21. Hug me

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi tapi Jaemin tak kunjung keluar dari ruang pribadinya untuk sarapan. Bahkan Lia belum mau menyentuh makanannya sebelum Jaemin datang. Mau masuk dan menyeret Jaemin, Lia tidak punya akses untuk masuk. Jadi, yang Lia lakukan saat ini adalah menggedor dengan keras pintunya sambil berteriak.

“Buka pintunya! Apa yang kau lakukan di dalam? Kalau sudah bangun kenapa tidak keluar sarapan dan minun obat. Jangan cepat mati karena aku sendiri yang akan membunuhmu!” teriak Lia sambil menggedor-gedor pintu. “NA JAE..”

Ucapan Lia terhenti ketika pintu akhirnya terbuka dari dalam. Tubuh Lia limbung karena tidak siap saat pintu terbuka hingga Jaemin dengan sigap menahannya agar tidak terjatuh.

Lia segera berdiri dengan benar dan menepis tangan Jaemin yang berada di pinggangnya. Tapi, apa yang membuat Lia kaget adalah tubuh Jaemin terasa sangat panas karena kulit mereka bersentuhan. Ketika Lia menatap wajah Jaemin, wajah itu terlihat pucat.

“Aku tidak punya tenaga untuk keluar. Kau saja yang sarapan.” Jaemin berbalik hendak tidur lagi tapi Lia menahan tangannya.

“Kalau kau tidak keluar dalam lima menit maka aku akan menyiksamu!” desis Lia. Dia mencoba menggunakan cara Jaemin saat mengancamnya dulu.

Tapi, itu tidak berpengaruh karena Jaemin malah kembali meringkuk dan menarik selimutnya.

“Siksa saja, selagi aku tidak bisa melawan,” gumam Jaemin yang terdengar sangat pasrah.

Bagaimana bisa Lia menyiksa di saat Jaemin lemah seperti ini? Dia tidak akan tega. Rasa benci dan dendamnya memang ada tapi itu berdampingan dengan rasa suka dan sayangnya.

Jaemin menoleh karena tidak ada suara setelah dia bicara. Ternyata Lia masih berdiri di samping ranjang dengan mata yang berkaca-kaca.

“Pergi sarapan, jangan tunggu aku. Aku benar-benar tidak ada tenaga untuk keluar. Tubuhku sangat pegal dan sakit.” Jaemin terduduk. “Tolong beritahu Bibi Kim untuk membawakanku sarapan ke sini.”

Tubuh Jaemin terlihat semakin membiru. Semalam, Lia tidak jadi mengobatinya karena Jaemin langsung keluar dari kamar.

“Aku tidak akan memberitahu Bibi Kim. Biarkan saja supaya kau lapar sampai siang,” ujar Lia dan berbalik tapi langkahnya terhenti. “Aku tidak akan menutup pintunya supaya aku bisa masuk tanpa harus menggedor.”

“Tutup saja. Aksesnya sudah ku ubah dari retina menjadi password. Passwordnya 0813.”

“Ya,” jawab Lia singkat dan menutup pintunya dengan keras.

Lalu tak lama, Lia kembali membawa nampan berisi makanan serta minuman dan juga obat untuk diminum serta obat salep.

Raut wajah Lia masih datar sedangkan Jaemin mengulas senyum tipis. “Bibi Kim mana?” tanya Jaemin.

Lia tidak menimpali, dia beranjak duduk di pinggir ranjang dan meletakkan nampan itu di atas pangkuan Jaemin.

“Katanya tidak mau memberiku makan supaya aku lapar sampai siang?” tanya Jaemin selagi menyuap makanannya.

“Aku tidak mau kau mati karena kelaparan. Aku yang akan membunuhmu nantinya.” Lia meraih gelas air dan menyodorkannya pada Jaemin. “Jangan besar kepala karena aku bersikap baik. Aku hanya ingin bersikap baik sebentar sebelum aku membunuhmu.”

Jaemin tersenyum tipis dan mengangguk kecil. “Kemarin aku terus-terusan bilang akan membunuhmu tapi tidak jadi. Sekarang, apakah nantinya kau akan berubah pikiran dan tidak jadi membunuhku?”

“Tidak, aku tidak akan berubah pikiran. Kau salah paham padaku, itu sebabnya kau tidak jadi membunuhku. Lalu, kau di sini jelas bersalah dan mengakui kesalahanmu. Jadi, untuk apa aku berubah pikiran dan tidak jadi membunuhmu!” Lia memutar bola mata malas.

“Iya, lakukan apa pun yang ingin kau lakukan padaku. Tapi nanti, setelah aku menyelesaikan urusanku dengan Lee Donghae. Hanya itu yang aku minta.” Jaemin meletakkan alat makannya ketika makanannya sudah habis.

Lia meraih nampannya dan meletakkannya di atas nakas kemudian menyodorkan obat pada Jaemin.

“Berbalik, aku akan mengobati punggungmu,” ujar Lia seraya meraih obat salep yang ada di atas nakas.

Jaemin menuruti perintah Lia, dia berbalik dan memunggungi Lia. Kemudian Lia mulai mengoleskan salep itu pada lebam-lebam yang ada di punggung serta pinggang. Karena rasanya nyeri, Jaemin agak meringis.

“Pelan-pelan, ya. Rasanya sangat sakit,” ujar Jaemin ketika berbalik lagi dan menghadap ke arah Lia. Kini giliran lebam yang ada di dada serta perutnya yang akan di obati.

Lia tidak menimpali dan fokus pada kegiatannya. Sedangkan Jaemin terus memandangi wajah Lia, mengamati setiap sudut wajah Lia, mengagumi wajah cantik itu dalam diam.

“Maaf,” celetuk Jaemin yang membuat Lia menghentikan aktifitasnya. “Maafkan aku karena sudah banyak menyiksamu padahal kau tidak bersalah. Maaf karena kebodohanku, kau jadi korban. Maafkan aku, Lia.”

“Jangan banyak bicara dan cepat istirahat.” Lia mengabaikan ucapan Jaemin dan beranjak.

“Apa rencanamu selanjutnya? Maksudku, brankas itu?” tanya Jaemin sembari menahan tangan Lia yang hendak pergi.

“Tidak ada, brankas itu sudah jadi milik Paman Donghae karena aku menukarnya dengan dirimu.”

“Itu berarti aku milikmu?”

“Ya. Jadi, jangan macam-macam padaku karena aku sudah berbaik hati membebaskanmu dari sana.” Lia menepis tangan Jaemin dan kembali duduk. “Kau sendiri, apa rencanamu selanjutnya? Katanya mau membunuh Paman Donghae?”

Jaemin memperbaiki posisi duduknya. “Kalau masuk ke rumahnya, sama saja dengan aku menyerahkan diri karena penjagaan di sana pasti akan semakin diperketat. Bawa pasukan pun, sepertinya tidak memungkinkan. Anak buahku setengahnya sudah tewas.”

“Butuh bantuanku?”

“Memangnya apa yang bisa kau lakukan?” Jaemin meremehkan sembari terkekeh pelan dan melayangkan satu sentilan pada kening Lia.

Lia menggeram kesal dan membalas sentilan Jaemin dengan pukulan pada lengan Jaemin. “Jangan remehkan aku!”

“Ya, ok, maaf. Lalu, apa yang akan kau lakukan untuk membantuku?”

“Beraksi saja saat aku dan Paman Donghae pergi membuka brankasnya. Lokasi brankasnya ada di Incheon, di pinggir jalan, di sebuah gudang besar. Bawa beberapa orang saja dan bidik dari jauh, kalau menyerang langsung sepertinya tidak mungkin karena Paman Donghae pasti akan membawa pasukan juga untuk berjaga-jaga.” Lia memberikan solusinya. “Tapi, sebelum itu, pastikan kau pulih lebih dulu. Jangan bikin orang repot kalau masih sakit.”

Alright, big boss!” Jaemin memberi hormat. Hampir saja Lia tertawa tapi dia berusaha menahan ekspresinya. “Makanya, rawat aku supaya cepat sembuh. Jangan marah-marah terus.”

“Tidak.”

Hm, ya sudah.” Jaemin kembali berbaring dan meraih ponselnya. “Aku harus menghubungi Renjun dan memintanya membawa Haechan kemari. Anak itu harus mati untuk menebus kesalahannya.”

Lia melotot kaget mendengar ucapan Jaemin. “Memangnya apa yang dilakukan Haechan sampai kau ingin membunuhnya?” pekik Lia, dia hendak menyambar ponsel Jaemin tapi dengan cepat Jaemin menjauhkannya dari jangkauan Lia.

“Dia yang memberitahu Jeno bahwa kau ada di sini. Dia juga yang memberitahu alamat mansion ini pada Jeno.”

“Jangan gegabah. Tanyakan dulu pada Haechan apa yang terjadi. Siapa tahu Haechan mendapat ancaman dari Jeno makanya terpaksa memberitahu.”

Jaemin menggeleng dan segera menghubungi Renjun. Dengan secepat kilat Lia menyambar ponsel itu.

“Kembalikan!” desis Jaemin dan ikut beranjak karena Lia hendak berlari keluar.

“Aku akan mengembalikannya jika kau berjanji tidak akan mengusik Haechan. Apa kau tidak merasa kasihan padanya? Dia temanmu. Kalau mau bertanya, tanya baik-baik. Jangan langsung bunuh-bunuhan. Haechan pasti punya alasan kenapa dia bisa memberitahu Jeno.” Lia memelankan suaranya, berusaha mengajak Jaemin untuk diskusi dengan tenang.

Jaemin menyeringai. “Ok, tapi aku punya permintaan.”

“Apa?”

“Peluk aku.”

“Kau selalu mencari kesempatan di dalam kesempitan, Na Jaemin!” teriak Lia dengan emosi yang meluap-luap. “Tidak, aku tidak mau memelukmu.”

Jaemin mengedikkan bahu tidak peduli. Dia kemudian berjalan menuju sebuah lemari kecil yang ada di ujung dan mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam.

Seketika Lia berlari menghampiri Jaemin dan memeluk Jaemin dari belakang. “Aku membencimu, Na Jaemin. Kau orang yang paling ku benci, kau bodoh, kau menyebalkan, kau membuatku kesal.”

“Apa kau sebegitu menyayangi Haechan hingga kau rela menurunkan egomu untuk memelukku supaya aku tidak membunuhnya?” Jaemin melepaskan kaitan tangan Lia pada pinggangnya dan berbalik kemudian memeluk Lia dengan erat.

“Haechan banyak membantuku. Dia temanku satu-satunya yang bisa aku percaya. Dia bukan tipe orang yang akan mengkhianati jika tidak terjadi sesuatu yang mendesak. Jadi, tolong jangan sakiti dia.” Lia mendongak dan menatap Jaemin dengan mata yang berkaca-kaca.

Benar, Haechan adalah satu-satunya teman yang Lia punya. Haechan banyak membantunya selama ini. Jadi, wajar saja Lia melindungi Haechan.

“Lihat dirimu, kau sampai menangis karena membelanya. Jika aku dalam bahaya atau terjadi sesuatu padaku, apa kau akan menangis juga?”

“Tidak, untuk apa aku membuang-buang air mataku.”

“Kau bilang bahwa kau menyukaiku?”

“Kau memintaku untuk tidak menyukaimu.”

Jaemin tertawa, tangannya terulur untuk mengusap air mata Lia. Memang benar, Jaemin meminta Lia untuk tidak suka. Jadi, ya sudah. Jaemin harus menerimanya.

“Kenapa kau tidak membalas pelukanku?” bisik Jaemin pelan.

“Aku.. Aku takut lebamnya akan tertekan dan kau akan kesakitan,” jawab Lia dan langsung membuang muka. Tidak mau menatap Jaemin.

“Ini tidak sakit, aku masih bisa menahannya.”

Lia kemudian mendongak dan menatap wajah Jaemin. Wajah yang dipenuhi luka itu, masih terlihat tampan.

“Apa kau membunuh ayahku karena salah paham? Maksudku, benar-benar salah paham?” tanya Lia. Satu tetes air matanya keluar dari sudut mata.

“Iya, Lee Donghae lah pelaku sebenarnya. Dia sengaja membuat tatto berbentuk matahari di tangan ayahku agar aku mengira yang membunuh ayahku adalah Helios.” Jaemin kembali mengusap air mata Lia. “Jika aku tahu ayahmu bukan pelakunya, untuk apa aku membunuhnya. Ayahku dan ayahmu tidak pernah punya masalah apa-apa. Tapi di sini, perbuatanku tetap salah dan aku minta maaf yang sebesar-besarnya. Karena kesalahanku, kau jadi kehilangan ayahmu. Maaf, Lia. Maafkan aku.”

Lia, menangis.

“Setelah aku berhasil membunuh Lee Donghae, aku akan menyerahkan diri padamu. Saat itu, kau bebas melakukan apa saja padaku. Jika kau memang ingin membunuhku agar kau merasa lega, lakukan,” lanjut Jaemin seraya menangkup kedua pipi Lia dan mendaratkan satu kecupan singkat pada kening Lia. “Karena aku tahu, kata maaf mungkin tidak akan pernah bisa menebus kesalahanku padamu.”

“Tapi, apa kau tega membunuhku?” bisik Jaemin pelan dengan senyum tipis.

Lia menekan satu lebam yang ada di pinggang Jaemin hingga Jaemin memekik tertahan.

“Ya, aku tega. Aku memang akan membunuhmu supaya aku merasa lega. Jadi, bersiaplah untuk mati. Ah, katakan juga di mana kau menaruh semua hartamu karena aku yang akan mengambil alih.”

Bukannya merasa takut, Jaemin malah tertawa mendengar ancaman Lia. “Siap boss! Semua harta aku simpan di brankas juga.”

“Singkirkan tanganmu!” Lia hendak mundur karena sedari tadi tangan Jaemin menelusuri tubuhnya. Tapi, walaupun dalam keadaan banyak luka lebam dan sakit, tenaga Jaemin masih lebih kuat. “Singkirkan tanganmu!”

“Aku merindukanmu..” bisik Jaemin pelan. “Bisakah kau melunak malam ini saja, hm? Bersikap baiklah padaku sebelum kau membunuhku.”

Embusan napas Jaemin membuat bulu kuduk Lia berdiri, Lia merinding.

“Lepas.” Lia mendorong tubuh Jaemin dengan pelan. “Kau.. Masih sakit.”

“Nanti akan sembuh kalau dipeluk terus-terusan olehmu. Hm? Lia?”

“Brengsek tidak tahu diri. Sudah salah, banyak maunya. Ya Tuhan, kenapa aku terjebak di sini bersama iblis sepertimu.”

Jaemin tertawa melihat tingkah Lia yang memutar bola mata malas. Menghentakkan kaki seperti anak kecil yang sedang marah.

Where’re you going, babe?” tanya Jaemin ketika melihat Lia keluar dari ruangan.

“Mau mengambil bongkahan batu untuk melempari kepalamu, brengsek!” Lia mengangkat jari tengahnya sebelum benar-benar hilang di ambang pintu.

Aku serius, Lia. Kau bisa melakukan apa pun padaku jika urusanku dengan Lee Donghae selesai. Bahkan jika benar-benar ingin membunuhku, lakukan. Kalau itu bisa membuatmu merasa lega. — Jaemin.

“Jangan minta maaf karena aku tidak mau goyah. Aku masih akan tujuan awalku yaitu ingin membunuhmu,” ujar Lia.

“Iya, aku tidak memintamu mengasihaniku. Lakukan apa pun yang ingin kau lakukan. Setidaknya aku sudah merasa lega dengan meminta maaf padamu,” balas Jaemin.

“Aku membencimu.”

“Aku tahu.”

“Aku ingin membunuhmu.”

“Lakukan.”

“Aku akan mengambil alih seluruh hartamu.”

“Itu milikmu.”

“Aku.. Aku, aku menyukaimu, bodoh.” Lia menangis.

“Aku lebih menyukaimu, sayang.” Jaemin merengkuh tubuh Lia ke dalam pelukannya.

**

Ingat ya temen-temen, ini cuma fiksi. Jangan sampai dibawa ke real life karena semua yang ada di cerita ini nggak ada sangkut pautnya sama kehidupan idol yang menjadi visualisasinya.

©dear2jae
2021.10.01 — Jumat.
2022.12.06 — Selasa. (Revisi)

Rules buat dapat linknya;

PASTIKAN KALIAN UDAH VOTE (Minimal Part 1-21)

DM ke wattpad dengan format : The Demon 21. (Harus ya, soalnya buat ngebedain kalo ada yang mau link buat part lain)

(DM ya guys bukan di PAPAN PESAN atau KOMEN. Yang minta di PAPAN PESAN atau KOMEN nggak akan dibalas)

Itu aja, jangan spam, akan dibalas satu persatu. Ini bagi yang mau aja ya. Nggak berkaitan sama alur cerita kok, cuma sebagai pelengkap aja. Yang masih minor nggak usah ya, tapi kalo nekat, dosa tanggung sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top