9. Jackpot
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Cukup lama Lia termenung di dalam kamar mandi. Memikirkan nasibnya esok hari dan seterusnya. Orang tua sudah tidak ada, orang yang selama ini menjadi tempatnya bergantung yaitu Jeno sama sekali tak ada tanda-tanda akan menemukannya, dan saat ini semuanya sudah terenggut oleh laki-laki brengsek bernama Na Jaemin yang dia temui karena permintaan Haechan. Pekerjaannya, hidupnya, tujuan awalnya, berantakan karena terjebak di mansion mewah milik Jaemin.
Lia menangis lagi. Semuanya kacau, berantakan, ingin menyalahkan Haechan karena sudah membawanya masuk ke mansion ini tapi sepertinya Haechan juga tidak tahu semuanya akan berakhir begini.
Lia bingung, apa yang harus dia lakukan. Apakah benar-benar menyerah akan tujuan awalnya untuk mencari pembunuh sang ayah dan hanya mengikuti alur kehidupan saat ini ataukah terus berjuang tapi tidak tahu mau memulai dari mana?
Lia menatap pantulan dirinya di depan cermin. “Malang sekali nasibmu, Choi Lia,” gumamnya pelan.
“Ayah, apa yang harus ku lakukan?” lirih Lia sambil menunduk, menangis. “Maaf, ayah, maaf. Maafkan aku jika suatu saat aku gagal menemukan keadilan untuk ayah.”
Jeno dan Lee Donghae satu-satunya harapan Lia untuk membantunya menemukan pembunuh ayahnya tapi sekarang semuanya berantakan dan terasa tak lagi sama. Apa yang paling membuat Lia merasakan keanehan adalah progres pencariannya terasa tidak menemukan titik terang.
Dan di saat dia menghilang seperti ini, ke mana orang-orang itu? Ke mana orang-orang yang dia anggap bisa melindunginya?
Sementara itu di lantai bawah, Renjun dan Jaemin sedang duduk di halaman belakang sambil menikmati udara sore yang terasa sejuk. Renjun dengan satu gelas jus alpukat dan Jaemin dengan satu kaleng cola.
Jaemin kembali menatap tiga lembar foto yang diletakkan oleh Renjun beberapa saat yang lalu. Foto Jeno bersama seorang perempuan yang sedang bermesraan. Foto pertama, saling gandeng tangan. Foto kedua, berpelukan. Dan foto ketiga, berciuman.
“Bukankah tugasku sudah selesai? Aku tidak ahli menjadi penguntit. Ini saja aku hampir ketahuan jadi lebih baik kau suruh orang lain untuk mengikutinya lagi karena aku tidak mau.” Renjun meneguk habis jusnya. “Aku lebih baik berkutat dengan banyaknya laporan pengiriman dari pada harus menguntit.”
“Ya, tugasmu memang sudah selesai karena aku sudah tahu siapa Jeno dan Lia sebenarnya.”
“Benarkah? Dari mana kau tahu?”
“Haechan didatangi oleh Jeno untuk menanyakan tentang Lia. Jeno datang bersama dua orang yang mempunyai tatto berbentuk trisula di tangannya, itu yang Haechan katakan,” jelas Jaemin.
“Itu artinya, Jeno adalah bagian dari Poseidon dan Lia memang benar adalah anak Choi Minho?”
“Ya, Jeno mungkin adalah anak Lee Donghae. Lalu, Poseidon lebih dulu tahu tentang brankas itu dan lebih dulu mengamankan Lia sebelum orang-orang tahu keberadaan Lia. Dan salah satu caranya menyembunyikan keberadaan Lia adalah dengan menyembunyikan identitas Lia dari orang-orang. Karena jika semua orang tahu Lia masih hidup maka semua orang juga akan mengincarnya untuk membuka brankas itu.”
Renjun mengangguk setuju. “Kau benar karena dana yang ada di dalam brankas itu tidak sedikit. Helios sempat menjadi yang paling berkuasa saat itu.”
“Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah, apakah Lia tahu atau tidak tentang kekayaan yang ditinggalkan ayahnya?”
“Terlepas dia tahu atau tidak, aku lebih penasaran lagi bagaimana reaksinya nanti saat tahu bahwa kaulah yang membunuh ayahnya.” Renjun terkekeh dan beranjak dari duduknya. Jaemin tidak menanggapi, dia meraih tiga lembar foto itu dan menyelipkannya di dalam saku. “Ah, apa kau akan memberitahunya tentang Lee Jeno, tentang foto itu?”
“Entahlah, lihat nanti saja. Yang perlu aku lakukan saat ini adalah membuatnya tidak bisa lepas dariku, aku harus memastikan Lia berada dalam genggamanku terlebih dahulu.”
“Ya, semoga berhasil, Na Jaemin. Aku pergi.”
Jaemin dan Renjun berjalan beriringan menuju ke dalam. Renjun harus kembali ke gudang untuk mengurusi bisnis yang saat ini ditinggalkan oleh pemiliknya karena pemiliknya lebih fokus pada seorang perempuan.
“Dulu, kau sangat menggebu-gebu ingin menemukan anaknya dan segera membunuhnya. Tapi siapa sangka sekarang kau malah putar arah dan memilih untuk menahannya lebih lama.”
“Ada satu jackpot besar yang menunggu dan aku sudah mendapatkan pointnya,” ujar Jaemin sambil menatap Lia yang terlihat menuruni anak tangga satu persatu. Tubuhnya masih terasa nyeri tapi Lia lapar dan ingin makan. “Jadi, untuk apa aku menyia-nyiakan kesempatan.”
“Turtle neck di dalam mansion sangat aneh, bukan?” Renjun menyenggol lengan Jaemin ketika melihat Lia turun tangga dengan menggunakan baju turtle neck. “Apa yang sudah kau lakukan pada lehernya?”
“Hanya membuat sedikit tanda.” Jaemin tersenyum tipis dan segera menghampiri Lia.
Renjun hanya geleng-geleng kepala dan segera pergi dari mansion.
“Apa tidak gerah?” tanya Jaemin yang menghentikan langkah Lia. “Walaupun ruangan ini berAC tapi apa kau tidak merasa gerah menggunakan pakaian seperti ini?”
“Aku harus menutupi beberapa bekas kemerahan yang dibuat oleh laki-laki brengsek, psikopat, iblis tidak tahu diri semalam!” desis Lia dan menyela tubuh Jaemin untuk menuju dapur.
Jaemin tersenyum tipis dan menatap Lia yang sudah masuk ke dapur. Lia terlihat mengulas senyum lebar seraya menyapa Bibi Kim dan maid yang lain.
“Dualitynya menyeramkan,” gumam Jaemin dan berlalu ke atas.
“Nona, kenapa sarapannya tidak di makan tadi? Tuan Na kembali membawanya, aku kira Tuan Na akan marah tapi ternyata dia hanya meletakkannya di atas meja lalu pergi,” seorang maid langsung menghampiri Lia yang beranjak duduk.
“Aku ngantuk, jadi lebih memilih tidur.” Lia menjawab dengan kikuk. “Oh ya, Bi, bisa buatkan aku Kimchi Jjigae (Sup Kimchi) dan Kimchi Jeon (Pancake ala Korea)? Aku tiba-tiba rindu Kimchi Jjigae buatan ibuku.”
“Bisa, Nona. Kebetulan stok Kimchi masih banyak. Nona tunggu saja, ya, sebentar.” Bibi Kim mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat Kimchi Jjigae dan Kimchi Jeon.
Lia duduk diam di kursi makan sambil memperhatikan Bibi Kim dan maid yang lain bekerja. Dia tiba-tiba merasa rindu akan suasana rumah, walaupun pada kenyataannya dia tidak pernah keluar dengan bebas tapi suasana di dalam rumah mampu membuat Lia merasa nyaman.
“Nona, apa Nona berpacaran dengan Tuan Na?” tanya salah satu maid yang sedang mengiris daun bawang.
Lia kaget karena ditanyai seperti itu. “Apa kau pernah melihat seorang pacar tega menyiksa pacarnya sendiri?”
“Tidak.”
“Kau lihat sendiri kalau Jaemin sering menyiksaku. Jadi, aku dan dia tidak mungkin berpacaran.” Lia terkekeh. Raut wajah maid itu terlihat polos saat bertanya.
“Tapi, kalau bukan pacaran. Kenapa Nona bisa ada di sini?”
“Aku juga tidak tahu. Dia tidak membiarkanku keluar dari sini. Kalau aku nekat, dia akan menyiksaku.”
Bibi Kim mendekat selagi bahan-bahannya masih disiapkan. “Nona, Bibi sangat khawatir saat melihat Nona disiksa. Apalagi kemarin saat Tuan Jaemin melukai Nona. Bibi mohon ya, jangan buat dia marah lagi. Bibi tidak mau melihat Nona tersiksa. Bibi tidak bisa membela Nona kalau Tuan Jaemin sudah marah.” Bibi Kim terdengar tulus.
Mata Lia berkaca-kaca, dia kemudian mengangguk pelan. “Iya, Bi. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.”
Melihat dan merasakan kebaikan dari orang-orang ini membuat Lia terharu. Walaupun memiliki Tuan yang kejam tapi mereka sangat welcome pada orang baru dan tidak mengikuti jejak Tuannya yang kejam.
Bibi Kim menghidangkan Kimchi Jjigae dan Kimchi Jeon di atas meja, membuat mata Lia berbinar-binar.
“Di makan, Nona.” Bibi Kim menyodorkan sendok dan alat makan lainnya.
“Terima kasih, Bi.” Lia tersenyum dan mulai menyantap hidangannya. Rasanya enak, hampir sama dengan yang selalu disajikan di rumahnya, dulu. “Bibi, terima kasih, ya.”
“Sama-sama, Nona.”
*
Donghae lagi-lagi mengembuskan napas kasar saat mendengar laporan dari Jeno. Tangannya mengepal kuat, wajahnya merah padam karena menahan amarah.
Sementara itu, Jeno menunduk dalam diam setelah melihat kemarahan ayahnya. Beruntung dirinya tidak dipukuli.
“Kau benar-benar tidak becus, Lee Jeno! Bagaimana kau bisa meneruskan bisnis ini jika hal sepele seperti ini tidak bisa kau selesaikan!” Donghae membentak Jeno dengan keras.
“Maaf, Ayah. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk bertanya pada orang terdekat Lia tapi mereka tidak tahu. Ayah tahu sendiri kalau Lia tidak punya banyak kenalan.”
“Lalu, bagaimana perkembangan tentang pencarian Lia terhadap kematian ayahnya?”
“Sudah ku gagalkan semua, Ayah,” jawab Jeno. “Tapi, Ayah. Kalau Ayah tahu siapa pembunuh ayahnya Lia. Kenapa Ayah tidak katakan saja padanya dengan jujur?”
Donghae menghela napas pelan lalu menatap Jeno. “Begini, Jeno. Kalau Lia tahu siapa pembunuh ayahnya, maka kemungkinan dia akan meminta bantuan pada kita untuk membunuhnya. Sedangkan pelakunya itu sekarang adalah musuh bebuyutan ayah sejak dulu. Ayah belum bisa menyentuhnya sebab pasar gelap dikuasi oleh kita berdua saat ini. Kalau dia tiba-tiba mati, orang-orang sudah pasti akan menuduh Ayah dengan alasan iri karena dia lebih sukses.”
Jeno terdiam.
“Biarkan saja untuk saat ini. Lagi pula kita masih bisa menggagalkan usaha Lia untuk menemukannya. Fokus saja pada pencarian Lia, kalau ditemukan langsung saja paksa untuk bicara dan bawa dia ke lokasi brankas.”
“Baik, Ayah.”
*
Sejak menghilangnya Lia, Jeno jadi lebih leluasa untuk bertemu dengan Yeji. Bahkan sering bermalam di apartemen Yeji dengan bebas. Dari dulu hingga saat ini, Jeno begitu menyayangi Yeji sebab pada Yeji, Jeno menemukan segalanya apalagi hubungan mereka tanpa paksaan.
Yeji adalah anak salah satu pejabat negara, dulu pernah berobat di rumah sakit sehingga bertemu dengan Jeno. Ayah Yeji dan ayahnya Jeno cukup dekat, karena ayah Yeji sering membantu ayahnya Jeno melakukan transaksi dengan klien dari dalam negeri.
Hubungan mereka juga diketahui oleh masing-masing keluarga hanya saja belum bisa dipublikasi sebab Lee Donghae memberi penjelasan tentang tujuannya untuk membuka brankas terlebih dahulu.
“Aku senang karena Lia menghilang. Kau jadi lebih sering menemuiku.” Yeji bergelayut manja di lengan Jeno.
“Tapi aku yang dimarahi oleh ayah karena tidak bisa menjaganya dengan becus. Hubungan kita juga tidak boleh diketahui oleh Lia sebelum ayah melakukan keinginannya.”
“Hm, tapi aku senang karena kau ada di sini.”
“Baiklah.” Jeno menunduk dan mengecup pelan kening Yeji. “Kau tahu, akhir-akhir ini kalau kita keluar jalan-jalan, aku merasa seperti ada yang mengikuti. Entahlah, apa ini cuma perasaanku saja atau memang benar.”
“Itu hanya perasaanmu. Memangnya siapa yang akan melakukannya.”
“Hm, kau benar, sayang.” Jeno mengulas senyum kecil. “Tidurlah.”
*
Sejak tidur beberapa saat yang lalu, Jaemin akhirnya bangun pada pukul delapan malam. Ketika dia membuka mata, dia tidak mendapati ada Lia di dalam kamar. Jaemin turun dari ranjang dan berjalan menuju balkon, lalu saat menatap ke bawah, dia melihat Lia sedang berenang seorang diri kolam renang yang terletak di halaman belakang.
Segera saja Jaemin bergegas turun setelah membawa satu botol red wine dan satu bungkus rokoknya.
“Kenapa kau berenang malam-malam, ini dingin.” Jaemin berdiri di pinggir kolam ketika Lia memberi jeda saat dia sedang berlatih renang.
Bukannya menanggapi, Lia malah membuang muka dan kembali berenang ke tepi seberang. Mengabaikan tatapan menusuk dari Jaemin yang bisa membunuhnya kapan saja.
Jaemin beranjak duduk di pinggir kolam lalu mulai menuang winenya dan menyalakan satu batang rokok selagi melihat pemandangan yang menurutnya tidak boleh dilewatkan. Lia dan bikini warna hitam yang dikenakannya serta beberapa kissmark yang menghiasi tubuh Lia.
“Kau pandai berenang rupanya,” celetuk Jaemin lagi ketika Lia sampai di depannya. “Tadinya aku mau mengajarkanmu tapi kesempatan itu sirna setelah melihatmu pandai berenang.”
“Aku tahu otakmu hanya terisi oleh hal mesum. Makanya ingin mengajariku berenang.” Lia naik ke permukaan dan duduk di samping Jaemin.
Saat hendak meraih gelas wine yang ada di dekatnya, Jaemin menahan tangannya. “Katanya kalau dicicipi dari mulut ke mulut, akan lebih enak. Bagaimana? Mau dicoba?”
“Dasar gila!” desis Lia dan kembali melepas gelasnya. “Tidak heran memang, hanya orang sinting yang melakukannya.”
“Karena aku tidak jadi mengajarimu cara berenang. Bagaimana kalau kita tanding?”
“Yang kalah harus disiksa, bagaimana?”
Jaemin terkekeh mendengar tawaran Lia. Dia meneguk winenya lalu mengepulkan asap rokoknya.
“Kalau itu memang permintaanmu, silahkan. Tapi aku akan meminta hal lain,” ujar Jaemin sambil menatap Lia dari atas sampai bawah.
“Ya Tuhan, dasar otak mesum. Apa kau baru saja memindai seluruh tubuhku dengan mata mesummu?”
“Katakan, apa yang kau inginkan jika kau menang?” tanya Jaemin, mengabaikan wajah kesal Lia.
“Kalau aku menang, aku akan keluar dari sini.”
“Baiklah. Kalau aku menang, kau harus menuruti semua ucapanku, tanpa terkecuali. Membantah? Maka siap-siap untuk disiksa.”
Fokusku saat ini adalah membuatmu tunduk, Choi Lia.
**
Ingat ya temen-temen, ini cuma fiksi. Jangan sampai dibawa ke real life karena semua yang ada di cerita ini nggak ada sangkut pautnya sama kehidupan idol yang menjadi visualisasinya.
©dear2jae
2021.09.17 — Jumat.
2022.11.24 — Kamis. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top