya! Dengan begini, Risa akan jadi milikku!" seru Revan dengan girang.
"Kau salah! Aku takkan pernah jadi milikmu!" sahut Bu Risa.
"Oh? Apa aku memang harus membunuh kalian semua di sini? Mungkin mulai dari suami tua bangka ini?"
"Kau adalah polisi paling tidak waras yang pernah aku temui, Rev. Polisi tidaklah membunuh hanya untuk hal seremeh ini," celetuk Hendra, yang berada tepat di belakang Revan.
"Ukh, kau tahu kalau aku takkan menyerah sampai tujuanku tercapai. Kami tidak akan menyerah," ujar Pak Indra dengan suara yang agak lemah.
"Lalu apa? Kau akan bangkit dan membunuhku, begitu? Coba saja kalau kau bisa, pak tua!"
Pak Indra berusaha berdiri, dengan menjadikan senjata laras panjangnya sebagai tumpuan. Tetapi akhirnya beliau terhempas lagi ke lantai dengan suara yang cukup keras. Beliau terlalu lelah, dan tentunya tidak akan bisa berdiri untuk menghadapi Revan.
"Hahaha!! Jangan sesumbar ingin mengalahkanku! Bisa apa kau dengan keadaan seperti itu?" tanya Revan.
Pak Indra mengeluarkan sebuah suara erangan tertahan. Sesaat, ada sebuah keheningan selama beberapa saat yang hanya diisi oleh suara tawa Revan yang membahana memenuhi ruangan. Semuanya memperhatikan Revan.
Hingga mereka lupa kalau Hendra berada tepat di belakang Revan. Hendra memanfaatkan situasi itu untuk mengangkat senjatanya dan mengarahknnya ke bagian belakang kepala Revan. Akhirnya, Hendra yang memecahkan suara tawa itu.
"Tapi tidak harus Pak Indra juga kan yang membunuhmu? Kalau kau mati, semua permainan menyebalkan ini akan berakhir, kan?" tanya Hendra.
Revan terkekeh, dan menoleh ke arah Hendra untuk melawan perkataannya. Sebelum Revan menyadarinya, Hendra sudah menekan pelatuk. Alih - alih menatap Hendra, Revan disambut dengan sebuah peluru yang melesat ke arahnya.
"Sampai ketemu di neraka, Revan! Sampaikan salamku untuk Sony dan David Gloody, katakan kalau aku masih hidup dan aku sangat senang karena bisa menamatkan riwayat hidup mereka!" kata Hendra, lalu terkekeh.
Karena tidak ada yang menyadari tindakan Hendra tadi, rekan - rekannya kaget saat melihat Revan terjatuh dan tak bangkit lagi. Pak Indra sedikit menghindar, agar tubuhnya tidak tertindih tubuh Revan.
"Ah, orang kedua dari Underground yang bisa dilumpuhkan, hanya dengan jarak waktu dua bulan. Kali ini, aku membunuhnya. Sepertinya ini bukan yang pertama dan terakhir untuk tahun ini. Underground pasti akan sangat kesal karena kelakuanku ini, karena aku sekali lagi membunuh orang yang mereka miliki," kata Hendra.
Hendra terkekeh, lalu menurunkan senjatanya. Butuh beberapa detik sebelum mereka sadar apa yang telah dilakukan oleh Hendra. Setelah menyadarinya, pandangan mata mereka langsung tertuju pada Hendra.
"Apa?" tanya Hendra, sambil memasang tampang pura - pura bodoh andalannya.
"Kita memang harus melumpuhkan orang ini, tapi tidak perlu dibunuh juga kan?" tanya Pak Hendri.
"Loh? Salah ya? Habis dia berisik sih. Sudah dia dengan tololnya nggak sadar diri kalau cintanya bertepuk sebelah tangan, kelakuannya belagu lagi!"
"Enggak sih, tapi itu terlalu brutal dan mendadak untuk seleraku," sahut Pak Said.
"Kalau aku bilang - bilang kan ketahuan dong. Nggak seru kan kalau dia malah membunuh kita semua?"
"Iya juga sih, tapi sudahlah! Yang penting, dia sudah tamat riwayatnya!" ujar Pak Bambang.
Mereka mungkin protes akan kelakuan Hendra, tapi mereka tentunya bersyukur. Semua orang menghembuskan napas lega karena setidaknya Revan sudah berhasil dilumpuhkan. Hendra memberi saran agar Trio Koplak mengecek keadaan sekitar, kalau - kalau masih ada pasukan yang tersisa. Ketiganya menuruti perkataan Hendra, dan kini pria itu melirik ke arah Pak Indra dan Yoshi.
"Yo~ gimana keadaan kalian? Masih utuh?" tanya Hendra, sambil melirik tiga orang lainnya yang masih berdiri.
"Cukup buruk, tapi aku masih bernapas, untungnya. Aku perlu banyak jahitan sekarang. Lebih buruknya, aku sepertinya tidak akan kuat untuk berjalan sekarang," jawab Pak Indra.
"Keadaanku mungkin kurang lebih sama dengan Pak Indra," kata Yoshi.
"Aku baik - baik saja," ujar Bu Risa.
"Aku mungkin perlu pergi menemui tukang urut setelah ini karena kakiku sedikit memar. Sepertinya aku keseleo gara - gara tersandung tadi," sahut Delia.
Hendra tersenyum, senang karena semua temannya masih hidup. Kemudian, dia berjongkok, dan berusaha mengangkat tubuh Pak Indra.
"Sini, biar aku papah bapak ke mobil," kata Hendra.
Pak Indra terkekeh, "Makasih loh Ndra," sahut Pak Indra.
"Sini, aku bantu!" ujar Bu Risa, lalu membantu Hendra memapah Pak Indra.
"Bapak berat juga ya? Padahal bapak kan makannya kuaci!"
"Enak saja kamu ini, pakai ngatain saya cuma makan kuaci doang! Hamster yang doyan kuaci aja nggak begitu!" sahut Pak Indra.
Hendra terkekeh, "Iya, saya kan bercanda pak! Saya kan juga pernah pelihara hamster!"
"Hei, kalian melupakanku!" ujar Yoshi.
"Satu - satu kenapa! Yang lebih tua duluan!"
Rendi yang masih berdiri di sana tersenyum. Kemudian dia berjongkok di dekat Yoshi.
"Kamu bisa duduk kan? Sini, naik ke punggungku, biar kugendong kamu," ujar Rendi.
"Heh? Serius nih Ren?" tanya Yoshi.
"Iyalah. Kamu harus tetap hidup. Delia pasti akan kesepian kalau kamu mati sekarang,"
"Huh? Bukannya bagus buat kamu ya?"
"Aku tidak akan bisa melakukan hal yang sama sepertimu, Yo. Setidaknya tidak untuk Delia. Disitulah aku tahu kalau kamu lebih pantas untuknya. Mungkin aku akan melakukan hal yang serupa untuk gadis yang ditakdirkan untuk bersamaku. Aku mengakui kalau aku kalah, tapi aku banyak belajar dari kekalahanku hari ini."
Yoshi tersenyum, "Tapi kamu jangan protes loh ya, aku lumayan berat loh," canda Yoshi.
Yoshi berusaha untuk naik ke punggung Rendi. Setelah beberapa saat, akhirnya Yoshi bisa berada di punggung Rendi, dan rekannya menggendong Yoshi ke depan gedung.
Hendra mungkin sudah agak jauh dari mereka, tapi dia tersenyum. Dia senang karena bisa mengajari Rendi sesuatu yang penting hari ini. Delia juga tersenyum lega, karena dia tidak perlu lagi mengkhawatirkan soal Rendi.
~~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top