4. SEBUAH SUMPAH
Liz menatap bayi mungil yang berada di pelukannya dengan raut wajah sendu. Bayi malang yang bahkan baru beberapa jam dilahirkan harus diburu karena takdir yang tak diinginkannya. Apa salah bayi ini? liz mengusap air matanya. Ia kembali menengok ke belakang. Memandang atap istana mungil kediaman selir Arneth.
Arneth, aku berjanji akan melindungi putrimu. Sumpahku, sampai mati aku akan melindunginya. Liz mendesah sedih.
"Liz!" panggil Ram yang berada di belakangnya. Liz berhenti berjalan ketika mereka telah sampai di perbatasan area hutan dan pantai yang diketahui merupakan gerbang rahasia, pintu keluar dari Pulau Suci ini.
"Ada apa Ram?" tanya Liz sambil mengusap air matanya. Ia melihat Ram menunduk. Terdiam dan terlihat sedang berpikir.
"Kau kenapa?" tanya Liz kembali.
"Kita harus kembali! Aku tak bisa membiarkan Arneth berkorban sejauh ini demi putrinya."
"Ram! Apa kau sadar apa yang telah kau ucapkan?" Liz menatap Ram dengan sorot tak percaya.
Ram mendongakkan wajahnya. Matanya menatap bayi yang berada dalam gendongan Liz, "Bayi ini! karena bayi ini Arneth harus mati, jika kita menyerahkannya pada Ratu Mazmar, Arneth akan bebas. Kita akan menyelamatkannya!"
"Ram! Apa kau gila? Kau percaya pada ratu jahat itu?"
"Ratu Mazmar hanya menginginkan nyawa bayi ini Liz!"
'Plaaak!' tamparan Liz berkumandang dalam heningnya hutan. Pipi kiri Ram berdenyut, seketika memerah karena tamparan itu.
"Sadarlah Ram! Jangan percaya pada Ratu Mazmar! Hilangkan pikiran itu, kita sudah bersumpah akan selalu berada di sisi Arneth," Liz menatap tajam Ram.
Pria itu perlahan mengangkat tangan kirinya mengusap pipi yang ditampar Liz.
Liz berani padanya? Liz menamparnya? Sejak kecil, Liz adalah gadis pengecut yang akan selalu kalah dan menangis jika di hadapannya. Liz menamparnya? Degup jantung Ram berdetak cepat. Kemarahan bangkit, matanya melotot tajam. Ia memutar kepalanya menatap Liz yang tengah membelai bayi yang terbungkus selimut berwarna emas itu.
Semua gara-gara bayi ini. Arneth sampai berani mengorbankan nyawanya. Liz berani menentang dan menamparnya. Bayi ini adalah makhluk terkutuk. Bayi ini harus ia bunuh. Karena dia lah, pujaan hatinya akhirnya akan mati sia-sia. Dan sahabatnya berani menaruh tangan padanya.
"Serahkan bayi itu padaku!" Ram berkata dengan tajam.
Liz mendongak dan menatap Ram seakan pria itu telah gila mendadak.
"Jangan berani menyakitinya Ram. Aku mungkin tak sekuat dirimu, tapi aku akan melindunginya sampai mati."
"Kau konyol Liz! Bayi itu bukanlah apa-apa. Kau mengabaikan nyawa Arneth demi bayi yang bahkan tidak kau lahirkan!" teriak Ram, matanya memelototi Liz. Kobaran kebencian sangat terlihat dalam sorot mata itu.
Liz beringsut. Ia mundur beberapa langkah kaki. Matanya awas menatap Ram. Dipeluknya erat-erat bayi yang berada dalam dekapan.
Ram sudah gila. Satu pikiran Liz, Ram bukan lagi sahabatnya yang dulu.
"Kau..apa yang akan kau katakan pada Arneth jika ia tahu kau mengkhianatinya?" lirih Liz berkata dengan mata berkaca-kaca.
"Aku tak mengkhianatinya! Aku lah yang akan menyelamatkan nyawanya."
"Kau gila!" sentak Liz, kepalanya menggeleng-geleng keras seakan tak percaya Ram berubah menjadi sosok yang tak ia kenali.
"Berikan bayi itu, Liz! Jangan paksa aku untuk membunuhmu sekarang juga."
"Tidak!" Liz semakin mendekap bayi yang ada di pelukannya. Matanya mengawasi pergerakan Ram.
"Jadi, kau lebih suka jika aku menyakitimu? Baiklah, Liz...kau akan mendapatkan apa yang kau mau!"
Ram mengangkat tangan kanannya. Matanya memelototi Liz dengan janji kekejaman. Lalu, suar api melingkupi tubuh Ram. Ia bergerak menerjang ke arah Liz.
Liz berbalik dan mengangkat tangannya. Memutar tangan kanannya ke arah tanah.
'Duuammm!' tanah bergetar, lalu secara ajaib tanah bergerak tumbuh ke atas, perlahan menjadi sosok-sosok manusia tanah.
Ram tersenyum sinis, "Kau pikir manusia tanahmu dapat menghalangiku membunuhmu? Mereka hanya tikus-tikus kecil untukku Liz," Ram terkekeh. Ia kembali maju, menerjang ratusan manusia tanah yang dibangkitkan Liz.
Suara derak tanah yang hancur membuat Liz semakin berlari kencang sambil mendekap bayi. Ia kembali mengangkat tangannya lalu melambai pada beberapa dahan pohon. Dahan pohon di depannya bergerak menyulurkan dahannya memanjang. Liz melompat pada dahan tersebut. Ditengoknya kondisi manusia tanahnya yang sebagian telah hancur terbakar pukulan api Ram.
"Ayo pergi!" perintah Liz. Dahan yang menopang tubuh Liz bergerak ke atas. Lalu berputar kemudian terbang menuju arah selatan menuju lautan.
Ram mendongakkan kepalanya ketika melihat sekelebat dahan pohon yang ditunggangi Liz. Senyum miringnya terbentuk. Ia kembali melayangkan pukulan apinya pada manusia tanah terakhir. Seluruh manusia tanah buatan itu hancur. Ram menjejakkan kakinya dengan keras kemudian bergerak melayang mengejar Liz.
Degup jantung Liz berdetak cepat ketika menengok ke belakang. Lintasan api mengejarnya menandakan Ram tengah mengikutinya.
"Ya Dewa! Selamatkan kami," lirihnya mendekap bayi yang ada di pelukannya.
Ram semakin tersenyum kejam saat jarak dahan tunggangan Liz semakin dekat. Ia mengepalkan tangan kanannya lalu sekuat tenaga memukulkan kepalan tersebut.
'Wuuushh!' sebuah bola api keluar dari kepalan tangan tersebut.
Liz terbelalak ngeri saat kiriman bola api itu dengan cepat menyambar dahan tunggangannya. Ia bergerak lalu melompat dari dahan tersebut. Liz memejamkan matanya sambil tetap mendekap lembut sang bayi ketika ia melompat menuju rimbunan pohon di bawahnya.
'Slaashhh!'
'Duaarrr!'
Liz terhenyak saat panas api memukul punggungnya. Sentakan kaget membuatnya tak sengaja melepas dekapannya pada sang bayi. Bayi yang terbungkus kain itu terlepas lalu jatuh melayang.
"Tidak!!!" Liz berteriak, ia berusaha menggapai sang bayi. Namun, ketika tangannya hampir menggapai bayi tersebut sebuah tendangan menghantam ulu hatinya membuatnya terbatuk dan mengeluarkan segumpal darah.
Ram bergerak cepat lalu meraih bungkusan bayi tersebut. Kembali ia melihat Liz yang kehilangan keseimbangannya, Liz berputar-putar lalu bergerak jatuh dengan cepat di rimbunnya pepohonan.
Tak ingin menyia-yiakan usahanya, Ram segera mengejar Liz. Memastikan gadis itu mati agar tak menghalangi usahanya lagi.
Liz terbatuk kembali saat seteguk darah menggelegak dari kerongkongannya. Tanah basah hutan membuatnya cepat tersadar. Ia perlahan bangkit, hatinya cemas ketika memikirkan nasib bayi sahabatnya itu.
Perlahan dengan bantuan batang pohon ia mencoba bangkit berdiri. Namun, belum sampai sempurna bangkit aura panas yang ia kenali membuatnya tertegun.
"Liz, kau benar-benar menyusahkanku! Seandainya kau menyetujui saja rencanakau, kau tak akan sesusah ini. Aku mungkin akan mengantarkan kematianmu dengan tenang."
Ram berdecak. Satu tangannya memegang bayi yang sudah tak terbungkus rapi. Bayi itu merengek lalu menangis menjerit.
"Ram! Jangan sakiti dia, demi persahabatan kita. Kumohon jangan sakiti dia!" Liz terisak menatap bayi yang sedang menjerit tangis itu.
"Kau tidak mempunyai pilihan Liz. Karena aku sudah bersumpah, akan membunuhmu di sini."
"Ram!"
Ram tertawa terbahak-bahak mengiringi tangisan bayi yang menghiasi sepinya hutan. Liz menggelengkan kepalanya dengan sedih. Rasa tak berdaya menyelimuti hatinya.
"Ram, kau boleh membunuhku, tapi kumohon jangan serahkan bayi itu pada Ratu Mazmar." Ucap Liz dengan tangis pedih.
"Sudah kubilang, kau tak punya pilihan!!!" Ram meraung marah. Ia bergerak cepat menuju kearah Liz. Liz terbelalak saat menatap kepalan tangan penuh api Ram meninju dirinya.
"Aaakkkhhh!" Liz menjerit ketika pukulan api itu meninju dadanya dengan keras. Ia terlempar lalu terpelanting menabrak sebuah pohon tua.
Liz mengeluarkan darah hitam dari mulutnya. Ia tahu pukulan ram kali ini bukan pukulan biasa. Pukulan itu penuh racun api yang bermaksud untuk mengoyak organ dalamnya. Ram benar-benar berniat membunuhnya.
Terbatuk keras dengan rasa panas yang mulai menjalar ke segala organ tubuhnya, Liz menangis. Air mata campuran kesakitan dan kesedihan bercampur jadi satu. Ia memandang Ram yang tertawa terbahak-bahak menatap bayi yang ia angkat dengan satu tangan kiri pria itu.
Arneth! Maafkan aku...
Liz menutup matanya saat rasa lelah tak bisa lagi ia lawan.
***
"Liz...Liz..." guncangan dan panggilan dari Ben membuat Liz membuka matanya. Bayangan buram wajah Ben kemudian semakin jelas di matanya.
"Ben..."
"Kau pingsan lagi. Syukurlah sekarang kau sudah sadar, ayo minum obatmu!" ben menghela napas lega. Dibelainya wajah wanita yang ia cintai itu.
Liz perlahan, dengan dibantu Ben, bangkit dari rebahannya. Wanita itu memandang sekelilingnya. Ia telah berada di kamarnya sendiri.
"Kanna, apa dia mengetahui aku pingsan?" tanya Liz.
Ben menggeleng, "aku tak menemukan dia di sini ketika mengantarmu pulang. Kucari ke segala penjuru rumah ini tapi ia tak ada."
Liz meneguk ramuan hitam yang disodorkan Ben. Setelah menuntaskan isinya, ia mengelap bibirnya dengan sapu tangan yang diserahkan pria itu.
"Dia pasti ke hutan gelap lagi," ucap Liz. Raut kecemasan menghias wajahnya, "aku takut mereka menemukannya Ben."
"Tenanglah Liz, kekuatan Kanna tidak akan ditemukan oleh mereka. Lagipula orang-orang pulau suci baru saja datang kemari, mereka tidak akan menemukan persembunyian kalian. Percayalah!"
"Bukan Ben, orang-orang pulau suci bukanlah ancaman besar untuk saat ini. Yang kutakutkan, Kanna menghadapi bahaya besar yang lain," Liz menggenggam erat jemari Ben. Rasa cemasnya masih belum hilang.
"Apa maksudmu?" tanya Ben ketika melihat keseriusan di wajah Liz.
"Zarkan Tar."
Ben menatap Liz dengan bingung, "apa hubungannya dengan Sang Mahadiraja?"
"Kemarin Kanna membawa sebuah anak panah emas. Kau tahu dengan pasti hanya satu orang yang memiliki panah itu," lirih Liz bercerita, "aku takut Kanna bertemu dengannya, aku takut Zarkan Tar menyadari siapa Kanna. Kau tahu akan konsekuensi itu, Ben? Zarkan Tar pasti akan membunuhnya."
"Liz! Kau terlalu memikirkan hal yang tidak-tidak. Istirahatlah, biar aku yang akan mencari Kanna." Ben mendorong tubuh Liz agar kembali rebahan. Diambilnya selimut yang berada di samping wanita itu kemudian menutupi tubuhnya rapat-rapat.
"Jangan berpikiran yang akan menyebabkan kerja jantungmu semakin cepat! Aku akan mencari Kanna." Ben beranjak berdiri, dipandangnya sekali lagi wajah pucat Liz lalu segera berlalu keluar dari kamar.
Liz memandang kepergian Ben dengan sendu, "takdir telah mempertemukan mereka, Ben. Saat ini hanya pertaruhan nasib saja yang akan menyelamatkan Kanna. Semoga Sang Mahadiraja tak menyadari siapa Kanna," lirih Liz sebelum memejamkan matanya.
***
Kanna meronta dengan keras saat tubuhnya diseret ke belakang. Berusaha berkelit, Kanna mengibaskan tangan kanannya meraih pinggang si penyekap. Ia meninju si penyekap menggunakan siku dengan keras. Bekapan tangan si penyekap melonggar sedikit dan Kanna memanfaatkan itu untuk menendang dengan tumit kakinya.
Terlepas. Kanna bergerak cepat menjauh, ia merunduk dan mengambil sebatang ranting lalu melemparkannya dengan kuat ke arah si penyekap.
'Sreettt!'
'Kraakk!'
Ranting itu patah.
Kanna tertegun. Bukan karena lemparan rantingnya yang meleset. Namun karena menatap si mata emas itu kembali. Mengapa mereka bertemu lagi?
"Kau..."
Pria itu mengangkat telunjuk di depan bibirnya menyuruh Kanna untuk diam. Kanna melotot marah.
Suara gemerisik dedaunan pohon semakin keras. Kanna membalikkan tubuhnya untuk mengamati keadaan sekitar. Cekaman rasa takut masih bersarang di hatinya.
Suara derap langkah binatang besar semakin jelas terdengar. Sapuan angin deras menerpa wajah Kanna. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan berusaha menghalau sapuan angin besar itu. Tapi usahanya sia-sia, rambut panjangnya bahkan berkibar tersapu angin.
Sibuk menutupi wajahnya dari serangan angin, tiba-tiba ia merasakan sebuah kain tersampir menutupi wajah dan seluruh tubuhnya. Kain berwarna emas yang indah. Harum bunga Mensori tercium pekat di indra penciuman Kanna. Memabukkan, candu, dan ingin terus ia hirup harumnya.
Wajah Kanna bersemu merah saat telinganya mendengar detak jantung dari sebuah dada bidang yang kini mendekapnya. Detak jantung yang menularkan detak jantung lain dari dalam tubuh Kanna. Getar geli tapi mengasyikan, memompa darah hingga meronakan seluruh tubuh Kanna.
Ringkik suara kuda mengembalikan kesadaran Kanna dari candu wangi Mensori itu. Tak ada lagi sapuan angin, Kanna bergerak akan melepaskan kain yang menutupi tubuhnya. Namun, tangan kuat kembali menyampirkan kain itu. Tak sengaja tangan itu membelai kulit pipinya.
Getar di hati Kanna kembali. Jantungnya kembali memompa cepat. Rona wajahnya yang mulai pulih kembali merona. Ia tak tahu harus bagaimana.
Zarkan Tar tersenyum kecil saat melihat wanita dalam pelukannya tak berkutik. Manusia biasa yang menggugah rasa penasarannya.
Ia menyelidiki kekuatan sihir wanita ini dengan menyentuh tubuhnya. Benar, wanita ini tak berbohong jika ia tak mempunyai kekuatan sihir. Tak ada jejak sihir sama sekali yang mengaliri tubuhnya.
Zarkan Tar seharusnya melepaskan kembali wanita ini. Namun entah mengapa ia merasakan kenyamanan lain saat menyentuh tubuhnya. Sensasi memabukan hingga ia tak ingin melepaskan.
Ringkik kuda kembali terdengar, Kanna mengerjapkan matanya. Mencoba menyadarkan dirinya sendiri dari racun yang pria ini tebarkan. Setengah memaksa akhirnya ia beranikan diri menyingkap kain emas itu.
Mata Kanna terbelalak saat menatap hewan berwarna putih dan bertubuh besar di hadapannya.
"Indah..." gumam Kanna tak sadar.
"Benar, sangat indah..." gumam pria itu menatap Kanna. Kanna mengerjapkan matanya kembali, ia berdeham lalu menjauh beberapa langkah mencari jarak aman dari pria bermata emas itu.
"Pegasus...aku tak percaya bisa melihatnya secara langsung." Sahut Kanna sambil menatap kuda besar putih yang memiliki dua sayap itu.
Zarkan Tar tersenyum melihat Kanna begitu takjub memandangi kudanya.
"Kau menyukainya?"
Kanna mengangguk, "aku mendengar tak ada yang bisa menjinakkan Pegasus. Hanya Sang Mahadiraja Zarkan Tar lah yang dapat menjinakkannya, namun sekarang aku melihat langsung orang selain Sang Mahadiraja yang mempunyai tunggangan serupa. Kekuatan sihirmu pasti setara dengan Yang Mulia Zarkan Tar."
Kanna menyunggingkan senyum manisnya. Ia menatap begitu takjub pada Pegasus di depannya, tak menyadari wajah Zarkan Tar yang tersenyum. Senyum tulus yang pasti akan membuat Zeon dan para petinggi kerajaan tak percaya.
"Apa kau tak mengenaliku?" tanya Zarkan Tar.
Kanna terdiam lalu menatap pria bermata emas itu.
"Benar, aku lupa menanyakan siapa namamu, kau sudah mengetahui namaku tapi aku belum menanyakan namamu. Jadi...siapa namamu?" tanya Kanna antusias.
Mata emas itu membuat Kanna suka berlama-lama menatapnya. Benar-benar candu. Entah bangsawan mana pria ini. Kanna yakin ia salah satu pria favorit para gadis-gadis di dunia ini.
Tangan pria itu terulur dengan hangat. Kanna tersenyum lebar lalu mengulurkan tangannya menyambut baik niat si pria.
"Zarkan," ucapnya. Kanna tertegun menatap pria itu, kemudian senyum manis tersungging dari bibirnya.
"Kau benar-benar mendambakan Yang Mulia Zarkan Tar, bahkan namamu pun sama." Kanna terkekeh.
Zarkan Tar terdiam, ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ada seorang wanita sepolos ini? ia sudah menyebutkan nama panggilannya dengan benar. Tapi sedikitpun Kanna tak bisa menebak siapa dirinya?
"Ahhh..." Kanna memekik saat matanya menumbuk kilau ungu yang berada di dekat kaki Zarkan.
"Akhirnya aku menemukannya," Kanna bersorak lalu dengan cepat mengambil kalung amethyst yang ia hilangkan sebelumnya.
"Aku sudah mencari-carinya, untunglah ini ditemukan. Aku tak tahu bagaimana menjelaskan pada ibuku jika kalung pemberiannya ini hilang." Kanna mengelus liontin ungu itu dengan penuh syukur.
"Syukurlah aku menemukannya, jika tidak..." Kanna tak melanjutkan ucapannya, ia mendekap kalung itu dengan erat ke dadanya. Sinar cemerlang sekilas memancar dari permata ungu itu. Kanna tak mengetahuinya, akan tetapi mata tajam Zarkan Tar menangkapnya dengan mudah.
"Siapa kau sesungguhnya?" ucap Zarkan Tar dalam hati.
***
"Paman Ben!" panggil Kanna tak percaya saat mendapati pria paruh baya yang sangat ia kenali berada di hadapannya.
"Kanna, syukurlah...mengapa kau kembali ke hutan ini? Ibumu cemas mencari-carimu." Tegur Ben ketika menemukan Kanna berada di jalan keluar menuju desa Valla. Ia bersyukur Kanna tak terlihat terluka sama sekali.
"Maafkan aku. Aku janji ini kali terakhir aku kemari, paman!" Kanna menundukan kepalanya. Rasa bersalah menyelimuti hati yang paling dalam. Namun ia juga tak bisa mengabaikan kalung amethyst yang ia hilangkan kemarin.
"Ayo kita pulang, sakit ibumu kembali kambuh. Ia harus selalu dalam keadaan istirahat jika ingin pulih." Ben berkata dengan lembut.
Sama halnya dengan Liz, Ben telah menganggap Kanna sebagai anak sendiri. Mereka berdua membesarkan Kanna dengan penuh kasih. Seperti Liz, Ben juga mengenal ibu kandung Kanna. Meski tak cukup dekat, Ben tahu siapa Arneth. Kanna memiliki darah penerus klan besar penyihir hitam. Dan sebagai anggota penyihir hitam, Ben merasa berkewajiban membesarkan Kanna. Bukan saja karena takdirnya sebagai teratai biru, Kanna juga merupakan pemimpinnya secara tak langsung.
"Apakah ibu baik-baik saja?" tanya Kanna dengan nada khawatir.
"Ehmm...ibumu sedang tertidur saat ini, ayo cepat! Senja telah bergulir berganti malam. Kita tak bisa terjebak dalam gelapnya hutan ini."
Kanna mengangguk, ia semakin merasa bersalah dan ingin cepat sampai di rumahnya.
***
'Greppp!'
'Greppp!'
'Greppp!'
'Greppp!'
Sekelompok berjubah putih berjumlah sepuluh orang turun dari atas, seolah mereka keluar dari langit biru. Mereka menjejakan kaki di halaman rumah mungil yang dipenuhi aneka bunga Frein. Wajah halus dan datar mereka menatap ke titik pintu rumah. Salah satu diantara mereka maju ke depan, mengenduskan hidungnya, lalu tersenyum miring.
"Liz, kau bersembunyi di sini rupanya," kekehan menakutkan keluar dari bibir Ram. Pria itu kembali mengenduskan hidungnya dengan kuat.
"Bau jantung yang lezat..." ucapnya sambil memejamkan mata. Seringai kejamnya terbentuk ketika menatap tajam pintu rumah mungil itu.
Di dalam kamar, sepoi angin dingin menghentak Liz. Ia membuka matanya, merasakan aura-aura kuat sekelompok orang yang berada di luar rumah.
Orang-orang pulau suci.
Liz bangun dengan tenang. Ia kemudian membalik dipan tempat tidurnya. Terdapat sebuah kotak panjang yang dibalut sutra biru. Diraihnya kotak tersebut dengan hati-hati. Segera ia membukanya perlahan. Liz terdiam dengan sorot seribu makna sambil mengelus sebuah tongkat berwarna coklat yang selama ini ia sembunyikan.
"Dewa, kumohon jangan biarkan Kanna kembali saat ini," ucapnya khidmat sambil memejamkan mata.
Ketika ia membuka matanya, kilau cahaya keluar dari tubuh Liz. Ia bangkit lalu bergerak membuka pintu kamar.
Dengan tongkat di tangan kanannya Liz berjalan menuju ruang tamu. Menghela napas ia berhenti sejenak. Pintu utama kini sejajar dengannya.
Pandangan Liz menguat. Tak ada ketakutan ia menatap tajam pada pintu utama rumahnya.
Penghalang terakhir menuju pertarungan sesungguhnya.
Bersambung....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top