2. Dia, Iblis.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Setelah semua orang keluar dari kamar Jaemin, kini fokus laki-laki itu tertuju pada Lia yang masih berusaha melepaskan cengkraman tangannya. Jaemin mendorong tubuh Lia hingga terduduk kembali di atas ranjang lalu Jaemin menarik kursi dan duduk di hadapan Lia. Mengukung tubuh Lia dengan kedua tangannya yang bertumpu pada tepi ranjang. Bahkan Lia agak mundur sedikit saat Jaemin semakin memajukan tubuhnya.
“Kau terlalu banyak bicara dari tadi dan aku tidak suka. Padahal aku sudah memperingatkanmu untuk tidak banyak tanya dan tidak banyak bicara tapi kau tidak mendengarkan.” Jaemin mengecek apakah peluru pistolnya masih ada dan ternyata sisa satu.
“Haechan memang meminta bantuan padaku untuk mengobatimu. Tapi di sini aku memposisikan diriku sebagai Dokter yang ingin menyelamatkan pasiennya bukan hanya sekadar pemberi bantuan yang hanya membantu lalu pergi. Aku cerewet dan banyak bicara juga demi dirimu, demi kesehatanmu, karena luka yang kau dapatkan bukan sekadar luka goresan.” Lia membalas ucapan Jaemin tanpa rasa takut padahal kini Jaemin sedang memegang pistol di depannya. Tatapan Lia tertuju pada perut sebelah kanan Jaemin, sepertinya luka yang baru saja dia jahit kembali sobek karena saat ini darahnya merembes dan membuat perbannya basah. “Lihat, sepertinya lukamu sobek lagi. Itu sebabnya aku cerewet dan memintamu jangan banyak bergerak.”
Lia menyentuh lengan Jaemin, berniat membantu Jaemin untuk berbaring lagi tapi Jaemin menepis tangannya dan mengangkat pistol itu kemudian memposisikannya tepat di kepala Lia setelah sebelumnya menarik pelatuk.
“Aku tetap tidak suka. Kau tahu, kalau aku kesal dengan seseorang maka aku akan membunuhnya dan sekarang aku akan membunuhmu, Dokter. Apa ada pesan terakhir yang ingin kau sampaikan? Katakan saja, nanti aku akan menyampaikannya pada Haechan.” Jaemin berbisik pelan di dekat telinga Lia dengan seringaian tajam.
Embusan napas Jaemin mengenai area leher Lia dan itu membuat Lia merinding. Sejenak, ketika mata mereka saling beradu, Jaemin sempat tertegun kala menatap wajah Lia. Tapi, Lia sama sekali tak menunjukkan ketakutan walaupun tatapan Jaemin begitu tajam apalagi pistol itu jelas menempel pada pelipisnya.
Napas Jaemin terdengar berat, matanya semakin sayu saat akhirnya Lia menepis tangan kanan Jaemin hingga pistol itu terpental jauh seiring dengan tubuh Jaemin yang ambruk di depan tubuh Lia.
“Bodoh,” gumam Lia lalu dengan sekuat tenaga berusaha memindahkan tubuh Jaemin ke atas ranjang. “Kalau sakit bilang saja sakit. Kenapa malah sok kuat.”
Lia berjalan menuju pintu lalu membukanya. Begitu wajah Lia terlihat dibalik pintu, Haechan langsung menghela napas lega, selega-leganya. Dia sangat tahu bagaimana sifat Jaemin, jangankan marah, kesal saja Jaemin bisa membunuh orang.
“Kau baik-baik saja?” Haechan menghampiri Lia dengan wajah khawatir. Dia meraba tangan Lia apakah ada sejenis luka atau tidak.
Lia berdecak. “Kau berlebihan. Memangnya dia siapa sampai kau sekhawatir ini?”
“Nanti ya,” bisik Haechan pelan.
“Tolong ambilkan lap atau sejenisnya. Darahnya kembali mengucur dan aku harus menjahitnya ulang.” Lia meminta pada beberapa maid yang sedang berdiri bersama anak buah Jaemin.
Lia kembali masuk dan mulai membersihkan noda darah yang ada di sekitaran perut Jaemin dengan kapas lalu kembali membuka perbannya kemudian menjahit ulang.
Beberapa anak buah yang masuk serta Haechan saling tatap dalam diam karena melihat bahwa Lia masih hidup. Bahkan tatapan mereka tertuju pada pistol yang terpental jauh.
Jaemin itu, tanpa aba-aba bisa langsung menembak bahkan sebelum mereka bisa membela diri. Jadi, pantas saja mereka heran karena Lia masih hidup.
Setelah selesai, Lia beranjak dan membersihkan tangannya dengan tisu kemudian menatap Jaemin dengan wajah datar. Pandangannya terfokus pada interior kamar yang semuanya serba gelap. Apalagi kehadiran para pria berjas hitam rapi di sekelilingnya seperti ini.
“Ayo pulang sebelum dia bangun.” Haechan menarik tangan Lia.
“Sebentar.” Lia malah menarik selimut untuk Jaemin. Biar bagaimanapun juga dia tetap seorang dokter yang punya tanggung jawab atas pasiennya. Tatapan Lia kemudian beralih pada salah satu pria berjas hitam. “Kalau nanti dia bangun, tolong sampaikan padanya untuk terus mengganti perbannya secara rutin.”
“Baik, Nona.”
Setelah itu, Haechan buru-buru menarik tangan Lia untuk segera pergi dari mansion Jaemin. Haechan takut kalau Jaemin bangun maka dia akan lebih murka lagi. Ya, setidaknya mereka harus keluar dulu dari mansion ini.
Detak jantung Haechan sangat kencang bahkan Haechan merasa takut lebih dari apapun. Biar bagaimanapun juga, dia yang membawa Lia jadi Lia adalah tanggung jawabnya. Kalau sampai Lia kenapa-kenapa, maka bukan hanya pekerjaannya yang terancam di rumah sakit tapi juga nyawanya bisa saja ikut melayang.
“Dia, siapa?” tanya Lia setelah mobil Haechan melaju kencang, menembus jalanan sepi, melesat jauh dari area mansion.
“Dia, iblis.”
“Yang benar saja, Lee Haechan?”
“Aku serius. Itu sebabnya aku sangat khawatir saat kau mendebatnya. Aku takut kau akan dibunuh olehnya. Dia kejam, Lia. Dia tidak pernah main-main dengan ucapannya. Jangankan pada laki-laki, pada perempuan saja dia bisa kasar.” Haechan masih saja terdengar gugup.
Lia mengerutkan alis bingung tapi raut wajahnya hanya datar, tidak terlihat kaget dan hanya menanggapi penjelasan Haechan dengan anggukan kepala.
“Dari mana kau mengenalnya?”
“Dia temanku saat SMP,” ujar Haechan pelan. Bahkan sampai saat ini Haechan masih saja kaget saat berhadapan dengan Jaemin karena dia tidak menyangkan bahwa Jaemin akan jadi bos mafia dengan kekayaan yang melimpah. “Tapi Lia, ku mohon, jangan beritahu pada Jeno bahwa aku membuatmu berada dalam bahaya. Aku tidak mau kehilangan pekerjaanku.”
Lia hanya merespon dengan anggukan lalu menoleh dan menatap ke arah jalanan yang lengang. Jam sudah menunjukkan pukul empat pagi dan Lia benar-benar mengantuk saat ini.
*
“Jika ada yang berani istirahat sebentar saja, maka semuanya diulang dari awal,” titah Jaemin sambil melipat kedua tangannya di dada dengan pandangan lurus ke depan. Tatapan tajam yang begitu mengintimidasi.
Semalam, ketika Jaemin bangun dan mendapati Lia sudah pergi dari mansion, Jaemin langsung murka. Semua anak buahnya yang berjaga semalam langsung mendapat masing-masing satu tendangan di tulang kering. Lalu pagi ini, mereka dikumpulkan di halaman belakang mansion dan diperintahkan untuk push up oleh Jaemin.
“Apa dia berpesan sesuatu sebelum pergi?” tanya Jaemin, masih duduk di tepi dengan sebotol alkohol di sampingnya.
“Nona Lia bilang, Tuan harus mengganti perbannya secara rutin.”
“Stop!” titah Jaemin lagi setelah anak buahnya push up sebanyak lima puluh kali. “Kalian bisa istirahat. Malam ini ada kiriman jadi jangan sampai ada kendala.”
Jaemin berdiri lalu segera beranjak untuk pergi menemui seseorang. Setelah berpakaian rapi casual, Jaemin bersama satu anak buahnya pergi ke sebuah rumah yang ada di pelosok. Pikirannya masih belum tenang sejak semalam.
Tak lama, mereka sampai. Jaemin segera turun dari mobil dan masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Rumah itu terlihat kumuh dari luar, bangunannya sudah tua tapi keadaan di dalam cukup bagus dan rapi. Rumah itu terletak di pelosok, hanya berdiri sendiri dan jauh dari hiruk pikuk kota.
“Jun, Dejun!” Jaemin meninggikan suaranya seraya mengguncang kaki Dejun yang sedang terlelap di atas sofa.
Jaemin berdecak melihat keadaan sekitar, bungkus ramen dan snack serta minuman kaleng berserakan di mana-mana. Komputer masih menyala semua.
“Bangun atau aku patahkan kakimu agar kau tidak bisa bangun selamanya?”
Dejun langsung terduduk padahal kepalanya masih pusing. Ucapan Jaemin tidak pernah main-main karena dulu Jaemin pernah membuat tangan kanan Dejun cedera karena tak kunjung mengangkat panggilan.
“Tanganmu tidak berguna maka ku patahkan saja supaya kau jera,” ujar Jaemin saat itu.
Sekarang, Dejun tidak bisa menganggap remeh ucapan Jaemin.
“Ada apa?”
“Namanya Lia. Dia seorang dokter.”
“Marganya atau nama rumah sakit tempatnya bekerja?”
“Aku tidak tahu. Apa gunanya kemampuanmu kalau tidak bisa melacak semua itu? Lebih baik kau cepat selidiki karena aku hanya memberimu waktu sampai besok malam. Jika tidak ada hasil maka siap-siap kehilangan satu jarimu.”
Dejun menelan ludah gugup mendengar ucapan Jaemin. Dia hanya bisa mengangguk patuh dan segera berdiri untuk melakukan tugasnya.
“Ah, bersihkan semua sampah ini!” desis Jaemin sebelum keluar. “Tempat ini terlalu kotor.”
“Ya.”
Dari luar memang kumuh tapi di dalam semuanya bagus. Karena Dejun hidup sendiri jadi agak berantakan kalau dia habis makan.
Berbagai macam jenis peralatan komputer dan sejenisnya berjejer di ruang kerja Dejun karena semua data dan informasi bisnis milik Jaemin dikelola oleh Dejun. Semua biaya ditanggung oleh Jaemin termasuk biaya hidup Dejun.
“Siapa lagi kali ini,” gerutu Dejun setelah Jaemin pergi. Dia mulai mengetikkan nama Lia pada komputernya. “Banyak sekali perempuan dengan nama Lia tapi tidak ada yang berprofesi sebagai dokter.”
Dejun itu hacker sekaligus ahli IT. Bisa melacak seseorang hanya menggunakan sinyal ponsel dan bisa mengetahui data identitas lengkap seseorang hanya dengan nama lengkap. Tapi di sini, karena Dejun tidak tahu marganya, dia mengumpulkan beberapa orang dengan nama Lia.
*
“Kenapa matamu terlihat masih mengantuk? Apa semalam kau tidak tidur?” tanya Jeno seraya menyodorkan Lia satu cup ice coffee.
“Aku mengerjakan beberapa laporan dan data pasien.” Lia berbohong karena Haechan sudah memohon padanya untuk tidak memberitahu Jeno tentang semalam.
Jeno hanya mengangguk kemudian beranjak duduk di sofa. “Apa kau masih sering bermimpi buruk?” tanyanya.
Lia mengangguk pelan. “Iya, semalam aku bermimpi lagi makanya aku tidak bisa tidur. Semuanya terasa nyata, bahkan bayang-bayang wajah ayahku masih melekat dengan jelas.”
“Kau masih ingin mencari tahu? Ini sudah tujuh tahun lebih dan kau belum menemukan apa-apa terkait kejadian itu. Apa kau masih mau mencari tahu siapa pembunuh ayahmu?”
“Iya.”
“Lalu setelah tahu, apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan membunuhnya? Semuanya tidak akan selesai, Lia. Lebih baik kau relakan semuanya, lagi pula pihak berwajib juga angkat tangan karena tidak ada bukti.”
Lia beranjak dari duduknya dengan tatapan tajam. “Kalau kau tidak mau membantuku lagi, tidak apa-apa. Aku bisa sendiri.”
“Bukan begitu, Lia. Tapi aku mengkhawatirkanmu, aku khawatir akan keselamatanmu.” Jeno menahan tangan Lia yang hendak pergi. “Ayahmu punya banyak musuh, kita tidak tahu siapa pelakunya. Bagaimana kalau kau juga sedang dicari-cari oleh mereka? Atau katakan saja kau berhasil balas dendam, nanti keluarganya pasti akan balas dendam juga padamu. Ini tidak akan berakhir jika tidak dihentikan.”
Lia termenung, dia menundukkan kepalanya. Kematian ayahnya tujuh tahun yang lalu dan itu adalah pembunuhan. Pihak berwajib sudah angkat tangan sebab tidak ada bukti yang ditemukan.
Jeno menarik tangan Lia dan merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan yang hangat kemudian Jeno mengusap pelan punggung Lia.
“Bukannya aku tidak mau membantumu lagi. Tapi aku benar-benar mengkhawatirkanmu, Lia sayang.”
“Iya, aku mengerti. Tapi aku tidak bisa menerima kematian ayahku begitu saja. Tubuhnya penuh luka tusuk, apalagi wajahnya sudah tak berbentuk karena banyaknya lebam. Dan juga, kalung itu. Seolah ayah memberitahuku bahwa pemilik kalung itu adalah pelakunya.”
“Lalu, bagaimana kau akan menemukan pemilik kalungnya? Bukankah selama ini hasilnya nihil?”
“Kalung itu adalah kalung couple, yin dan yang. Yang ada di aku adalah yin, aku yakin yang satunya adalah yang.”
“Baiklah, semoga nanti kita bisa menemukannya, ya.” Jeno melepaskan pelukannya lalu menatap Lia dengan tatapan teduh kemudian mendaratkan satu kecupan hangat pada kening Lia.
Lia menunduk dan menatap cincin yang tersemat di jari manisnya lalu mengangkat tangan Jeno kemudian menatap cincinnya juga.
“You love me, right?” tanya Lia sambil mengusap cincinnya.
“Of course, babe.” Jeno mengikis jarak di antara mereka lalu segera menyatukan bibirnya dan bibir Lia.
•
Kayak gini kalungnya. Hitam Yin, putih Yang. Yang ada di Lia yang hitam.
•
Oh ya, some notes for you guys;
Jangan lupa kasih vote sama komen ya, soalnya nanti bakal ada part delapan belas coret. Terus aku akan posting di blog dan akan pakein password. So sorry, aku cuma ngasih passwordnya buat yang sering aktif aja, kayak yang sering spam komen lah. Aku tau kok, siapa yang sering spam komen, atau paling nggak sering ngasih vote.
Maruk? Nggak kok, aku cuma minta feedbacknya aja soalnya aku kan udah ngasih bacaan gratis😉
**
Ingat ya temen-temen, ini cuma fiksi. Jangan sampai dibawa ke real life karena semua yang ada di cerita ini nggak ada sangkut pautnya sama kehidupan idol yang menjadi visualisasinya.
©dear2jae
2021.09.09 — Kamis.
2022.11.23 — Rabu. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top