Part 32. Cygnus Domain


Meraung-raung suara Gort ketika mendapat serangan terus menerus dari bangsa Nev. Mereka mencoba melawan akan tetapi bangsa Nev bukan manusia biasa. Darah iblis mereka merupakan kutukan bagi para Gort.

Satu per satu Gort tumbang. Dari ribuan Gort kini tersisa hanya 300 pasukan dengan tiga pemimpin besar. Menaklukan Gort biasa akan sangat mudah. Namun, berbeda dengan pemimpin Gort, mereka merupakan monster abadi yang telah mendapatkan karunia dewa api.

Komandan bangsa Nev, Khanum, menebas leher salah satu Gort yang akan menyerang Ken dari belakang. Terengah-engah Ken memandang Khanum dan mengangguk sebagai tanda berterimakasih. Khanum membalas anggukan kemudian berbalik membantu pasukannya kembali.

"Kau tak apa?" Trev mendekati Ken.

Ken mengangguk kemudian kembali mengangkat pedangnya, tapi Trev menghentikan gerakan tersebut. "Turunkan senjatamu, dan temui – putriku." Suaranya terbata-bata seakan tak yakin namun juga cemas. Ken memandang ke arah benteng di mana Kanna berada. Mempertimbangkan segalanya, ia kemudian mengangguk.

Seperginya Ken dengan memacu salah satu kuda, Trev menatap ke arah benteng. Ingin sekali beranjak ke sana, tetapi ia sudah berjanji akan menumpas semua masalah yang memberatkan putrinya ini. Kembali berbalik ia langsung menyerang Gort dengan penuh tekad kuat.

Sarusa menatap peperangan antara Gort dan bangsa Nev dengan geram. Tangannya yang memegang tali kekang kuda memutih akibat cengkeramannya yang terlalu kuat.

"Siapa yang membawa bangsa terasing itu? Mengapa mereka membela Samhian?" geramnya hingga hanya suara derak gigi yang terdengar.

Rederick mendekat akan tetapi matanya tetap fokus ke medan perang. "Di sana! Sepertinya ada seseorang yang familiar. Tapi, hamba tak mengingatnya."

"Kita tak bisa membiarkan mereka menang. Cepat kirim utusan pada Yaves. Kita membutuhkan pasukannya!" teriakan Sarusa membuat dua orang prajurit berkuda mengangguk lalu bergerak pergi.

"Samhian! Aku tak akan membiarkan kalian menang. Kedua putra dan putriku mati sia-sia karena raja kalian. Karena itu, kalian tak akan pernah kubiarkan tenang dalam hidup ini."

***

Kanna mengusap air matanya saat Paman Ken datang. Melihat tak ada luka pada tubuh ayah Red dan Merine membuat Kanna menghela napas lega. "Syukurlah, Paman baik-baik saja."

"Aku bersyukur kau dan anak-anakku baik-baik saja. Maafkan keterlambatan kedatangan kami."

"Tidak, Paman! Kau tak pantas menyalahkan dirimu, Samhian lah yang berhutang banyak padamu. Kau membawa bangsa yang hebat untuk menolong kami."

"Kanna, sebenarnya ...."

"Ayo kita temui Merine. Dia terluka," sahut Kanna tanpa memberi kesempatan pada Paman Ken untuk berbicara kembali. Melihat ayah Merine, membuat tanggungjawab Kanna semakin tinggi akan keadaan Merine. Ia harus memberitahu Paman Ken.

"Apa yang terjadi?" Ken terhenyak akan berita yang diberitahu Kanna.

Kanna menelengkan kepalanya. "Merine terluka. Dan sekarang belum sadar. Ayo ...." Kanna langsung mengajak Paman Ken menuruni benteng kemudian memasuki istana dengan tergesa. Perang yang berkecamuk membuatnya tak sempat untuk mengecek kondisi Merine.

Setiba di sebuah kamar perawatan, Kanna membuka pintu dengan cepat. Terlihat di sana, ranjang berbentuk lingkaran dengan tirai berwarna putih terlihat sepi dengan tubuh Merine yang terbujur tak sadarkan diri. Kelopak mata gadis itu masih terpejam. Bahkan jika suara perang dan getarannya membuat panik seisi istana. Merine terlihat begitu tenang, hingga membuat Kanna semakin takut.

"Merine! Anakku!" Ken berderap menyongsong ke arah Merine. Tangannya gemetar tapi tak berani menyentuh Merine meski terulur. Ia takut akan menyakiti putrinya. Berbalik ia kemudian menatap Kanna.

"Bagaimana keadaannya?" Ken mengelus dahi Merine begitu lembut.

Kanna menghela napas kemudian berdiri sejajar dengan Ken. "Dokter istana mengatakan pendarahannya telah berhenti. Kita hanya berharap, Merine akan sadar secepatnya."

Ken mengangguk. Ia kemudian mendudukan diri di samping anaknya. Perlahan sebuah cahaya kuning pucat keluar dari tangannya lalu masuk ke dahi Merine.

Melihat keadaan Merine yang membaik Kanna menyunggingkan senyum. Garis bibirnya melebar dan sorot matanya kembali tenang. Dengan adanya Paman Ken, ia yakin Merine akan cepat pulih.

Kanna hendak berbalik meninggalkan dua orang ayah dan anak itu saat sebuah cahaya biru memasuki pupil matanya. Ia sigap menatap Merine tiba-tiba, lalu beranjak ke arah sisi lain gadis tak sadarkan diri itu.

Sebuah bola kristal biru berkelip dengan cahaya biru terang. Entah mengapa, Kanna merasa tak asing dengan bola kristal ini. Perlahan tangannya terulur lalu mengambil bola kristal tersebut yang mencuat keluar dari saku kilt Merine.

"Ini?! Bagaimana bisa berada di tangan Merine?" Ken tiba-tiba berdiri. Sorot matanya terpaku pada kristal biru yang berada di tangan kanan Kanna.

"Paman, kau tahu apa ini?"

"Ini ...." Tubuh Ken gemetar. Ia menatap Merine dengan cemas.

"Ini adalah kristal alam semesta." Ken menghela napas. Tatapan matanya menyibak kejauhan seakan berkelana pada suatu masa yang lain.

"Ayahku dulu merupakan penjaga kristal Merah. Kristal kematian, kami klan penyihir hitam adalah satu-satunya klan yang dipercayai untuk menjaganya. Menurut cerita turun temurun, dulu ketika belum terciptanya dunia ini, Dia yang disebut Sang Esa memiliki tiga kristal. Alam semesta, jiwa, dan kematian. Kristal alam semesta berwarna biru, kristal jiwa berwarna hijau, dan kristal kematian berwarna merah. Tiga kristal tersebut merupakan cikal bakal terciptanya jagat raya ini. Ketika Gartan terbentuk, tiga kristal ini ditempatkan di suatu tempat yang terpisah. Klan penyihir hitam menjaga kristal merah, namun dua kristal yang lainnya tak pernah diketahui keberadaannya. Hingga saat ini, aku melihat salah satunya."

"Namun, bagaimana mungkin Merine memiliki kristal ini?" Ken menatap anaknya yang masih terpejam. Sedangkan Kanna menatap kristal biru itu dengan kening berkerut.

"Apakah kristal merah masih ada di pihak klan penyihir hitam?" Kanna bertanya tiba-tiba. Ken menatap wajah ratu Samhian tersebut dengan putus asa.

"Kristal merah dicuri ketika aku masih kecil. Entah siapa pencuri itu, tak ada jejak sama sekali."

"Karena hal itu lah, klan penyihir hitam mengalami kemunduran. Ayahku dihukum, dan kekuatan sihirnya dihilangkan. Setelah kematiannya, aku dan Ben berusaha menyelidiki semua hal yang menimpa kami. Namun, ketika penyelidikan mengarah ke klan penyihir putih. Aku dan Ben mengalami kecelakaan dan berpisah. Tak ada hasil dari penyelidikan kami."

Kanna menatap kristal di tangannya. Cahaya biru yang berkelap-kelip tersebut seakan menyedot semua perhatian Kanna.

***

"Apa yang kau inginkan sebenarnya?!" Calasha memegang dadanya menahan rasa sakit akibat desakan kekuatan Cygnus.

"Jika kau melawanku hanya karena ingin menghentikan semua perbuatanku, aku tak akan pernah mempercayai itu."

Pria remaja di depannya itu menyeringai, "Kau memang saudaraku, Calasha. Sangat pengertian terhadap diriku." Cygnus menatap mata Calasha dengan dalam, "pertaruhan," sebutnya.

"Apa yang kau ingin pertaruhkan?" Calasha membentak.

"Kristal Jiwa." Dengan enteng Cygnus memainkan kuku-kuku jarinya.

"Kau!!!" wanita itu meraung dengan mata melotot.

"Hahahahaa ... Calasha, tak perlu sekaget itu. Sudah tugasku mengumpulkan semua kristal-kristal tersebut."

"Sang Esa tak pernah memerintahkanmu! Ketentuan selama ini, ketiga kristal tak bisa dipersatukan. Gartan akan kiamat!"

Cygnus tertawa. Tangannya bertepuk riuh sambil mengangguk-anggukan kepala.

"Kau!!!" Calasha kembali berteriak, namun kemudia terdiam. Ia melotot ngeri menatap kedua pupil Cygnus.

"Kau! Kau akan menghancurkan Gartan?" ucap Calasha tergagap. Ia menatap ngeri kedua mata Cygnus. Tubuh remaja halus di depannya terdiam kaku.

Perlahan, tubuh remaja Cygnus terselimuti aura kabut putih pekat lalu mengubah dirinya menjadi sosok pria dewasa yang sangat tampan. Sosok asli dirinya.

"Kau berencana memusnahkan para dewa?"

Cygnus menyeringai sinis. "Kau benar, Calasha!"

"Aku ingin membentuk dunia baru. Dunia di bawah kendaliku satu-satunya. Tak ada dewa, tak ada ketamakan, tak ada perang. Dunia damai yang indah."

"Cygnus," lirih Calasha menggelengkan kepalanya, "jangan lakukan itu, Cygnus!" lanjutnya.

"Calasha. Mungkin ini terlihat kejam, tetapi Gartan telah lemah, sudah ratusan tahun lalu dunia ini telah melemah. Bahkan mungkin Sang Esa telah meninggalkan kita. Tidak kah kau sadari banyak ketimpangan besar akan tugas para dewa. Iri hati, dengki, ketamakan, serta sifat negatif lainnya. Sifat-sifat para dewa tak lagi mencerminkan tugas mereka. Gartan telah menua, ia lemah dan akan terseret gelombang pemusnahan masal. Aku tak bisa membiarkan semua ini."

"Aku lah pencipta Gartan, aku menciptakan dewa-dewi dalam tugasnya masing-masing. Aku menciptakan manusia-manusia dengan segala kekuatannya. Aku memberikan anugerah tak terbatas untuk mereka mengelola semua hal yang kuberikan pada Gartan. Namun, rasa syukur mereka sangat tipis."

"Kuberikan sifat cinta kasih, kuberikan sifat saling menyayangi, tapi ... semua rasa itu telah menghilang perlahan dari hati mereka. Jadi, katakan Calasha, untuk apa aku harus meneruskan ini semua jika pada akhirnya Gartan akan musnah karena kalian. Para dewa dan manusia yang terus menerus mengagungkan kekuatan dan peperangan!"

"Kau! Sebagai dewi kehidupan, tak menyadari tugasmu. Kau sebagai dewi tertinggi, menyalahgunakan kedudukanmu. Mengendalikan setiap pikiran dewa-dewi, mengendalikan nasib mereka, merubah takdir mereka. Dan, kau tak pernah merasa bersalah telah melakukannya."

"Calasha, hukuman apa yang pantas untukmu? Aku selalu bimbang dengan semua perbuatanmu. Itu lah kelemahanku. Karena kau saudaraku, aku selalu menunda semuanya. Sampai akhirnya, semua tak bisa tertolong lagi."

"A—apa maksudmu? Apa yang tak tertolong lagi?"

"Aku selalu berharap kau sadar dengan semua tindakanmu, akan tetapi, kau terlalu jauh bertindak hingga membangkitkan sesuatu yang telah terpenjara ribuan tahun lamanya."

"Apa? Apa maksudmu, Cygnus?" Calasha gemetar. Hatinya dicekam ketakutan besar.

"Ketika kau mengganti jiwa Kanna, tanpa sadar kau telah membuka segel pertama. Apakah kau lupa larangan bagi kaum dewa, kami terlarang untuk memasuki tubuh fana seorang manusia?"

"Lalu, ketika kau mencoba membangkitkan Agra Tar, kau merapalkan mantra-mantra neraka sebagai pembangkit roh, dan itu kesalahan terbesarmu. Kau telah membuka segel kedua."

"Kau berpikir telah mengendalikan Atheras di bawah kuasamu, tanpa sadar kau lah yang ia kendalikan."

Calasha terhuyung lalu terduduk dengan tubuh bergetar sepenuhnya. Ia menyadari sekarang, Atheras lah yang selalu memberikan petunjuk-petunjuk terhadap apa pun. ia berpikir dewa kematian itu lah yang selama ini menjadi kaki tangannya, tapi tidak. Calasha lah yang telah menjadi pion utama dewa tersebut untuk membuka segel iblis ribuan tahun lalu. Hanya dewa-dewi tertinggi lah yang dapat membuka segel itu.

"Apa yang telah kulakukan? Apa yang ...." Belum sempat Calasha meneruskan kata-katanya, pintu terbuka dan sosok Sautesh memasuki ruangan dengan tergesa-gesa.

"Yang Mulia," sapanya mengangguk pada Cygnus. Cygnus menatapnya dengan pandangan bertanya.

"Ada apa?"

"Hamba telah menuju ke Margotian, gunung yang memerangkap Iblis Astaroth. Anda benar, Atheras berniat membuka segel terakhir."

Cygnus mengepalkan kedua tangan di belakang punggung. Sedangkan Calasha bergerak bangkit dengan perlahan. Sautesh tak memandang atau menyapa sang dewi sama sekali, wanita itu lalu menyimpulkan bahwa dewa takdir buruk telah mengetahui segalanya.

"Calasha, serahkan kristal hijau yang kau jaga!"

"Cygnus, jika kau menyatukan seluruh kristal, Gartan akan meledak. Aku tahu kau sangat mencintai Gartan, jadi jangan lakukan ini." Calasha menangkupkan tangannya, "kumohon!"

"Tak ada jalan lain Calasha. Iblis itu hanya dapat ditaklukan oleh sang esa. Dan sang esa tak diketahui keberadaannya. Mencarinya sama halnya dengan kita menyia-nyiakan waktu kita."

"Iblis akan dibangkitkan Atheras, Calasha!" tegas Cygnus.

Kedua mata Calasha berkaca-kaca. Ia memang selalu bertindak semena-mena, tapi ia sangat mencintai Gartan dan segala kehidupannya. Calasha menggelengkan kepala kemudian menghapus tangisnya.

"Ada satu cara, Cygnus!"

Cygnus terdiam, begitu pula Sautesh. Melihat keduanya tak menyanggah ucapannya Calasha menghela napas.

"Kanna. Bukankah kau menciptakannya dengan satu tujuan ini?"

Cygnus menatap ragu pada Calasha. Namun, ia kemudian menggeleng. "Aku tak bisa."

"Kau menciptakannya dari inti kristal biru, sama halnya dengan kita berdua. Kau memberikan inti itu pada jiwanya. Cygnus, hanya Kanna yang bisa."

"Calasha, kita berdua telah merenggut semua yang ia miliki. Ibunya, ibu angkatnya, lalu ... suaminya. Dan sekarang, haruskah kita meminta ia mengorbankan nyawanya?"

Cygnus memejamkan mata. Helaan napasnya sangat berat. "Jika memang harus mati, maka seluruh dunia ini lah yang harus mati."

"Cygnus ...."

"Tidak Calasha!" ia menatap kedua mata sang dewi, "terkecuali ia menyerahkan diri, aku tak bisa memaksanya."
***

Gort terakhir meledak dengan darah hitam busuk yang menguar ke udara. Peperangan dengan para Gort berakhir. Pasukan Valia yang berada di ujung medan perang telah bersiap maju dengan bantuan pasukan Mayuta. Bahkan komandan perang Mayuta, dilakukan oleh Raja Yaves sendiri.

Di seberang sana, pasukan bangsa Nev berbaris rapi. Mereka masih tampak bersih meski memberantas ribuan Gort. Tatapan datar mereka tak acuh terhadap pasukan Valia. Sang komandan, Khanum, berdiri paling depan beriringan dengan Raja Trev.

"Pasukanmu membelot?" tanyanya sambil melirik Trev. Trev hanya tersenyum simpul sambil tetap menatap ke depan.

Di atas benteng, Kanna telah kembali. Kondisi saat ini belum sepenuhnya terkendali. Masih ada pasukan lain yang akan menyerang mereka. Bangsa Nev hanya berjumlah 1000 pasukan, sedangkan gabungan Valia dan Mayuta mencapai 4000, juga ... ditambah pasukan Pulau Suci yang berjulah 2000. Samhian, masih kalah jumlah. Karena sebagian pasukan sedang menahan pasukan pemberontak di sebelah barat.

"Yang Mulia Ratu. Apakah pasukan bala bantuan kita akan tetap membantu menyerang pasukan Valia?" Red bertanya dengan penasaran.

Kanna tidak menjawab karena suara terompet perang negeri Valia dan Mayuta saling bersahut-sahutan. Derap kaki kuda berlari saling berkejaran membawa panji-panji kebesaran.

Di depan pasukan bangsa Nev, Raja Trev mengangkat tangannya yang menggenggam sebuah pedang perak. Sebuah tanda untuk bersiap-siaga. Seluruh pasukan kembali menyiapkan panah masing-masing di baris depan.

Lalu, terompet lain menyahut dari sebelah timur. Pasukan berjubah putih dengan panji berlambang Pulau Suci datang.

Sarusa tertawa terbahak-bahak. "Sekarang mereka baru bergerak, ini mengobati kekecewaanku pada pasukan Pulau Suci itu. Kukira mereka ...."

"Mundur!!!" teriakan Rederick membuat Sarusa terdiam. Ia menatap tak percaya akan kepanikan yang saat ini terjadi.

"Bagaimana mungkin?!" sergahnya ketika melihat pasukan Pulau Suci yang di pimpin Issac menyerang pasukan Valia dan Mayuta dari jarak dekat. Semakin kocar kacir saat serangan panah juga dilayangkan pasukan bangsa Nev. Semua pasukan Valia dan Mayuta seperti ikan yang terperangkap dalam terumbu karang. Tak bisa bergerak juga tak bisa melawan.

Yaves melotot marah ketika pasukan pulau suci menebas prajuritnya yang terkenal tangguh tersebut. ia kemudian melompat dan menyerang pasukan pulau suci satu per satu.

Melihat Yaves yang bergerak memasuki pertempuran membuat Trev geram. Menarik kekang kudanya ia kemudian memacu mendekati keberadaan Yaves.

Yaves yang tengah tertawa kemudian memutar arah kudanya ketika melihat Trev yang mendekati dirinya. Aksi pengejaran terjadi. Kekang kuda milik Trev dieratkan tanda agar kuda semakin cepat melaju. Beberapa kali tangannya mengayun dan melemparkan bola sihir berwarna hijau. Sama halnya dengan Trev, Yaves pun melakukan hal serupa. Ia mengangkat tangannya lalu sebuat tombak api keluar dan dilemparkan ke arah Trev. Berulang-ulang dengan berbagai bentuk senjata ia kirimkan agar melukai Trev.

Raja Trev kemudian berdiri di atas punggung kuda lalu melompat dan meraih Yaves. Mereka berdua terjatuh kemudian saling memberikan pukulan.

Yaves tertawa gila setiap pukulan Trev mengenai wajahnya. Seakan tak merasakan sakit pria itu menatap Trev dengan pandangan mengejek.

"Hanya seperti ini?" Yaves terkikik. Ia kemudian mengangkat kaki kirinya dan menendang Trev dari belakang punggung pria itu. Berganti posisi, Yaves mengirimkan pukulannya ke wajah Trev. Namun, tak sampai pukulan itu mengenainya sebuah tendangan mengenai Yaves.

Pria itu tersungkur lalu menoleh pada sosok wanita yang menendangnya.

"Kau!"

Wajah Mazmar pucat dengan mata yang kuyu memerah akibat tangis terus menerus. Seakan tak ada lagi ketakutan wanita itu mengacungkan pedangnya.

"Aku melakukan ini untuk putriku. Bebaskan dia! Bebaskan!" jeritnya menggila.

Yeva terluka parah, dari dadanya tak berhenti keluar darah merah. Hal yang membuat Mazmar tak bisa lagi mentolerir perbuatan Yaves.

"Dia anakmu, tapi kau berniat membunuhnya." Mazmar terisak. Sedangkan Yaves hanya mengerling sinis, pria itu perlahan bangkit lalu bertepuk tangan.

"Suami istri yang sangat kompak." Ia tertawa.

"Mazmar, apa kau pikir dengan melakukan hal seperti ini Trev akan kembali bersamamu?" Yaves menggelengkan kepalanya.

"Aku melakukan ini untuk diriku sendiri. Aku yang membangkitkanmu, maka aku pula yang akan membunuhmu!"

"Oh, selayaknya kau bisa menggunakan kekuatanmu?" Yaves kembali tertawa.

Di sisi lain, Trev hanya memandang dua orang sepasang kekasih itu dengan dingin. Tak ada raut emosi apapun. Hanya dingin. Ia tak akan pernah mempercayai Mazmar, begitu pula dengan tingkahnya kali ini.

"Trev, dia membunuh Yeva. Dia, dia ...."

"Aku tak ada hubungannya denganmu. Bahkan, aku ingin membunuh kalian berdua bersamaan."

"Trev –"

Yaves tertawa dengan gila lalu secepat kilat ia kemudian mencengkeram leher Mazmar. Mazmar berteriak dengan megap-megap, mata Yaves melotot kejam dengan pupil hitam yang membesar perlahan kemudian menutupi semua warna putih bola matanya.

"Mazmar! Kau berani mengkhianatiku dan mencoba mencari pertolongan Trev. Kau berani ...."

"UUKKKHHH!"

"Aku akan memusnahkan kalian berdua! Kalian harus mati!" Yaves berteriak kemudian kilat halilintar keluar dari tangannya.

Mazmar terbelalak ngeri dan ketika ia semakin ingin melepaskan diri, cekalan tangan Yaves semakin kuat. Yaves tertawa. Tak ia hiraukan wajah Mazmar yang pucat kehabisan napas, ia semakin menguatkan sihirnya lalu mengarahkan tangannya mencengkeram kepala Mazmar.

Tubuh Mazmar bergetar seakan tersengat sesuatu yang dapat merontokan tulang-tulangnya. Mata wanita itu melotot terlihat kesakitan serta tubuhnya seakan terserap sesuatu hingga menjadi kering. Melihat Mazmar dalam kondisi tersebut, tak ada rasa kasihan dalam diri Trev. Sang raja segera mengangkat pedangnya lalu dengan sinar hijau yang menyelimuti pedang itu Trev menusuk tepat pada punggung Yaves.

Teriakan Yaves menghentikan semua perbuatannya. Mazmar terlepas dan terjatuh ke rumput. Tubuhnya bergetar dan berguling-guling akibat efek kekuatan Yaves. Sedangkan Yaves berbalik dengan tertatih karena tusukan pedang di punggungnya. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Trev langsung menyerang dengan pukulan yang membuat seluruh tubuh raja Mayuta terbakar.

Mazmar mengulurkan tangan ingin memanggil Trev. Namun, suaranya seakan habis. Ia lalu merangkak dengan perlahan. Tekad di matanya begitu kuat agar Trev mendengar ucapannya.

"T—Trev," lirih ia ulurkan tangannya memegang salah satu kaki sang raja ketika Trev akan pergi.

"Tolong ... tolong Yeva! Kumohon, kau ... kau bisa membunuhku sekarang juga, tapi tolong Yeva. Dia tak bersalah, aku mohon!"

Trev hanya menatap datar istrinya itu, tak ada jejak emosi apapun. Perlahan ia berjongkok. Mazmar terisak. Kulitnya mengering tipis hanya tinggal kulit dan tulang. Ia tahu, hidupnya pasti tak akan lama lagi. Namun, mengingat Yeva, Mazmar akan berusaha sedikit lagi memohon belas kasihan Trev.

"Yeva ... Yeva ..." suaranya serak tetapi terus menerus menyebut nama anaknya. Trev menghela napas kemudian meletakkan tangannya di dahi Mazmar. Seketika tubuh Mazmar terselimuti api besar dan terbakar dalam keadaan hidup-hidup.

Wanita itu telah terkena sihir tengkorak Yaves. Tak akan bisa mati begitu saja. Meski Trev membencinya, ia masih memiliki hati nurani. Karena itu, ia membunuh Mazmar untuk mengurangi rasa putus asa wanita itu.

***

Perang antara Valia dan Samhian berhenti dengan penarik munduran pasukan Valia. Raja Sarusa melarikan diri ketika melihat Yaves terbakar di tangan Trev. Melihat tak ada lagi yang dapat ia jadikan kekuatan utama ia berteriak agar mundur dan langsung berbalik arah.

Pasukan Samhian tak mengejar. Mereka membebaskan perang ini. Keletihan fisik dan mental membuat Kanna mengambil keputusan agar mereka tak mengejar Valia. Bertahan sejauh ini dengan kerusakan dari berbagai sisi ini adalah kemenangan besar untuk mereka. Karena itu, Kanna tak akan tamak dalam mengejar musuh. Tunggu! Tunggulah ketika Samhian bangkit, maka mereka akan mengebiri para musuh.

Kanna melihat Zeon dan para pasukan lain yang membawa tahanan para pemberontak beserta komandannya. Ia menghela napas lega. Pada akhirnya ia benar-benar lelah dengan keadaan mentalnya sendiri. Tak dapat Kanna pungkiri, bahwa ia selalu berpacu dengan kewarasan. Memilih untuk selalu sadar dengan semua hal.

Saat kaki sang ratu melangkah berniat menyambut kedatangan bangsa Nev, desau angin menyibak rambutnya. Matanya membelalak kemudian tanpa kata berbalik dan secepat kilat berlari memasuki istana.

Zarkan Tar.

Zarkan Tar.

Ia merasakan auranya kembali.

Kanna tiba di depan kamar suaminya. Dengan keras ia menendang pintu tergesa-gesa. Di dalam ruangan ia mendapati sosok pria remaja yang begitu halus dan tampan tengah berdiri di sisi ranjang. Di sana tubuh Zarkan Tar telah kembali dengan kondisi yang masih sama seperti sebelumnya.

Cygnus tersenyum melihat kedatangan Kanna. Kedua netranya memindai dari atas kepala sampai ke ujung kaki ratu Samhian tersebut. Saat melihat cahaya biru pada salah satu kantong di kilt, senyum Cygnus semakin merekah.

"Kita bertemu lagi ... Kanna!"

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top