Part 7. Sebuah Nama


Putri Yeva menatap wajahnya yang terbayang di cermin besar. Wajah yang halus dengan bibir merah alami. Cantik dengan anugerah bola mata berwarna zamrud persis ibunya. Rambut warna burgundy yang terlihat berkilau karena cahaya dalam ruangan menambah kesan aristokrat.

Tangan sang putri menyusuri garis wajahnya. Membelai kehalusan kulit itu. Seharusnya ia bahagia malam ini, karena esok ia akan pergi ke tempat yang ia impi-impikan sedari kecil. Istana raja Zarkan Tar. Namun, rasa bahagia itu pupus seketika. Tidak ada rasa kebanggaan lagi dalam dirinya.

Ia tidak bodoh untuk mencerna apa yang dibicarakan antara ibunya dan Anpa sang penyihir aneh itu.

Selama ini kebanggaannya menjadi teratai biru telah tumbuh begitu besar dari ia kecil. Doktrin terhadap Putri Yeva sang teratai biru bahkan membuat sang putri bebas melakukan apa saja di istana ini. Termasuk tindakannya yang membunuh ratusan dayang-dayang yang ia benci. Sang putri bahkan tak mempunyai rasa hormat terhadap ayahnya sendiri. Menjadi teratai biru berarti menggenggam seluruh dunia. Karena itu, ia berhak melakukan apa saja.

Namun, mendengar percakapan ibunya. Ia tahu, ia adalah palsu. Sang teratai biru palsu.

Tangan Putri Yeva bergetar ketika menyentuh wajahnya. Wajah ini bahkan palsu. Kulit halus ini palsu. Dan...kaki ini pun palsu. Sang putri menunduk menatap kedua kakinya yang sempurna. Tubuhnya gemetar mengikuti arah pikirannya. Menatap cermin kembali, ia seperti menatap wujud aslinya.

Wujud yang menjijikan. Bahkan ketika para dayang yang berada di dekatnya melihat akan gemetar ketakutan. Hal yang membuat putri Yeva membenci mereka semua. Hingga tangan dan hatinya gatal ingin menyiksa sampah-sampah itu. Tak sedikit dayang yang ia buat menjadi wanita cacat.

Pintu kamar Sang putri terbuka. Dua dayang yang menjaga pintu terlihat menunduk ketika Ratu Mazmar memasuki kamar anaknya.

Sang Ratu melihat putrinya yang terpekur menatap cermin. Ia berjalan perlahan menuju anaknya. Diletakkannya kedua telapak tangan halus itu di kedua bahu sang putri.

Merasakan belaian ibunya, Putri Yeva tersentak kembali sadar. Ia memandang ibunya dari bayangan cermin. Wajah sendu sang putri terlihat menyedihkan.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Ratu Mazmar.

"Nasibku."

"Kau terlalu banyak berpikir, Nak!"

"Ibu, bagaimana mungkin kau bisa santai mengatakannya?"

"Apa kau memikirkan tentang teratai biru? Kau tidak percaya bahwa kau adalah teratai biru?"

"Ibu..."

"Jika aku telah bersabda bahwa kau adalah teratai biru, maka kau adalah teratai biru, Yeva!" sentak ibunya membalikkan tubuh sang putri agar menatapnya langsung.

"Tapi...jika Yang Mulia Zarkan Tar mengetahui aku adalah palsu..."

"Dia tak akan mengetahuinya! Selama kau berhasil membunuh yang asli, kau akan menjadi yang asli. Dan kau harus bisa membunuhnya!"

"Ibu..."

"Anak selir terkutuk itu tak boleh menjadi teratai biru. Takdir besar itu milikmu, Yeva! Percayalah pada ibu, langit bahkan mendukung rencana kita. Itu artinya kau akan menjadi teratai biru, kau akan menjadi permaisuri Zarkan Tar, Ratu Negara Samhian."

Ratu Mazmar menatap anaknya dengan tajam. Tubuhnya bahkan gemetar. Rasa cemburunya kembali bangkit, meski telah lama selir Arneth telah tiada. Rasa cemburu itu tak pernah mati, bahkan sekarang semakin berkobar karena takdir besar yang langit limpahkan pada anak wanita jalang itu.

Tidak! Ia akan mengubah takdir itu. Anaknya lah yang pantas mendapatkan takdir besar untuk menguasai seluruh dunia ini.

"Yeva, yakinlah satu hal. Kau terlahir di bawah garis bintang Halianus. Aku mempertaruhkan nyawaku agar kau terlahir tepat pada waktunya. Yeva! Kau adalah takdir besar itu."

"Benarkah?" dengan sangsi Putri Yeva bertanya.

Ratu Mazmar meraih tubuh sang putri lalu dengan keras menarik dan merobek gaun yang menutupi bahunya.

"Lihatlah! Lihat!" Ratu Mazmar membalikkan tubuh anaknya menatap cermin. Terlihat pada bahu kanan sang putri terpatri sebuah tato teratai berwarna biru.

"Ini adalah tanda lahirmu, teratai biru. Kau adalah teratai biru, Putri Yeva!" suara Ratu Mazmar berkumandang di telinga gadis itu.

Sang Putri menatap bayangan wajahnya di cermin lalu berpindah pada bahu kanannya yang terpatri sebuah tato teratai berwarna biru.

Benar. Dia adalah teratai biru.

***

Kanna membuka matanya perlahan. Ia mengerjap kerjapkan kelopak matanya saat menangkap cahaya yang masuk ke matanya.

Harum bunga Mensori membuatnya nyaman untuk tetap bergeming menempelkan tubuhnya di tempat nyaman ini. Ia hampir menutup matanya kembali saat kemudian ia menyadari kelambu putih yang berhias ukiran-ukiran rumit nampak di matanya.

Kanna membuka matanya lebar-lebar. Ia kemudian bangkit untuk duduk serta memandang sekelilingnya.

Ia berada dimana? Ruangan ini sangat asing. Kamar yang begitu mewah dengan desain yang penuh bernuansa putih dan emas.

Kanna memeriksa tubuhnya yang telah berganti pakaian dengan sebuah gaun mirip dengan karagouna bernuansa putih dan emas. Meski sederhana gaun itu sangat pas di tubuhnya.

Perlahan Kanna menyingkap selimut berwarna emas itu lalu turun dari ranjang besar bak ranjang kerajaan. Ia terdiam lalu memandangi kembali ruangan kamar itu.

Apakah ini kediaman Zarkan? Bangsawan mana dia sehingga mempunyai kekayaan seperti kekayaan seorang Raja?

Melihat vas-vas bunga yang tertata apik dengan bunga Golden Mensori dan Mawar putih sebagai isinya. Kanna yakin sekali Zarkan merupakan anggota keluarga raja. Karena bunga mensori hanya boleh ditanam oleh istana Samhian. Kanna dulu pernah menemukannya ketika berburu di hutan. Hanya setelah itu, ia tak pernah melihat bunga itu lagi. Tak heran wangi tubuh Zarkan selalu diharumi bunga mensori jika dalam kamarnya saja ia menata sebanyak ini.

Bibir Kanna tersungging senyum kecil saat menghirup harum bunga Mensori. Senyum tersebut masih tersungging saat pintu kamar terbuka dan tiga orang dayang yang berpakaian putih dengan hiasan kepala khas kerajaan Samhian.

Salah seorang dayang yang memakai gelang hitam yang menandakan pangkat seorang kepala dayang maju mendekati Kanna. Senyum Sang dayang tersungging ramah membuat Kanna ikut membalas senyumnya.

"Nona Kanna, kami membawa sarapan untuk Anda. Mohon terimalah," ucap dayang tersebut dengan ramah.

Kanna mengangguk canggung. Ia tak terbiasa dengan pelayanan yang seperti ini. ia dan ibunya selalu memasak bersama-sama untuk sarapan ataupun makan malam. Rasanya ia tak pantas dengan pelayanan halus dari para dayang ini.

Melihat kecanggungan Kanna, sang kepala dayang segera meletakkan dua nampan yang berisi beraneka ragam makanan pada sebuah meja bundar yang tertata dengan vas berisi bunga golden mensori.

"Ini...aku tak mungkin habis memakannya, apakah kalian mau menemaniku?" tanya Kanna.

Ketiga dayang itu terbelalak terkejut penuh ketakutan, mereka bertiga secepatnya menundukkan kepala, "Maafkan kami, Nona! Kami tak berani," Ucap kepala Dayang dengan suara sedikit gemetar.

"Tapi..."

"Yang Mulia akan kembali kemari, silahkan Nona tunggu. Kami pamit undur diri." Ketiga dayang tersebut membungkuk hormat dengan salam khas kerajaan.

Kanna mengibaskan tangannya dengan canggung, "Bisakah kalian tidak menghormat padaku? Aku tak pantas diperlakukan seperti ini."

"Kami tak berani, Nona!"

"Mengapa? Apakah kalian diancam oleh Zarkan?"

Ketiga dayang tersebut membalalakan kedua mata mereka semakin terkejut. Gadis muda ini sungguh berani menyebut Sang Mahadiraja dengan namanya saja. Benar-benar gadis yang tak terdidik.

"Yang Mulia tak pernah mengancam kami, Nona! Harap Nona menjaga sikap kepada Yang Mulia Zarkan Tar," sahut kepala Dayang dengan mata menatap tajam Kanna.

"Apa maksudnya? Yang Mulia Zarkan...Zarkan...dia? Dia Sang Mahadiraja?"

Sang kepala dayang hampir menjawab pertanyaan itu saat kemudian pintu terbuka dan dimasuki oleh sosok mulia dengan jubah panjang berwarna emas.

Aura kuatnya membuat tiga dayang yang berada di depan Kanna gemetar. Mereka langsung beringsut menggeser tubuh untuk berdiri di pinggir ketika Sang Mahadiraja berjalan ke arah Kanna yang menatap pria itu dengan tak percaya.

Zarkan Tar mengamati Kanna dari atas ke bawah. Memeriksa beberapa perban yang menutupi luka gadis itu.

"Tinggalkan kami!" serunya dengan datar. Ketiga dayang yang menunduk langsung memberi hormat kemudian terburu-buru keluar dari ruangan.

Suara pintu tertutup menyadarkan Kanna akan tatapannya pada Zarkan Tar. Ia kemudian langsung menjatuhkan lututnya duduk bersimpuh.

"Yang Mulia!" suara Kanna gemetar.

Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin ia tak bisa menebak siapa pria ini, bahkan semua petunjuk sudah mengarah pada Mahadiraja Zarkan Tar. Anak panah emas, warna jubah emas, warna mata emas, harum mensori, dan...Zarkan. Sang Mahadiraja bahkan menyebutkan namanya tetapi ia tak pernah menyadarinya.

Pucat pasi wajah Kanna membuat Zarkan Tar khawatir. Pria itu kemudian ikut bersimpuh menahan tubuh Kanna. Kanna yang masih dalam suasana khawatir akan kemarahan Sang Mahadiraja beringsut melepaskan kedua tangan yang menahan tubuhnya.

"Maafkan hamba Yang Mulia. Maafkan Hamba tak mengenali Yang Mulia. Hamba...."

"Kanna!"

"Hamba Yang Mulia."

"Kanna!"

"Ham..hamba Yang Mulia!" suara kanna bergetar ketakutan.

"KANNA!"

"Maafkan Hamba Yang Mulia! Sungguh hamba tak mengenali Anda, Yang Mulia Zarkan Tar..."

"Kau menganggapku hanya sebagai rajamu?"

Kanna menganggukan kepalanya dengan sungguh-sungguh. Tak berani memandang wajah Sang Mahadiraja, Kanna tak melihat sorot terluka dari bola mata emas itu.

Zarkan Tar menghela napas. Ia kemudian membalikkan tubuhnya membelakangi Kanna.

"Kau butuh banyak istirahat, setelah memakan makananmu kau harus beristirahat kembali," ucapnya datar kemudian pergi meninggalkan Kanna kembali seorang diri.

Ketika tak merasakan aura agung pria itu lagi, Kanna baru berani mengangkat pandangannya. Ia menghembuskan napas yang semula ia tahan dengan hati-hati.

Menatap Zarkan Tar, hatinya penuh rasa aneh yang tak bisa ia tebak. Pria itu begitu mendominasi sehingga menolak perintahnya merupakan suatu hal yang sulit. Seandainya ia mengenalinya lebih awal, Kanna tak mungkin sampai sejauh ini membiarkan hatinya nyaman dengan kehadirannya.

Namun...

Siapapun tahu, bahwa angan-angannya tak pantas bahkan sekedar untuk memandang. Esok hari Kanna harus cepat pergi dari istana ini.

***

Ratu Mazmar membuka pintu kamar Raja Trev. Memasuki kamar tersebut ia mencium wangi Gaharu dari dupa yang tengah dibakar.

Perlahan ia berjalan dengan mata yang fokus menatap tubuh yang terlihat tertidur pulas. Wajah suaminya terlihat pucat karena sakit yang belum pernah mendapatkan obat yang tepat.

Sang Ratu mendaki undakan tangga menuju tempat tidur Sang Raja. Meskipun terlihat pucat wajah itu terlihat damai. Menatap suaminya, senyum Ratu Mazmar melebar dengan sinis.

"Apa kau melihatnya suamiku?"

"Aku memenangkan pertarungan ini. Kau yang tak berdaya, sangat menyenangkan hatiku."

"Suamiku, mari kuceritakan sebuah kisah...kisah indah tentang dua orang manusia yang saling mencintai."
Ratu Mazmar duduk di pinggir tempat tidur, tangan kirinya menyentuh sebuah cincin yang tersemat di jari manis tangan kanannya.

"Suatu hari, ada seorang pemuda dan gadis yang saling tertarik satu sama lain. Gadis bodoh itu memadu kasih tanpa menghiraukan masa depannya. Ia dan pemuda itu saling mencintai satu sama lain. Berjanji sehidup semati dan tak pernah berpisah."

Ratu Mazmar tersenyum memperlihatkan kecantikannya yang tak pernah berubah.

"Suatu hari, orang tua si gadis yang dimabuk cinta itu mengetahui jalinan kasih anaknya dengan pemuda yang tak mereka kenal. Mereka memisahkannya dengan berbagai cara. Bahkan mengusir pemuda itu dari kota di mana gadis itu tinggal. Gadis itu patah hati, ia ingin sekali menyusul pemuda itu. Mengikutinya pergi kemanapun."

"Namun suatu hari, hati yang luka itu sembuh karena munculnya pemuda lain yang merupakan kandidat suami pilihan orang tua si gadis. Gadis itu menerimanya dengan tulus hati, mencintainya, dan melupakan jalinan kasihnya dengan pemuda asing itu."

"Hati gadis itu kembali berbunga-bunga dengan pernikahan yang ia dambakan. Akan tetapi, betapa kecewanya ia saat mengetahui bahwa cinta suaminya bukan padanya."

"Segala cara ia lakukan agar sang suami melihatnya. Sampai kemudian ia menerima sikap suaminya. Tak mengapa jika suaminya mengabaikan keberadaannya, asalkan hanya dia yang menjadi istrinya. Namun suatu hari, suaminya memboyong seorang wanita asing. Wanita terlarang yang seharusnya tak ia bawa ke kediamannya. Apa kau tahu bagaimana hancur perasaan istrinya?"

Ratu Mazmar tertawa terbahak-bahak. Air mata meleleh dari sudut kedua kelopak matanya.

"Ia gila. Istrinya menjadi gila."

"Lalu, kisah lama sang istri kembali terbuka. Ia bertemu kembali dengan kekasihnya yang dulu. Ia bahagia, tak peduli lagi dengan suami dan selirnya. Asalkan ia bahagia dengan kebahagiaannya sendiri."

"Sampai kemudian...hubungan cinta itu semakin besar dan mendalam. Pria masa lalunya berniat menikahinya, merebut wanita bersuami yang tak mencintai istrinya itu. Tetapi, tak mungkin ia merebut wanita bersuami. Hukum alam akan bertindak. Bahkan mereka akan dikutuk ribuan tahun lamanya. Tahukah kau? Ia membuktikan keseriusannya dengan menguatkan pasukannya."

"Ya. Ia adalah seorang raja sebuah negara yang tidak makmur. Namun demi merebut seorang wanita bersuami, ia mampu melebarkan kekuatannya. Cara agar ia dapat merebut wanita itu hanya ada satu jalan. Mendapatkan kekuasaan yang tak tertandingi."

"Ia harus berhasil merebut sebuah kekuasaan yang tak bisa ditandingi negara manapun. Apa kau bisa menebaknya?"

Ratu Mazmar terkekeh, "ya dengan menaklukan dia, Zarkan Tar. Pria itu harus menaklukan Zarkan Tar. Merebut kekuasaannya. Hanya dengan jalan itu, ia bisa merebutku darimu, Suamiku!"

"Tapi...Zarkan Tar! Iblis itu, iblis itu membunuhnya! DIA MEMBUNUHNYA!!!" Ratu Mazmar menjerit dengan mata memerah. Giginya bergemelutuk menahan kebencian yang membuncah di hati.

"DIA MEMBUNUH KEBAHAGIAANKU!!!" jeritnya seakan telah gila.

"Karena itu...aku harus membunuhnya kembali. Kekasihku, Yaves, ia tidak akan tenang jika iblis yang membunuhnya belum mati. Aku akan membunuhnya. Aku berjanji, aku akan membunuhnya!"

Ratu Mazmar tertawa dengan air mata berderai. Tawanya begitu menyedihkan. Sekali-kali ia menjerit lalu kembali tertawa.

Masih dengan terkekeh sisa tawanya. Ia menatap suaminya dengan sinis.
"Ada satu rahasia yang tak pernah kau ketahui, suamiku," desis Ratu Mazmar.

"Yeva, bukanlah anakmu. Dia adalah buah cinta dengan kekasihku, Yaves," bisiknya di telinga Raja Trev.

"Aku akan merebut pulau suci ini. Yaves akan bangkit suatu hari nanti. Aku dan dia akan menguasai pulau suci ini. Menyingkirkanmu, juga membunuh anakmu."

"Ya anakmu dan Arneth. Dia masih hidup, tapi akan segera mati."

Ratu Mazmar terkekeh kembali, lalu berbalik menuruni undakan tangga. Masih dengan tawa gilanya ia meninggalkan ruangan tersebut. Tak ia sadari, jemari tangan sang Raja berkedut lalu mencengkeram membentuk sebuah kepalan.

***

"Ia akan meninggalkanmu. Kau tak menahannya?" tanya Zeon ketika melihat Zarkan Tar begitu tenang menatap sebuah buku laporan dari para petinggi kerajaan di depannya.

"Dia punya hak."

"Apa kau yakin?" tanya Zeon menyelidik.

"Kau harus kembali bekerja, Zeon." Suara dingin itu mendesis. Zeon mengangkat sudut bibirnya tersenyum miring.

"Aku menyelidiki Kanna."

Zarkan Tar tak memandangnya sama sekali. Masih tetap fokus terpekur pada laporan-laporan dalam buku yang ia baca.

"Kanna mempunyai seorang kekasih."

Tangan Zarkan Tar yang sedang memegang buku berubah menjadi kaku. Bibirnya mengerat ketat. Namun, beberapa saat kemudian ia kembali menormalkan sikapnya.

"Itu bukan urusanku. Ia berhak berkasih dengan pria lain," ucapnya lagi.

Senyum licik Zeon semakin melebar, "Kanna meminta tolong padaku, apa kau tahu? Ia memintaku mengirimkan surat pada pria yang bernama Saht dari desa Valla yang bekerja di sini sebagai pengawal. Isi surat itu, Kanna menginginkan Saht menjemputnya di taman belakang kerajaan, kau tahu taman tersembunyi itu penuh pesona untuk dua insan yang saling mencintai. Kanna benar-benar memilih tempat yang tepat."

"Kupikir, tulisan Kanna begitu halus, ia bahkan menyelipkan sebuah bunga dalam surat itu. Dan...."

"SSWWOOSSHHH!"

Sapuan angin menerpa Zeon saat jubah emas Sang Mahadiraja berkelebat cepat hampir menerjangnya. Suara pintu yang terbuka kemudian tertutup dengan keras menandakan Sang Raja telah meninggalkan aula singgasananya dengan sangat cepat.

Senyum Zeon merekah indah menampilkan sisi pria tampan yang dapat menggetarkan hati gadis-gadis. Senyum yang akan membuat para dayang-dayang berani bertengkar hanya demi menikmati senyumannya.

Senyum indah yang mengandung kelicikan tanpa batas.

***

Kanna berjalan sambil sesekali mengamati sekitarnya dengan takjub.

Ia akan pergi dari istana ini. Rasa rendah dirinya semakin bertambah kuat saat beberapa kali mendengar pembicaraan para dayang tengah membicarakannya.

Tentu saja. Wanita tanpa kekuatan sihir apapun berani tidur di kamar seorang raja. Bukan raja biasa, dia Sang Mahadiraja.

Bagaimana mungkin Kanna dapat menerima perlakuan ini semua. Sudah ditolong dan terhindar dari para pembunuh itu saja ia sudah sangat bersyukur. Ia tak ingin menorehkan sebuah cacat pada nama besar Yang Mulia Zarkan Tar.

Benar, keputusannya sudah benar. Ia harus pergi dari sini.

Pintu taman kerajaan telah terlihat di matanya. Setelah melintasi pintu taman ini, menurut Tuan Zeon, ia akan menemukan jalan yang menuju gerbang belakang kerajaan. Beruntung sekali ia menemukan orang yang tepat untuk Kanna tanyai. Kanna berjanji akan selalu berterimakasih pada Tuan Zeon yang sangat baik padanya.

Jujur dari hati ia sangat ingin bertemu Sang Mahadiraja tapi Kanna harus menahannya. Ia hanya menitipkan surat yang berisi ucapan terimakasih pada Tuan Zeon untuk disampaikan pada Yang Mulia. Tugas-tugas kerajaan pasti telah menyibukkannya oleh karena itu Kanna tak ingin mengganggunya lebih jauh.

Senyum manisnya melekat erat di bibir bak cherry merah saat membuka pintu taman. Tak sadar seseorang berjubah emas telah berdiri menantinya di dalam.

Ketika kelinci memasuki jebakan, akan sulit ia melompat keluar.

Dalam sebuah ruangan penuh buku-buku, Zeon menatap sebuah kartu ramalan di depannya. Nama Kanna muncul secara tiba-tiba membuat matanya terbelalak. Tangannya gemetar menarik kartu itu lebih dekat. Nama itu tertera dengan jelas. Matanya nyalang memandang pintu.

Kanna. Dia kah orangnya?

Bersambung....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top