24. I love you, Lia • END
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Sejak mereka meninggalkan rumah Lee Donghae, Jaemin lebih banyak diam di dalam mobil di saat Renjun dan Dejun heboh tentang badan mereka yang pegal-pegal karena mendapat pukulan dari anak buah Donghae.
Pandangannya mengahadap ke arah jalanan yang mulai sepi oleh kendaraan tapi fokusnya memburam. Kepalanya terasa pening, bahkan Jaemin berkali-kali mengembuskan napas berat. Lega memang, tapi seperti masih ada rasa yang mengganjal dan Jaemin belum tahu apa itu.
Selagi Renjun dan Dejun fokus bercerita satu sama lain, Lia yang menyadari kalau Jaemin lebih banyak diam akhirnya menyentuh lengan Jaemin. Hanya dengan sentuhan itu, Jaemin paham kalau Lia sedang bertanya bagaimana keadaannya.
“Aku ingin istirahat sebentar, hm.” Jaemin mengulas senyum tipis dan kembali menoleh ke arah jalanan.
Perasaan dendam yang tertanam sejak tujuh tahun yang lalu akhirnya terbalaskan. Walaupun sempat ada drama di mana Jaemin salah paham dan mengira Choi Minho adalah pelakunya. Kini, semuanya selesai. Untuk urusan Jeno, dipikirkan nanti saja. Jaemin sudah tahu titik lemahnya yaitu Yeji dan anak yang ada di dalam kandungan Yeji.
“Oh my god, tubuhmu lebam di bagian bahu,” pekik Renjun ketika menatap Dejun yang sedang membuka bajunya.
“Tubuhku terhuyung dan aku terjatuh mengenai ujung meja kayu. Ah, sialan, sakitnya bukan main,” gerutu Dejun sembari memakai pakaiannya lagi.
“Nanti kalau sampai mansion, jangan pulang dulu. Aku akan mengobati kalian,” celetuk Lia yang sontak membuat Renjun dan Dejun mengangguk bersama sedangkan Jaemin langsung membuka matanya dan berdecak.
“Jangan, biarkan mereka mengobatinya sendiri. Jangan sentuh orang lain, aku tidak suka.” Jaemin memperbaiki posisi duduknya dan beringsut ke samping Lia lalu menyandarkan kepalanya di pundak Lia.
“Tidak usah, Lia. Aku bisa sendiri, lagi pula aku masih ingin hidup. Nanti kalau kau menyentuhku, bisa-bisa aku yang mati.” Dejun menekankan setiap kalimatnya, tujuannya memang untuk menyindir. “Tapi, jangan lupakan janjimu padaku.”
“Janji apa?” gumam Jaemin.
“Bayar aku dengan harga fantastis!” teriak Dejun.
Jaemin mengangguk. “Bicarakan saja dengan Lia, semua hartaku sudah jadi miliknya. Bahkan hidup dan matiku ada di tangannya.”
Jaemin terdengar sangat pasrah dengan helaan napas lirih. Seketika, suasana di dalam mobil berubah hening.
Lia menoleh dan menatap Jaemin dengan wajah datar serta tatapan yang tidak bisa diartikan. “Kenapa kau terdengar sangat pasrah akan hidupmu? Ke mana perginya sosok angkuh yang selalu aku lihat? Ke mana perginya sosok kejam itu? Aku tahu kau berubah baik padaku karena memang salah paham. Tapi, pasrah seperti ini bukan dirimu!” desis Lia dan mendorong kepala Jaemin untuk menjauh darinya.
Renjun dan Dejun saling tatap dalam diam, bahkan untuk bernapas keras-keras saja mereka tidak berani. Suasana di belakang berubah tegang setelah Lia terlihat marah. Jaemin terdengar mengembuskan napas kasar.
Dejun akhirnya bisa bernapas lega ketika mereka akhirnya sampai di mansion. Tadinya mereka akan langsung pulang tapi Jaemin meminta mereka masuk sebentar padahal jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
Suasana kembali hening ketika mereka berempat duduk di ruang tengah. Jaemin menyandarkan punggungnya di sofa dengan mata terpejam.
“Bukankah dendammu sudah terbalaskan? Lalu, apa yang kau pikirkan lagi hingga wajahmu terlihat kusut?” celetuk Renjun.
“Tidak ada,” gumam Jaemin pelan dan memperbaiki posisi duduknya lalu menatap Renjun serta Dejun secara bergantian dengan tatapan serius. “Aku mau kalian jadi saksi.”
“Saksi?” tanya Dejun heran.
“Ya, saat ini aku akan mengalihkan seluruh hartaku pada Lia.”
Mendengar Jaemin bilang begitu, entah kenapa Lia merasa kesal. Dengan wajah jengkel, Lia beranjak tapi Jaemin menarik tangannya hingga dia terduduk lagi.
“Lepas!” desis Lia, berusaha melepaskan cengkraman tangan Jaemin pada pergelangan tangannya. “Lepaskan aku, brengsek!”
“Duduk, diam. Aku sedang bicara serius saat ini!” balas Jaemin. “Kau ini kenapa memangnya? Saat ini aku ingin meminta maaf dengan benar padamu, menyerahkan diri padamu karena aku bersalah. Bukankah ini yang kau inginkan?”
“Besok, aku lelah dan ingin tidur.”
“DUDUK, LIA!”
Lia melempar remote televisi yang ada di atas meja sampai pecah untuk melampiaskan kekesalannya, juga ponsel Jaemin yang ada di atas meja menjadi korbannya. Ponsel itu hancur seketika, mengalami retak pada layarnya.
Renjun dan Dejun seketika membeku. Keduanya bahkan lupa untuk bernapas saking kagetnya melihat reaksi Lia yang tiba-tiba. Sedangkan Jaemin tidak bereaksi apa-apa, dia membiarkan Lia mengeluarkan emosinya. Walaupun Jaemin tidak tahu apa penyebabnya.
Bingung, hanya kata itu yang menggambarkan bagaimana perasaan Lia saat ini. Rasa benci dan sayangnya berdampingan dan itu membuatnya sangat tersiksa. Jika tidak diingatkan dengan kematian ayahnya, maka rasa sayangnya bisa lebih besar. Tapi jika dia teringat seperti ini, maka rasa benci menguasai dirinya.
Lia tahu dan sadar kalau Jaemin memang benar-benar merasa bersalah pada dirinya. Lia juga tahu kalau Jaemin benar-benar salah paham. Saat ini, Lia ingin mencoba mengikhlaskan semuanya dan menganggap itu adalah takdir ayahnya. Tapi, Jaemin terus saja mengingatkannya.
“Besok saja kalau bisa. Kita semua juga sama-sama lelah,” celetuk Renjun memberanikan diri.
“Sekarang.” Jaemin beranjak. “Tunggu di sini sebentar, aku harus mengambil sesuatu.”
Awalnya Lia memang sangat ingin membunuh Jaemin. Tapi, setelah tahu bahwa laki-laki itu memang menyesal, Lia jadi merasa kasihan dan perlahan keinginannya untuk membunuh Jaemin semakin kecil.
“Lia, kau serius akan membunuhnya?” tanya Renjun dengan nada pelan ketika Jaemin pergi ke ruang pribadinya.
Lia memilih diam dan memejamkan matanya.
Kini, Jaemin sadar bahwa hal mengganjal yang dirsakannya adalah perasaan bersalah terhadap Lia. Karena kecerobohannya, Lia menjadi korban. Karena kebodohannya, Lia kehilangan sosok ayah. Karena kurangnya informasi yang dia punya, Lia menderita dan harus mendapat siksaan darinya.
Jaemin kembali dengan membawa selembar kertas putih dan pulpen serta kalung Yin dan Yangnya. Dia mulai menuliskan sesuatu di kertas itu. Hanya beberapa kalimat yang langsung dibubuhi tanda tangan.
Isinya : Semua hartaku sudah jadi milik Lia. Termasuk mansion ini dan bisnis yang sedang aku jalankan.
Tertanda, Na Jaemin.
Jaemin menyerahkannya pada Lia tapi Lia tidak mau mengambilnya. Terpaksa, Jaemin meletakkannya di atas meja.
“Dengar aku baik-baik, ya.” Jaemin berusaha bicara dengan nada pelan supaya Lia tidak tersulut emosi. “Begini, Lia. Dendamku memang sudah terbalaskan tapi di hatiku masih ada yang mengganjal. Ternyata itu adalah rasa bersalahku padamu karena sudah membunuh ayahmu tanpa adanya informasi yang jelas.”
Lia menunduk, hatinya sakit saat kembali teringat akan hari itu. Hari di mana dia terakhir kali bertemu dengan ayahnya.
“Maaf, Lia. Maafkan aku. Maaf karena aku sudah membunuh ayahmu yang tidak bersalah. Di sini, aku tidak memintamu untuk mengasihaniku bahkan memaafkanku dengan mudah setelah apa yang aku lakukan padamu. Apa pun yang ingin kau lakukan padaku, lakukan. Jika ingin menyiksaku, silahkan. Jika ingin membunuhku, lakukan. Lampiaskan dendammu, kekesalanmu, dan kemarahanmu padaku karena aku bersalah.” Jaemin menjeda kalimatnya saat hatinya terasa sesak.
“Bodoh! Aku memaafkanmu,” ujar Lia seraya menepis tangan Jaemin dari pundaknya. “Berhenti membahas hal itu karena aku tidak suka. Aku sudah melupakannya tapi kau malah mengingatkanku lagi.”
Jaemin mengangguk pelan. “Aku tidak berharap dimaafkan dengan semudah ini. Justru ini yang semakin membuatku merasa bersalah kalau kau terlalu cepat meaafkanku. Ok, aku tahu kau sudah memaafkanku tapi aku juga tahu kalau hatimu belum bisa terasa lega. Biar bagaimana pun juga aku membunuh ayahmu, Lia. Tolong, balas aku supaya kita sama-sama merasa lega.”
Lia memejamkan matanya sejenak karena merasakan emosinya meluap-luap. “Kau serius dengan keputusanmu ini?” tanya Lia memastikan.
“Ya, aku serius.” Jaemin menjawab dengan mantap kemudian meraih kalungnya. “Simpan ini baik-baik, aku memberikannya padamu. Ini milikmu.”
Lagi-lagi, Lia merasa emosional sebab kalung ini adalah kalung turun temurun dan diberikan pada orang terkasih. Itu artinya, Jaemin benar-benar mencintainya.
“Aku sudah balas dendam pada Lee Donghae. Sekarang, giliranmu untuk balas dendam padaku. Bukankah selama ini kau mencariku? Sekarang lakukan apa pun yang ingin kau lakukan,” ujar Jaemin pelan.
Jaemin berbalik dan meraih pistol serta pisau lipat yang ada di atas meja kemudian menyodorkannya di depan Lia.
“Pilih, kau mau menggunakan yang mana,” ujar Jaemin lagi.
Renjun dan Dejun sudah ketar-ketir, mereka berharap Lia tidak serius. Apalagi Bibi Kim dan maid yang lain serta beberapa anak buah Jaemin yang ada di ruang tengah. Tak ada yang berani ikut campur, jadi mereka hanya bisa diam menyaksikan dengan segala doa yang dipanjatkan agar Lia tidak menanggapinya dengan serius.
Sementara Lia benar-benar dikuasai emosi. Emosi karena Jaemin sangat pasrah.
Lia meraih pisau lipatnya, setelah lama berkutat dengan pikirannya. “Ok, selagi aku dikuasai emosi, aku akan melampiaskannya padamu. Aku pilih pisau, kalau pistol kau akan cepat mati dan itu tidak seru. Kau harus merasakan sakit dan pedih sebagaimana yang ayahku rasakan saat kau membunuhnya dulu.”
“Iya, lakukan.” Jaemin kembali meletakkan pistolnya lalu menatap Renjun dan Dejun secara bergantian. “Tolong jaga Lia baik-baik, bantu dia jika ingin melakukan apa-apa. Bantu dia mengurus bisnis ini.”
Renjun dan Dejun hanya bisa mengangguk dengan kaku. Dalam hati berkomat-kamit memanjatkan doa. Walaupun kadang kesal pada Jaemin tapi Jaemin tetap lah seorang teman.
Jaemin beralih menatap Bibi Kim dan mengulas senyum tipis. “Terima kasih, Bi. Terima kasih karena selama ini sudah menemaniku sejak kecil. Maaf kalau aku banyak merepotkan Bibi. Tolong jaga Lia, Bi. Bantu Lia juga.”
Tatapan Jaemin kemudian terfokus pada Lia yang saat ini sudah siap dengan pisau di tangannya.
“Jaga dirimu baik-baik dan lakukan apa pun yang ingin kau lakukan setelah ini. Maaf, karena aku sudah memutus karirmu sebagai seorang dokter. Jika nanti kau bertemu dengan Haechan, sampaikan permintaan maafku padanya. Kalau cari pacar lagi, pastikan dia orang yang baik. Jangan sampai kau kembali bersama Jeno karena sampai mati pun aku tidak akan pernah rela. Terakhir.. Maaf, terima kasih dan I love you, Lia. Dan kalian semua, jangan pernah salahkan Lia atas apa yang dia lakukan padaku saat ini.” Jaemin tersenyum, benar-benar senyuman tulus yang pernah Lia lihat.
Begitu ucapan Jaemin selesai, Lia mendekat dan langsung menusuk Jaemin dengan linangan air mata. Semua orang terkejut, tidak menyangka Lia akan benar-benar menusuk Jaemin.
Tidak ada perlawanan dari Jaemin, tubuhnya langsung merosot dan tergeletak karena Lia langsung mencabut pisaunya. Rasanya pedih dan sakit tapi Jaemin tidak mengeluh sedikit pun. Lia terus menangis sambil menusuk-nusuk bagian tubuh Jaemin, sama seperti yang dilakukan oleh Jaemin pada ayahnya dulu.
“Kenapa kau tidak melawan, bodoh!” pekik Lia dan terus menusuk Jaemin, bahkan mengiris leher Jaemin seperti Jaemin melukainya dulu. “Ayo melawan!”
Jaemin tidak dapat berkata-kata saat pedih dan sakit terasa begitu nyata saat ini. Helaan napasnya terdengar semakin lirih, bahkan tarikan napasnya semakin memelan. Pandangan Jaemin perlahan memburam seiring dengan tangannya yang hendak meraih tangan Lia terhempas begitu saja karena tenaganya kian melemah.
Kini, dia bisa tenang dan merasa lega karena ini semua adalah salahnya. Jaemin mengakui itu.
“Lia, ku mohon, berhenti!” teriak Renjun saat dia melihat Jaemin hampir menutup mata. “LIA!”
Lia tidak mendengar, dia terus menangis sambil menusuk Jaemin. Darah segar menetes dan menggenang di sekitaran tubuh Jaemin.
“I love you, Lia. Kau harus tahu itu,” lirih Jaemin pelan dan dia akhirnya menutup mata.
Semua orang panik dan berlarian mendekat ke arah Jaemin yang sudah menutup mata. Sementara Lia menunduk dan mengusap air matanya kemudian beranjak. Menatap nanar tubuh Jaemin yang sudah tak bergerak.
Pisau yang ada di tangan Lia terjatuh begitu saja, dia menatap bajunya yang terkena banyak darah. Bahkan air matanya sudah mengering dan itu membuat Renjun marah.
“Tidak ada gunanya kau menangis jika hanya sesaat!” desis Renjun dan menyela tubuh Lia.
“Bukankah kau dengar sendiri bahwa ini yang dia inginkan?” balas Lia.
Suasana di dalam mansion begitu riuh tapi Lia merasa hampa. Dia terduduk di sofa sambil menyaksikan orang-orang yang berlalu-lalang di depannya.
*
A few days later...
Raut wajah Renjun tidak pernah bersahabat, rasa kesalnya pada Lia masih ada. Tapi, dia harus melaksanakan perintah Jaemin yaitu selalu membantu Lia.
“Jika sudah selesai lebih baik cepat beranjak. Kita harus pulang karena ini sudah sore.” Renjun lebih dulu keluar dari area pemakaman.
“Tunggu saja di mobil dan jangan banyak bicara. Aku harus memberikan penghormatan terakhirku padanya. Biar bagaimana pun juga, dia pernah berbuat baik padaku.” Lia bersimpuh lalu memanjatkan doa dalam diam.
Sore hari yang terlihat sangat cerah, ditemani kicauan burung dan sinar matahari sore serta angin yang berembus dengan pelan. Setelah selesai memanjatkan doa, Lia beranjak, meninggalkan area pemakaman dengan langkah ringan.
Hatinya terasa lega. Benar-benar lega.
•
— the end —
**
Ingat ya temen-temen, ini cuma fiksi. Jangan sampai dibawa ke real life karena semua yang ada di cerita ini nggak ada sangkut pautnya sama kehidupan idol yang menjadi visualisasinya.
Notes;
DILARANG COMMENT⚠️ kalo komen yang baik-baik aja ya:)
Ok guys-guysku yang baik hati dan tidak sombong, finally, the story has ended. Thank you🖤
©dear2jae
2021.10.04 — Senin.
2022.12.07 — Rabu. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top