Chapter 3 : Sahabat (?)

[A/N : Saya gak sengaja keputar lagu ini pas ngedit chapter ini, dan entah kenapa lagunya cocok sama ceritanya :v Cocok juga buat jadi anthem - nya Hendra, kalau saya mau jujur :v Yang sudah pernah baca TD sebelum di edit, kayaknya sih tahu apa alasannya kan? :v]

Setelah kejadian yang mengejutkan itu, beberapa rekan lainnya yang sudah dipanggil datang untuk mengamankan lokasi. Ambulans datang untuk mengakut Hendra, dengan harapan bahwa dia masih bisa diselamatkan.

Berdasarkan kejadian yang dialami Hendra, sepertinya semua orang sudah mengetahui kalau Hendra harus segera dibawa ke meja operasi. Jadi, rekan - rekannya memutuskan untuk membiarkan para dokter melakukan tugasnya. Tapi tidak dengan Nira. Meski proses ini akan memakan waktu yang lama, dia memutuskan untuk menunggu di depan ruang operasi. Menunggu para dokter menyelamatkan nyawa Hendra.

Ini bukan pertama kalinya bagi Nira untuk menunggui Hendra. Mengingat pekerjaan Hendra sebagai Detektif Underground, pria sinting yang satu itu jelas sudah terluka berkali - kali dalam berbagai macam situasi. Nira juga sudah beberapa kali terlibat di dalam sisi lain dari hidup Hendra itu, jadi dia tidak asing dengan hal seperti ini.

Walau begitu, tetap saja Nira mengkhawatirkan Hendra setengah mati. Dia tidak akan siap kalau pria itu harus meninggalkannya di dunia ini sendirian sekarang. Ada banyak hal yang berkecamuk di dalam kepala Nira, dan dia merasa bahwa dirinya belum menyampaikan semuanya kepada Hendra.

Nira punya banyak hal yang dia sembunyikan dari orang lain, seperti halnya Hendra. Selama 38 tahun dia tinggal di muka bumi, ada banyak sekali hal yang terjadi pada hidupnya, dan banyak sekali hal yang berubah dari waktu ke waktu. Dirinya bukan seperti dia yang dulu. Beberapa tahun bisa mengubah seseorang secara drastis. Nira juga melihat perubahan itu terjadi pada semua orang di dalam hidupnya, termasuk Hendra.

Ada banyak hal yang selama ini tidak terucapkan dan Nira ingin menyampaikan semuanya kepada Hendra. Ada banyak hal yang selama ini sengaja dia rahasiakan dari sahabat baiknya itu. Nira juga tidak ingin meninggalkan Hendra sendirian. Dia ingin menemani jiwa kesepian Hendra. Karena itulah dia bertahan di sana.

Nira sudah menghubungi Haris untuk menjemput anak mereka, Fira. Nira tidak ingin si anak ikut merasakan gejolak emosi apa yang sekarang ini tengah terjadi di dalam dirinya. Sang ibu berusaha untuk tetap terlihat tenang, setidaknya sampai ayahnya menjemput Fira.

Tapi, si anak sepertinya memahami emosi macam apa yang tengah dirasakan ibunya. Dia tetap diam, dan menggenggam tangan Nira. Tidak ada tanda - tanda bahwa si anak ini syok atau ketakutan, dia hanya diam dan tenang. Pandangannya terlihat polos, seperti bocah berumur delapan tahun pada umumnya.

Tapi seperti bocah pada umumnya, dia tentunya penasaran kenapa mereka berada di rumah sakit. Apa yang terjadi pada seorang pria yang merupakan teman ibunya yang sering bersama dengan sang ibu di kantor? Apakah dia benar - benar terluka parah? Kenapa ibunya tadi sempat menangis dan terlihat panik karena tiba - tiba saja Hendra jatuh ke lantai?

"Mama?" kata Fira.

"Ya nak? Ada apa?" sahut Nira.

"Mama sedih ya, liat Om Hendra luka begitu dan masuk rumah sakit?"

Nira tersenyum. Di dalam dirinya, dia agak kaget karena mengetahui kalau anaknya bisa memahami emosinya. Anaknya memang sudah cukup besar untuk bersimpati pada orang lain, dan Nira tahu itu. Tapi, rasa simpati Fira mungkin lebih besar daripada anak - anak seumurannya.

"Iya Fira, Mama sedih. Hendra kan sahabat Mama. Bahkan, kadang rasanya lebih dari sekedar sahabat. Dia selalu ada di saat Mama butuh teman, atau di saat Mama dalam bahaya. Dia juga sering nolongin Mama, walau kadang dia agak kerepotan kalau harus nolongin Mama. Hendra juga nggak takut sama apapun, dia sangat pemberani."

"Berarti, Om Hendra itu pahlawan dong! Dia kan suka nolong orang!"

Nira terdiam sejenak. Apa yang dikatakan anaknya mungkin terdengar berbeda bagi Nira. Mungkin sang anak teringat akan karakter pahlawan super yang sering muncul dalam kartun, sementara itu Nira membayangkan hal yang berbeda. Hendra memanglah sosok pahlawan, atau setidaknya dia punya jiwa pahlawan. Pria setengah sableng yang satu ini akan selalu melakukan apa yang menurutnya bisa menyelamatkan semua orang, walau itu bisa membahayakan dirinya sendiri.

Selain itu, Hendra sudah membantu Nira dalam banyak hal. Apa jadinya kalau Hendra tidak ada di hidupnya, mungkin akan ada banyak sekali hal yang kacau. Bisa saja Nira tidak akan bertahan hidup selama ini kalau bukan karena Hendra. Hal ini menimbulkan sebuah senyuman kecil di bibir Nira.

"Iya, kamu benar, nak. Hendra adalah seorang pahlawan, baik bagi Mama atau bagi orang lain."

"Ahh, andai Fira punya ayah yang seperti itu, ya? Pastinya keren kalau punya ayah yang baik dan suka menolong orang!"

Senyuman Nira semakin melebar. Anaknya saja menyukai Hendra seperti itu. Apalagi ibunya, jangan ditanya lagi. Perkataan anaknya tadi membuat Nira terkenang akan semua memori ketika Hendra rela melakukan banyak hal gila untuk menyelamatkannya. Nira merapatkan dirinya kepada Fira, kemudian dia mendekap anaknya dari samping

"Kamu bisa berandai - andai, nak. Tidak ada yang salah dengan yang namanya impian."

Tiba - tiba, terdengar sebuah suara langkah kaki. Kedua orang yang tengah duduk di kursi tunggu itu menoleh, dan melihat sesosok pria mendekat. Keduanya mengenalinya sebagai Haris.

Haris memiliki karakteristik wajah ala Timur Tengah, dengan alis dan rambut yang hitam lebat. Wajahnya cerah, walau ada sebuah ekspresi kekhawatiran yang menghiasinya. Perawakannya berisi, yang membuatnya terlihat menarik. Di tangannya ada sebuah tas jinjing berwarna merah.

"Nira!" kata Haris.

Nira tidak menjawab. Dia hanya tersenyum lemah, sementara itu Fira berdiri dan menghampiri sang ayah. Dia menyapa ayahnya dengan sebuah senyuman riang.

"Apa yang terjadi, Ra?" tanya Haris.

"Seperti biasa. Hendra melakukan hal yang menjadi ciri khasnya," jawab Nira.

Haris hanya bisa tersenyum tipis ketika mendengar pernyataan tadi. Si pria sudah mengerti betul apa maksud dari perkataan Nira. Toh, dia mengenal Hendra dengan cukup baik, karena pria itu adalah sahabat Nira. Jadi, tanpa banyak bicara lagi Haris menyerahkan tas yang ada di tangannya, kemudian dia merangkul Fira.

"Ayo, kita pulang, nak," kata Haris.

"Tapi, bagaimana dengan Mama? Mama nggak pulang?" tanya Fira.

"Mama akan menyusul nanti, nak," jawab Nira.

Fira hanya mengangguk. Sementara itu Haris memberikan sebuah senyum menenangkan. Dia mengelus lembut bahu Nira, yang membuat si perempuan menghela napasnya.

"Hendra butuh kamu, Ra. Biar aku yang urus Fira. Kamu tidak perlu khawatir. Ayo kita pulang, Fir!" kata Haris.

"Bilang sama Om Hendra supaya cepat sembuh ya, Ma!" ujar Fira.

Nira mengangguk, "Pastinya."

Mereka berdua pergi, meninggalkan Nira sendirian di koridor yang sepi itu. Ketika langkah kaki sudah menjauhinya, air mata mulai menetes turun dari wajahnya. Nira betul - betul khawatir akan keadaan Hendra. Dia tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri.

~~~~~

Hendra membuka matanya. Silau lampu membuatnya harus menyipitkan mata. Hendra berusaha membiasakan dirinya terhadap sinar lampu itu. Dari langit - langitnya, Hendra tahu persis kalau dia berada di rumah sakit. Kepalanya masih dalam proses untuk kembali ke fungsi optimalnya, dan dia mencoba mengingat apa yang terakhir kali terjadi sebelum dia tidak sadarkan diri.

Setelah terdiam selama beberapa saat, akhirnya Hendra bisa menenangkan kebingungan yang ada di dalam kepalanya. Hendra kemudian menoleh, karena hal pertama yang dirasakannya ketika bangun adalah sebuah sentuhan lembut di lengannya, yang agak tidak biasa. Pertanyaannya terjawab ketika dia bisa melihat bahwa di sebelah kirinya ada Nira yang kepalannya berada di kasur. Sepertinya dia tertidur. Hendra tersenyum lemah, meski dirinya sedikit heran kenapa Nira menjagainya seperti itu.

"Ni... ra?" ujar Hendra, entah karena alasan apa terputus.

Perkataan itu membuat semua orang yang ada di ruangan itu langsung menoleh ke arah Hendra. Kini mereka menyadari kalau Hendra sudah sadar, dan Hendra sendiri melihat kalau teman - temannya yang lain juga ada di sana. Ada Pak Indra, Bu Risa, Yoshi, Delia, Rendi, dan bahkan juga ada Rima dan Damien.

"Oh, akhirnya kau bangun juga," kata Pak Indra.

"Huh? Kalian semua ada di sini? Ini rumah sakit kan?" tanya Hendra yang kini melihat ke arah teman - temannya.

"Kamu kira kolong jembatan?" sahut Yoshi, dengan sekenannya.

Hendra tidak menanggapi lawakan Yoshi yang tidak pada tempatnya itu, kemudian dia meraba tubuhnya tepat di mana dia tertembak. Dia bisa merasakan perban di sekujur kakinya, dan sedikit rasa nyeri yang tiba - tiba menyerang. Kini kepalanya sudah kembali bekerja, dan perlahan dia bisa memproses apa yang sudah terjadi.

"Oh, syukurlah aku masih hidup."

"Tumben bapak bersyukur karena masih bisa bertahan hidup. Biasanya juga enggak tuh," sahut Delia.

"Kan aku agak khawatir, Del. Soalnya itu peluru ditembak dari jarak yang cukup dekat. Kalau salah sedikit saja, aku bisa mati."

Pembicaraan itu sepertinya cukup mengusik Nira yang tengah tertidur. Nira membuka matanya, dan dia menguceknya. Dilihatnya bahwa Hendra sudah tersadar. Meski baru saja bangun, dia bisa memproses apa yang terjadi. Hal itu membuat Nira sangat senang dan perasaan itu bercampur aduk dengan emosi lainnya yang ada di dalam dadanya.

"Oh! Syukurlah kamu sudah sadar!" ujar Nira, lalu meletakkan kepalanya di samping leher Hendra.

"Iya Ra, aku sadar dan bisa bertahan hidup. Kamu jangan panik, aku baik - baik saja kok,"

Keadaannya hening selama beberapa saat. Semua orang membiarkan hal itu terjadi, karena mereka ingin memberikan waktu untuk keduanya. Mereka tahu kalau Nira mengkhawatirkan keadaan Hendra, jadi mereka diam saja ketika melihat Nira sebegitu senangnya ketika Hendra bangun.

Di tengah keheningan itu, Rima berbisik pada Damien kalau mereka harus meninggalkan ruangan itu segera. Damien memberikan sebuah anggukan setuju kepada Rima. Tapi belum sempat mereka melaksanakan rencana mereka, Nira mengatakan sesuatu.

"Bisakah aku ngobrol berdua denganmu, Ndra?" tanya Nira.

Keduanya saling bertatapan selama beberapa saat, kemudian Hendra mengalihkan pandangannya kepada rekan - rekannya. Nira juga ikut menatap beberapa orang yang ada di ruangan itu, sementara itu mereka membalas tatapan mereka dengan memandang satu sama lainnya. Keheningan itu akhirnya dihentikan ketika Pak Indra berinisiatif untuk mengatakan sesuatu.

"Kalau begitu, kalian ngobrol saja deh, biar aku dan Risa yang panggilkan dokter untukmu," ujar Pak Indra, lalu tanpa menunggu lagi beliau menarik istrinya bersamanya, untuk memberikan Nira dan Hendra ruang.

"Emm ... aku mau ke taman dulu deh. Aku butuh udara segar," kata Rendi.

"Aku sama Delia ikut sama Rendi deh. Agak pengap nih di sini," sahut Yoshi, yang sepertinya tidak bisa memikirkan alasan yang lebih baik lagi.

Rendi juga langsung memutuskan kalau lebih baik jika dia segera kabur. Kemudian, Yoshi mengikuti teladan itu dengan menarik tangan Delia dan pergi mengikuti Rendi. Tinggallah Rima dan Damien, yang mana mereka juga menuju ke arah pintu.

"Aku sama Mien mau ke kantin dulu, nyari cemilan. Kami gak bakalan ganggu kalian, oke? Tapi kalian jangan macam - macam selama berduaan di sini ya?" kata Rima, lalu dia mengedipkan sebelah matanya sebelum akhirnya menarik Damien dan pergi.

"Lah, elu Rei?" tanya Hendra, kepada Rei yang kini tinggal sendirian.

"Umm ... kalau gitu aku mending keluar juga deh, soalnya aku harus telepon Mira buat tanyain tugas yang dikasih sama dosen tadi," ujar Rei, lalu dia langsung kabur dari ruangan itu.

Ruangan itu kini kosong melompong, kecuali dengan keberaraan Hendra dan Nira di dalamnya. Keadaannya hening untuk beberapa saat, dan Hendra memutuskan mengubah posisinya dalam keadaan duduk dengan perlahan, sehingga dia bisa lebih nyaman berbicara dengan Nira.

"Kamu gak apa kan Ndra?" tanya Nira, sambil mengelus tangan Hendra dengan lembut.

"Iya, aku tak apa. Kamu tidak perlu sekhawatir itu terhadapku. Aku punya alasan yang aneh untuk bisa tetap hidup di dunia ini, sehingga Tuhan tetap membiarkanku hidup, setidaknya sampai tugasku selesai," jawab Hendra.

"Baguslah. Selama kamu ada di sini, aku yang akan menjagaimu nanti. Boleh kan?"

Sebetulnya Hendra tidak perlu dijagai, toh dia sudah dewasa. Tetapi, alasan sebenarnya dari kenapa Nira melakukannya karena dia ingin untuk menghabiskan waktu lebih lama dengan Hendra. Ketika mereka bekerja di San Rio, keduanya sibuk dengan tugas mereka masing - masing. Jadi, walau mereka bisa bertemu setiap hari, mereka tidak bisa sering menghabiskan waktu bersama.

"Lalu, kamu bagaimana? Bukannya hari ini di sekolah sudah mulai ulangan harian ya?"

"Aku sudah selsaikan semua soalnya, jadi sudah kuserahkan pada bagian Tata Usaha untuk dicetak, dan aku bisa minta guru lain untuk jadi pengawasnya. Fira juga sudah ada sama Haris. Kamu tenang saja. Aku tidak keberatan kok kalau harus menjagamu."

Hendra menghela napasnya. Dia tahu kalau wanita yang satu ini akan melakukan apa saja untuk memastikan bahwa dirinya akan baik - baik saja. Hal yang aneh sebenarnya, karena sebelumnya Nira selalu tahu kalau Hendra akan baik - baik saja, jadi dia tidak pernah terlalu khawatir akan keadaan Hendra. Tapi kenapa sekarang dia malah bertindak seperti ini?

Itu alasan pertama kenapa Hendra ingin menolak bantuan Nira tadi. Selain itu, Hendra tidak ingin Nira mengorbankan pekerjaannya hanya untuk menjaganya. Dia tidak perlu dijagai, sebenarnya. Walau begitu, Hendra yakin akan susah untuk meminta Nira untuk tidak melakukannya kalau Nira sudah benar - benar ingin.

"Tapi kan Ra, kamu gak perl ...."

Ucapan Hendra tadi belum sempat selesai karena terpotong oleh bibir Nira yang tiba - tiba mendarat di bibirnya. Dengan lembut wanita itu mengecup bibirnya. Entah berapa lama itu bertahan, tapi rasanya hanya sekejap saja.

Tindakan tadi itu ibarat seperti sebuah petir yang menyambarnya di siang bolong. Hendra tak tahu harus apa, jadi yang bisa dia lakukan hanyalah terdiam. Kepalanya langsung jadi kacau, karena sebuah sentuhan lembut dari Nira itu. Ketika Nira menjauhkan wajahnya, Hendra bisa merasakan kalau wajahnya sendiri kini memerah.

"Jangan bilang kalau kamu itu tidak perlu dijagai, Ndra. Aku hanya ingin berbuat baik padamu, kamu tahu itu kan? Kamu mungkin sudah dewasa, tapi aku kan sahabatmu, jadi ini sudah kewajibanku untuk menemanimu," kata Nira, lalu dia meremas jemari Hendra dengan lembut.

Hendra terdiam sejenak. Dia tahu kalau dirinya tak akan bisa menyanggah ucapan Nira itu. Tapi beribu pertanyaan muncul di dalam kepalanya, mempertanyakan tindakan Nira itu. Apa sih yang sebenarnya ada di pikiran wanita ini?, pikir Hendra. Tapi satu hal yang Hendra ketahui adalah, dia harus membiarkan Nira melakukannya kalau dia tidak mau menghabiskan energi untuk berdebat soal ini.

"Baiklah, kalau maumu begitu. Aku biasanya bilang kalau aku tak butuh orang lain, tapi kali ini aku akan membiarkanmu melakukannya. Aku sudah mengenalmu dengan terlalu baik, karena aku tahu percuma saja kalau aku berusaha untuk berdebat denganmu. Thanks Ra. I owe you so much," sahut Hendra, lalu tersenyum.

"Iya, sama - sama."

"Tapi, kamu nggak perlu ngasih ciuman kayak begitu kan? Aku kaget, tahu."

Pipi Nira memerah saat mengingat spontanitasnya tadi. Entah kenapa, akhir - akhir ini dia tidak bisa menahan dirinya sendiri ketika bersama Hendra. Andai saja pria ini tahu apa alasannya ....

"Masalahnya, kalau aku enggak bikin mulutmu diam, kamu malah makin membantah. Cara ampuh yang aku tahu untuk mendiamkanmu cuma itu," jawab Nira, sambil berusaha menyembunyikan emosi dalam dirinya.

Hendra terkekeh, karena dia menyadari rona wajah di pipi Nira. Hingga akhirnya dia teringat akan satu hal. Temannya ini memang bertindak aneh akhir - akhir ini, yang mana membuat Hendra tidak habis pikir dan bertanya kenapa. Hal itu membuatnya punya beberapa spekulasi. Kini, dia teringat akan salah satu spekulasinya akan apa yang terjadi pada Nira. Hendra sudah memikirkan hal ini berkali - kali, tapi sepertinya dia sekarang punya celah untuk memastikan dugaannya.

"Benar juga ya? Eh, satu hal Ra, aku boleh tanya kan?"

"Ya, kamu mau tanya apa?"

"Pas aku memejamkan mata saat aku roboh itu ... kamu sepertinya bilang sesuatu. Apa itu, Ra?"

Nira jelas tidak menyangka kalau Hendra akan menanyakan hal itu. Di satu sisi, dia ingin mengatakan apa yang sebenarnya berada di dalam kepalanya. Dia ingin agar semuanya langsung dikatakan saja. Tapi, Nira tidak siap untuk mengatakannya sekarang, jadi dia hanya bisa menahan dirinya.

"Emm, aku bilang, supanya kamu jangan pergi."

"Lalu, sebelumnya aku merasa ada sebuah sentuhan diwajahku. Itu apa ya, Ra?"

"Aku cuma ... mengelus wajahmu."

Hendra tersenyum. Si perempuan terlihat meresponnya dengan biasa saja, tapi dia tahu kalau wajah Nira mengatakan yang sebenarnya. Sebagai seseorang yang sudah mengenal Nira setidaknya selama separuh hidupnya, Hendra bisa menebak apa yang sebenarnya dia katakan itu bohong atau tidak. Ketika Hendra mengetahuinya, dia memutuskan untuk diam saja.

"Oke. Eh tunggu, matamu ... kamu habis nangis ya, Ra? Kenapa?"

Saat itulah, air mata Nira tak bisa di bendung lagi. Sekeras apapun dia berusaha menahan dirinya, dia tidak bisa melakukannya selamanya. Apalagi di hadapan Hendra, yang menjadi titik lemah dari emosinya. Nira langsung saja membenamkan wajahnya di lengan Hendra. Si pria menggerakkan tangannya yang lain untuk mengelus kepala Nira.

"A - aku senang, ka - kamu masih hidup," kata Nira, di tengah isakannya.

Hendra tersenyum. Dia tahu kalau dirinya pasti sudah membuat Nira sangat khawatir. Tapi entah kenapa, sepertinya Nira benar - benar tidak ingin Hendra pergi. Nira tidak ingin kehilangan Hendra, lebih tepatnya.

"Ya, aku juga senang karena aku masih bisa bertahan hidup. Menangislah Ra, kalau memang itu yang kamu butuhkan. Aku sebenarnya yakin bukan hal itu saja yang kamu tangisi. Tapi, walau aku tidak tahu apa yang membuatmu menangis, kamu bisa memelukku jika kamu mau. Aku akan selalu ada untuk memegangimu saat kamu jatuh dan juga menghapus air matamu. Ingat itu."

Dengan aba - aba itu, Nira langsung memeluk Hendra dari samping. Mereka berpelukan selama beberapa saat, sambil Hendra mengelus punggung Nira untuk menenangkannya.

Tanpa mereka ketahui, Pak Indra dan Bu Risa sudah berada di depan ruangan inap Hendra. Keduanya mengintip ke dalam untuk melihat keadaan keduanya setelah mereka memanggil dokter.

Keduanya berhasil mendengarkan bagian penting dari percakapan mereka berdua. Kini, Pak Indra dan Bu Risa saling berpandangan, bertanya satu sama lain akan apa yang sebenarnya terjadi.

Dalam pandangan itu, keduanya sepakat kalau mereka harus mencari tahu tentang apa yang disembunyikan keduanya. Terutama Nira, karena dia sudah bertindak sangat mencurigakan, dan patut dipertanyakan apa yang dia sembunyikan. Sepertinya mereka kehilangan beberapa keping petunjuk penting yang bisa menguraikan rahasia apa yang sebetulnya mereka coba sembunyikan satu dengan yang lainnya.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top