Part 24. Pion

Sarusa menghempas semua benda yang berada di meja. Ruangan dalam tendanya sudah porak poranda. Tak ada sedikit pun benda yang terlihat masih utuh. Dalam kemarahan besar ia berteriak mengutuk nama Zarkan Tar.

Di atas bukit tak jauh dari perkemahan pasukan Valia, Sautesh berdiri dengan raut wajah dingin. Sorot matanya menatap istana Samhian. Apa yang ada di benaknya tak ada yang tahu. Beberapa kali burung gagak berteriak-teriak seakan membicarakan sesuatu kepadanya. Tak lama setelah itu Sautesh menyunggingkan senyum sinis.

“Para makhluk bodoh,” ucapnya kemudian berbalik pergi.

Di ujung timur, benteng besar yang tengah ditempati pasukan Ragda telah menerima berita akan keruntuhan pasukan Zenev. Sang komandan besar pasukan Ragda, Asghat, menatap peta yang terhampar di meja. Beberapa penanda pasukan yang telah menguasai sebagian Samhian telah ditandai dengan batu berwarna.

“Apakah tak ada satu pun yang masih hidup dari pasukan Zenev?”

“Tidak ada Tuan, bahkan gunungan mayat sangat terlihat jelas dari arah pengintai benteng. Api besar membakar mayat-mayat tersebut. Asap dan bau pembakaran pun sampai ke area kita.”

“Bagaimana dengan para pasukan Samhian yang melarikan diri? Sudahkan semuanya telah ditangkap kembali?”

Prajurit yang melapor di depannya terlihat kebingungan. “Kami tak mendapatkan laporan apapun, Tuan.”

“Apa maksudmu tak ada laporan?”

“Para pasukan yang mengejar sisa prajurit Samhian tak ada laporan telah kembali.”

“Aku telah mengerahkan 200 lebih pasukan mengejar sisa pasukan yang hanya berjumlah 40 orang, kau bilang mereka tak pernah kembali?”

Sang Prajurit menunduk. Ia sendiri tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Karena 200 pasukan yang bertugas mengejar sisa pasukan Samhian memang tak pernah kembali.

“Baiklah, sekarang kau bisa keluar. Ingat untuk terus berjaga-jaga.”

“Hamba mengerti, Tuan!” prajurit tersebut mengangguk dengan salam hormat. Ia berbalik hendak keluar saat seorang prajurit memasuki tenda dengan membawa kotak hitam besar.

“Tuan Asghat, di luar benteng ada yang menaruh kotak ini. Tertulis nama Anda di atasnya.”

“Siapa yang meletakkannya?”

“Kami tak tahu, Tuan! Kotak ini tiba-tiba sudah berada di tengah pintu gerbang.”

“Baiklah, kemarikan! Kita lihat siapa yang mencoba bermain dengan kita.”

Asghat memperhatikan kotak hitam besar itu. Sang prajurit kemudian membuka gembok dengan sekali tebasan pedang. Setelah itu kedua tangannya kemudian mendorong kotak hitam ke hadapan Komandan Asghat.

“Bukalah!”

Prajurit yang membawa kotak tersebut mengangguk lalu dengan tanpa pikiran matang ia langsung membukanya.

Wajah komandan besar negara Ragda langsung pias memucat. Tak berbeda dengan Sang Komandan, dua prajurit yang di hadapan kotak tersebut juga tak kalah pucat.

Berbagai potongan tangan lengkap dengan jarinya saling bertumpuk. Pun dengan darah merah yang masih mengucur dari bagian  terpotong menjadi pemandangan yang akan membuat siapapun mual.

Asghat menendang kotak tersebut. Ratusan potongan tangan tumpah ruah berceceran di tengah ruangan. Prajurit yang melapor pertama kali tak tahan lagi, dengan tubuh gemetar ia jatuh terduduk lalu memuntahkan isi perutnya. Menyusul kemudian prajurit yang membawa kotak langsung membuka tangan yang menutupi mulutnya. Tak tahan lagi seketika menumpahkan muntahan di hadapan Asghat.

Sang Komandan menatap dengan sinis. Ia benar-benar dibuat terkejut akan isi kotak tersebut, tetapi ia tak mungkin memperlihatkannya.

“Jangan pernah kalian beritahukan kejadian ini pada pasukan yang lain. Buang dan kuburkan potongan tangan teman-teman kalian ini. Jangan pernah ada yang memberitahukan ke siapapun, ingat itu!” ancaman Asghat membuat dua prajurit mengangguk-anggukkan kepala mereka.

Mereka berdua berusaha menormalkan detak jantung dan tubuh yang gemetar. Satu persatu mereka memunguti potongan tangan untuk dimasukkan kembali pada kotak hitam. Belum mencapai setengah kotak, tiba-tiba seseorang menyeruak masuk.

Wajahnya terlihat sangat marah meski keriput telah membayangi garis-garis pipinya. “Apa yang terjadi?” ia menatap potongan tangan yang berserakan di tanah. Seketika wajahnya berubah pucat pasi ketika melihat tanda pasukan Ragda. Tanda khas yang berasal dari cincin besi pada jari manis masing-masing tangan.

“Mereka? Mereka? apakah mereka pasukanku?” Raja Ragda, Gordon, menunjuk ke potongan tangan yang masih berserakan.

Dua prajurit yang tengah memunguti potongan tangan terdiam dan serentak menatap Asghat. Asghat tak menyangka jika Rajanya akan datang kembali. Ia mengira Sang Raja hanya akan duduk diam di Istana.

“Yang Mulia, Hamba senang Anda datang kemari.” Asghat bergeser dari mejanya, ia kemudian mendekati Gordon dengan ketenangan yang sangat terlatih.

“Kau! Bagaimana bisa aku tenang? Jelaskan apa ini? Tangan-tangan siapa ini?”

“Yang Mulia ….”

“Asghat! Aku memberikanmu izin untuk berperang dengan Samhian karena janji yang kau ucapkan. Tak akan ada korban dari pihak kita, lalu apa yang sekarang berada di depanmu?”

“Tak tahu kah kau bahwa kita hanya mempunyai 1500 pasukan inti? Dan semua telah kau bawa kemari,”

“Yang Mulia. Mohon bersabarlah, aku berjanji akan membalaskan darah yang tertumpah dari para pasukan-pasukan kita yang telah dengan brutal mereka siksa. Yang Mulia ….”

“ASGHAT!” Gordon membentak hingga wajahnya memerah. Matanya melotot nyalang menatap Asghat.

Asghat terdiam. Ia benar-benar tak bisa melawan jika Sang raja telah terbakar amarah. Apakah hanya karena 200 pasukan yang tewas, Sang Raja begitu marah seperti ini? sangat tak masuk akal. Pikiran Asghat mencaci maki rajanya, apa daya ia hanya menunduk dengan hati yang dongkol.

“Kau bilang telah memenangkan pasukan Samhian di benteng timur ini, berapa pasukan yang telah kau lawan?”

“Pasukan Samhian hanya berjumlah 100 orang ketika kami kemari, Yang Mulia! Karena itu lah kami bisa menduduki benteng ini dengan mudah.” Begitu bangga raut wajah Asghat ketika menceritakan penaklukannya akan benteng timur. Namun, Raja Gordon tak terlihat senang sama sekali. Wajah Sang raja kian memerah laksana tersengat lebah.

“Kau! Kau bilang melawan 100 pasukan? Kau menyerang mereka dengan 1500 pasukan, dan anak buahmu terbantai 200 orang. Kau bilang kau menang?”

Raut wajah Gordon sangat tak enak di pandang. Kesal karena tak bisa membunuh Komandan pasukannya begitu saja, ia lalu sekuat tenaga melayangkan tangannya.

‘PLAK!!!’

“KEMENANGAN MACAM APA INI?” Gordon kembali meneriaki Asghat yang tengah mengusap pipinya. Kaget dan tak pernah menyangka bahwa Raja Gordon berani melakukan ini pada Asghat, seorang komandan pasukan besar negara Ragda.

“Yang Mulia ….”

“Kau, kalian! Kalian semua harus meninggalkan benteng ini secepatnya.”

“Yang Mulia, mengapa kita harus meninggalkan benteng ini? kita sudah berhasil merebut wilayah Samhian dengan mengorbankan nyawa 200 pasukan kita.”

“KAU BODOH! Tak tahukah kau bahwa sekarang Zarkan Tar sedang mengejek kita? 1500 pasukan Ragda menyerang 100 pasukan Samhian, dan menewaskan 200 pasukan negara Ragda. Mereka bahkan menghadiahkan potongan tangan para pasukan yang telah dibantai. Apa yang harus kau banggakan?”

Raja Gordon berkacak pinggang. Ia meremas rambutnya yang telah setengah memutih. Bahunya terlihat terkulai lemah.

Negara Ragda merupakan negara berpadang pasir. Tak ada tanaman hijau sehijau Samhian. Rakyat negara Ragda selalu memuja-muja negeri Samhian. Dan sangat menginginkan tinggal di Samhian. Samhian adalah sebuah cita-cita bagi mereka.

Bahkan ketika Samhian memberikan sumbangsih makanan setiap tahunnya, mereka selalu merasa kekurangan. Negara mereka hanya mempunyai cadangan kristal alam yang terdapat di dua propinsi. Kristal yang bisa mereka tukarkan dengan semua kebutuhan-kebutuhan negara. Akan tetapi, ketamakan akan daerah kekuasaan menggelapkan hati Sang Komandan. Berbagai cara ia lakukan untuk mendapatkan persetujuan Raja Gordon untuk menyerang Samhian bersama dengan Valia.

Dan ini lah yang telah Sang raja sesalkan. Ia menyesal memberikan persetujuan tersebut.

“Asghat, kita harus kembali. Ragda membutuhkan kita di sana.” Suara Sang Raja melemah seakan tak kuasa lagi menahan segala pikiran yang saling berbenturan di otak dan hati.

“Mengapa Yang Mulia?”

Raja Gordon menghela napas dengan keras.

“Kau berhasil menduduki benteng timur Samhian, tapi Samhian telah berhasil menduduki Benteng Selatan dan Timur Ragda kita. Dua propinsi tambang kristal kita telah mereka duduki.”

Mendengar penuturan Sang Raja membuat seluruh tubuh Asghat gemetar. Baru kali ini ia merasakan kekalahan total. Kalah dan dipermalukan dalam waktu bersamaan.

Hari ini, Asghat dan Gordon membuktikan tentang sebuah pepatah.

‘Jangan menyinggungnya, atau kau akan musnah!’

***

Kanna melihat cahaya putih yang semakin terang datang ke hadapannya. Sudah berhari-hari ia menyusuri jalan kecil di depannya, akan tetapi ia tak tahu sedang berada di mana. Beberapa kali Kanna berlari agar secepatnya mencapai ujung jalan. Namun, jalan yang ia lalui seakan tak berujung.

Cahaya terang itu semakin dekat dan berhenti di depannya. Bola mata ungu Kanna mengamati dengan seksama. Hatinya was-was tapi juga ingin mengetahui.

Terlihat cahaya terang itu kemudian berputar-putar dan membentuk sosok seorang pria remaja dengan senyum teduh menawan.

Kanna tak membalas senyumnya. Ia hanya menatap dengan penuh ingin tahu.

Pria remaja itu berjalan lebih dekat ke hadapan Kanna. Pakaiannya putih terlihat sangat suci. Tubuhnya bersinar dengan aura agung. Kanna tak merasakan ketakutan apapun. Meski ia tak pernah bertemu dengan sosok seorang dewa. Namun ia yakin, pria remaja di depannya merupakan salah satu seorang dewa.

“Selamat datang, Kanna.”

Kanna tak menjawab, pandangannya kembali memutari sekitarnya. “Ada di mana aku?”

“Tak usah takut. Kau aman di sini.”

“Aku harus kembali, sudah berhari-hari aku di sini.”

“Kau akan kembali nanti, kita hanya akan berbicara sebentar.”

“Apa yang akan kau bicarakan?”

“Kanna, bukankah tidak sopan jika kau tak bertanya siapa aku?” pria remaja di depannya menunjuk dirinya sendiri.

“Apa keperluanmu? Keluarkan aku dari sini!”

“Kanna, namaku Cygnus, kau bisa memanggilnya seperti itu.”

“Baiklah Cygnus atau siapapun kau, mengapa aku dibawa kemari?”

“Kanna! Bisakah kau tenang?”

“Aku tak ingin bercanda.”

“Aku terpaksa membawamu kemari, jika kau terus berada di Gartan. Gartan akan kiamat!”

“Baiklah. Alasanmu, aku ingin mendengarkannya.”

Cygnus tersenyum teduh tetapi Kanna tak menyukai senyuman pria itu. Entah mengapa senyum dari pria remaja di depannya ini, seakan membawa bencana besar.

“Kau menyerap kekuatan dewi kehidupan, Kanna. Karena itu, jika kau terus berada di sana. Dunia Gartan tak akan pernah tenang.”

“Kau bercanda?”

“Aku tak bercanda, Kanna.” Cygnus mengangkat tangannya, tiba-tiba secercah sinar biru membentuk sebuah bunga teratai. Teratai berwarna biru dengan putik tengah berwarna emas.

“Teratai biru diciptakan untuk melindungi Sang Kekuatan. Namun, ia juga mematikan kekuatan.” Pria remaja itu menghela napas berat, “Kanna, kehidupanmu membawa kematian pada Zarkan Tar juga kehidupan perlindungan untuknya.”

Kanna menatap tajam pria di depannya. Tak sedikitpun ia ingin mempercayai dewa remaja ini, sekalipun ia mengetahui siapa Kanna dan takdirnya.

“Mengapa?” pertanyaan Kanna membuat senyum teduh Cygnus meredup. Teratai biru di tangannya kemudian menghilang kembali menjadi secercah cahaya biru.

“Aku lah yang menciptakan jiwamu.”

Raut wajah Kanna datar seolah ia telah mengetahuinya. Cygnus terkekeh, ia mengangguk-anggukan kepala begitu bahagia. “Aku suka sifatmu, Kanna. Kau lembut tetapi juga keras. Dua sisi yang kubuat beriringan. Aku menciptakanmu dengan tujuan tertentu.”

“Kau pikir aku percaya?”

“Kau harus percaya, kau bagian rencanaku, Sang Alam Semesta.”

Kanna mengerling sinis. Ia mendekati Cygnus yang tengah tersenyum padanya.

“Aku tak akan menjadi bagian rencanamu, Cygnus!” desisnya tajam. Tak mengira Kanna berucap sinis, Cygnus tersenyum lebar. Tatapannya seakan ingin menertawai Kanna.

“Takdir tak bisa ditentang, Kanna. Kau adalah pion utama. Dan Zarkan Tar adalah pion lawan yang harus kau kalahkan.”

Ucapan yang begitu ringan membuat hati Kanna geram. Siapa dia? Alam Semesta? Begitu mudah ia mempermainkan nasib setiap makhluk tak berdaya. Mempertemukan, memisahkan, menghidupkan, mematikan. Akankah semua hanya karena ia bosan mengurus alam semesta ini?

“Sekali lagi kuikrarkan padamu, Cygnus! Aku, tak akan pernah menjadi bagian dari rencanamu!”

Cygnus terkekeh kembali kemudian disertai tawa datar ia menatap Kanna.

“Kau tak akan bisa lari, Kanna! Takdirmu adalah membunuh Zarkan Tar, membunuhnya!”

“MEMBUNUHNYA!”

“MEMBUNUHNYA!”

“MEMBUNUHNYA!”

Kanna tersentak membuka mata dengan peluh bercucuran membasahi wajah dan leher. Ia meraba keningnya sambil menghirup napas untuk menormalkan detak jantung. Pandangannya menatap seprei putih yang ia duduki. Menghela napas lega, wanita itu lalu memandangi sekitarnya.

Ia berada di kamar Zarkan Tar. Mengapa ia berada di sini? Berusaha berkali-kali ia mengingat apa yang telah terjadi, tapi kepalanya selalu berdenyut sakit. Seakan ada hal yang menghalangi untuk ia mengingat sesuatu.

Ketika rasa sakit di kepalanya berangsur-angsur hilang, Kanna menjejakkan kaki ke lantai berniat mencari Zarkan Tar. Tak ada siapapun di sini. Bahkan suara dayang pun tak ada. Kemana mereka semua?

Kanna membuka pintu kamar dengan pelan. Hari begitu gelap, seakan malam telah datang. Namun Kanna yakin, ini bukanlah malam. Ia merasa sesuatu telah terjadi.

Pikirannya mulai tak tenang. Dengan langkah seribu ia berlari ke arah aula istana. Entah mengapa firasatnya memburuk seketika.

Berbagai suara dentingan pedang terdengar disertai teriakan dan jeritan. Beberapa dayang berlari dari arah berlawanan. Kanna semakin curiga dengan sesuatu, lalu entah mengapa ia merasakan dorongan untuk segera terbang cepat ke arah aula.

Di aula yang begitu luas kini menjadi tempat kolam darah, pasukan-pasukan tak dikenal menerobos masuk. Dan beberapa prajurit Samhian terlihat sedang bertarung.

Kanna melayang di antara mereka. Beberapa kali ia menyabet kepala pasukan yang tak ia kenali lalu membantingnya. Keadaan seperti ini membuat Kanna yakin, istana sedang di serang dari berbagai penjuru.

Ia turun menjejakan kaki di tengah pintu penghubung. Beberapa prajurit negara lain melihatnya lalu mengejar dan menghunuskan pedang menuju tubuh Kanna. Kanna berkelit, ia kemudian menarik tangan salah satu prajurit itu dan dengan keras mematahkan tangannya.

Bunyi tulang patah beberapa kali ia dengar dari pasukan-pasukan yang ia bunuh. Kanna bahkan membekukan mereka yang berniat menyerang secara bersamaan. Tak ayal juga sebagian ia bakar ketika para pasukan brutal itu dengan sengaja menyerangnya diam-diam.

Kanna mengibaskan lengannya lalu muncul pedang perak bersinar terang. Entah sejak kapan ia memiliki pedang ini, hanya saja tiba-tiba pikirannya penuh dengan mantra-mantra asing tapi sangat ia hapal.

Kanna menebas tubuh-tubuh pasukan musuh dengan tangkas. Beberapa kali ia pun menolong pasukan Samhian yang tengah kewalahan.

Melihat Ratu mereka membantu dengan sungguh-sungguh rasa hormat prajurit Samhian semakin meninggi. Mereka merasa aman dan terlindungi untuk menjaga Istana.

“Kemana Yang Mulia Raja?” tanya Kanna ditengah pertarungannya.

“Ampun, Yang Mulia Ratu. Yang mulia Zarkan Tar menyerang bagian luar. Istana saat ini terkepung dari berbagai penjuru. Karena itu kami membagi tugas untuk melindungi benteng-benteng.”

Kanna mengangguk mengerti. Ia semakin sengit membunuh dan memenggal para pasukan musuh. Bahkan dalam hati ia menghitung nyawa yang ia bunuh hingga membawanya keluar halaman istana.

Halaman indah istana Samhian telah porak poranda. Pasukan yang menyerang sangat dahsyat, jika hanya pasukan negara Valia ia yakin pasukan Samhian bisa menghadapinya sendiri. Namun, sekarang Kanna melihat apa penyebab pasukan Samhian kewalahan. Pasukan tambahan yang memakai seragam serba putih.

Ingatan Kanna tiba-tiba memutar adegan mengenai kematian ibunya. Seragam pasukan di depannya ini adalah seragam serupa dengan kelompok pria yang telah membantai Liz dan Ben.

Pedang di tangan Kanna bergetar menandakan tangan yang memegangnya tengah gemetar hebat. Hati Kanna mendidih. Memori pembantaian ibunya terasa jelas adegan demi adegan. Sorot mata Kanna menajam penuh kebencian dan kekejaman. Tak ia sadari auranya berubah menjadi merah menyala.

Dengan teriakan kencang ia melayang terbang. Kecepatannya sangat luar biasa. Dengan aura membunuh yang kuat, para pasukan Pulau Suci saling menatap ke arah Kanna. Tak dipungkiri rasa mencekam tiba-tiba datang begitu saja.

Seorang wanita dengan sorot mata dingin menjanjikan kekejaman pada mereka semua. Tak ingat dengan apapun, Kanna mengikuti kemarahan di hatinya.

Saat ia tepat di atas para prajurit Pulau Suci, Kanna mengangkat pedangnya tinggi-tinggi lalu melesat cepat menusuk jantung pasukan berpakaian putih itu beberapa kali.

Darah membasahi wajah Kanna akan tetapi ia tetap melampiaskan rasa sakit hatinya terus menerus.

Melihat seorang wanita membunuh temannya dengan brutal. 20 orang pasukan Pulau suci bergerak mengepung. Tak menunggu wanita itu siap, mereka serentak menerjang.

Kanna menengok dengan cepat saat dua puluh aura hendak menerjangnya. Ia cabut pedang perak dari tubuh salah satu pasukan yang ia bunuh. Kemudian dengan gesit ia menyambut kedatangan 20 orang tersebut.

Gerakan gemulai layaknya menari Kanna melayani sabetan dan pukulan mereka satu persatu. Tak ada satu bagian tubuh mereka yang Kanna lewatkan untuk ia torehkan luka sayatan.

Satu persatu Kanna menyayat dada mereka. 20 puluh orang tersebut terdiam dengan darah yang berkali-kali keluar dari mulutnya.

Senyum Kanna semakin sinis. Ia berhitung dalam hati, dan pada hitungan mundur ledakan terjadi memusnahkan 20 orang tersebut. Seluruh organ-organnya berceceran membasahi rumput halaman istana.

Di tengah halaman istana, Kanna berdiri. Hening menyapu angin dingin mengelus tubuh mengibarkan rambut hitamnya.

Di pintu masuk istana, seorang pria menatap Kanna dengan terbelalak. Tubuhnya gemetar karena bahagia. Sorot matanya berbinar seakan kebahagiaan hati membutakan penglihatan. Langkah kakinya tertatih mendekat. Tangannya terulur seakan ingin meraup wanita yang berdiri begitu anggun itu.

“Arneth,” panggilnya.

“Arneth, itu kau kah?”

“Kau masih hidup?”

“Arneth, ini aku! Aku! Aku Ram!”

“Arneth!” ia akhirnya sampai di belakang wanita yang ia panggil Arneth. Arneth, Arnethnya masih hidup dan bersembunyi di Istana Samhian.

Senyum Ram begitu lebar dengan mata berkaca-kaca. Ia melihat kepala wanita di depannya menengok.

Kanna tak akan pernah melupakan suara ini. Satu suara yang terus menerus tak akan pernah hilang dalam ingatan. Wajah dinginnya berubah menjadi semakin kejam. Adegan tangan seorang pria yang mencabut jantung Liz, terus menerus berputar dengan begitu dalam. Darah Kanna mendidih, ujung kuku yang mencengkeram erat pedang semakin memutih.

Perlahan ia membalikkan tubuh. Dagunya terangkat angkuh pada pria di depan Kanna yang terlihat penuh kegilaan. Bibir Ram tersungging senyum dengan mata berkaca-kaca. Pria itu terus menyebut-nyebut nama seorang wanita.

Biarlah ia bereuphoria dengan nama yang terucap itu, karena waktu berikutnya, Kanna berjanji hanya akan mengeluarkan jeritan dan rasa sakit dari mulut jahanamnya.

Biarlah ia bertindak gila sekarang, karena waktu berikutnya, Kanna akan mencabut jantungnya untuk persembahan ibu dan paman Ben di Valhalla sana.

Bersambung ….

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top