6. Informasi 100 Juta
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Jaemin terperanjat kaget saat seseorang menyentuh lengannya dengan pelan. Dia kira itu adalah Lia tapi ternyata seorang maid yang sedang membangunkannya. Sesaat setelah berhasil mengumpulkan nyawanya, Jaemin mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar tapi tidak menangkap sosok Lia. Di mana perempuan itu tidur semalam pun dia tidak tahu sebab dia terlalu ngantuk dan terlelap lebih dulu.
“Tuan, Nona Lia ada di bawah. Dia berhasil dicegat oleh anak buah Tuan saat hendak melarikan diri,” ujar maid itu dengan pelan.
“Baiklah, kau bisa keluar. Sepuluh menit lagi aku akan turun dan suruh mereka untuk menjaganya selagi aku bersiap-siap.”
“Baik, Tuan.”
Setelah maid itu keluar dari kamarnya, Jaemin segera turun dari ranjang. Moodnya langsung buruk di pagi hari ini.
Selesai dengan persiapannya, Jaemin langsung turun menemui anak buahnya yang sedang berada di ruang tengah bersama Lia, lengkap dengan pakaian yang dikenakannya semalam.
Posisi Lia saat ini adalah bersimpuh, masih beruntung tangan dan kakinya tidak diikat. Tatapan Jaemin begitu menusuk, raut wajahnya datar dan terlihat dingin. Begitu sampai di depan Lia, Jaemin langsung melayangkan satu tamparan keras pada pipi kanan Lia hingga pipi itu seketika memerah, meninggalkan bekas. Lia bahkan sampai tersentak dan agak limbung.
“Harusnya kau berterima kasih dan bersyukur karena aku mengeluarkanmu dari ruang bawah tanah, bukannya malah ingin kabur seperti ini. Aku sudah baik memperlakukanmu dengan benar tapi ternyata kau memanfaatkan situasi.” Jaemin ikut bersimpuh di depan Lia yang saat ini mengerang kesakitan. Sungguh, tangan Jaemin begitu keras hingga mata Lia berair.
Semua orang yang menyaksikannya diam membisu, tak satupun dari mereka berani bersuara. Dan yang paling merasa khawatir adalah Bibi Kim. Jiwa keibuannya merasa diuji, dia begitu prihatin melihat Lia diperlakukan seperti itu. Tapi apa yang bisa dia lakukan selain diam dan mengamati.
“Berikan aku pisau,” pinta Jaemin, masih dengan posisi berhadapan dengan Lia.
“Apa yang akan kau lakukan?” pekik Lia ketika Jaemin mendekat ke arahnya lalu memegang kerah bajunya.
“Melukaimu,” jawab Jaemin dengan enteng sambil mendekatkan pisau itu pada leher Lia.
Lia tidak bisa berontak sebab kedua tangannya dipegang oleh dua orang yang bertubuh besar, yang tenaganya lebih besar darinya. Rasanya benar-benar menyakitkan ketika ujung pisau yang terasa dingin itu menyentuh kulit lehernya. Lia mengerang merasakan lehernya perlahan terluka. Perih, sakit dan nyeri bercampur jadi satu. Air mata Lia dengan sendirinya menetes saat dia merasakan sakit yang teramat sangat.
“Ber..henti..” lirih Lia, dia dapat merasakan kalau darahnya mulai menetes. “Tolong.. Berhenti.”
“Aku ingin kau melihat dan merasakan bahwa aku tidak pernah main-main dengan ucapanku, Choi Lia!” bentak Jaemin, ketika akhirnya dia menjauhkan pisaunya dari leher Lia.
Kedua tangan Lia dilepaskan seiring dengan tubuh Lia yang terkulai lemas di atas lantai. Rasanya benar-benar perih hingga Lia mengepalkan tangannya.
“Tuan, maafkan aku, aku lalai dan aku pantas mati. Tadi pagi, aku ketiduran hingga tidak menyadari bahwa Nona Lia mengendap-endap lewat pintu belakang,” seseorang tiba-tiba bersuara.
“Benarkah? Kalau begitu, kau memang pantas mati.” Jaemin mengeluarkan pistol yang terselip di balik jasnya kemudian tanpa aba-aba langsung menembak anak buahnya yang lalai.
Lia semakin melotot kaget ketika menyaksikannya. Dia menatap Jaemin dengan tatapan tidak percaya sambil mengerejapkan matanya berkali-kali.
“Sebaiknya kalian bekerja dengan baik jika tidak mau berakhir sepertinya,” titah Jaemin lalu perhatiannya tertuju pada Lia yang saat ini masih termenung. “Lihat dengan baik bahwa akibat perbuatanmu akan ditanggung oleh mereka. Sekarang bawa dia ke ruang bawah tanah dan jangan pernah memberinya makanan seperti sebelumnya. Lalu bersihkan darah yang ada di lantai ini. Aku tidak suka lantaiku kotor.”
“Tuan,” sahut Bibi Kim saat Jaemin hendak pergi. Setelah mengumpulkan tekad, dia akhirnya bersuara. “Biarkan Bibi obati dulu, ya. Baru setelah itu di bawa ke ruang bawah tanah?”
“Sejak kapan Bibi jadi suka ikut campur begini?” tanya Jaemin. “Apa Bibi mau berakhir sepertinya?” Jaemin menunjuk anak buahnya yang sudah tewas.
“Tidak usah, Bi. Nanti darahnya kering sendiri.” Lia menolak dan tidak mau membuat Bibi Kim berada dalam bahaya karena dirinya. Sudah cukup satu orang yang menanggung akibatnya.
“Bibi dengar apa yang dia katakan? Sekarang bawa dia. Jangan berani mengeluarkannya sebelum ada perintah dariku.” Jaemin kemudian berlalu pergi.
Sementara itu, Lia diangkat dan di bawa menuju ruang bawah tanah. Padahal baru kemarin dia keluar, sekarang dia harus kembali masuk di ruangan yang pengap itu.
*
Di tengah teriknya matahari siang dan disela pekerjaannya yang padat, Haechan menyempatkan diri untuk menemui Jaemin yang saat ini berada di cafe seberang Rumah Sakit Hanshin setelah sebelumnya Jaemin mengiriminya pesan ingin bertemu.
Awalnya menolak tapi apa yang bisa Haechan lakukan saat Jaemin bilang akan meruntuhkan gedung rumah sakit kalau Haechan tidak keluar.
Dan di sinilah mereka sekarang, saling tukar pandang dalam diam sambil menyeruput minuman masing-masing.
“Cepat katakan apa maumu. Aku tidak punya waktu karena pekerjaanku sangat banyak.” Haechan langsung to the point.
“Lihatlah anak buahku yang sedang berkeliaran di luar. Kalau kau salah bicara sedikit saja saat ini, maka gedung itu akan hancur.” Jaemin mengancam.
Haechan berdecak kesal dan memutar bola mata malas. “Tunggu, di mana Lia?”
“Kenapa kau bertanya padaku di mana dia?”
“Begini..” Haechan memperbaiki posisi duduknya. “Sudah empat hari Lia menghilang dan kau tahu, aku hampir kehilangan nyawa saat terperanjat kaget karena dibentak oleh tunangannya. Ya Tuhan, wajahnya sangat menyeramkan. Ya, kira-kira sama sepertimu kalau marah, jadi menyeramkan. Tapi kau tahu apa yang aneh?”
“Apa?”
“Dia hanya kalang kabut mencarinya di hari pertama tapi hari kedua sampai sekarang, dia seolah tidak peduli. Maksudku, dia tidak pernah bertanya lagi padaku kabar Lia. Kadang aku merasa takut akan bertemu dengannya karena mungkin saja dia akan bertanya tapi ternyata dia cuek padaku.” Haechan berbisik pelan dan menjelaskan situasinya pada Jaemin.
Jaemin mulai tertarik pada pembicaraan ini bahkan dia semakin mendekat ke arah Haechan. “Kau mau uang?”
“Bodoh, tentu saja semua orang mau uang.”
Jaemin menyodorkan ponselnya di depan Haechan. “Tulis berapapun nominal yang kau inginkan dan sebagai gantinya ceritakan padaku dengan detail tentang mereka. Lia dan tunangannya.”
Mata Haechan langsung membulat dan segera meraih ponsel Jaemin. Memangnya siapa yang tidak akan tergiur saat ditawari uang.
“Bagaimana kalau aku mau 100 juta?”
“Kenapa sedikit sekali?”
“500 juta?”
“Yakin?”
“1 miliar?”
“Kau ketik 1 triliun saja aku tidak masalah asalkan informasi yang akan kau berikan akurat. Jika informasi itu tidak sesuai dengan apa yang ku harapkan, maka kembalikan uang itu padaku.” Jaemin mempertegas keinginannya.
Haechan kembali meletakkan ponsel Jaemin dan melihat jam tangannya. Sudah waktunya dia kembali tapi kalau pergi tiba-tiba, kemungkinan dia akan kehilangan nyawa atau gedung rumah sakit itu akan benar-benar runtuh.
“Lebih baik kau dengar dulu apa yang akan ku katakan. Dari pada aku ambil uangnya dulu dan nanti kau tidak puas,” ujar Haechan. “Begini, aku dan Lia bertemu saat masuk bekerja di rumah sakit ini. Jadwal kami selalu bersama jadi begitulah aku mulai dekat dengannya.”
Haechan mengambil jeda dan meneguk minumannya. “Setahuku, Lia tinggal sendiri di apartemen mewah yang diberikan oleh Jeno. Orang tuanya sudah meninggal dan Lia hidup sendiri.”
“Nama tunangannya, Jeno?”
“Ya, dia pemilik Rumah Sakit Hanshin. Mereka menjalin hubungan sejak dulu, sejak Lia masih kuliah. Sekarang sudah tunangan, sebentar lagi akan menikah.”
“Selain itu, apalagi yang kau tahu?”
“Tunggu, apa kau mengorbankan uang 1 triliun hanya untuk mencari tahu tentang Lia? Apa kau menyukainya?” terka Haechan.
“Ya. Jadi cepat katakan apa yang kau ketahui tentangnya. Dengan detail.”
Haechan bertepuk tangan dan menutup mulutnya tak percaya ketika mendengar jawaban dari Jaemin.
“Mundur saja, kau tidak akan bisa membuat Lia menyukaimu karena dia sangat mencintai Jeno.” Haechan tertawa mengejek tapi Jaemin tidak menanggapi. “Ok, aku kira awalnya Lia lemah lembut tapi ternyata setelahnya mengenalnya, dia orangnya keras juga. Yang paling membuatku kaget adalah Lia memiliki tatto di bahunya, berbentuk matahari kecil.”
“Lalu?” Jaemin berdoa dalam hati semoga Haechan terus membahas tentang tattonya.
“Aku sempat bertanya kenapa Lia membuat tatto kecil berbentuk matahari, kenapa tidak bulan atau bintang saja. Tapi Lia bilang, dia suka matahari.”
Jaemin mengembuskan napas kesal, sejenak menyeruput minumannya agar kepalanya lebih dingin.
“Hanya itu?”
“Ya.”
“Sekarang beritahu aku semua yang kau tahu tentang Jeno?” pinta Jaemin lalu berdeham pelan. “Setidaknya aku harus mengenal siapa rivalku dalam merebut hati Lia.”
Tentu saja Jaemin berdusta. Haechan benar-benar mudah dikelabui. Jaemin hanya perlu terlihat bodoh dan Haechan akan langsung percaya.
“Aku tidak tahu banyak tentang Jeno karena aku tidak pernah bicara serius dengannya. Lia juga tidak membicarakan urusannya dengan Jeno saat bersamaku jadi aku tidak tahu.”
“Marganya apa?”
“Siapa? Jeno? Lee, Lee Jeno.”
“Baiklah.” Jaemin kembali menyodorkan ponselnya di depan Haechan. “Ketik saja berapa nominal yang kau mau sebelum aku berubah pikiran. Ah, satu lagi, beritahu aku alamat apartemen Lia.”
“Nanti aku kirimkan lewat pesan. Tapi, benarkah kau tidak tahu di mana Lia?” tanya Haechan saat fokus mengetikkan nominal uang yang dia mau.
“Tidak.”
“Aku minta 100 juta saja. Lagi pula kalau terlalu banyak, aku juga tidak tahu mau menggunakannya untuk apa.” Haechan mengembalikan ponsel Jaemin lalu mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan Jaemin alamat apartemen Lia. “Tolong ya, kalau kau menemukannya, beritahu aku.”
“Ya,” ujar Jaemin seraya menatap alamat yang dikirim oleh Haechan. “Kalau begitu aku pergi, pekerjaanku masih banyak.”
“Lalu kau kira pekerjaanku juga tidak banyak?”
“Aku pergi, Lee Haechan. Jaga dirimu.” Jaemin mengerlingkan sebelah matanya dan membuat Haechan pura-pura muntah.
Jaemin bergegas masuk ke mobil setelah pembicaraannya dengan Haechan selesai. Dalam perjalanan, Jaemin langsung menghubungi Dejun karena tidak sabaran padahal dia sudah mengirim pesan.
“Ya, halo?” Dejun akhirnya mengangkat panggilan.
“Baca pesanku.”
“Baik.”
Lalu panggilan berakhir. Jaemin hanya ingin memastikan bahwa Dejun sudah melihat pesan yang dia kirim.
Isi pesannya..
“Lee Jeno, pemilik Rumah Sakit Hanshin.”
Tadinya Jaemin ingin meninjau pengiriman untuk malam ini tapi tidak jadi dan memilih untuk kembali ke mansion setelah sebelumnya mengirim pesan pada Renjun untuk menemuinya di mansion.
Informasi dari Haechan baginya sudah cukup, apalagi alamat apartemen Lia sudah dia dapatkan.
Tak lama, Jaemin sampai di mansion dan melihat sudah ada Renjun yang menunggu di ruang tengah. Hanya dengan anggukan kepala, Renjun langsung beranjak dan mengikuti Jaemin ke ruang pribadinya.
“Ada yang aneh,” ujar Jaemin setelah mereka beranjak duduk. “Tadi aku menemui Haechan dan bertanya tentang Lia. Haechan bilang padaku bahwa pacar Lia yang merupakan pemilik rumah sakit hanya mencari Lia di hari pertama dan begitu tenang di hari selanjutnya. Seolah dia tidak terlalu peduli akan hilangnya Lia.”
“Lalu?”
“Aku sudah meminta Dejun untuk melacak informasi tentang pacar Lia. Namanya Lee Jeno dan dia merupakan pemilik rumah sakit.”
Baru saja selesai dengan kalimatnya, Jaemin mendapat pesan dari Dejun dan langsung memicingkan matanya. Dia memperlihatkan isi pesan yang dikirim oleh Dejun.
“Lihat, berarti ada yang tidak beres,” gumam Jaemin.
Isi pesan dari Dejun adalah screenshot saat dia mencari data tentang Jeno. Sama seperti data milik Lia yang tidak bisa diakses. Tentu saja Jaemin percaya karena data Lia juga seperti itu.
“Lalu?”
“Bisa kau cari tahu lebih dalam tentang Helios? Tanya anggota Helios yang bergabung bersama kita, siapa tahu mereka tahu sesuatu.”
“Kenapa tidak kau saja yang bertanya supaya mereka langsung menjawab?” Renjun menyarankan.
“Aku harus ke suatu tempat malam ini.” Jaemin menatap alamat apartemen Lia. “Aku harus segera memastikan siapa Lia sebenarnya. Karena aku sudah mencarinya sejak lama. Aku harus membalaskan kematian mereka.”
“Kalau misalnya dia ternyata memang anak Choi Minho. Apakah kau akan langsung membunuhnya?”
“Sepertinya aku harus bersenang-senang dulu dengannya,” jawab Jaemin dengan seringaian kecil.
“Sialan! Aku tahu isi otakmu!” Renjun melempari Jaemin dengan bantal sofa kemudian beranjak.
Jaemin hanya terkekeh pelan.
**
Ingat ya temen-temen, ini cuma fiksi. Jangan sampai dibawa ke real life karena semua yang ada di cerita ini nggak ada sangkut pautnya sama kehidupan idol yang menjadi visualisasinya.
©dear2jae
2021.09.13 — Senin.
2022.11.24 — Kamis. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top