Chapter 4 : Surat Tantangan
Dua minggu kemudian
Hendra tengah asyik menonton TV di tempat dia dirawat. Dia sendirian di sana, karena Nira tidak lagi menjagainya sejak seminggu lalu, walau Nira berjanji kalau dia akan menjenguk Hendra. Nira sudah kembali bekerja, dan Hendra senang karena Nira tidak lagi mengkhawatirkannya. Karena dia sendirian, keadaan di sekelilingnya sangat tenang, hingga akhirnya terdengar suara berisik dari luar ruangannya.
Si pria hanya menghembuskan napasnya. Dia bisa merasakan kalau sesuatu yang gawat akan terjadi. Tentu saja dia tidak akan bisa mendapatkan waktu untuk bersantai, karena begitulah hidupnya. Bahkan, dia selalu curiga misalnya hidupnya tiba - tiba saja jadi sangat tenang, Hendra jadi khawatir kalau - kalau ada bahaya besar yang akan segera datang dan mengacaukan hidupnya. Karena itulah, Hendra sudah terlalu mengenal situasi seperti ini, sehingga dia tidak lagi terkejut karenanya.
Pintu ruangan Hendra tiba - tiba saja terbuka dengan lebar. Yoshi dan Pak Indra kini berada di depannya. Si penghuni ruangan menoleh, dan menatap kedua rekannya yang datang dengan terengah - engah. Dari ekspresi wajahnya, Hendra bisa menebak kalau ada sesuatu yang gawat sudah terjadi.
"Hendra! Ini gawat!" seru Pak Indra, yang kini melangkah ke arah Hendra.
"Haduh, ada apaan sih?! Gak perlu pakai teriak kan? Ini rumah sakit loh!" sahut Hendra, dengan nada suaranya yang cukup keras, yang sama sekali tidak mencerminkan perkataannya.
"Pokoknya gawat Ndra! Kita harus segera bertindak!" seru Yoshi.
"Iya, iya. Aku bisa lihat itu dengan jelas dari wajah kalian. Tapi, coba ceritain dulu keadaan gawatnya apaan. Aku bukan cenayang, jadi aku nggak bisa langsung ngasih solusi tanpa tahu apa masalahnya."
Pak Indra dan Yoshi berpandangan antara satu dengan yang lainnya. Keduanya sudah masuk ke dalam ruangan Hendra, dan Yoshi yang masih ada di dekat pintu bergegas untuk menutupnya. Sementara itu, Pak Indra mendekat ke arah Hendra dan menyerahkan selembar kertas ke tangan si pria. Hendra mengangkat alisnya, sambil memandang kertas itu sejenak, sebelum akhirnya dia mematikan TV. Hendra bisa merasakan kalau pembicaraan mereka akan cukup panjang nantinya. Hendra melirik kertas yang dia letakkan di atas pangkuannya sekali lagi, lalu melirik ke arah Pak Indra.
"Coba kamu baca deh Ndra," kata Pak Indra.
Hendra mengambil kertas yang tadi diserahkan oleh Pak Indra. Dia membacanya secara sekilas, kemudian melirik kedua pria yang ada di depannya. Isinya singkat, padat, tapi juga mengkhawatirkan. Kini dia mengerti kenapa dua orang itu datang ke ruangannya dengan gaya mirip orang kesetanan. Kalau Hendra ada di posisi mereka, dia pasti juga akan sama paniknya. Kini dia mengerti apa yang dimaksud oleh situasi gawat tadi.
"Oh - ow .... Ini betulan, kan?" tanya Hendra.
Hendra masih tidak percaya akan apa yang baru saja dibacanya. Tapi dia tau kalau ekspresi dua orang di hadapannya tidak terlihat seperti tengah bercanda. Toh, hal seperti ini sudah pernah terjadi padanya, dan di kehidupannya yang kacau, apa yang dia baca seharusnya bukan hal yang mengejutkan. Walau begitu, tidak ada salahnya kan untuk bertanya?
"Iyalah! Masa yang begini bercanda?" sahut Yoshi.
"Jadi, si penyerang misterius itu minta kita untuk ketemu dengannya besok dengan kemungkinan bahwa dia akan membawa sepasukan orang yang merupakan kaki tangannya di tempat yang harus kita cari tahu di mana ini?"
"Sejauh yang bisa saya simpulkan, ya begitulah, Ndra," kata Pak Indra.
"Yah, bagusnya besok aku sudah keluar dari tempat ini. Kuharap aku tidak perlu kembali lagi ke sini dan menambah masa inap selama dua minggu karena apa yang akan segera kita hadapi."
"Kuharap sih hal seperti itu tidak akan terjadi," kata Yoshi.
"Jadi, kita bisa ketemu orang ini. Tapi maksud dari kata "aku sudah mendapatkan Risa" ini apa?"
"Ada satu kabar buruk, Ndra. Istriku menghilang bersamaan dengan datangnya surat ini. Berani taruhan pemberi surat ini sekaligus penculiknya," ujar Pak Indra.
Hendra kini mengangguk. Dia tidak bisa bohong kalau keadaan ini tidak membuatnya kaget, toh dia sudah berpengalaman soal beginian. Tapi, Hendra kini mengerti kalau rupanya itu alasannya kenapa Pak Indra terlihat sangat panik. Tidak heran, siapa yang tidak panik kalau istrinya menghilang? Kalau dia jadi Pak Indra, dia juga pasti paniknya luar biasa. Hendra menghela napas, dan membetulkan letak kacamatanya. Dia membaca isi surat itu sekali lagi.
Untuk : Indra Sutedja
Mungkin, kemarin aku tidak bisa membunuhmu. Tapi setelah ini, aku pasti akan mendapatkanmu. Kamu takkan bisa mengindar kali ini, karena di sini aku sudah mendapatkan Risa. Aku tak akan mengembalikannya padamu dan dia takkan bisa kembali sebelum kamu menghadapiku. Temui aku, tempatnya di mana hukum PBB berlaku. Lokasinya ada di dekat kantormu. Tapi kalau kau tidak kunjung datang juga, maka kau tidak akan bisa melihatnya lagi.
Salam, R.
"Kita harus pergi ke tempat yang dimintanya itu besok. Masalahnya, kita masih tidak tahu di mana tempat itu berada. Katanya sih dekat dengan kantor, tapi kan itu tidak spesifik. Walau kita sudah perkecil kemungkinan tempatnya hingga kira - kira berjarak satu kilometer dari sini, tetap saja masih ada beberapa tempat yang bisa jadi dimaksud dalam petunjuknya," kata Yoshi.
"Nah, kalau begitu, kita harus bisa pecahkan masalah itu terlebih dahulu. Karena mau tidak mau kita harus ke sana. Risa di tahan di sana, dan tentunya kita tidak mau membahayakannya, kan? Setidaknya, saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi," sahut Pak Indra.
Hendra terdiam. Tentu saja Pak Indra tidak akan membiarkannya. Hendra pernah berada di posisi beliau, jadi dia mengerti bagaimana keinginan Pak Indra untuk menyongsong bahaya demi Bu Risa. Hendra sendiri juga tidak ingin kalau harus kehilangan Bu Risa.
Mungkin alasannya tidak sentimentil seperti Pak Indra. Hendra hanya tidak ingin kalau dia harus kehilangan satu lagi teman yang dia kenal. Sudah kehilangan banyak orang membuat Hendra muak dengan drama itu. Orang lain sih enak saja, mereka bisa dengan mudahnya mengambil nyawa orang lain hanya denga tujuan untuk menyakiti lawan mereka. Mereka tidak memikirkan kalau sandera mereka itu bukanlah orang bersalah, karena mereka biasanya memiliki dendam tertentu pada Hendra.
Sungguh metode yang rendahan, dan Hendra tidak pernah menyukainya. Nira sudah sering terlibat dalam masalah seperti itu, karena entah kenapa para musuhnya menganggap Nira adalah satu sasaran empuk. Hendra tidak akan kaget kalau dia menemukan skenario seperti itu di masa depan untuk kesekian kalinya. Toh, banyak penjahat yang berpikir mereka pintar tapi mereka hanya mengulang metode yang sama. Hendra sudah hapal dengan masalah seperti itu.
"Satu pertanyaan. Bagaimana bisa Bu Risa menghilang begitu saja? Kalian pasti selalu bersama beliau di kantor, kan? Toh kalian tidak kemana - mana hari ini," tanya Hendra.
"Itu juga yang membuat saya kaget. Sepertinya siapapun orang ini, mereka sudah mengawasi kami dengan ketat. Karena tadi Risa bilang kalau dia mau pergi ke minimarket yang ada di seberang kantor buat beli kuaci. Padahal aku sudah bilang kalau lebih baik jika kutemain. Tapi dia bilang tidak usah. Jadi, dia pergi sendirian ke sana. Setelah itu, dia menghilang," kata Pak Indra.
Hendra mengangguk, "Hm, betul juga. Tidak heran kalau Bu Risa sudah diincar. Lalu, dari mana surat ini datang?"
"Ada seorang pria yang merupakan penjaja makanan di dekat kantor yang memberikannya ke meja piket, untuk diberikan ke saya. Pak Hendri menerimanya, lalu langsung diberikan ke saya."
"Kalian sudah cek keberadaan Bu Risa?"
"Itu hal pertama yang kami lakukan sebelum kemari. Aku dan Pak In langsung ke minimarket yang ada di seberang jalan. Kami bertanya pada si kasir, yang mengatakan kalau Bu Risa sudah keluar sekitar 20 menit yang lalu. Kami mengecek ke sekitar, tapi tidak ada banyak orang yang berada di sana ketika kejadian. Ada sebuah gang kecil di dekat sana, cuma ketika aku coba menelusuri, tidak ada hal yang berarti," jawab Yoshi.
"Berarti hal ini sudah terencana. Aku tidak kaget kalau orang ini memiliki mata - mata di sekitar kantor. Bu Risa menghilang dengan cara yang sangat cepat. Kalau begitu, kita harus datang ke tempat yang dia minta besok. Kita tidak punya pilihan lain selain menemui siapapun makhluk laknat ini."
Pak Indra dan Yoshi mengangguk. Mereka senang karena Hendra setuju dengan pemikiran mereka. Pak Indra yang tadi cukup panik kini sudah mulai lebih tenang, sementara itu Hendra memandang ke sekelilingnya, dan menghela napas.
"Huh, cara yang dia gunakan murahan, kalau aku boleh jujur. Tapi perencanaan yang dia punya sepertinya sangat matang. Siapapun dia, rencananya jelek tapi dia nggak bego - bego amat. Kalau dia butuh waktu dua minggu sampai hal ini terjadi, aku tidak kaget kalau dia menyuruh orang - orangnya berjaga selama dua minggu itu hanya untuk mendapatkan kesempatan saat Bu Risa sendirian," kata Hendra.
"Caranya terlalu simpel, sebenernya. Tapi tidak terduga," sahut Yoshi.
"Kalau begitu, lebih baik kita bersiap untuk besok. Aku harus bereskan masalah administrasi serta semua tetek bengeknya supaya bisa segera keluar dari sini hari ini dan menyimpan energiku buat besok. Lalu, kalian harus siapkan apa saja yang diperlukan buat besok. Sekalian deh, bawa Trio Koplak, mereka pasti bisa membantu kita nantinya."
"Nanti bisa saya siapkan kalau soal itu. Kalau soal Trio Koplak sih, mereka jangan ditanya. Pasti mau ikut tuh mereka kalau di ajak," kata Pak Indra.
"Huh, bagus deh kalau kalian sekarang nggak panik lagi. Lain kali, kalian sadar diri sedikit ya. Ini rumah sakit, jadi jangan seenaknya saja teriak. Aku yang doyan teriak aja nggak sampai segitunya kalau di rumah sakit."
"Iya deh, iya. Namanya juga orang panik, Ndra. Kamu sendiri juga, kalau jadi saya pasti gak bakalan segan dobrak pintu kalau lagi sepanik itu, kan?" tanya Pak Indra.
Hendra terkekeh, "Iya sih. Tapi ... ah sudahlah."
"Lalu, soal lokasi tempat keberadaannya itu bagaimana? Kamu ada ide tempatnya di mana?" tanya Yoshi.
"Ah, nanti aja deh. Kita pikirkan bareng saja. Semoga nanti bisa terpecahkan sebelum kita pergi ke sana nantinya."
"Nah, karena masalahnya sudah selesai, mending sekarang kita ganti topik deh. Karena kebetulan saya mau nanya sama Yoshi," kata Pak Indra.
Yoshi mengerutkan keningnya, "Mau tanya apa, Pak?"
"Kamu tidak khawatir meninggalkan Delia sama Rendi berduaan di ruangan kita?"
Yoshi mengerutkan alisnya, sambil memberikan pandangan penuh tanda tanya pada atasannya. Pertanyaan Pak Indra tadi bisa dibilang agak aneh. Yoshi tidak pernah terlalu khawatir terhadap keberadaan Delia, karena dia tahu betul kalau pacarnya itu bisa menangani banyak hal sendiri. Apalagi masalah laki - laki. Rasa - rasanya Yoshi tidak perlu khawatir soal itu. Apalagi, dia kan bersama Rendi yang masih merupakan rekan kerja mereka, jadi seharusnya tidak ada yang aneh soal itu.
"Loh? Memangnga kenapa? Kan ini rumah sakit masih sebelahan sama kantor kok. Lagian, Delia kan sudah dewasa. Rasanya saya nggak perlu khawatir soal itu."
"Kamu tidak merasakannya ya, Yo?"
"Merasakan apaan?"
"Kalau Rendi itu sebenernya naksir Delia?"
Yoshi mengerutkan keningnya. Dia butuh waktu beberapa saat untuk mencerna apa maksud ucapan Pak Indra tadi. Hingga akhirnya Yoshi bisa mengingatnya. Dia kembali teringat akan kekhawatirannya saat pertama kali melihat Rendi. Saat dia menyadari kalau Rendi sepertinya melirik Delia secara khusus.
Yoshi mengira kalau tidak akan ada yang menyadarinya. Tapi rupanya Pak Indra saja bisa tahu soal itu. Kemungkinannya, bisa jadi Pak Indra memang jago membaca tindakan orang lain, atau Rendi yang terlalu bodoh untuk memperlihatkan hal itu secara terang - terangan kepada orang lain.
Selama beberapa minggu ini, Yoshi sebenarnya ingin mengenyahkan semua perasaan aneh itu. Dia berusaha menganggap kalau Rendi punya cara yang aneh dalam menghadapi perempuan. Tapi di sisi lain, sebenarnya dia sadar kalau ternyata memang Rendi merasakan sesuatu pada Delia.
Walau begitu, Yoshi ingin tahu sejauh apa orang lain memahami masalah ini. Jadi, dia memutuskan untuk memainkan kartu pura - pura polos andalannya untuk mencari tahu kebenaran ini dari Pak Indra.
"Maksud bapak?" tanya Yoshi, sambil memasang wajah polosnya.
Sepertinya akting Yoshi cukup meyakinkan, karena reaksi dari kedua rekannya menunjukkan bahwa mereka frustasi dengan respon Yoshi yang menunjukkan sebuah kebodohan mutlak. Hendra saja langsung menganga lebar karena pernyataan yang dilontarkan sepupunya tadi. Sementara itu, Pak Indra langsung menepuk jidatnya dengan cukup keras, serupa dengan ekspresi facepalm.
"Yoshi, aku akui kamu memang pintar. Tapi kok kalau sudah masalah yang begituan kok kamu malah lemot sih?" tanya Hendra, lalu terkekeh.
Yoshi hanya mengerutkan alisnya. Tapi Hendra tahu. Dia tahu kalau Yoshi sebenarnya paham ke mana arah pembicaraan mereka. Sepupunya memang pintar kalau soal memasang wajah bego, tapi Hendra tahu kapan ekspresi itu adalah sebuah kegoblokan murni atau mana yang dibuat - buat. Hendra tahu kalau Yoshi mengerti, tapi dia memutuskan untuk mengorek informasi terlebih dahulu.
"Yo, coba kamu pasang matamu baik - baik. Ingat - ingat kembali bagaimana cara Rendi berinteraksi dengan Delia," ujar Pak Indra, yang sepertinya tidak bisa menangkap kalau Yoshi hanya berusaha untuk mengorek informasi.
"Saya sudah perhatikan dengan baik - baik kok pak," sahut Yoshi.
"Nah, setelahnya coba kamu ingat, kadang Rendi suka berusaha mencuri waktu buat berduaan dengan Delia, kan? Kadang dia juga suka caper kan? Kamu bisa merasakannya?"
"Emm, sedikit banyak sih. Tapi Delia itu orangnya cuek banget. Dia itu orangnya susah untuk dialihkan perhatiannya."
"Iya, saya tahu kalau Delia itu cueknya kadang suka keterlaluan. Kadang saya juga heran sama itu orang, kok dia seolah tidak sadar kalau Rendi ingin mendekatinya secara 'lebih'?"
"Nah pak, saya sih jujur saja bisa lihat sedikit kalau Rendi tertarik sama Delia. Delia itu memang orangnya memikat tanpa dia sadar. Tapi saya juga percaya sama Delia. Dia tidak akan membiarkan hal seperti itu bisa terjadi."
Hendra hanya bisa terkekeh. Dia mengerti kenapa Yoshi bisa mengatakan hal seperti itu dengan sangat yakin. Toh, Hendra memang juga tahu persis bagaimana kelakuan Delia. Tidak ada banyak orang yang bisa mengubah pendirian Delia. Kadang, Delia akan mendengarkan beberapa nasihatnya, tapi sering kali dia tidak peduli. Mungkin sifat itu diturunkan dari ayahnya.
Karena itulah Hendra percaya kalau dia akan setia pada Yoshi. Kalau Delia tidak suka dengan Yoshi, buat apa dia merahasiakan identitasnya saat pesta dansa? Delia suka membuat permainan kecil seperti itu, dan Hendra tidak heran karenanya. Jadi, Hendra memutuskan untuk menengahi pembicaraan kedua rekannya.
"Kalian tidak perlu khawatir, sebenarnya. Delia memang dari sananya sudah kayak begitu potongannya. Dia bisa dengan gampang berteman sama laki - laki, tapi dia cuek sama perasaan seperti itu. Tapi, Delia orangnya cukup peka kok. Dia bisa tahu kalau ada laki - laki yang jadi temannya meliriknya, tapi dia tidak berani untuk jadi terlalu dekat karena dia tidak mau merusak pertemanannya," kata Hendra.
"Tapi bukannya tidak mungkin kan hal seperti itu bisa terjadi? Siapa tahu kalau Rendi malah bisa membuat Delia jatuh cinta," sahut Pak Indra.
"Masalahnya, bukan perkara gampang untuk membuat seorang Delia Jeanita Sinaga jatuh cinta. Dia itu sama kayak bapaknya, pikirannya sekeras batu, terutama soal perasaan dan pendirian. Butuh alasan dan ikatan yang kuat untuk membuat Delia yakin kalau dia bisa menyukai seorang laki - laki. Tahu gak, pas lihat kalian di pesta dansa San Rio saat itu, aku sempat berpikir kalau Yoshi telah menciptakan sebuah keajaiban dunia lainnya, dengan membuat Delia jatuh cinta. Karena dia jujur, aku tahu persis kalau dia gak pernah sekalipun pacaran. Jangankan pacaran, jatuh cinta saja hampir - hampir tidak pernah!"
Yoshi tersenyum. Tentu saja Hendra akan membelanya, seharusnya Yoshi sudah menduga hal itu. Hendra mengenal Delia sebagai muridnya, jelas dia tahu banyak hal. Kini Yoshi bisa merasa lebih tenang karenanya.
Pak Indra tersenyum, "Walah, pantas saja. Aku sama Risa sudah bingung kenapa Delia kelihatannya cuek bebek padahal dari sorot matanya aku yakin dia tagu apa tujuan Rendi dekat - dekat dengannya."
"Delia memang begitu manusianya. Sekian tahun di jadi muridku, aku gak pernah paham kenapa tuh anak bisa jadi begitu kelakuannya, selain karena faktor keturunan."
"Yah, kita lihat saja. Kamu juga tahu kan Ndra soal itu? Jangan bilang kalau kamu tidak peka juga masalah itu!"
"Aku tahu kok. Sejak pertama aku melihat keberadaan Rendi, kurasa dia selalu pengen nempel sama Delia. Sejomblo - jomblonya saya ya, seenggaknya saya paham masalah itu!"
"Baguslah kalau kamu tahu. Saya tadi menanyakannya pada Yoshi, karena ada satu hal penting. Yang jadi masalahnya adalah, Delia dan Rendi berduaan di ruangan kita. Makanya saya agak khawatir."
Hendra langsung menatap Pak Indra atas apa yang barusan didengarnya. Hendra mengerukan alisnya.
Hendra sebenarnya tidak khawatir akan keadaan Delia. Perempuan itu tentunya tahu apa saja yang harus dia lakukan di saat seperti itu. Tapi, Hendra juga tahu kalau kemungkinan ada banyak hal yang bisa dilakukan Rendi ketika dia berduaan dengan Delia. Untuk menyatakan perasaan, misalnya. Rendi pasti menantikan saat berduaan seperti ini untuk mengatakannya.
Hendra yakin kalau Delia bisa menghadapi situasi seperti itu. Tapi, sedikit banyak keadaan itu akan menjadi canggung nantinya. Delia jelas ingin sekali melarikan diri dari saat seperti itu. Karena selain suasana canggung yang membuatnya gerah, Delia tentunya tidak ingin kalau harus memberitahu Rendi secara langsung kalau dia tidak akan melirik Rendi sedikitpun dan membuatnya patah hati. Keadaan itu mungkin masih bisa diatasi, tapi tentunya akan lebih baik jika Delia tidak perlu melaluinya.
"Sebaiknya Yo, coba kamu jemput Delia deh. Ini saranku loh," kata Hendra.
"Tapi kenapa?" tanya Yoshi.
"Aku punya dugaan, dan aku takut dugaanku ini jadi nyata."
Yoshi mengerutkan alisnya. Dia agak ragu dengan saran yang diberikan oleh sepupunya, tapi dia tahu kalau perkataan Hendra bisa dipercaya. Jadi tanpa perlu mengatakan hal lain lagi, Yoshi langsung saja bergegas pergi menuju pintu untuk menemui Delia.
~~~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top