2. TAKDIR PERTEMUAN

Suara aliran sungai terdengar bagai alunan musik alam yang mengiringi sepoi angin musim semi negeri Samhian. Penduduk yang sedang memetik buah-buahan saling bercengkrama sambil sesekali tertawa. Beberapa penduduk yang tergolong penyihir dengan kekuatan elemen tanah akan membajak perkebunan dan menanami kembali tanaman-tanaman pokok yang merupakan kebutuhan para penduduk Samhian. Bahkan tak jarang pula akan ditemukan para kekuatan sihir elemen air yang bekerja sama untuk menyuburkan tanah dengan membuat jalan air yang mengarah ke perkebunan. Mereka saling menjaga dan gotong royong terhadap satu sama lain. Penduduk Samhian adalah contoh kesejahteraan manusia.

Di sudut ladang yang mengarah ke jalan hutan gelap desa kecil bernama Valla, terdapat sebuah rumah kayu mungil yang tertata apik dan dipenuhi dengan aneka bunga Frein. Bunga Frein adalah bunga bakung yang mempunyai berbagai macam warna. Bunga-bunga ini ditanam karena bermanfaat sebagai pewarna alami kain. Seluruh penduduk Samhian rata-rata menanam bunga ini karena manfaat besarnya itu.

Terdengra suara derap langkah kaki terburu-buru keluar dari rumah mungil tersebut. Seorang gadis berambut hitam sekelam malam membawa sekantong anak panah dipunggungnya dan busur panah kayu hitam di tangan kirinya. Ia memeriksa pakaian berburunya dengan sedikit merapikan sisi tunik kulit yang ia kenakan sebagai penghangat ketika memasuki hutan dingin di utara sana. Ketika dirasa telah pas ia kemudian melangkahkan kaki menuruni undakan tangga kecil.

"Kanna!" panggilan seorang wanita dari dalam rumah menghentikan langkah gadis itu.

Gadis yang dipanggil Kanna menengok dengan raut wajah penuh senyum.

"Iya bu?"

"Ingat pesan ibu. Jangan pulang malam, ketika senja bergulir kau harus sudah kembali," ucap Sang Ibu dengan lembut.

"Baiklah!" sahut Kanna kemudian kembali memutar tubuhnya.

"Kanna!" panggil ibunya kembali.

"Ya bu? Ada apa lagi?"

"Kau harus selalu ingat..."

"Ya! Ya! Jangan coba-coba untuk mendekat ke jalur yang menghubungkan ke Istana. Kanna ingat semua perintah ibu, oke?" ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya. Sang ibu tersenyum mengangguk.

Kanna lalu membawa langkahnya kembali dengan setengah berlari. Sebelum menjelang sore hari ia harus mendapatkan buruan besar untuk dijual di pasar desa. Meski Kanna tahu hari ini akan ada pemilihan dayang untuk di boyong ke Istana kerajaan, Kanna tak berniat mengikutinya. Selain karena ia tak memiliki kemampuan sihir apapun, ibunya tak pernah mengijinkan Kanna menginjakkan kaki di tanah Istana. Hufft... Kanna menghentikan langkahnya.

Istana.

Kanna menoleh ke arah kirinya, di mana sebuah gunung tinggi menjulang seakan sebuah keagungan yang tak ada tandingan terlihat indah untuk dipandang. Puncak gunung tinggi itu terdapat istana berwarna putih yang terlihat dari desa kecil ini. Dipandang dari jarak jauh seperti ini saja terilihat kemegahan istana Raja Zarkan Tar itu. Sesungguhnya Kanna ingin sekali pergi kesana. Tidak ada wanita yang tidak menyukai keindahan, begitupun dia.

Namun apa daya. Ia tak mempunyai kekuatan sihir. Tak ada elemen apapun dalam dirinya yang menandakan kekuatan sihir itu. Sedangkan syarat menjadi dayang di istana harus mempunyai kekuatan sihir yang tinggi.

Memikirkan kembali hal ini, dengan lesu Kanna menarik pandangannya dari istana megah itu. Dewa dan dewi sepertinya tak adil memberikan nasib pada Kanna. Hanya ia dan ibunya yang tak mempunyai kekuatan sihir.

Kanna memejamkan mata lalu ketika ia membuka mata, semangat tinggi kembali menghampirinya. Tak ingin menyia-nyiakan waktu ia kembali berlari. Sesekali ia menyapa para petani ladang kapas sutra yang ditemuinya.

Mereka semua orang-orang yang sangat baik. Meskipun Kanna dan ibunya berbeda, tak pernah sedikitpun mereka mengucilkannya. Tak jarang ia dan ibunya selalu mendapat bantuan hasil pertanian dari para penduduk. Kanna sangat menyukai tinggal bersama mereka.

***

Memasuki hutan gelap Kanna menguatkan kewaspadaannya. Hutan gelap ini sangat berbeda dengan hutan biasa. Pohon-pohon besar yang berada dalam hutan ini berumur ribuan tahun. Tingginya menjulang menutupi birunya langit. Sinar matahari bahkan tak bisa memasuki celah rimbunnya dedaunan. Memasuki hutan gelap, ia harus siap dicekam segala bahaya.

Kanna sudah terbiasa dengan kondisi ini sejak kecil. Ia dan ibunya sering berburu di hutan ini. Hewan hutan gelap berukuran lebih besar dan sangat buas dibandingkan hewan dari hutan biasa. Karena itu, harga jual hewan-hewan ini akan semakin mahal jika dijual di pasar desa.

Yang patut para pemburu sadari ketika memasuki hutan gelap yaitu, semakin besar hewan buruan semakin kuat juga mereka bertahan dari para pemburu. Sehingga Kanna pun harus selalu menyiapkan trik dan tipuan untuk menjebak buruannya.

Suara gemerisik dari semak-semak membuat langkah Kanna terhenti. Ia menajamkan pendengarannya. Dipejamkannya kedua mata agar fokus pendengarannya tetap pada suara-suara yang berada di sekitarnya.

Tiga langkah.
Empat langkah.
Lima langkah.
Enam langkah.

Dengan secepat kilat Kanna mengambil satu anak panah lalu bergerak memasangnya dengan tepat. Tarikan halus nock point pada busur panahnya ia arahkan ke sisi kanan bawahnya.

'Srettt!'
'Slashhh!'

Suara langkah hewan berlari yang menerjang semak-semak membuat Kanna segera mengejarnya. Aliran darah pada rumput menandakan panahnya mengenai sasaran. Dengan hati yang berbunga-bunga Kanna melompat ke berbagai sisi pohon untuk mempercepat gerakan pengejaran. .

Setelah drama mengejar dari berbagai sisi, Kanna melihat hewan berbulu gemuk dengan telinga panjang itu akhirnya menyerah. Dengan anak panah hitam yang masih tertancap pada sisi perut bagian kiri, si kelinci hutan tergeletak di tanah basah hutan gelap. Kanna turun dari dahan pohon lalu segera mengambil tubuh berbulu coklat itu. Melepas anak panahnya kemudian memasukkan hewan buruan tersebut pada tas kantong yang ia bawa.

Saat ia bersiap mengikat kantong itu kembali, ia melihat rusa bertanduk emas yang melintas melewatinya. Kanna secepatnya berdiri lalu mengendap-endap mengikuti langkah kaki rusa tanduk emas yang sepertinya tak melihat keberadaannya.

Rusa tanduk emas merupakan hewan langka yang akan mahal harganya jika ia menjualnya di pasar. Harga yang akan ia dapatkan bisa membuatnya istirahat berburu selama tiga bulan. Senyum miring tersungging dari bibirnya. Tanpa bersuara ia menggapai anak panah dari punggung lalu meletakkan pada titik point tali busur. Dengan menarik tali busur hitam itu, ia mengarahkan anak panah tersebut ke titik vital rusa tanduk emas.

'Srakkkk!'
'Srakkkk!'
'Jllebb!'
'Jllebb!'
Dua anak panah. Rusa tanduk emas berusaha kabur akan tetapi dua anak panah menancap di perut membuatnya tak kuasa berlari, sang rusa akhirnya menyerah. Tubuhnya bergetar sebentar sebelum kemudian tak berdaya tersungkur di tanah.

Kanna berlari mendekati rusa tersebut. Ia mengernyitkan kening saat melihat panah berwarna emas menancap di samping panah hitam miliknya. Panah siapa ini? tapi ia yakin, ia lah yang pertama memanah rusa ini.

Kanna berjongkok mengulurkan tangannya berniat menyentuh panas emas itu saat suara berat dan dingin seorang pria menginterupsinya, "Jangan sentuh buruanku!"

Kernyitan di dahi Kanna semakin tajam waspada akan kehadiran seseorang di belakangnya. Meski tanpa sihir, Kanna berbakat mengenali aura orang-orang sejauh beberapa meter dari dirinya. Namun, pria yang berada di belakangnya, Kanna bahkan tak bisa mendeteksi keberadaannya.

"Rusa tanduk emas ini milikku," sahut Kanna tak ingin kalah. Ia yakin sekali, panahnya lah yang berhasil membunuh rusa tanduk emas ini.

Dengan ekspresi siap berperang Kanna membalikkan tubuhnya bersiap menghadapi manusia yang akan merebut buruannya itu.

Bola mata emas yang memukau. Kanna terhenyak saat menatap bola mata pria itu. Aura dingin dan pancaran tak boleh di dekati terasa menusuk jantung Kanna. Namun tak ayal ia terpesona pada pancaran cahaya mata itu. Memundurkan langkahnya Kanna menentramkan degup jantungnya yang terasa menari-nari saat bertemu pandang pria yang tinggi menjulang dengan pakaian berburu ala bangsawan.

Ia pasti orang kaya. Kanna berdeham lalu mencabut rasa terpananya dengan mengalihkan pandangannya ke sisi lain.
"Tuan, panahku lah yang pertama mengenai rusa tanduk emas ini. Kau bisa mengeceknya sendiri!"
Kanna menunjuk pada dua panah yang sama-sama menancap di perut rusa itu.

Pria bermata emas di depannya tak bergeming. Seakan menatap Kanna adalah satu-satunya objek yang berada di penglihatannya. Rasa terkejut atau entah rasa aneh apa yang membuatnya tetap memandang Kanna.

"Tuan..."

"Kau manusia tanpa sihir?" sahut pria itu bertanya.

Kanna tertegun lalu mengangguk pelan. Ia tahu setiap orang asing yang bertemu pertama kali dengannya akan bertanya seperti itu. Sudah biasa dan akan terjadi kapan saja.
"Aku terlahir tanpa sihir. Tuan bisa yakin dengan pengamatanmu itu, jadi bisakah tidak memandangiku dengan sorot keanehan seperti memandang makhluk asing?" Kanna beringsut membalikkan tubuhnya lalu berjongkok di depan rusa tanduk emas.

Anak panah emas itu seperti magnet yang akan membuat matanya selalu tertuju pada anak panah tersebut. Kanna begitu terpesona akan kilaunya. Mungkin keluarga bangsawan ini sangat kaya raya. Senyum miring tersungging di bibirnya, seandainya Kanna memilikinya satu saja, mungkin ia bisa melelang panah ini di pasar desa.

Ia membelai panah itu lalu berniat mencabutnya. Namun, seperti mencabut sebuah pohon yang berakar kuat, tak ada pergeseran sama sekali. Tercengang Kanna menatap takjub pada panah itu.

"Minggirlah! Panah itu penuh dengan sihirku, ia tak akan pernah bisa tercabut oleh orang lain, apalagi manusia tanpa sihir," ucap pria itu dengan datar.

Suara langkah kaki mendekati tempat Kanna duduk bertongkat lutut. Lalu Kanna melihat tangan kanan pria itu terangkat sedikit. Sebuah keajaiban terjadi, anak panah emas yang ia pandangi itu terlepas dari perut rusa tanduk lalu terjatuh begitu saja di tanah.

Kanna menghela napasnya. Sungguh, sihir selalu mempunyai banyak keajaiban.

Ia kemudian kembali berdiri lalu kembali bertatap muka dengan pria itu lagi. Kali ini pandangan pria itu ada pada busur panahnya.

"Kau yang membuat busur panah ini?" tanyanya. Kanna menatap busur panah hitam yang berada di tangan kirinya.

"Ibuku yang membuatnya. Sama sepertiku, ia pun tak mempunyai kekuatan sihir. Namun, kami ahli dalam berburu."

Kanna melihat dahi pria itu mengernyit dalam seakan menyangsikan kata-katanya. "Apakah ini sesuatu yang aneh?" Kanna mengangkat busurnya.

Mata emas pria itu tertuju pada lambang teratai yang diukir halus pada bagian pegangan panah.

"Teratai?" ucapnya pelan sehingga Kanna tak mendengar lirihannya.

"Jadi Tuan, bisakah rusa ini kuambil?" tanya Kanna. Pria bermata emas menatapnya kembali.

"Kau penduduk Samhian?"

Kanna mengernyit mendengar pertanyaannya, "Tentu saja, aku lahir di Desa Valla. Kau bisa mengeceknya sendiri. Tak jauh dari hutan gelap ini kau akan melihat permukiman penduduk, itu desaku."

"Siapa namamu?" Tanya pria itu lagi menatap Kanna. Semakin tak mengerti Kanna memandangnya dengan heran.

"Apa pentingnya namaku? Aku harus secepatnya kembali, senja telah bergulir ibuku akan cemas jika aku belum sampai rumah juga. Baiklah Tuan, saya akan..."

"Rusa ini milikku!" serunya datar, "Aku tak pernah mengucapkan kata-kata rusa ini adalah milikmu." Pria itu menatap Kanna.

"Kau..." Kanna menunjuknya dengan geram. Pria ini benar-benar tak mengerti bagaimana cara menghadapi wanita.

"Kau bisa periksa lagi kedalaman anak panahmu, jarak anak panahmu hanya menembus lapisan kulitnya sedangkan anak panahku telah menembus jantungnya."

Kanna menatap anak panahnya yang masih menancap pada rusa tanduk emas itu. Melihatnya lebih detail, ucapan pria ini benar.

Ia berdecak kesal lalu membalikkan tubuhnya dengan enggan. Tak ingin lagi berhadapan dengan pria menyulitkan ini. Ia yakin sekali akan semakin sulit menghadapinya jika ia tetap melawan. Ditambah kemampuan dirinya yang tak mempunyai kekuatan sihir apapun. Melihat aura agungnya, pria itu setidaknya mempunyai lebih dari satu elemen sihir.

"Namamu! Cukup sebutkan namamu, kau akan memiliki rusa ini!" suara berat itu terdengar halus ketika hembusan angin membawa suaranya pada pendengaran Kanna.

Kanna terdiam lalu berbalik menatap pria itu kembali. Menatapnya tajam seakan mengamati keseriusan pria itu.

"Kanna. Namaku, Kanna."

***

Suara derak rantai besi terdengar dari penjara yang sangat gelap dan dingin. Tak ada pencahayaan sama sekali. Air menggenang setinggi lutut. Kotor dan berbau busuk. Diberbagai sudut terdapat lipan-lipan serta binatang kecil lainnya yang menghuni seakan penduduk sah ruangan gelap tersebut.

Derak rantai terdengar kembali. Terlihat sosok pria yang berantakan dengan jenggot tebal menutupi sebagian wajahnya. Ia menggerakkan kepalanya berpindah posisi ke arah kiri. Tangan dan tubuhnya terantai erat pada tembok kokoh penjara tersebut. Hanya kakinya yang bisa ia gerakkan namun tetap terhalang rantai besar yang membelenggu kedua kakinya.

Bayangan gadis cantik perlahan muncul. Gadis bermata ungu terang dengan penuh cahaya tersenyum padanya. Begitu polos dan tak ada jejak kesalahan apapun pada wajahnya.

"Arneth..." ucapnya lirih.

Bayangan gadis yang sedang tersenyum itu tiba-tiba berubah muram lalu berganti dengan sosok wanita dengan tubuh seluruhnya terbakar. Wanita penuh api itu menunjuknya dengan ekspresi kemarahan yang tak termaafkan.

"Arneth..." isaknya ketika bayangan itu memudar tetapi menyisakan pandangan wanita yang memandangnya penuh kebencian.

Suara pintu penjara yang berderak terbuka mengalihkan pandangan pria itu. Dua orang penjaga sangar mendekatinya lalu membuka kunci rantai yang membelenggu seluruh tubuhnya. Pria itu ambruk terjatuh membuat air yang menggenang di bawahnya memercik pada tubuh dua penjaga itu.

"Cih! Tahanan menyusahkan. Cepat bawa dia! Ratu Mazmar menunggu kita membawanya kesana," kata salah seorang penjaga itu.

Seorang penjaga yang di sampingnya langsung menyeret tubuh tahanan itu dengan kasar mengeluarkannya dari penjara air.

Pria yang diseret itu adalah Ram. Ia tak merasakan sakit apapun pada tubuhnya ketika penjaga istana itu menyeret lalu melemparnya pada bak mandi tahanan. Ia memejamkan matanya ketika merasakan air hangat yang meresap ke pori-pori tubuhnya yang telah lama tak tersentuh air bersih. Benarkah ia diperbolehkan untuk mandi di sini? Karena ia adalah penjahat besar yang telah membunuh selir Arneth. Begitulah pengadilan pulau suci itu memutuskan nasibnya. Ia dihukum seumur hidup dipenjara bawah tanah. Lalu untuk apa ratu iblis itu ingin bertemu dengannya kembali?

Ram tidak bodoh tapi ia juga tidak bisa bertindak membela diri saat semua bukti-bukti mengarah padanya. Pada kenyataannya memang dia lah yang telah menyeret Arneth menuju jurang kematian.

"Bersihkan dirimu! Lalu ganti pakaianmu dengan cepat. Ratu Mazmar menunggumu sekarang juga. Jika kau berlama-lama jangan salahkan aku harus membuatmu celaka terlebih dahulu. Dasar penjahat!" penjaga itu meludahi wajah Ram dengan geram. Ia kemudian keluar dari tempat pemandian itu menunggu di luar ruangan.

Ram bangkit lalu meneliti setiap sudut ruangan. Hingga ia kemudian melihat setumpuk pakaian bersih. Naluri manusianya bangkit ingin membersihkan diri. Bergerak, ia cepat membasuh tubuhnya. Ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Mungkin ada kesempatan ia bisa keluar dari penjara bawah tanah ini.

Selesai membersihkan diri dan mengganti pakaiannya ia kembali diseret penjaga penjara. Namun, ia tidak kembali pada penjara gelap itu lagi yang memungkinnya sedikit bernapas lega. Penjaga penjara membawanya ke arah selatan. Ram mengamati lorong-lorong istana ini dengan rasa asing. Sudah berapa tahun kah ia dipenjara? Ia bahkan tak pernah tahu bagaimana situasi pulau suci saat ini. Apakah ia akan kembali dihadapkan pada pria itu?

Mengingat Trev jantung Ram berdegup kencang. Pria itu hampir menghancurkan tubuhnya sebelum kemudian dihentikan Ratu Mazmar. Namun, ia berhasil melumpuhkan sebagian kekuatan sihir Ram. Saat ini Ram hanya seperti manusia biasa karena bertahun-tahun ia juga tak menggunakan kembali kekuatan sihirnya.

Pintu berwarna putih di depannya terpampang megah dengan kedua penjaga yang berpakaian prajurit pulau suci. Kedua penjaga itu tanpa berkata apapun langsung membukakan pintu. Terlihat ruangan agung yang besar dengan singgasana emas yang di duduki seorang wanita berjubah putih. Mahkota ratu bertengger indah di sanggul rambutnya. Tatapan angkuh dan mencelanya tak berubah sedikitpun dari ingatan Ram. Ratu Mazmar masih secantik dulu.

Ketika penjaga penjara mengantarnya masuk, Ia lalu ditendang dari belakang sehingga lututnya menyentuh lantai dengan keras. Teriakan penjaga menyuruhnya berlutut secara hamba, Ram mengikuti instruksi itu tanpa sedikitipun protes. Kehidupan penjara bawah tanah membuatnya semakin rakus akan kebebasan. Ia tak ingin kembali ke tempat itu lagi. Bahkan jika harus menjilat sepatu Ratu Mazmar ia akan melakukannya. Ram ingin bebas dan menikmati hidup seperti dulu lagi.

"Ram! Bangkitlah, untuk apa kau berlutut seperti itu?" Ratu Mazmar berdiri dari singgasananya kemudian dengan dibantu salah satu dayangnya ia menuruni anak tangga menuju di mana Ram masih saja berlutut.

"Ram..."

"Hamba tidak berani Yang Mulia Ratu."

Ratu Mazmar terkekeh. "Hampir 17 tahun kau berada di tempat gelap, kau pasti sangat merindukan sinar matahari," ucapnya dengan senyum penuh arti.

Ram meliriknya tetapi kemudian menundukkan kembali pandangannya.

"Ram, kau ingin bebas?" Tanya Ratu Mazmar dengan nada penuh janji. Ram terbelalak lalu menatap Sang Ratu.

"Hamba tidak berani Yang Mulia," ucapnya dengan suara bergetar penuh harap. Ratu Mazmar menyunggingkan senyum sinisnya.

"Aku bisa membebaskanmu dari semua tuduhan. Namun dengan satu syarat."

Ram menatap penuh harap pada lanjutan kata-kata Ratu Mazmar, "Apa itu Yang Mulia?"

"Menjadi budakku. Kau akan menjadi budakku sampai kematianmu. Aku akan menjanjikan kehidupan yang mewah dan kekuatan sihirmu pun akan bertambah kuat, kau akan menjadi ahli sihir yang sangat kuat, Ram!" ucap sang ratu dengan suara manisnya.

Ram terkejut tapi ia juga tak bisa memiliki pilihan lain selain kembali ke penjara gelap itu. Tidak ia tak ingin kembali ke sana. Ram menggelengkan kepalanya saat rasa takut akan kegelapan penjara merayap ke hatinya.

"Dengan menjadi budakku, kau akan terjamin selalu melihat matahari dan menjalani kehidupanmu seperti dulu Ram," bujuk sang ratu kembali dengan suara lembut.

Ratu Mazmar memanggil salah satu dayangnya. Dayang yang dimaksudkan mendekati Ratu Mazmar lalu mengambil botol cairan berwarna merah darah.

"Kau mempunyai dua pilihan, kembali ke penjara..."

"Hamba akan menjadi budakmu Yang Mulia, Hamba tak ingin kembali ke penjara gelap lagi. Tidak! Tidak lagi!" Ram setengah menjerit bergidik ketika ia menghiba dengan aliran air mata.

Ratu Mazmar terkekeh melihat ketakutan di mata Ram. Kekehan itu berlanjut menjadi sebuah tawa mengerikan yang membuat para dayangnya menunduk ketakutan.

"Ram, Ram, Ram! Kau benar-benar tidak berubah sama sekali. Tapi aku menyukai pribadimu itu," Ratu Mazmar terkekeh kembali lalu perlahan menyodorkan botol berisi cairan berwarna darah itu.

"Minumlah! Pengabdiku harus selalu menuruti keinginanku. Darah binatang suci ini akan memulihkan sihirmu. Namun, ketika kau beralih kesetiaan, darah ini pun akan membunuhmu dan memusnahkan jiwamu selamanya." Ratu Mazmar tersenyum manis sambil menyodorkan cairan darah itu.

Ram menatap botol bening berwarna merah itu dengan keengganan. Namun, ia juga membutuhkan kembali kekuatan sihirnya. Ia ingin menjadi tiada tanding dan namanya dikenang sebagai penyihir hebat.

Gemetar, Ram mengulurkan tangannya mengambil botol tersebut. Menatap kembali sang ratu, ia lalu membuka tutup botol dengan ibu jarinya. Bau amis menyeruak ketika tutup botol terbuka. Asap kemerahan keluar dari botol membelai wajah Ram yang kini menjadi pucat pasi.

"Minumlah Ram! Tunjukkan kesetiaanmu padaku." Suara Ratu Mazmar kembali terdengar lembut.

Ram mengangkat botol di tangannya tersebut lalu mengarahkannya dengan cepat memasukan cairan merah itu ke dalam tenggorokannya.

"Fhhuuahh!" Ram membanting botol itu ke tanah. Ia kemudian menatap Ratu Mazmar dengan bibir masih menyisakan cairan darah. Pandangannya seketika memburam. Ia mengerjap kerjapkan matanya ketika melihat bayangan orang-orang di sekelilingnya seakan bergerak-gerak tak karuan.

"Apa? Apa yang terjadi? Tidak! Tidak! Aakkhh...." Ram memegangi lehernya ketika rasa sakit yang dimulai pada lehernya semakin menjalar ke seluruh tubuh. Ia menggelepar di lantai berguling-guling merasakan kesakitan yang tak pernah ia pikirkan.

Ratu Mazmar membuka bibirnya lalu menyuarakan kebahagiaan dengan ledakan suara tawa mengerikan. Tawa itu terdengar keras ke seluruh penjuru istana Pulau Suci. Para penghuni istana saling bergidik ngeri, suara tawa mengerikan itu adalah tanda bahwa ada satu jiwa yang sedang ia permainkan.

***

Kanna berkali-kali menyunggingkan bibirnya tersenyum ceria sambil menimang sekantong perak yang berjumlah kurang lebih 300 gal mata uang Samhian. Ibunya pasti akan senang karena Kanna berhasil mendapatkan harga tertinggi dari hasil pelelangan hewan buruannya. Mereka bisa hidup selama empat bulan ke depan dengan tenang dan beristirahat sejenak dari rutinitas berburu. Setidaknya ini akan menenangkan hati Kanna yang selalu mengkhawatirkan kondisi ibunya yang sakit-sakitan.

Mengikuti kondisi hatinya yang bahagia, Kanna mempercepat langkah ketika ia menatap rumah mungil penuh bunga yang jaraknya sudah semakin dekat. Ia yakin ibunya pasti akan bahagia sama halnya dengan kebahagiaan hati Kanna.

Liz terbatuk-batuk saat dadanya kembali sesak. Ia menekan dadanya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya berpegangan pada meja makan. Rasa sakit itu kembali muncul dalam beberapa bulan ini, menandakan kerusakan organ internalnya semakin parah. Ia terbatuk dengan keras sampai rasa asin dari mulutnya membuat Liz tercengang. Segumpal darah keluar dari mulutnya. Merah mengerikan karena bercampur cairan hitam racun dari 17 tahun yang lalu.

Suara derap langkah kaki yang dikenalnya membuat Liz segera beranjak ke belakang untuk menyembunyikan darah yang membasahi tangannya. Kanna tidak boleh melihat dirinya yang semakin lemah.

"Ibu! Ibu!" panggil Kanna ketika menyeruak masuk ke dalam rumah. Tak di dapatinya ibunya yang biasa tengah menyulam di ruangan kecil yang mereka sebut sebagai ruang kebahagiaan.

Suara gemericik air menandakan ibunya tengah berada di kamar mandi. Kanna tersenyum lalu melangkah kea rah kamar mandi. Diketuknya pintu kamar mandi dengan antusias. Tak ada sahutan ia kembali mengetuk kembali.

Pintu kamar mandi terbuka, sosok ibunya yang sedang menyeka wajahnya membuat Kanna tersenyum cerah.
"Ibu, aku mempunyai kejutan untukmu," sahut Kanna sambil menggenggam tangan kanan ibunya.

"Apa itu?" Tanya Liz ikut tersenyum melihat senyum ceria Kanna.

"Tutup matamu!" perintah Kanna sambil meraih kedua tangan Liz lalu menangkupkannya pada wajah ibunya.

"Kanna, jangan macam-macam!" sahut ibunya dengan lembut. Kanna terkikik lalu mengeluarkan sekantong uang di depan wajah Liz.

"Sekarang buka matamu, Bu!" sahut Kanna. Liz perlahan menurunkan tangannya. Ia mengerjapkan matanya kaget saat sekantong besar koin terpampang di depan matanya.

"Kanna?!" ia menatap Kanna dengan ragu.

"Ini uang kita!" seru Kanna.

"Bagaimana mungkin? Hasil berburu?" Tanya Liz, Kanna mengangguk dengan sombong.

"Buruan apa yang kau tangkap?" tanyanya.

"Tebaklah..." Kanna mengerling jahil. Liz tersenyum lalu mencubit pipi Kanna.

"Ibumu sudah tua kau sangat suka menjahiliku," Liz terkekeh, "Katakan padaku, apa itu?" Liz merangkul bahu Kanna lalu mengajaknya ke ruang kebahagiaan mereka.

"Aku mendapat rusa tanduk emas," Kanna bersorak. Liz menatap Kanna tak percaya, "Bagaimana mungkin?"

"Sekantong 300 gal ini buktinya," Kanna mengangkat kantong merah berisi uang koin emas tersebut.

"Aku tak percaya, panahmu tidak mempunyai kekuatan untuk menyakiti rusa tanduk emas. Hanya senjata berkekuatan sihir tertentulah yang akan bisa membunuh rusa tanduk emas. Jadi, tak usah membual. Siapa yang menolongmu melumpuhkan rusa tanduk emas itu?" cerca Liz membuat Kanna bungkam. Gadis itu menatap ibunya dengan sorot tercengang.

"Kau tahu tentang hal itu, bu?"

"Jangan lupakan bahwa ibumu ini adalah pemburu, Kanna."

"Baiklah...kau ibuku yang paling hebat." Kanna cemberut, ia lalu menarik kantong yang berisi sekumpulan anak panah.

"Aku lupa menanyakan nama si pemburu hebat itu, hanya saja aku mengambil anak panah yang melukai rusa tanduk emas. Ahh..ini dia," Kanna menarik anak panah berwarna emas dari sekumpulan anak panah berwarna hitam.

"Panah ini lah yang melukai rusa tanduk emas itu," Kanna menatap takjub anak panah itu, ia tak melihat sama sekali perubahan raut wajah ibunya.

Liz gemetar.

Tubuhnya kaku saat menatap anak panah berkilau emas itu. Tidak mungkin! Serunya dalam hati. Ia menatap Kanna yang masih terlihat mengagumi benda itu. Jemari Liz semakin bergetar.

"Buang!" desis Liz. Kanna masih fokus mengagumi anak panah itu tak mendengar apa yang diucapkan oleh ibunya.

"Buang benda itu, Kanna!" teriak Liz kemudian merebut anak panah emas yang berada dalam genggaman Kanna.

"Ibu..." Kanna menatap kaget wajah ibunya yang kini tengah berurai airmata.

"Jangan pernah melangkahkan kakimu ke hutan gelap lagi mulai saat ini!" desis Liz membuat Kanna semakin terperangah. Ada apa dengan ibunya?

Liz menatap anak panah di tangannya. Tanpa pamit ia meninggalkan Kanna yang masih menatapnya dengan tak percaya.

"Ibu..." Kanna memanggil, tapi Liz segera memasuki kamar kemudian menutup pintu menandakan tak ingin ada kompromi lagi dengan anaknya.

***

Di atas perbukitan gelap, suasana berkabut menyelimuti seluruh bukit. Sesosok dengan mata merah menyala mendesis dengan tangan penuh darah. Di salah satu tangannya terdapat jantung manusia yang masih berdenyut. Seakan mengungkapkan bahwa jantung itu diambil ketika manusia itu dalam keadaan hidup.

Mata itu semakin menyala merah menatap area rumah-rumah desa Valla dari atas bukit.

"Di sana...di sana...mereka di sana," desisnya sambil menatap tajam desa kecil itu.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top