Part 21. Teratai Biru yang Lain
Kanna masih tertidur pulas saat Zarkan Tar telah rapi memakai pakaiannya. Perlahan Sang Mahadiraja duduk di samping istrinya, ia menyingkap rambut yang menutupi sebagian wajah Kanna. Terlihat wajah Kanna yang begitu tenang dalam tidurnya. Elusan jemari Zarkan Tar bahkan tak membuat wanita itu terbangun.
Jemari itu berhenti membelai saat mata Sang Mahadiraja melihat tanda lahir Kanna. Sebuah bunga teratai berwarna biru pada punggung bahu kanannya.
Ia mengelus tanda itu dengan lembut kemudian mengecupnya. Matanya menatap nanar antara wajah Kanna dan tato teratai biru tersebut. Beralih semakin kebawah ia melihat lima tanda elemen sihir yang terpatri pada punggung bawah Kanna. Tato yang sama dan di tempat yang sama seperti lima tato elemen sihir Zarkan Tar.
Jika Kanna melatih kekuatannya sedari kecil ia pasti telah menjadi Zarkan Tar yang lain. Baru beberapa bulan Kanna berlatih saja kekuatannya dapat memusnahkan Pangeran Halius dengan mudah. Bagaimana jika ia melatih kekuatannya sejak kecil? Zarkan Tar yakin Kanna adalah lawan yang tak mudah dikalahkan bahkan jika ia adalah lawannya.
Puas memandangi istrinya Zarkan Tar kemudian mengecup bibir wanita itu sebentar sebelum beranjak pergi. Istana Agra Tar tak mempunyai dayang yang dapat ia suruh mempersiapkan makanan. Karena itu, Zarkan Tar akan meminta Zeon untuk datang kemari.
Selain itu, ada hal lain yang harus ia selesaikan. Kematian Pangeran Halius pasti akan menjadi pemicu masalah besar yang akan dituntut oleh Valia. Zarkan Tar tak keberatan sama sekali jika istrinya membunuh siapapun yang menyinggung hatinya. Akan tetapi, keselamatan Kanna adalah hal utama. Ia yakin jika semalam dia tidak membawa Kanna pergi kelompok pembunuh Valia pasti akan mengincar nyawa Kanna. Untuk sementara ini Kanna harus aman sebelum ia meyakini kekuatan Kanna bisa melindungi dirinya sendiri.
***
"Kekasihku ...." Lirih Ratu Mazmar menyebut Yaves yang terdiam di depannya. Bibir wanita itu tersenyum. Tangannya membelai sisi-sisi rahang pria itu.
Ini bagaikan mimpi, tetapi ia yakin sekali Yaves telah hidup kembali. "Aku sudah membangkitkanmu, Sayang! Kita akan menjadi Raja dan Ratu penguasa Gartan. Seperti janjimu dulu padaku. Kau akan menjadi Maharaja dan merebutku dari tangan Trev. Kini, waktu itu tiba. Kita berdua akan menjadi tak tertandingi." Ratu Mazmar memeluk Yaves yang hanya terdiam. Dielusnya punggung pria itu dengan kasih sayang yang tak pernah ia berikan kepada siapapun.
Sorot mata Yaves berkilat merah. Matanya melirik ke arah Mazmar, lalu perlahan tangannya membalas pelukan wanita itu. Merasakan pelukan itu, Ratu Mazmar semakin erat memeluk Yaves.
"Aku mencintaimu, Yaves. Dulu maupun sekarang, aku mencintaimu."
Tak ada jawaban dari Yaves. Namun, Ratu Mazmar tak ingin jawaban apapun. Cinta Yaves padanya telah terbukti bertahun-tahun yang lalu. Karena itu, sekarang lah dia harus membalas cinta itu.
Mata Yaves semakin berkilat merah. Sudut bibirnya berkedut lalu senyum kejamnya terbentuk seakan ada janji kegelapan yang datang dalam badai.
***
Calasha datang ketika Sautesh baru saja akan melangkah ke atas singgasananya. Wanita cantik bergaun putih itu datang dengan wajah datar. Tak ada senyum seperti bagaimana ia tampil di hadapan para dewa lain. Wanita yang dikenal anggun dan cantik, bagi Sautesh ia adalah wanita berdarah dingin.
"Peperangan akan segera dimulai. Apakah kau sudah mendapatkan informasi tentang hal yang kukatakan waktu itu?"
Sautesh mendengus dan menatap Dewi Calasha dengan pandangan angkuh, "Apa kau pikir semua yang kau perintahkan harus kupatuhi semua?"
"Tentu!"
"Ingatlah aku yang menjadi pemimpin di sini."
"Tak ada yang memintamu menjadi pemimpin, kita hanya bergabung untuk bekerja sama."
"Sautesh, kau tak berhak untuk menegakan aturan dalam permainan ini. Akulah kehidupan, aku yang pantas untuk membuat aturan main. Dan kau, harus menurutinya."
Sautesh menggemeretakan gigi lalu terbang hendak menyerang Calasha. Calasha menghindar dan menyapukan angin memukul Sautesh. Ia kemudian melayang dan menyapukan selendangnya. Setiap sapuannya ratusan kristal es membekukan setiap benda yang terkena selendang tersebut.
Sautesh menggeram lalu melemparkan cahaya hitam dari kedua tangannya. Calasha menghindar akan tetapi cahaya itu tetap mengikutinya hingga ia terpojok pada sebuah dinding. Matanya yang cantik itu melotot marah pada Sautesh. Dengan kemarahan tak tertahan lagi ia berteriak.
"Kau Dewa rendahan beraninya kau menggertakku!"
"Ambil kembali cahaya hitammu!"
"Tidak sebelum kau menyetujui persyaratanku."
"Kau tidak berhak!"
"Aku berhak! Dan akan kulakukan dengan caraku."
"Sautesh! Jangan mencoba mempermainkanku."
"Mengapa?" sekejap Sautesh tiba-tiba saja telah terbang dan berdiri di hadapan Calasha. Sang dewi menggeram jijik ketika berhadapan dengan wajah setengah rusak itu.
"Aku jijik melihatmu! Enyah kau dari pandanganku."
"Kau jijik padaku, tapi kau tetap memanfaatkanku."
Sautesh meraih dagu Calasha dan menjepitnya. "Ingat Calasha! Kekuatanmu sekarang lemah, kau tak akan pernah bisa menandingiku. Maka dari itu, aku lah yang menjadi pemimpin dalam permainan ini."
"Cih! Singkirkan tanganmu!"
Mata mereka saling bertatapan dengan tajam. Tak ada yang mau mengalah menurunkan emosi masing-masing.
Calasha sangat jijik dengan dewa yang berada di depannya. Dewa lemah yang arogan dan menjijikan. Tak ada sesuatu yang dapat dibanggakan dari Sautesh. Lalu, apakah ia harus mengalah? Tidak. Calasha tak ingin takluk olehnya, hanya Agra Tar yang boleh menaklukannya.
Sautesh mendengus sinis. Lihatlah, seorang dewi arogan yang tak pernah mau mengakui bahwa dirinya lemah. Membentengi hatinya yang rusak dengan tingkah sombong dan tak tahu diri. Dewa utama? Lalu apa jika dia dewa utama? Hanya beberapa serangan, dia sudah terpojok. Lalu apa yang harus ia banggakan?
"Pergi dari hadapanku!"
"Kau lupa bahwa kau yang datang ke tempatku?"
Sautesh dengan sinis memandangnya penuh cemoohan. Hal yang paling dibenci Calasha, hingga membuat dewi itu mengepalkan kedua tangannya semakin erat. Akan tetapi, cahaya hitam yang mendesaknya membuat wanita itu harus menahan diri.
"Kau berani padaku ketika aku sedang lemah. Ingat Sautesh! Ketika kudapatkan kembali kekuatanku, kau hanyalah butiran debu untukku. Aku akan membunuhmu saat itu juga!"
"Jangan arogan, Calasha! Kau tak akan mendapatkan kekuatanmu tanpa bantuanku, sudah seharusnya kau berterimakasih padaku. Namun, kau ingin membunuhku? Kau pikir aku akan mengijinkan?"
"Memang benar. Berdekatan dengan takdir buruk hanya akan memperburuk suasana hati dan pikiran, pantas saja tak pernah ada yang mau mendekatimu!" cemoohan Calasha tepat mengenai kunci api yang membakar hati Sautesh.
Tangan Sautesh terulur lalu mencengkeram leher Calasha dengan keras. "Calasha! Ratusan tahun aku selalu diam. Namun, kali ini aku tak ingin pasiv lagi mengenai tindakanmu terhadapku. Sudah saatnya aku mendisiplinkanmu."
Calasha megap-megap menghirup udara yang tersendat di paru-parunya. Cekikan Sautesh begitu kuat hingga membuat wajah Calasha memerah. Kedua mata Sautesh sangat dingin tak kenal kasih menatap Calasha. Ia bahagia melihat dewi sombong itu tak berdaya di tangannya.
Deg!
Sautesh tiba-tiba melepaskan tangan yang mencekik Calasha. Ia menatap Calasha yang terbatuk-batuk dengan keras dan berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya.
Sautesh tak mengerti. Ada apa dengan dirinya? Bukankah ia membenci dewi sombong ini, tetapi mengapa melihatnya menderita membuat jantungnya sakit?
Ketika napasnya mulai normal, Calasha menatap Sautesh dengan berang. Ia mengangkat telunjuknya ke arah wajah Sautesh.
"Aku tak akan memaafkan perbuatanmu hari ini. Ingat Sautesh! Entah kau mau menerima atau tidak selepas kerja sama kita usai, kau adalah orang pertama yang akan kubunuh." Calasha mendesis lalu sekejap saja tubuhnya menghilang meninggalkan sisa kabut putih menerpa wajah Sautesh yang termangu tak mengerti.
***
Cygnus duduk sambil menatap papan catur di depannya. Tangannya terulur lalu memindahkan pion prajurit hitam miliknya satu langkah dan memangsa lawannya. "Poin," ucapnya lirih. Tangannya mengelus pion putih yang dimangsa oleh pion hitam miliknya.
"Maafkan aku, Calasha!" sorot matanya memandang kejauhan. Jauh yang tak terukur. Namun, ia tahu ini yang harus ia lakukan.
***
Kanna mengelilingi istana Agra Tar mencari jejak Zarkan Tar. Sudah beberapa putaran ia menjangkau kastil-kastil yang ada di sini. Semuanya indah. Tak ada yang dapat mencela sisi-sisinya. Namun, ia belum juga menemukan Zarkan Tar, suaminya. Entah menghilang kemana pria itu.
Menghela napas dengan kasar Kanna kemudian melangkah ke sebuah taman yang penuh dengan bunga-bunga mensori. Bibirnya tersenyum lebar melihat ratusan bunga mensori berwarna warni. Ia hendak memetik salah satu bunga mensori saat kemudian matanya menatap sebuah gazebo terpencil yang rindang dengan tanaman sulur hingga hampir menutupi gazebo tersebut.
Melihatnya membuat Kanna tertarik. Segera ia langkahkan kakinya, mengamati sebentar lalu dengan menyibak tanaman sulur yang menjuntai hampir ke tanah itu ia masuk ke dalamnya. Ketika tubuhnya telah memasuki gazebo, tanaman sulur tersebut tiba bergerak merapat dan menutup sempurna hingga dari luar tak ada yang mengetahui adanya gazebo tersebut.
Ruangan dalam sangat gelap, akan tetapi Kanna masih bisa melihat benda-benda yang ada di dalamnya. Ia melihat beberapa lilin yang masih ada setengah batang. Dengan sinar yang berasal dari telunjuknya Kanna menyelakan lilin tersebut. Ruangan seketika menjadi terang.
Ruangan ini hanya terdiri dari meja dan bangku. Di meja terdapat dua tumpuk buku tebal yang telah berdebu. Kanna penasaran sehingga mendekat dan memegang buku penuh debu tersebut. Ia meniup debu-debu pada buku tersebut. Lalu saat ia membuka buku itu, ia menyadari satu hal. Ini bukan sebuah buku yang ia bayangkan, tetapi merupakan kotak kamuflase. Saat ia membuka bagian terdalamnya ia mendapati sebuah kunci aneh berlambang huruf A.
Dahi Kanna mengernyit heran. Siapa yang menaruh kunci ini di sini? Apakah ruangan ini sebuah ruangan rahasia?
Kanna memindai penglihatannya lebih teliti. Ia juga bergerak menyentuh bagian-bagian tembok. Entah mengapa ia merasa bahwa ruangan ini bukan ruangan biasa. Sampai kemudian tangannya mneyentuh sesuatu yang aneh. Saat ia raba lebih dalam ia menyadari satu hal, ada cetak huruf pada tembok yang ia raba tersebut.
Rasa penasarannya semakin meninggi. Adrenalinnya berpacu ketika melihat kesempatan besar untuk melihat rahasia-rahasia dalam gazebo ini. Tangan Kanna kembali meraba dan ketika menemukan apa yang ia cari, segera saja ia memasukan kunci tersebut pada cekungan berhuruf A tersebut.
Lantai tiba-tiba bergetar membuat Kanna kaget dan langsung merapat pada tembok di sampingnya. Ia melihat lantai di depannya membelah lalu menampilkan tangga yang menuju ke bawah.
Ada ruangan bawah tanah di sana. Kanna menghirup napas untuk menormalkan detak jantungnya. Tak ia kira dengan mudah ia menemukan ruangan rahasia ini. Masih mengikuti rasa penasarannya, Kanna kemudian segera melangkah menuruni undakan anak tangga menuju ke bawah.
Ruangan bawah tanah sangat gelap. Namun, ketika Kanna menginjakkan kakinya pada lorong tersebut, dari sisi-sisi tembok batu tiba-tiba muncul nyala api begitu saja menerangi setiap lorong yang Kanna lewati.
Sampai ia pada penghujung lorong ia melihat pintu batu besar yang mustahil ia buka dengan tangan kosong. Sekali lagi Kanna meneliti sisi-sisi tembok dan merabanya. Lalu saat ia melihat tombol tuas yang disamarkan senyum Kanna terkembang. Dengan cekatan ia menekan tombol tersebut.
Getaran pintu yang menggeser terbuka membuat Kanna menahan napas. Ia semakin penasaran aka nisi ruang rahasia di dalamnya. Seakan ada sesuatu yang terus memanggilnya, Kanna bahkan lupa dengan Zarkan Tar dan keberadaannya. Pikirannya hanya fokus mencari sesuatu yang entah dia sendiripun tak tahu.
Kolam air besar di depannya membuat Kanna mengernyit heran. Ruangan ini hanya berisi air kolam, tak ada apapun di dalamnya.
"Sentuh air itu, Kanna!" suara berbisik di telinga Kanna. Kanna sekaan tak sadar, ia mengulurkan tangan kanannya lalu mencelupkannya pada air kolam.
Gemuruh air bergejolak lalu membelah tiba-tiba. Belahan itu menampilkan anak tangga yang menuju ke bawah. Dengan tenang Kanna melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Ruangan bawah air ini tak ada cahaya sama sekali. Namun, sebuah meja kecil dengan periuk besar memancarkan sebuah sinar keemasan yang membuat mata siapapun akan tertuju padanya.
Perlahan Kanna mendekati periuk yang bersinar itu. Entah mengapa ia merasakan rasa yang familiar akan periuk ini. Kedua bola mata ungu Kanna membelalak terkejut saat menatap bunga teratai biru yang mekar dengan indah di dalamnya. Bunga teratai paling indah yang Kanna temui.
"Sentuh dia, Kanna! Sudah lama ia ingin bersama pemiliknya." Suara itu berbisik lagi.
Kanna mengamati lebih dekat. Hanya satu bunga akan tetapi terlihat mistis dan menakutkan. Kedua tangan Kanna terulur perlahan. Di sentuhnya kelopak bunga teratai tersebut. Setiap sentuhannya sinar biru tiba-tiba keluar dan masuk ke sela-sela telapak tangan Kanna.
Semakin penasaran Kanna semakin berani menyentuhnya. Perlahan diraupnya teratai biru tersbeut dengan kedua telapak tangannya.
Rasa familiar kembali merasukinya. Kenangan-kenangan aneh berkelebat di benaknya. Kanna mengernyit kesakitan saat kepalanya berdenyut kuat. Ia akan melepaskan bunga ditangannya tetapi bunga teratai tersebut tiba-tiba mengeluarkan sinar biru dan dnegan cepat melingkupi tubuh Kanna.
Mata Kanna terpejam, kesadarannya hilang. Tubuhnya melayang dengan sinar biru yang berputar-putar melingkupinya. Kemudian bunga teratai yang berada di kedua telapak tangannya memasuki tubuh Kanna beserta sinar biru dengan perlahan-lahan.
Saat tak ada lagi sinar yang melingkupinya, tubuh Kanna terjatuh ke lantai tak sadarkan diri. Angin datang berhembus membelai wajah Kanna menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya. Terlihat tanda teratai biru terpatri di antara kedua alisnya.
Sebuah tanda yang akan menyebabkan pergantian takdir para manusia dan dewa.
***
"Apa yang terjadi?" tanya Zarkan Tar pada Rauman yang tengah memeriksa Kanna. Kanna ditemukan ditengah-tengah taman istana Agra Tar dalam keadaan tak sadar. Berkali-kali Zarkan Tar membangunkannya dengan berbagai metode sihir, Kanna seakan terlelap dalam tidur panjang.
Rauman menghela napas dengan berat. Ia memandang Kanna, tepatnya memandang tanda teratai biru di antara kedua alis Kanna. Hal yang menandakan Ia telah gagal mencegah semuanya.
"Ia akan terbangun ketika tubuhnya telah beradapatsi dengan sesuatu yang merasuk ke tubuhnya."
"Apa maksudmu? Apa yang merasukinya?" Zarkan Tar terlihat begitu cemas menatap Rauman.
Rauman menepuk bahu pria muda itu, lalu menghela napas.
"Aku akan berbicara tentang suatu rahasia padamu. Ayo kita keluar dari sini terlebih dahulu!"
Rauman berjalan mendahului Zarkan Tar. Tak berselang lama Zarkan Tar mengikutinya setelah memastikan Kanna aman di tempat tidur.
"Rahasia apa yang ingin kau bicarakan padaku?" Zarkan Tar duduk di hadapan Rauman yang termangu dengan berbagai pikiran. Dewa itu kemudian menatap Zarkan Tar.
"Ribuan tahun yang lalu, saat alam Gartan diciptakan. Sang Esa menciptakan esensi alam yang terlahir bersaudara. Mereka berdua menciptakan sebuah dunia indah yang disebut Gartan. Keduanya saling bekerjasama mendukung takdir mereka masing-masing. Sang Alam Semesta dan Kehidupan."
"Namun, tak cukup hanya membuat alam semesta dan kehidupan untuk menyelesaikan segala permasalahan dunia. Maka Sang Esa menciptakan Kekuatan. Dia adalah ayahmu, Agra Tar. Tiga dewa utama saling membantu menciptakan kedamaian untuk Gartan. Sampai kemudian tercipta satu persatu dewa-dewi lain untuk menjadi bawahan mereka bertiga."
"Takdir tiga dewa utama berbeda dengan takdir dewa dan dewi lainnya. Dewa utama bertugas menjaga perdamaian antar para dewa. Kasih sayang tulus mereka bertiga merupakan anugerah untuk setiap dewa dan juga berimbas pada kesejahteraan manusia."
"Kedamaian itu sangat indah. Tak pernah ada perselisihan apapun. Namun, suatu kehidupan tak akan pernah bisa damai begitu saja. Saat kehidupan menuntut sebuah keegoisan. Kekuatan dan rasa cinta."
"Sang Dewi kehidupan pernah menolong ayahmu ketika Agra Tar terjebak dengan para iblis. Pertolongan tersebut membuat mereka berdua dekat satu sama lain. Akan tetapi, takdir cinta tak berpihak pada keduanya. Masing-masing memiliki jodoh sendiri. Berbeda dengan Calasha yang menentang mati-matian, Agra Tar menerima ketentuan Alam semesta."
"Sampai suatu ketika, Agra Tar menikahi ibumu, Ratu Norva. Kemarahan Calasha semakin memuncak. Ia menyerang Norva dan hampir membunuhnya. Agra Tar datang menyelamatkan ibumu, hal yang membuat Calasha semakin membenci ibumu."
"Lalu ketika kata penolakan dari ayahmu terucap, Calasha semakin gelap mata. Ia menyerang ayahmu. Pertempuran mereka berdua tak terelakan lagi. Pada akhirnya, tak ada yang bisa mengalahkan kekuatan ayahmu. Ia mencabut setengah kekuatan Calasha. Kekuatan itu tersegel dalam bentuk bunga teratai biru. Aku dan ayahmu lah yang menyembunyikannya."
"Karena ayahmu mematahkan kekuatan Calasha, Sang Alam Semesta menghukumnya dengan membuat satu malam yang disebut Gregoria. Malam di mana seluruh rasi bintang dalam satu garis lurus di langit, maka seluruh kekuatan ayahmu akan menghilang dalam satu malam itu."
"Zarkan Tar, Kanna sepertinya menemukan ruang rahasia teratai biru yang kami sembunyikan dan kekuatan dewi telah terserap ke dalam tubuhnya. Teratai biru hanya mengenali pemiliknya, karena itu, Kanna dalam masalah besar. Calasha tak akan pernah tinggal diam jika mengetahui ada pemilik lain yang berhak dengan kekuatan itu."
"Kanna, dia ...."
Pintu terbuka dengan keras menampilkan Zeon yang berjalan dengan terburu-buru. Ia menatap Zarkan Tar dan ayahnya dengan panik.
"Ada apa?" Zarkan Tar berdiri, Zeon terlihat begitu panik. Hal yang tak mungkin ia tunjukkan jika tak ada masalah besar.
"Para Gort menyerang ... mereka telah memusnahkan beberapa desa." Zeon mencengkeram pedangnya dengan erat. Sedangkan Zarkan Tar beralih memandang di kejauhan sana.
Sosok lain memasuki ruangan dengan baju jirah yang telah terpasang di tubuhnya, Heragold, Sang Komandan pasukan Samhian.
"Yang Mulia, kami ... melihat pasukan Raja Yaves. Mereka datang dari arah selatan menuju Istana Samhian."
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top