Part 20. Takdir yang Semakin Dekat

Pintu aula terbuka dengan keras disertai jeritan seseorang yang terlempar jauh. Tiba-tiba dari tubuhnya keluar api besar lalu tak lama kemudian meledak memusnahkan seluruh tubuhnya. Tak menyisakan sedikitpun sisa-sisa tubuh.

Yeva dan para dayang lain menyaksikan semuanya dengan mata membelalak ngeri. Sang Mahadiraja sedang marah, pikir mereka semua. Kepala dayang kembali berbalik meneliti dayang-dayang yang lain. Jangan sampai ada kesalahan yang akan memicu kemarahan Yang Mulia berikutnya.

"Kalian tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apapun. Ingat yang telah aku ajarkan, jangan pernah menatap Yang Mulia Raja dan Ratu. Tetaplah tundukan kepala." Kepala Dayang memandang seluruh anak buahnya satu persatu. Tatapannya kemudian berhenti pada wajah Yeva yang ikut menunduk.

"Kau! Kemari!"

Yeva mendongakkan wajahnya dan menatap mata Kepala Dayang yang terlihat gelisah. Dengan anggun ia keluar barisan lalu perlahan melangkah menuju wanita paruh baya itu.

"Khusus untukmu, jangan melakukan kesalahan apapun." Kepala dayang memeriksa suhu botol anggur yang di nampan Yeva.

"Mengapa ini dingin? Aku yakin sekali anggur ini kubuat hangat." Ia mendesah lalu memeriksa dengan detail botol anggur tersebut.

Hati Yeva bergetar. Jantungnya pun berdetak cepat. Gadis itu takut kepala dayang menyadari perbedaan anggur beracun tersebut.

"Ini sudah tidak ada waktu untuk membuat yang baru," desah kepala dayang dengan kalut. Seorang pria berseragam pelayan kelas tinggi istana datang menghampiri mereka.

"Ada apa?" tanyanya.

"Ah, Regard! Bagaimana ini, anggur yang kubuat untuk yang Mulia mendingin tiba-tiba." Berkeluh kesah Sang Kepala Dayang mengulurkan botol anggur tersebut. Pria bernama Regard mengambil botol itu lalu mencium ujung tutupnya. Ia menganggukan kepalanya mengerti.

"Yang Mulia tak menyukai anggur buah ini, sebaiknya kau ambil anggur plum hitam, Yang Mulia sangat menyukai anggur tersebut."

"Ah, Benar. Aku akan mengambil anggur itu. Kau ikut aku!" Kepala Dayang hendak menyeret Yeva tapi dihentikan oleh Regard.

"Aku membutuhkan salah satu dayang untuk melakukan sesuatu, bisakah aku meminjamnya?" tanya Regard dengan menunjuk pada Yeva. Kepala dayang menatap Yeva sebentar lalu mengangguk.

"Ia dayang baru, kau harus memberikan rincian pekerjaan jika ingin menggunakannya."

Regard mengangguk pada Kepala Dayang sebelum wanita itu pergi dengan dua orang dayang lainnya. Ia kemudian melirik Yeva dan berkata dengan dingin. "Ikuti aku," melempar tangannya ke belakang ia kemudian melangkah pergi disusul Yeva yang cemberut.

Mereka berdua tiba di suatu ruangan sempit di pojok kastil sebelah barat. Yeva masuk dengan perlahan. Menyesuaikan matanya dengan kondisi ruangan temaram ia menajamkan penglihatannya. Tiba-tiba pintu tertutup dengan sendirinya membuat gadis itu terpekik berbalik melihat pintu.

Jantungnya berdetak kencang, ia merasakan firasat buruk. Menyesal ia mengikuti Regard kemari.

"Sudah puas kau memandangi pintu itu?" suara yang dikenal Yeva mendesis tajam di dekat telinga Yeva. Berjingkat Yeva menjauh dan berlindung di pojok ruangan memandang Anpa. Sorot matanya ketakutan dan pikirannya berkecamuk dengan berbagai pikiran negatif.

"Apa ... bagaimana kau bisa memasuki istana ini?" Yeva tak percaya bahwa ia ditemukan begitu mudah oleh Anpa.

Anpa terkekeh sinis menatap Yeva dengan tajam. "Aku bukanlah wanita bodoh sepertimu, Yeva. Tak akan kubiarkan kau merusak seluruh rencana kami. Kukatakan sebelumnya bahwa jangan pernah mengkhianati kami. Namun kau mencobanya dengan tanpa ragu." Tongkat Anpa mendesak ke dada Yeva membuat tubuh gadis itu bergetar ketakutan.

"A, Aku ... aku tak bermaksud mengkhianatimu, aku hanya ingin membunuh Zarkan Tar dengan cepat. Hari ini lah kesempatan itu datang."

"BODOH! Kau benar-benar tak bisa membaca situasi. Kau pikir dengan racun yang kau bawa Zarkan Tar tak akan mendeteksinya ha? Sedangkan seorang dayang rendahan saja sudah mengetahui perbedaan botol anggur yang kau bawa itu."

Yeva menundukkan kepalanya. Tidak mungkin, itu artinya ia tak bisa menunggu Zarkan Tar terbunuh sekarang?

"Ingat wahai Putri! Aku memberimu kesempatan terakhir kali ini. Berikan semua kalung dan bola roh yang kau bawa dari istana Dewa Sautesh, kau akan kumaafkan kali ini."

Yeva mendongakan wajahnya menatap Anpa yang dengan begitu serius menatapnya tajam. Benar. Ia tak punya pegangan apapun untuk melawan Zarkan Tar sendirian. Ia butuh sekutu handal dengan kekuatan yang dapat di andalkan. Anpa mungkin adalah orang itu.

"Baiklah," lamat Yeva berucap lirih. Senyum jelek Anpa tersungging lalu mendekati Yeva. Jemarinya terulur memegang dagu gadis itu dengan kencang.

"Yeva, bersabarlah! Waktu kematian Zarkan Tar semakin dekat. Saat itu, kau bahkan bisa menguasai istana ini. Aku tak mungkin mengecewakanmu, saat itu tiba kau akan tertawa penuh kuasa sebagai pemilik Samhian yang baru. Apa kau mau?"

Yeva menatap Anpa dengan sorot ketakutan tetapi juga penasaran. Ia menginginkan kebenaran kata-kata itu. Menuruti nafsu hatinya, Yeva akhirnya mengangguk.

"Ya! Ya! Aku lah pemilik Samhian berikutnya."

***

Ratu Mazmar melempar gelas yang berada di tangannya ke lantai. Gelas tersebut pecah berkeping-keping. Warna merah cairan mengotori lantai putih istana tersebut. Ia menggeram menatap undangan pernikahan di depannya.

"Zarkan Tar menikahi gadis lain? Gadis yang tidak diketahui asal-usulnya. Mengapa bisa begini? Apa yang terjadi pada Yeva? RAM!!!" Sang Ratu menjerit memanggil sosok Ram. dengan sigap pria tu langsung datang ke hadapan Ratu.

"Mengapa kau tak melaporkan semua kejadian ini? mengapa kau tak melaporkan tentang gadis lain yang masuk istana Samhian?" Ratu Mazmar melempar undangan berwarna emas itu ke wajah Ram. matanya melotot dengan hidung dan mata memerah menahan amarah besar.

"Ini kesalahan hamba. Hamba benar-benar melewatkan semua hal ini. berita terakhir yang kudengar bahwa Putri yeva pergi dari Samhian, dia ... pergi sendiri."

Kepalan tangan Sang Ratu semakin keras. Matanya melotot hingga menampakkan pupil hijau matanya yang mengandung kobaran api.

"Zarkan Tar kembali mengejek dan menginjak-injak harga diriku!" giginya terkatup menahan kebencian yang semakin tinggi.

"RAM!"

"Hamba Yang Mulia!"

"Kirimkan surat ke Raja Valia! Katakan padanya pasukan kita siap untuk berperang." Seusai memberi perintah Sang Ratu memutar tubuhnya lalu dengan langkah cepat ia pergi meninggalkan Ram.

Ram menatap kepergian Ratu Mazmar dengan penuh hormat, kemudian perlahan ia berbalik dengan senyum sinis tersungging di bibirnya. Melangkah dengan cepat ia pergi ke arah barat di mana kamp pasukan Pulau Suci berada.

Tak diragukan bahwa manusia-manusia pulau suci mempunyai kekuatan di atas rata-rata manusia pada umumnya. Suntikan kekuatan yang terus bertahap diberikan pada prajurit berasal dari muara sungai suci yang mengaliri kamp militer. Air yang dapat membuat elemen-elemen kekuatan sihir semakin meningkat dan menciptakan senjata masing-masing dari setiap tubuh. Karena itu, pasukan pulau suci disebut pasukan anugerah surga, karena hanya pasukan mereka yang mempunyai senjata berasal dari darah mereka sendiri.

Sesampainya Ram di gerbang kamp militer. Dengan angkuhnya ia memasuki pintu gerbang.

"Kumpulkan para prajurit sekarang juga!" sahut Ram ketika melihat Issac yang keluar dari tenda Kamp besar khusus untuk komandan tertinggi. Issac mengangguk dengan bingung, tetapi ia kemudian segera pergi melaksanakan perintah Ram. Ketika ia merasa aman, ia masuk ke sebuah tenda seorang prajurit lalu menuliskan sesuatu pada sebuah kertas dan membentuk kertas tersebut menjadi sebuah burung. Burung kertas itu kemudian terbang menuju tempat di mana Issac menyebutkan nama seseorang.

***

"Mengapa Yang Mulia menatapku seperti itu, ingatlah bahwa kita sedang berada di hadapan ratusan para tamu." Kanna berbisik sambil melirik Zarkan Tar yang tak henti menatapnya.

Zarkan Tar terkekeh. Ia mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat pada Kanna lalu berucap, "Aku lebih menyukai seribu kali memandangmu dari pada memandang mereka."

Kanna bersemu merah sambil berdecak kesal. "Masih saja suka menggodaku," Kanna menyingkirkan tangan Zarkan Tar yang menangkup tangannya.

"Siapapun yang melihat wajahmu sekarang pasti tak akan ada yang percaya bahwa sejam yang lalu kau telah memusnahkan seseorang," ia mengelus dagunya sambil terkekeh, "Tapi aku sangat menyukai raut wajahmu saat membunuh Halius."

"Yang Mulia ...."

"Kau sudah tidak betah di sini kan?"

Kanna menatap Zarkan Tar yang seakan tahu kondisi hatinya. Pria itu tersenyum manis lalu menganggukan kepala, "Sejujurnya aku tak pernah betah duduk di atas singgasana dengan para pejabat yang terus memberondongku dengan keluhan-keluhan masalah sepele. Begitupun hari ini, lihatlah berapa pejabat yang berupaya menjilat dengan tumpukan hadiah-hadiah yang menggunung. Apa mereka pikir kau akan kekurangan barang-barang mewah di sini?"

Kanna terkekeh lalu menatap suaminya yang sedang terbakar cemburu. "Kau bahkan akan mencemburui para pejabatmu sendiri yang memberiku hadiah?"

"Mereka menatapmu. Lihatlah, ada tiga ratus kepala yang diam-diam mencuri pandang ke arah sini."

"Dia melihat kita berdua Yang Mulia, memandangku itu artinya dia pun memandangmu. Lihatlah pada kelompok putri para pejabat di sana, berapa ratus pasang mata yang seakan ingin melahapmu." Kanna mendengus saat menengok ke arah tribun kiri di mana diisi para wanita yang terdiri dari istri dan anak-anak para pejabat istana.

Zarkan Tar mengelus pipi Kanna, hal yang membuat para wanita di sana terkesiap. "Aku lebih suka melahapmu daripada mereka. Jadi, mengapa kau tak menatapku seperti mereka?" Zarkan Tar semakin tersenyum saat pipi yang ia elus semakin merona.

Kanna kemudian melihat Zarkan Tar mengangkat tangannya dan dengan jentikan jari sebuah sinar keluar lalu menyebar dengan cepat ke seluruh Aula. Mata Kanna memindai ke segala penjuru ruangan menatap tamu-tamu, selain Zeon dan Rauman, menjadi kaku bak patung manusia dengan beragam tingkah.

"Mengapa kau menghentikan waktu?" kanna bertanya sambil mengernyitkan dahinya.

"Malam ini malam pernikahan kita, tapi kau dan aku tak menyukai pesta ini. Hanya para tamu yang begitu antusias dengan gemerlapnya pesta. Jadi untuk apa meneruskannya? Ayo! Aku akan membawamu ke suatu tempat."

Zarkan Tar membawa Kanna berdiri kemudian menatap Zeon dan Rauman yang tidak terpengaruh sihir Zarkan Tar.
"Kami akan pergi, tolong urus di sini!" Tanpa mendengar jawaban Zeon, Zarkan Tar meraih Kanna lalu tiba-tiba menghilang bak ditelan udara.

Melihat kepergian Zarkan Tar dan Kanna, Zeon menghela napas. Ia kemudian mengedarkan pandangannya menatap ratusan tamu yang terdiam kaku bagaikan patung-patung.

***

Atheras menatap Ratu Mazmar. Di hadapan Sang ratu terdapat tubuh dan kepala Raja Yaves. Tangan Atheras mengusap-usap jari jemarinya. sedangkan Sautesh berdiri di sisi lain sebagai penonton.

"Aku akan membangkitkannya, akan tetapi konsekuensi setelahnya kau harus menanggungnya sendiri. Kekuatannya mungkin akan pulih tapi akal pikirannya akan berbeda seperti dulu."

Ratu Mazmar mengangguk dengan mata masih menatap wajah Yaves. "Aku akan menanggung segala konsekuensinya." Lirih ia berucap tangannya menggenggam tangan dingin Yaves. Seakan rasa dingin itu bukanlah sebuah gangguan. Hatinya yakin, ini lah hal yang benar. Ia akan meneruskan perjuangan dan cintanya.

Atheras tersenyum miring. Dewa Kematian itu kemudian mengangkat tongkatnya. Ia lalu merapalkan sebuah mantra dengan lamat-lamat, sedangkan tongkatnya di arahkan pada kening Raja Yaves.

Angin bertiup kencang menerbangkan tirai-tirai dari jendela besar. Ratu Mazmar tak bergeming. Ia tetap di sisi Raja Yaves meski rambutnya berkibar tertiup angin. Suar sinar hitam tiba-tiba masuk melalui kening Raja Yaves. Tubuh itu bergetar dan lingkaran berwarna hitam menyelubungi tubuh Sang Raja.

Rata Mazmar terbelalak senang saat garis leher Yaves kembali menyatu. Ia melihat wajah pucat itu kembali berwarna dan jemari yang ia genggam perlahan membalas genggamannya. Lalu, saat mata pria yang ia cintai perlahan terbuka, Ratu Mazmar menitikkan air mata bahagia. Tak ia sadari, sorot mata Raja Yaves sekilas berkilat dengan cahaya merah.

Menenangkan dirinya, ia kemudian berdiri perlahan dan menghadap Atheras. "Sesuai janjiku, wahai Dewa Atheras! Aku akan menyerahkan giok jiwa milik Agra Tar. Harta tersembunyi yang bahkan Zarkan Tar tak pernah mengetahuinya."

Wanita itu menyodorkan kotak kecil dan menyodorkannya pada Atheras. Berbinar sang Dewa Kematian mengambil kotak itu. Ia kemudian tertawa terbahak-bahak merasakan euphoria kemenangan selama ratusan tahun pencariannya. Jika saja ia tahu giok jiwa Agra Tar ada di Pulau Suci, pasti telah lama ia akan menjadi dewa terkuat di langit sana.

Masih dengan tawanya Atheras kemudian menghilang meninggalkan Sautesh yang terdiam menatap Raja Yaves.

Sautesh perlahan menghampiri Ratu Mazmar yang kembali menggenggam jemari raja Yaves. Meski hidup kembali, sorot mata Raja Yaves tak terlihat hidup. Hampa dan kosong seakan tak ada kehidupan di sana.

"Peperangan akan dimulai. Jangan mengingkari janjimu." Sautesh memandang dingin, sedangkan Ratu Mazmar hanya emnganggukan kepalanya.

"Aku sudah menyerahkan token akses pasukan pulau suci pada komandan Valia. Mereka akan bergerak ketika Yaves bangkit. Itu hanya tinggal menunggu hitungan hari. Maka ... takdir hidup Sang Mahadiraja akan berakhir." Suara Ratu Mazmar sangat dingin. Matanya menajam seakan Zarkan Tar berada di hadapannya.

"Sudah terlalu lama ia menginjak harga diri kami berdua, maka saat ini tak akan ada kesempatan lagi untuk ia lari dari kematiannya."

Sautesh tersenyum sinis saat melihat kekejaman di mata Ratu mazmar.

"Aku akan menunggu hari itu tiba," suara Sautesh bergema sebelum kabut hitam tiba-tiba melingkupi tubuhnya lalu menghilang seketika.

***

"Di mana ini?" Kanna menatap istana megah di depannya. Sangat megah sampai tak ada deskripsipun yang sanggup mendeskripsikannya.

"Istana Agra Tar." Jawaban pria itu membuat Kanna menengok dan menatap suaminya. Wajah tanpa emosi bahkan membuat Kanna semakin penasaran.

"Mengapa membawaku ke sini?"

"Aku tak ingin malam pernikahan kita berada di tengah-tengah gempita para tamu kerajaan. Mereka sangat mengganggu."

Pintu besar terbuka menampilkan hiasan dan ukiran indah. Tak ada yang tak menyukai keindahan. Begitupun dengan Kanna, ia begitu takjub melihat seisi Istana yang sepenuhnya bernuansa emas. Ia kemudian berbalik dan tersenyum menatap suaminya.

"Kau tak pernah tinggal di sini?"

Zarkan Tar menggelengkan kepalanya. "Aku sudah berjanji akan membawa istriku ke sini. Jadi ini pertama kalinya aku akan bermalam di sini."

Kanna menganggukan kepalanya mengerti. Ia kemudian menatap sebuah lukisan seorang pria dan wanita. Pria yang mempunyai bola mata berwarna emas dan wanita cantik dengan senyum mempesona. Lukisan yang indah dan menenangkan siapapun yang melihatnya.

"Ratu Norva," Kanna melepaskan tangan Zarkan Tar yang merangkul pinggangnya lalu berjalan ke depan lukisan tersebut.

"Ia sangat cantik." Kanna membelai lukisan di depannya. Bibirnya tersungging senyum indah seakan menatap lukisan itu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untuknya.

"Kanna," Zarkan Tar membalikkan tubuh istrinya. Menatapnya lekat lalu mengecup keningnya.

"Sebelum mengakuiku sebagai suamimu, aku ingin membicarakan sesuatu."

Kanna menatap kedua bola mata emas pria itu. Wangi mensori dari tubuhnya seakan mengembalikan nostalgia pertemuan mereka berdua.

"Aku pernah berniat membunuhmu," ucapnya tercekat. Ia tak takut Kanna lari darinya, ia bisa mengejarnya kemanapun wanitanya berlari. Akan tetapi, ia takut jika Kanna membencinya.

Kanna terdiam. Matanya mengawasi segala emosi yang berkecamuk pada wajah suaminya. Rasa takut, kecewa, marah, dan kesedihan terlintas silih berganti pada wajah yang tak biasa menampilkan emosi tersebut.

"Kala itu, di hutan ketika kita berburu. Aku berniat membunuhmu."

"Pada akhirnya aku menyadari, seluruh kekuatanku runtuh seketika ketika membayangkan jika kau mati. Melihat ular di belakangmu membuatku menyadari satu hal. Aku benci melihat siapapun yang berniat melukaimu. Aku ...."

"Cukup ...." Kanna menangkup wajah suaminya dengan kedua telapak tangannya.

"Aku tahu. Aku tahu kau akan membunuhku waktu itu," Kanna membelai kedua rahang Zarkan tar. Gadis itu tersenyum kemudian mengecup bibir suaminya.

"Bahkan jika kau meminta nyawaku, aku akan menyerahkannya. Aku tahu kau melakukannya karena takdir ramalan itu. Dan jika suatu hari nanti, tangan ini, tangan yang ditakdirkan membunuhmu mengangkat senjata padamu. Kumohon kepadamu Yang Mulia, bunuhlah aku." Air mata Kanna menetes.

Zarkan Tar memeluk tubuh Kanna dengan erat. Sepinya istana membuat isak tangis Kanna terdengar menyesakkan. Bahkan bujuk belaian Zarkan Tar tak bisa menghentikan sesak di hati mereka berdua.

Cinta mereka nyata, berkobar indah dan semakin membesar. Entah kapan takdir itu akan terlaksana. Tak ada yang menginginkan kematian mereka jatuh di tangan satu sama lain. Bahkan bila janji sehidup semati terikrar, hanya satu yang akan berkorban.

***

Zeon mengantar tamu terakhir di gerbang istana. Ia kemudian berbalik dan melangkah hendak kembali ke tempatnya. Namun, langkahnya terhenti saat desau angin menyapu tubuh membuat rambutnya berkibar. Tubuhnya bergetar dengan mata terpejam. Saat ia membuka matanya napasnya seakan tak beraturan.

Rauman menghampiri Zeon yang masih terlihat linglung dan berusaha menormalkan napas. "Ada apa? Kau melihatnya?"

Zeon mengangguk. "Takdir itu semakin dekat, Ayah!"

Ia kembali memejamkan matanya saat bayangan demi bayangan melintas dengan cepat di kepala. Ia berteriak seakan kesakitan. Saat matanya membuka kembali, air mata bergulir membasahi kedua pipinya.

"Peperangan akan segera dimulai ... tak ada jalan untuk menghentikannya." Zeon berpegangan pada ayahnya. Ia menatap ke atas langit malam yang gelap. Getar tubuhnya tak bisa berhenti.

"Dan dia, sang takdir masuk dalam peperangan itu." Zeon berucap lemah sebelum kesadarannya jatuh dalam kegelapan pekat.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top