Chapter 2 : Pernikahan yang Kacau

Seminggu kemudian

Akad nikah antara Pak Indra dan Bu Risa akan diadakan sebentar lagi di kediaman keluarga Pak Indra. Semua keluarga beserta hadirin telah duduk di tempat yang disediakan. Begitu pula dengan Yoshi dan beberapa rekannya yang bisa berhadir di sana.

Yoshi dijepit oleh Rei dan Delia di kedua sisinya. Di sebelah Delia berturut - turut ada Rima dan Damien yang diajak Delia untuk menghadiri acara ini. Di sebelah Damien ada Rendi yang sejak tadi berusaha mencuri percakapan dengan Delia tetapi terhalang oleh dua orang di sisinya. Sementara itu di sebelah Rei ada Hendra, Nira, dan anaknya Nira, Shafira atau biasa dipanggil Fira. Di barisan depan Yoshi ada Trio Koplak dengan beberapa teman dari kepolisian.

"Tunggu, kok Bu Nira bisa ada disini?" tanya Rima, yang sepertinya heran kenapa kali ini Hendra tidak sendirian.

"Nih, Hendra yang ngajakin. Karena aku enggak ada kerjaan hari ini, makanya aku ikut," jawab Nira.

"Pst, mereka kayak suami - istri ya, Hendra sama Nira itu?" bisik Rendi.

Yoshi, Delia, Rima, dan Damien berusaha untuk menahan tawa mereka karena pernyataan yang kesannya polos dari Rendi tadi. Bahkan, Rei yang posisinya agak jauh juga bisa mendengar perkataan Rendi tadi. Tak heran mereka hampir meledak dalam tawa, karena apa yang dikatakan Rendi itu memang ekspetasi setiap orang yang baru pertama kali melihat Hendra dan Nira bersama. Ekspetasi yang sangat diharapkan untuk menjadi nyata, kalau mau lebih tepatnya.

Entah Hendra dan Nira bisa mendengarnya atau tidak. Dari bagaimana respon mereka yang biasa saja, sepertinya mereka tidak mendengarkannya. Tapi, yang kita bicarakan ini adalah Hendra. Kita tidak akan tahu apakah dia sebenarnya mendengarkannya atau tidak.

"Sssh! Sudah mau mulai tuh!" ujar Rei.

Seketika ruangan itu langsung hening. Penghulu masuk ke dalam ruangan bersama dengan Pak Indra, disusul dengan wali nikah dari pihak Bu Risa. Mereka duduk di meja yang disediakan. Setelah pembukaan dan penyampaian segala macam hal yang menjadi tradisi, pengucapan ijab kabul segera dilaksanakan. Setelah merasa bahwa mentalnya siap, Pak Indra langsung menjabat tangan penghulu untuk melaksanakan prosesi ijab kabul.

"Saya nikahkan Indra Sutedja bin Azwar Rumansyah dengan Trisa Elevania binti Tri Hartono dengan mas kawin perhiasan emas senilai 500 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai," ujar si penghulu.

"Saya terima nikahnya Indra Sutedja bin Azwar Rumansyah dengan Trisa Elevania binti Tri Hartono dengan mas kawin perhiasan emas senilai 500 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai," sahut Pak Indra, dengan lancarnya mengucapkan perkataan yang sudah dilatihnya selama beberapa minggu.

"Sah?"

"SAAAH!!!" sahut semua orang yang ada di sana. Terutama Hendra, dia bisa dipastikan jadi yang paling nyaring di antara semua hadirin yang ada di sana.

Penghulu memegang mikrofon di tangannya, dan mulai membacakan do'a untuk kedua mempelai. Setelah do'a selesai dipanjatkan, masuklah ke sesi tukar cincin dan menanda tangani buku nikah.

Prosesi itu berjalan dengan lancar, dan kini Pak Indra baru saja selesai mengecup kening Bu Risa. Akad nikahnya berjalan dengan lancar. Tapi suasana yang khidmat itu seketika sirna dalam waktu beberapa detik

DOR! DOR! DOR!!!

Tiba - tiba ada peluru berterbangan ke arah mempelai pria dan mempelai wanita. Untungnya tak ada yang terluka karena semua sempat merunduk untuk menghindar.

Semua orang menoleh ke asal suara, dan beberapa orang langsung jadi panik karenanya. Dari arah pintu masuk, terlihat ada seorang penyerang misterius yang tiba - tiba muncul di antara para hadirin. Wajahnya tertutup oleh sebuah topeng hoki dan dia mengenakan pakaian serba hitam, serta berdiri menghadap ke arah kedua mempelai. Ditangannya ada sepucuk revolver yang moncongnya masih mengepulkan sedikit asap.

Beberapa orang terlihat kaget dan memucat, syok akan apa yang baru saja mereka lihat. Sementara itu yang lainnya mulai memutuskan untuk lari dari sana. Tapi si penyerang sepertinya tidak peduli akan orang yang mulai berlarian itu. Trio Koplak mengambil tindakan inisiatif untuk menyusul para hadirin dan menenangkan mereka. Pandangan si penyerang tetap tertuju kepada kedua mempelai yang ada di hadapannya.

Bu Risa beradu pandangan dengannya, dan sebuah ekspresi horor terlihat dari wajah si mempelai wanita setelah beberapa saat. Pak Indra memicingkan matanya, berusaha mencari tahu siapakah penyerang itu. Mata si penyerang mulai menyisir sekitarnya, yang tentunya membuat dia bisa melihat rekan - rekan Pak Indra yang masih ada di sana.

"Oh sialan. Apa lagi kali ini? Tidak bisakah kita hidup tenang, barang sedikit?" bisik Hendra.

"Bisa dipastikan pengacau," sahut Damien, juga dengan berbisik

"Sepertinya hanya satu orang. Ada ide kenapa dia bisa ada di sini? Dia tidak mungkin iseng untuk menghancurkan pernikahan orang yang tidak dikenal, kan?" tanya Yoshi.

"Sepertinya dia mengincar mempelai. Tidak ada alasan lain bagi kejadian semacam ini selain tujuan tertentu. Apalagi tadi tembakannya tertuju ke arah Pak Indra," ujar Delia.

Tangan si penyerang masih saja mengokang pistolnya ke arah Pak Indra. Hendra sejak tadi fokus memperhatikannya, mencoba menebak kalau - kalau dia akan melakukan tindakan tiba - tiba.

Dengan perlahan, tangan si penyerang merendahkan sasarannya, karena kedua mempelai kini berada dalam posisi berjongkok. Kedua mempelai tahu kalau mereka tidak bisa melakukan gerakan yang tiba - tiba atau si penyerang akan langsung menembak mereka.

Hendra bisa menangkap gerakan pelan si penyerang. Jarinya kini mulai bergerak untuk menekan pelatuk pistolnya. Dia menatap si penyerang. Hendra tahu betul apa yang akan terjadi setelah ini.

"Nah, itu tidak boleh dibiarkan terjadi," ujar Hendra dengan geram.

Jarinya semakin dekat dengan pelatuk, dan tak lama kemudian terdengar suara ledakan. Tanpa pikir dua kali, Hendra langsung menerjang semua peluru yang ditembakkan. Dia menjadikan tubuhnya perisai Pak Indra tanpa peduli terhadap beberapa peluru yang menembus tubuhnya. Hendra menghitung ada empat yang ditembakkan, dan itulah sisa dari isi revolvernya. Tiga bersarang di pahanya, dan satu di bahunya.

Sementara itu, Pak Indra mendekap Bu Risa dengan erat. Si suami melindungi istrinya dari serangan itu, kemudian dia melirik kalau Hendra kini menerjang peluru itu. Dalam hati, Pak Indra mengutuki dirinya karena dia tahu kalau Hendra akan melakukan hal segila ini.

Di sisi lain, Yoshi memutuskan untuk menerjang si penyerang dari arah samping. Dia berhasil menjatuhkannya dan menghancurkan susunan kursi yang tersedia dalam prosesnya. Setelah berhasil membuat si penyerang lengah, Yoshi mengambil dan melemparkan senjatanya menjauh. Si pria berusaha untuk melawan cekalan Yoshi dan menjauhkan berat badan Yoshi darinya.

Pergumulan terjadi di antara keduanya, dan Yoshi bisa menyentuh ujung dari topeng hoki si penyerang. Wajahnya mulai terbuka sedikit, menampilkan seorang pria paruh baya yang berusaha melepasan diri darinya. Delia baru saja ingin membantu Yoshi ketika si penyerang memberikan sebuah pukulan telak yang membuat Yoshi tersentak ke belakang.

Si pria menarik kembali topeng hokinya, dan berusaha berdiri secepat mungkin. Dia mendorong jatuh Yoshi yang masih kaget, kemudian mengambil senjatanya. Mengetahui isinya kosong, dia membawanya dan langsung saja berlari untuk kabur.

Rendi tidak tinggal diam. Dia berusaha mengejar si pria sebisa mungkin, sambil melewati beberapa hadirin yang masih ada di sana. Mereka berlari di sepanjang perumahan, hingga akhirnya di ujung jalan ada sebuah sedan hitam menunggu. Jarak mereka semakin tipis, dan si pria mencapai mobil itu.

Pintu mobil terbuka, dan bisa terlihat ada seseorang yang sudah menantikan di balik kursi kemudi. Si pria melemparkan dirinya sendiri ke dalam kursi penumpangnya dalam sekejap mata. Mobil itu langsung berdecit dan melaju menjauhi Rendi, bahkan sebelum pintu mobilnya bisa tertutup dengan sempurna.

Mobilnya pergi menjauh dengan cepat. Rendi berhenti untuk mengejar karena dia tahu kalau apa yang dilakukannya sia - sia. Dia memutuskan untuk kembali ke rumah Pak Indra untuk tindakan selanjutnya.

Sementara itu, Delia membantu Yoshi bangkit ketika Hendra jatuh ke lantai. Delia memastikan kalau tidak ada hal lain selain lebam di wajah Yoshi. Si pria hanya mengatakan kalau dia tidak apa - apa, kemudian mereka bergegas untuk membantu Hendra.

Tapi mereka kalah cepat dengan Nira. Ketika Hendra roboh ke lantai, Nira langsung bergegas ke arahnya, dan menahan pria itu, walau usahanya gagal. Pakaian Hendra yang dibanjiri darah menodai Nira, sementara itu kacamata Hendra terlepas dari wajahnya dan langsung jatuh ke lantai lalu pecah.

Sementara itu, putri Nira hanya bisa memandang ibunya saat melangkah ke arah Nira. Dia ketakutan, dan Rima yang ada di dekatnya tahu pasti karena si bocah menggenggam tangannya dengan sangat erat. Rima ingin membawanya ke luar, tapi entah kenapa Fira hanya berdiam di sana.

"Hendra!" seru Nira dengan histeris, lalu bersimpuh di sebelah Hendra, disertai air matanya yang mulai berjatuhan.

"Ni ... ra ..." sahut Hendra lemah dan dengan mata terpejam.

"Hendra! Buka matamu! Kumohon, bangun Ndra!" ujar Nira, dengan suaranya yang agak tercekat dan air matanya yang deras menambah dramatis suasana.

Hendra hanya memberikan sebuah senyuman lemah, "Hehe, maaf, kayaknya aku akan pingsan sebentar lagi deh."

"Kumohon, Ndra. Aku nggak mau kamu mati karena sesuatu yang bodoh seperti ini!"

"Aku memang bodoh, Ra. Mungkin kamu sering bilang aku bodoh karena sering melakukan hal seperti ini, tapi aku tidak mau melihat kebahagiaan orang lain dirusak, walau aku sendiri hampir - hampir tak pernah merasakan apa itu namanya "bahagia"."

"Pedulilah pada dirimu sedikit! Kenapa sih kamu selalu dengan mudah memberikan nyawamu pada orang lain seperti itu?"

"Aku tak peduli apapun yang terjadi padaku, asal semua orang, terutama yang sedang merasakan cinta, bisa bahagia. Seperti kamu. Kalau aku harus pergi sekarang, aku akan memastikan kalau kamu bahagia. Dan kurasa, ya. Kamu bahagia sekarang."

"Tapi aku nggak mau kamu pergi secepat itu, Ndra. Aku tidak yakin kalau aku akan bisa tetap merasa bahagia kalau kamu pergi dengan cara konyol seperti ini! Kumohon, bertahanlah ...." kata Nira, dengan air matanya yang kini mulai menetes ke tubuh Hendra.

"Jangan menangis, Ra. Aku ini manusia yang tak pantas untuk ditangisi, apalagi olehmu. Kalau memang harus, biarlah aku pergi ... sekarang juga tidak apa," ujar Hendra dengan lemah dan terkadang sedikit terputus.

Hendra mengatakannya sambil mengelus wajah Nira. Di akhir perkataannya, tangan Hendra jatuh terkulai. Sepertinya dia pingsan karena pendarahannya cukup parah. Tangisan Nira semakin menjadi, dan dia kini mengelus wajah Hendra dengan lembut.

"Tidak! Kumohon Hendra, bertahanlah demi aku!"

Tanpa tedeng aling - aling, Nira mendekatkan wajahnya dengan wajah Hendra dan mencium bibir Hendra dengan lembut. Dia tidak peduli pada banyak orang yang ada di dekatnya, yang lebih tepatnya memperhatikannya. Untungnya, yang tersisa di sana hanyalah rekan - rekan Pak Indra yang kini menatapnya sebelum memandang satu sama lain dengan ekspresi tidak percaya akan apa yang dilakukan oleh Nira.

"Kamu harus kuat, Ndra! Aku belum siap kalau harus kamu tinggalkan sekarang. Mungkin akan sulit jika aku harus hidup tanpamu. Aku ... aku belum berbuat baik padamu. Aku kadang jahat padamu. Aku belum pernah membalas budi baikmu yang selalu melindungiku, bahkan dengan mempertaruhkan nyawamu. Masih ada banyak hal yang belum bisa kuselesaikan denganmu, Ndra. Kumohon, kembalilah ...." ujar Nira sambil menggenggam tangan Hendra, dan terus mengucurkan air matanya dengan deras.

Rendi sudah kembali ke rumah Pak Indra, dan yang lainnya mendekati Hendra. Mereka melihat ke arah si pria pemberani, berharap kalau dia baik - baik saja. Yoshi bisa melihat hembusan napas dari Hendra, yang membuatnya lega. Kemudian Rendi berjongkok, dan menyentuh pergelangan tangan Hendra.

"Syukurlah, nadinya masih berdenyut," kata Rendi.

Delia sepertinya gerah akan keadaan dramatis nan mengharukan itu, sehingga dengan berang dia langsung berteriak. Di dalam dirinya Delia juga tidak ingin kalau guru kesayangannya harus mati sekarang, tapi jelas keadaan dramatis ini harus diakhiri.

"JADI, KALAU DIA MASIH HIDUP, APA YANG KALIAN TUNGGU?! CEPAT PANGGIL AMBULANS!!!" teriak Delia.

"Ada yang bilang ambulans? Mereka sedang dalam perjalanan kemari! Jadi kamu tidak perlu khawatir, Del. Begitu pula dengan polisi, mereka sedang dalam perjalanan kemari," kata Pak Bambang, yang kini memunculkan dirinya di ambang pintu.

Semua orang menarik napas lega. Kini Pak Indra dan Bu Risa sudah kembali berdiri. Pak Indra berharap kalau Hendra akan baik - baik saja, sama seperti harapan yang lainnya. Tapi rona wajah Bu Risa belum kembali dari warnanya yang semula setelah kejadian tak terduga tadi. Karena walau dia hanya bisa melihat matanya dan sedikit wajahnya ketika Yoshi bergumul dengannya, Bu Risa bisa mengenali siapa wajah yang ada di balik topeng itu.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top