Part 28. Takdir Kematian (2)
Dari punggung kudanya Sarusa menatap gerbang istana Samhian. Gerbang berwarna putih dengan aksen pintu berukir naga. Komandan tinggi pasukan negara Valia, Rederik, memajukan kudanya beriringan dengan sang raja. Pasukan di belakang mereka telah siap siaga. Pun dengan pasukan sekutu.
Penuh kecongkakan Sarusa memandang istana putih Zarkan Tar. Bayangan ia menempati istana tersebut mengawang-awang. Dengan bantuan dari segala penjuru kemenangan telah di depan mata. Ini adalah sejarah besar runtuhnya Samhian. Hari di mana bergantinya kedudukan sang mahadiraja.
Terompet terdengar dari seluruh pasukan. Bersahut-sahutan. Saling menyoraki kemenangan. Bahkan kini geraman suara Gort pun semakin mendekat. Meskipun matahari tak pernah bersinar lagi, hari memang telah menjelang siang. Suasana suram dengan angin dingin bertiup semakin menambah dingin di tengah panasnya suasana.
"Pasukan Pulau Suci di pimpin komandan baru, kudengar ia tangan kanan komandan sebelumnya." Rederik mulai membuka percakapan.
"Apakah ia handal?" tak acuh Sarusa menanggapi pembicaraan tersebut.
"Entahlah, tapi kudengar dia ahli strategi. Dulu dia tangan kanan Raja Trev. Kupikir ia orang yang sulit, nyatanya pangkat komandan utama membuatnya gelap mata." Rederik terkekeh. Namun, tidak dengan Sarusa. Sang raja menoleh ke arah pasukan pulau suci di mana komandan baru mereka sedang duduk di atas kuda menatap gerbang istana Samhian.
"Kau percaya dia orang Ratu Mazmar sekarang?" Suara Sarusa terdengar tak percaya.
"Aku melihat sendiri, bagaimana binar bahagia dia ketika mendapatkan pangkat komandan baru." Rederik terkekeh, Sarusa memandang Issac dalam-dalam. Pria dengan jubah putih dengan lengan tersemat kain yang menandakan seorang komandan masih tetap tak bergeming. Dengan lurus pandangannya tetap ke istana Samhian.
Sarusa menarik kembali pandangannya. Saat Raja Valia tersebut tak lagi menatap dirinya, sudut bibir Issac tertarik sedikit menyunggingkan senyum sinis.
***
"Yeva ...," Mazmar refleks menutup mulut karena terkejut. Langkahnya berderap lalu berdiri di depan putrinya. Mata Yeva tertutup rapat, seakan ia tertidur dengan berdiri. Namun, bukan itu yang membuat Mazmar kaget dan linglung.
Yeva, seluruh tubuhnya berubah menjadi kelelawar hitam. Hanya dari leher ke atas yang berwujud seperti manusia.
"Apa yang terjadi? Bagaimana ini mungkin?" kedua tangan Mazmar gemetar. Air matanya telah mengalir dengan deras, akan tetapi ia tak bisa melakukan apapun.
"Ini adalah hasil karyaku, kau menyukainya?" Yaves telah berdiri di belakang Mazmar. Wanita itu berbalik dengan wajah yang sangat dingin. Tatapan matanya menghujam kedua mata pria yang terkekeh senang itu.
"Dia anakmu! Darah dagingmu!"
Yaves tertawa terbahak-bahak. Ia menatap Mazmar dengan pandangan mengejek. "Aku tahu."
"Dan dia alat terbaik untuk menjadi alat perang."
"Mengapa kau mengubahnya menjadi seperti ini? dia seorang manusia!"
"Ck,ck,ck,ck,ck ... kau tak berkaca pada dirimu sendiri. Sedari dia lahir kau pun telah mengubahnya menjadi monster, Mazmar. Aku hanya menggenapi semua yang telah kau lakukan padanya. Menjadikan monster sesungguhnya."
"Kau ...."
"Sayangku, bukankah kita selalu dalam satu paham? Mengapa kau berubah secepat ini?" Yaves terkekeh, tangannya terulur membelai pipi halus Mazmar. Lalu gerakan halus itu tiba-tiba berubah menjadi cengkeraman kuat di leher sang ratu.
"Akkkhhh ...." Mazmar mencoba memberontak dengan melepaskan tangan Yaves yang mencekiknya. Sorot mata Yaves berubah tajam dan dengan sekali sentakan ia menyeret Mazmar ke pelukan.
"Ingat Mazmar, kau harus selalu menuruti perintahku, Sayang!" desisnya sambil menjilati pipi. Hidungnya menghirup sisi-sisi rambut wanita yang masih mencoba memberontak itu. Lalu dengan sekali dorong ia melepaskan Mazmar yang langsung tersungkur di lantai.
"Sekali lagi kau mencoba melawanku, tak segan-segan aku akan mengubah dirimu seperti anak kita." Yaves membenahi kamisolnya yang kusut karena cengkeraman Mazmar. Pria itu berbalik lalu pergi meninggalkan Mazmar yang masih berusaha menormalkan napas.
Kedua mata wanita itu memerah karena tangis dan juga sakit akibat cekikan Yaves. Sorotnya nanar menatap bentuk tubuh Yeva yang telah seutuhnya berubah menjadi kelelawar besar. Penyesalan selalu datang terlambat, itu yang sering ia dengar. Dan ini, adalah konsekuensi penyesalan hati Mazmar.
Tangisnya perih di tengah heningnya ruangan tersebut.
***
Kanna terbangun merasakan elusan halus di kening. Matanya mengernyit lalu mengerjap beradaptasi dengan cahaya yang tertangkap kedua pupil. Ia melihat Merine duduk di sebelah sambil mengelusi keningnya, " Yang Mulia, kau sudah sadar?"
"Merine," Kanna mencoba bangun dan duduk bersandar.
"Ketika aku mengetuk kamar Anda, tak ada jawaban apapun. Karena itu aku langsung masuk dan mendapati Anda tak sadarkan diri."
"Apa Yang Mulia Zarkan Tar, tahu?"
Merine menggeleng, "sebenarnya jika beberapa waktu lagi Anda masih tak sadarkan diri juga aku akan mencari Yang Mulia. Untunglah Anda sadar sekarang, apa yang terjadi?"
Kepala Kanna menggeleng. Ia sendiri tak tahu dan tak ingat apapun. Semakin mencoba mengingat ia merasa ada kabut gelap yang menutupi semua. Entah apa itu, Kanna sendiri tak yakin.
"Minumlah!" Merine menyodorkan cangkir, Kanna menyambutnya. Ia menenggak separuh isi cangkir tersebut lalu menyerahkan kembali pada Merine.
"Bagaimana keadaan di luar?"
Merine belum sempat menjawab saat suara benturan serta lantai yang bergetar membuat mereka berdua tersentak. Kanna beranjak. Tergesa ia dan Merine langsung berjalan ke arah balkon.
Suara terompet bersahut-sahutan. Tanah di sekeliling istana telah dipenuhi ribuan pasukan musuh dan makhluk-makhluk menjijikan, Gort.
"Ayo kita keluar!" derap langkah Kanna setengah berlari. Merine mengejar. Para dayang dan prajurit berlalu lalang. Kepanikan juga terdengar dari ruangan yang disediakan untuk para pengungsi.
"Merine, ada berapa pengungsi yang berada di ruangan itu?"
"Aku dan Red menghitung ada 1000 pengungsi, dan terdiri dari para wanita, orangtua dan anak-anak."
"Hanya 1000?"
"Yang Mulia, para penduduk yang berjenis kelamin pria, mereka kini berbaris menjaga istana. Semua karena kesediaan dari hati mereka yang paling dalam, mereka ingin ikut berperang," Merine tersenyum.
Sorot mata Kanna menatap ke ruangan para pengungsi. Ia baru selangkah memasuki ruangan tersebut saat seluruh ruangan berubah menjadi hening.
"Yang Mulia Ratu!" salah satu pengungsi, seorang wanita paruh baya menyapa dengan hormat. Melihat satu orang yang menyapa, mereka semua akhirnya memberi hormat pada Kanna.
"Bangunlah, aku tak bisa menerima hormat kalian dalam suasana seperti ini." Kanna mendekati mereka, satu persatu ditatapnya mata para wanita tersebut. Kecemasan sangat tergambar. Kanna mengerti, suami atau anak mereka berada di luar sana, bertaruh nyawa untuk menyelamatkan negeri ini.
"Aku dan Yang Mulia Zarkan Tar berjanji, akan membawakan kehidupan damai untuk kalian semua. Selalu restui langkah kami," Kanna memundurkan langkahnya lalu menunduk menyampaikan salam hormat. Ia kembali menatap mereka satu persatu lalu berbalik pergi.
Merine mengikuti Kanna menyurusi lorong yang terlihat masih penuh para prajurit yang berjaga-jaga. Langkahnya terhenti saat di perpotongan lorong ia melihat wajah yang sangat familiar.
Ilija.
Pemuda remaja itu ada di ujung lorong. Berdiri sendirian. Lalu merasa ada yang memperhatikannya, perlahan kepalanya menoleh dan tersenyum pada Merine.
Merine melihat Kanna sudah berjalan semakin jauh. Tak ingin menyia-nyiakan kehilangan Ilija lagi, Merine memutuskan menghampiri pemuda itu.
"Kau dari mana saja? Aku mencemaskanmu. Bagaimana kau bisa masuk ke istana ini?"
Ilija menyunggingkan senyum. Kedua tangannya yang berada di balik punggung terentang. Ada sebuah permata berwarna biru di tangan kanan pemuda tersebut.
Merine menatap Ilija tak mengerti, pandangannya beralih pada permata berwarna biru. Karena tak bisa menangkap apa maksud Ilija Merine menghembuskan napas kesal. "Apa maksudmu? Kau tak memberiku jawaban melainkan teka-teki yang tak kumengerti sama sekali."
Ilija terkekeh. Ia lalu mengangkat permata biru itu dan menyodorkannya pada Merine. "Bawalah!"
"Apa itu?" masih ragu dengan permata biru tersebut Merine hanya memandangnya.
"Berikan ini pada Yang Mulia Ratu, ini akan membantu untuk memusnahkan para Gort."
Merine menatap Ilija dengan pandangan aneh. Benar kata Red, Ilija bukan pemuda sederhana.
"Siapa kamu sebenarnya?" Merine menatap dalam-dalam kedua mata pemuda itu, "aku yakin kau bukan pemuda biasa. Kau bisa lolos dari para Gort."
Ilija hanya tersenyum lebar, ia kemudian menarik tangan kanan Merine lalu memaksa masuk batu permata biru ke dalam genggaman gadis itu.
"Terkadang, ada hal yang tak boleh kau ketahui. Aku tak mempunyai niat buruk pada Samhian." Ilija kembali tersenyum lalu berbalik dan pergi begitu cepat hingga Merine tak sempat mengetahui ke mana arah perginya.
***
'BRUGGH!'
'BRUGGH!'
'BRUGGH!'
'BRUGGH!'
'BRUGGH!'
'BRUGGH!'
Gort telah tiba di padang tandura. Padang hijau terlihat tandus dan suram dengan kedatangan mereka. setiap sisi istana telah terkepung dengan ribuan pasukan musuh.
Di atas benteng, Zarkan Tar menatap pada kejauhan. Sorot bola mata emasnya menatap bukit timur yang tepat berhadapan dengan Istana. Ada sesuatu di sana. Kekuatan besar yang seolah tiada tapi begitu kuat terasa. Kekuatan yang bukan dari kalangan manusia.
Perang ini telah melibatkan para dewa. Ia yakin akan hal itu.
"Zeon!"
"Hamba, Yang Mulia."
"Kau merasakannya?"
Zeon menatap bukit timur di sana. Senyum dinginnya tersungging, "aku merasakan keberadaan pamanku."
"Ia terlibat?"
"Kurasa seperti itu, ia mempunyai dendam besar pada Samhian, terutama padamu."
"Yang Mulia," suara panggilan sang istri membuat Zarkan Tar menoleh cepat. Kanna datang dengan wajah pucat. Matanya menyorotkan kekalutan.
"Mengapa ke sini?"
"Tentu saja aku harus di sini. Aku tak mungkin meninggalkan perang ini," Kanna tersenyum pada Zeon sebelum ia meraih tangan Sang Mahadiraja lalu berdiri di samping pria itu.
"Mereka sangat banyak. Apa yang harus kita lakukan?"
"Tentu harus menumpas mereka." Nada suara suaminya sangat dingin dengan tatapan tajam mengarah segala penjuru.
"Aku bersamamu!" ucapan Kanna membuat Zarkan Tar menoleh lalu mengelus pucuk kepala istrinya.
Tak ada ucapan apapun, tetapi ada sesuatu yang lain dalam pandangan mata Zarkan Tar. Kanna tak tahu apa. Akan tetapi, Kanna merasakan hal yang benar-benar buruk akan terjadi.
Kanna berdecih kesal, ia tak ingin memikirkan hal buruk yang akan memicu suasana hatinya menjadi ikut buruk. Mendekat erat ia menggenggam jemari Zarkan Tar.
Seakan memahami kegelisahan istrinya, Zarkan Tar menoleh lalu tersenyum menenangkan.
"Ketika di medan peperangan nanti, lakukan sebisamu. Jangan pernah melawan keinginan hati. Dan ketika sesuatu mempengaruhimu, ingat satu hal, Kanna. Ingat siapa dirimu!"
"Kata-katamu penuh teka-teki, Yang Mulia. Apa yang akan terjadi padaku?"
Zeon menatap sepasang suami-istri tersebut dengan senyuman. Perlahan ia mundur lalu menjauh dari keduanya. Sepeninggal Zeon Zarkan Tar memeluk Kanna. Erat, begitu erat. Seakan esok tak lagi bisa.
"Aku mencintaimu," lembut suara Sang Mahadiraja membuat Kanna menutup matanya.
"Aku mencintaimu," ucapan itu terus bergaung di telinga Kanna. Seakan tak ingin lagi ia mendengar kata-kata lainnya.
"Aku pun, Yang Mulia! Mencintaimu, sekarang atau pun di masa depan."
***
Suara dentuman besar memecah perang. Beragam warna pakaian manusia saling menyerang. Sisi pasukan Valia dan sekutu menggunakan berbagai peralatan yang akan menghancurkan benteng Samhian. Lemparan yang berisi api, serangan sihir, dan beruntun serangan dari atas pun diterima istana Samhian.
Jeritan para pasukan yang terluka, tertancap panah, maupun yang terseret kekuatan sihir para lawan memenuhi segala tempat.
Kanna dan Zarkan Tar melompat dan terbang dengan tubuh yang dilingkupi cahaya emas dan biru. Panah Kanna terpasang, meliuk serta melompat dari kepala-kepala prajurit musuh ia memanahi setiap lawannya.
Zarkan Tar menghempas tangannya kekuatan dengan cahaya keemasan bagai bom besar yang meledakkan para pasukan musuh. Ia melompat jauh ketika panah menuju ke arahnya. Pria berjubah emas itu menghalau dengan pedang. Suara pedang berdentang dengan percikan api. Sang mahadiraja menukik turun dan bergabung dalam pesta darah untuk menjamu para tamu tak di undang.
Red dan Merine telah bergabung dalam pasukan. Mereka berdua menaiki kuda perang berwarna hitam. Tombak di tangan Red dan belati kembar di kedua tangan Merine. Merine melompat dari punggung kuda lalu melayang dan menyerang setiap kepala pasukan Rushka. Melihat saudara kembarnya telah masuk ke dalam peperangan, Red melajukan kudanya lalu menghunuskan tombak pada setiap lawan.
Perang besar berkobar dengan lawan yang tak seimbang. Pasukan Samhian kewalahan dengan serangan berbagai sisi.
Sorot mata emas Zarkan Tar mencari-cari komandan perang pasukan sekutu. Ketika matanya melihat komandan perang pasukan Rushka, ia menjejakkan kaki lalu terbang ke arah komandan bar-bar tersebut.
Komandan pasukan Rushka, Mogard, menatap tajam pada Zarkan Tar yang kini menukik ke arah dirinya. Tombak besar Mograd teracung, lalu berselimut api hitam ia terbang menuju Zarkan Tar.
Mogard terkenal karena kekuatannya. Bahkan raja negara Rushka tak berani semena-mena terhadap pria itu. Jika Zarkan Tar, raja yang di puja-puja rakyat Samhian, maka Mogard di puja-puja oleh rakyat Rushka.
Dentang pertemuan pedang dan tombak terdengar. Mogard menarik kembali tongkatnya, dan rapalan mantra tiba-tiba membuat tombaknya terbagi menjadi tujuh. Tongkat-tongkat tersebut melayang lalu menyerang Zarkan tar.
Sang Mahadiraja berkelit. Memutar tubuh menghindari setiap serangan tombak-tombak tersebut. Kemudian saat salah satu tombak menuju ke arahnya, Zarkan Tar memutar tangan lalu memukulkan tinjunya pada tombak tersebut.
Tujuh tombak kembali menyatu lalu mundur dan kembali ke genggaman Mogard. Kedua bola mata hitam Mogard melotot. Tak pernah ada yang mengalahkan kekuatan tujuh tombaknya. Kekuatan Zarkan Tar memang bukan sekadar bualan.
Tak bisa menggunakan serangan tujuh tombak lagi, pria itu lalu maju dan secara brutal menusuk-nusukkan tombaknya.
Zarkan Tar tak kembali menyerang ia hanya mundur pada setiap serangan Mogard. Sedangkan Mogard, seakan mendapat angin segar. Pria itu menyeringai senang merasa telah memojokan Sang Mahadiraja.
Kekuatan Mogard adalah api hitam, api hitam merupakan peringkat tinggi sihir. Serangan api hitam brutal dan sangat kasar. Namun, mereka mempunyai kelemahan. Api hitam menguras energi tubuh pemiliknya.
Negara Rushka terkenal dengan temperamennya yang kasar dan menyerang secara bertubi-tubi. Kekuatan serangan Komandan Rushka sangat hebat, bahkan mungkin dalam seni beladiri, Zarkan Tar lawan yang sepadan dengannya. Akan tetapi, berperang bukan saja menggunakan kekuatan fisik dan batin. Mereka membutuhkan trik. Trik siapa yang terhebat, ia yang akan memenangkannya.
Membaca sifat panduduk negara Rushka. Sangat mudah membuat kemarahan mereka bangkit. Begitu pun dengan komandan pasukan. Zarkan Tar melihat titik lemah mereka.
Serangan Mogard tak sebrutal sebelumnya. Terlihat kekuatan sihir pada tombak semakin melemah. Beberapa kali ia merasa berat mengangkat senjata. Dan kini, mereka telah terpisah jauh dari area pasukan.
Senyum dingin Zarkan Tar terkembang. Matanya yang datar kini menyorot tajam. Mogard kembali menyerang. Namun kemudian, ia membelalakan mata dengan sorot tak percaya.
Tombak besar yang ia puja, tertangkap begitu saja di tangan kanan Mahadiraja.
Saat sorot mata Mogard masih membeku terpaku. Tak ia sangka jerat tali kini melingkar erat pada tubuhnya. Senyum dingin sang Mahadiraja baru ia sadari begitu mengerikan.
Teriakan Mogard membuat pasukan Rushka menoleh. Di atas sana, komandan mereka diseret bagai binatang tak berdaya. Terkungkung dengan jerat tali membelit dan semakin erat ketika memberontak.
Pasukan negara Rushka terkenal dengan kesetiakawanan. Mereka hanya mengabdi pada komandan. Melihat komandan mereka di siksa. Api kemarahan membumbung tinggi. Tanpa memikirkan apa-apa lagi, mereka meninggalkan perang lalu dengan beringas mengejar Zarkan Tar yang membawa Mogard.
Sarusa menatap tak percaya pada ribuan pasukan Rushka berbelok mengejar Mogard yang tertangkap. Ia menarik tali kekang kuda dan meneriakan kata-kata untuk menghentikan mereka. Akan tetapi, teriakannya tak dianggap. Para pasukan Rushkan terus menerus mengejar Zarkan Tar.
"Berhenti! Berhenti! Berhenti kalian! Ini jebakan! Berhen ...." Sebuah pukulan pada kaki kuda membuat sang kuda tersungkur. Sarusa terjatuh, berguling, dan hampir terinjak oleh pasukan-pasukan yang tengah berperang.
Rasa sengit di hatinya akan pasukan Rushka membuatnya menghunus pedang lalu meraih setiap pasukan Samhian dan menebas leher mereka. Ia berteriak kalut karena kebencian akan Zarkan Tar yang mengacaukan formasi perangnya.
Pasukan Rushka terus saja mengejar sang mahadiraja hingga tiba di tepi sebuah pantai. Zarkan Tar berhenti, barisan pasukan Rushka menatap garang.
Senyum licik sang mahadiraja tersungging.
"Kenali siapa musuhmu, maka kau bisa mengalahkannya dengan mudah." Seusai berucap ia melepaskan kekang tali yang menjerat Mogard. Mogard membelalak, ia berusaha bergerak melepaskan tali yang menjerat seluruh tubuh.
Pasukan Rushka berteriak lalu serentak masuk ke dalam lautan ketika melihat komandan mereka terjatuh di sana.
Suara gemuruh tiba-tiba membuat air laut membuncah. Lalu, dari dalam air ribuan pasukan duyung keluar dengan tombak trisula di masing-masing tangan mereka. Sang komandan, Laores, mengangkat tangan dan mulai bergerak menyergap pasukan Rushka.
Teriakan demi teriakan kembali terjadi. Akan tetapi, posisi kali ini terbalik. Setiap prajurit Rushka diseret arus, tenggelam dalam keadaan tak berdaya. Mereka yang melawan hanya akan dijadikan bulan-bulanan kekejaman para duyung.
Melihat pasukan Rushka yang kini memasuki jebakan besar Zarkan Tar. Membakar api amarah Sarusa. Matanya nyalang memelototi Zarkan Tar yang berdiri di atas sana. Begitu pongah dan mencelanya.
Geram karena tak bisa melawannya langsung, Sarusa membunuh setiap parjurit Samhian dengan brutal. Kemudian pandangan matanya melihat seorang perempuan berambut merah sedang bertarung, dengan tangkas perempuan itu menusuk prajurit Valia dengan dua belati kembar. Rasa marah Sarusa semakin tinggi, ia menjerit liar lalu bergerak mengangkat pedang besarnya. Pedang tersebut diliputi cahaya kehijauan. Berlari cepat ia tiba di belakang gadis itu. Tatapannya penuh kebencian saat dengan mudah ia menyerang Merine dengan tusukan pedang dari belakang.
Tak jauh dari posisi Merine, Red tersentak. Ia merasakan sesuatu yang menyakitkan pada dadanya. Lalu, seperti terhubung oleh suatu telepati. Red berbalik dan melihat Merine memuntahkan darah merah dari mulutnya. Sedangkan musuh dari belakang Merine kini tengah menarik pedang lalu beralih menebas parjurit lain.
Kedua mata Merine berkaca-kaca menatap Red yang mematung dengan tubuh gemetar sepenuhnya. Gadis itu perlahan menunduk menatap perut yang berlumuran darah. Kakinya melemas, ia tersungkur.
"Merine ...," suara Red gemetar dengan mata berkaca-kaca. Ia kemudian berlari menerjang para prajurit yang sedang bertarung menghalanginya.
"Merine!"
"Merine!"
"Merine!!!"
Teriakan Red terdengar di telinga sensitif Kanna. Wanita itu berbalik setelah menusuk salah satu parjurit Valia. Jarak ia dan Merine terlalu jauh, namun pandangan matanya melihat bayangan Merine tersungkur. Ia lalu melompat dan terbang ke arah Red yang tengah memeluk saudara kembarnya.
"Merine! Merine! Bangunlah! Merine!" Red berteriak dengan air mata yang telah mengalir di pipinya. Bola mata memerah karena tangis. Wajahnya panik. Sedangkan darah dari perut Merine terus mengucur deras.
"Merine!" Kanna berhenti di sebelah Merine, "cepat bawa ke istana!" ia meraih jubahnya untuk digunakan menyumpal darah dari perut Merine.
Red mengangguk ia kemudian menggendong Merine lalu melompat ke arah kuda yang tak berpenumpang. Dengan gerakan cepat, sang kuda menerobos kerumunan.
Kanna berniat menyusul kepergian Red. Hatinya sangat mencemaskan Merine. Namun, saat baru saja melangkah Kanna merasa sakit di kepala. Begitu kuat menghantam hingga ia harus bersimpuh dengan memegangi kepalanya.
Suara-suara bergema di kepala. Suara wanita yang sedang tertawa, nada amarah, benci, dan segala emosi negatif. Kanna ingin berteriak, tetapi mulutnya seakan terkunci rapat. Seluruh tubuh melemas seketika. Sakit tak tertahankan hingga ia menutup matanya.
'Menyerahlah Kanna, ikuti aku!'
'Siapa kau?'
'Aku adalah sang kehidupan. Jiwamu.'
'Aku tak mengenalmu.'
'Kau mengenalku Kanna! Karena aku telah merasuk ke setiap pembuluh darahmu.'
Kanna menjerit saat rasa sakit yang amat dahsyat menimpanya. Lalu, saat kedua kelopak matanya terbuka. Pupil berwarna ungu menghilang digantikan dengan sorot merah menyala.
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top