17. Confession
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Lia menggeliat pelan ketika Jaemin menyentuh bahunya. Sepanjang perjalanan dia terlelap bahkan sekarang ketika bangun dia sangat kaget karena berada di mansion Jaemin.
Saat Jaemin hendak keluar dari mobil, Lia menahan tangannya dengan tatapan yang meminta penjelasan di saat dirinya masih berusaha mengumpulkan kesadarannya.
“Keluar!” titah Jaemin dan menepis tangan Lia yang memegang tangannya.
Jaemin benar-benar tidak tahu bagaimana harus bersikap saat ini. Jika dia tiba-tiba jadi baik karena sebenarnya Lia tidak bersalah maka Lia pasti akan berpikir itu aneh. Sebab, Lia berpikir Jaemin bersikap baik padanya hanya karena kode brankas. Lalu, Lia sudah memberikan kodenya jadi untuk apa Jaemin masih bersikap baik padanya.
Jaemin berdecak kesal saat melihat Lia yang tak kunjung keluar dari mobil. Jaemin kemudian membuka pintu mobilnya. “Keluar sendiri, diseret olehku atau diseret oleh anak buahku?”
“Kenapa kau membawaku kembali ke sini? Di sini, tidak ada yang menginginkanku. Jadi, aku lebih baik ada di Panti Asuhan saja.”
“Bibi Kim dan maid yang lain mencarimu. Mereka terus menanyakan keberadaanmu.” Jaemin berdalih padahal siapapun tidak ada yang berani bertanya padanya.
“Mereka memang mencariku, ingin aku berada di sini. Tapi jika pemiliknya tidak menyukai keberadaanku, tetap saja aku merasa tidak nyaman lagi.” Lia masih belum mau keluar.
“Bukankah kau sendiri yang bilang kalau kau merasa nyaman di dekatku?”
Lia beralih menatap Jaemin yang masih berdiri di depan pintu mobil. “Aku memang nyaman, kemarin. Tapi kau terlihat seperti tidak menyukaiku, tidak menyukai keberadaanku. Jadi, itu yang membuatku ingin pergi.”
“Keluar dan cepat ikut aku. Jangan banyak bicara!” Jaemin menarik tangan Lia dengan paksa.
Mau tidak mau, Lia mengikuti langkah Jaemin karena Jaemin menariknya secara paksa. Begitu sampai di ruang tengah, Lia dapat melihat para maid yang masih bangun menyunggingkan senyum ke arahnya. Jam sudah menunjukkan pukul satu pagi tapi kenapa mereka masih bangun.
“Nona, ke mana saja Nona selama dua hari ini?” sapa mereka dengan sopan.
Lia menepis tangan Jaemin dan menghampiri seorang maid yang menyapanya. “Kenapa belum tidur? Ini jam satu pagi.”
“Masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai, Nona.”
“Tidur saja, lanjutkan besok pagi. Kalau begini, kapan bisa istirahat.” Lia mendorong pelan tubuh maid itu untuk masuk ke kamar mereka yang ada di sebelah dapur.
Tatapan Jaemin begitu menusuk, bahkan maid itu sampai merinding dan tidak jadi masuk ke kamar. Takut kalau Tuannya akan marah.
Lia yang sadar akan pandangan Jaemin langsung berbisik pelan pada maid itu. “Masuk saja, aku akan bicara dengannya nanti. Jangan khawatir, dia tidak akan marah.”
“Baik, Nona. Terima kasih.”
Setelah maid itu masuk, Lia kembali menghampiri Jaemin yang masih berdiri menunggunya. “Jangan terlalu keras pada maid-maidmu. Nanti kalau mereka sudah bosan dengan kelakuanmu yang terlalu otoriter, mereka bisa berhenti dan meninggalkanmu sendirian di sini. Lalu, siapa yang akan melayanimu? Apa kau mau mengerjakan semuanya sendiri? Tidak, kan. Jadi, walaupun ada beberapa pekerjaan yang belum selesai, katakan saja bahwa itu bisa dilanjutkan besok paginya.”
“Ya,” jawab Jaemin singkat tanpa ekspresi setelah mendengar nasihat panjang dari Lia.
“Aku akan tidur di sofa ruang tengah malam ini.”
“Tidak, tidur di kamar.”
“Aku tidak mau tidur denganmu.”
“Kalau begitu kau saja yang di kamar. Aku akan menggunakan ruang pribadiku.” Jaemin tidak jadi naik ke lantai dua dan berjalan menuju ruang pribadinya.
Aneh bukan? Lia bahkan masih berdiam diri, berusaha mencerna semuanya. Memperhatikan punggung Jaemin yang mulai menghilang di lorong ruang pribadinya.
“Apa dia bersikap baik karena mau membunuhku? Hm, ku rasa iya, dia kasihan karena aku mau mati jadi dia bersikap baik padaku.” Lia bergumam seraya menaiki anak tangga satu persatu.
Begitu membuka pintu kamar, wangi khas dari kamar itu langsung menusuk indera penciumannya. Bau tubuh Jaemin yang khas.
Selama di Panti, Lia jarang terlelap saat tidur. Perasaan bersalah terhadap ayahnya datang menghampiri sebab Lia sampai saat ini tidak bisa menemukan siapa pembunuh ayahnya. Jalan satu-satunya memang menyerah dan mengikuti alur hidupnya.
*
Keesokan harinya, Lia terbangun di jam sembilan pagi. Setelah mandi dan mengganti pakaiannya, Lia segera turun.
“Nona!” ujar Bibi Kim dengan wajah sumringah saat Lia datang ke ruang makan. Bahkan Bibi Kim berhamburan dan memeluk Lia. “Nona ke mana saja selama dua hari ini? Di sini terasa sepi tanpa Nona. Bibi tidak berani bertanya pada Tuan Jaemin ke mana Nona pergi.”
“Si bodoh itu!” desis Lia dalam hati. “Katanya Bibi Kim dan maid yang lain terus bertanya di mana aku. Nyatanya tidak. Tapi tidak apa-apa, Bibi Kim juga terlihat senang saat aku kembali.”
“Aku ke suatu tempat, Bi.”
“Ya sudah, yang penting Nona kembali. Sekarang katakan apa yang ingin Nona makan, nanti Bibi buatkan.” Bibi Kim menuntun Lia untuk duduk. “Tadi, Tuan Jaemin berpesan pada Bibi untuk membuatkan apapun yang Nona inginkan. Dia juga berpesan, apapun yang ingin Nona lakukan, lakukan saja.”
“Aku tidak akan melakukan apa-apa. Nanti kalau salah sedikit dia bisa menyiksaku, Bi. Jadi, sekarang aku akan diam saja.” Lia beranjak dan mendekati Bibi Kim yang sedang menyiapkan bahan masakan. “Oh ya, apapun yang Bibi buat akan ku makan.”
“Nona, Tuan Jaemin sebenarnya menyayangi Nona. Tapi dia tidak bisa mengekspresikan rasa sayangnya dengan benar sehingga dia kadang menyiksa Nona agar Nona mau menuruti ucapannya. Percayalah, Bibi sudah bersamanya sejak dia kecil jadi Bibi tahu hanya dengan melihat tatapannya pada orang lain,” ujar Bibi Kim yang membuat Lia terdiam.
“Nona tahu Lee Haechan, kan. Temannya Tuan Jaemin?” tanya Bibi Kim lalu Lia mengangguk. “Tuan Jaemin selalu bersikap kasar padanya tapi tidak pernah sampai melukai bahkan membunuhnya. Cara Tuan Jaemin mengekspresikan rasa sayangnya cenderung berbeda dengan orang lain.”
“Tapi, Bi, dia menyiksaku bahkan sampai melukaiku. Bibi lihat sendiri waktu dia melukai leherku, dia juga menamparku. Dia juga pernah menjambak rambutku di kamar karena aku berjalan ke depan ruang pribadinya. Bibi juga tahu, kan, dia pernah mengurungku di ruang bawah tanah bahkan tidak memberiku makan selama berhari-hari.”
“Itu karena kau tidak langsung menuruti ucapanku. Jika kau langsung menurut dan bersikap baik maka aku tidak akan sampai menyiksamu!”
Lia tersentak kaget saat suara Jaemin terdengar menggema di ruang makan. Bibi Kim langsung fokus pada pekerjaannya dan tidak ikut campur lagi. Sedangkan Lia beranjak duduk di kursi makan dengan tenang. Berusaha pura-pura tidak peduli akan kehadiran Jaemin.
Memang benar, Haechan kalau diancam sekali akan langsung menurut. Beda dengan Lia, diancam berkali-kali tidak ada takutnya.
“Kenapa kau langsung diam? Kau baru saja mengadu pada Bibi Kim dengan suara lantang yang bahkan terdengar sampai ruang tengah. Sekarang kenapa langsung diam?” Jaemin mendekat dan duduk di atas meja samping Lia, alih-alih duduk di kursi.
“Aku sudah selesai bicara makanya diam.”
“Hm,” gumam Jaemin dan berlalu pergi. “Kalau sudah selesai makan, ke kamar. Ada yang ingin ku katakan.”
“Ya.”
Setelah Jaemin pergi, barulah Lia bisa bernapas lega. “Bibi..” rengek Lia. “Aku kira dia akan memukulku. Aku kaget saat mendengar suaranya di belakangku.”
“Astaga, Nona.” Bibi Kim terkekeh melihat ekspresi Lia.
*
Cukup lama, Jaemin dan Lia terdiam di balkon. Menikmati semilir angin sore yang berembus begitu sejuk. Jaemin sibuk dengan pikirannya, begitupun Lia.
“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Lia akhirnya setelah suasana sempat hening. “Cepat ya, aku mau mandi.”
“Apa kau tidak mau menawariku mandi bersama, seperti kemarin?”
“Dasar gila!” desis Lia. Tapi sedetik kemudian langsung sadar bahwa ucapannya mungkin saja akan membuat Jaemin marah.
Nyatanya, Jaemin tidak bereaksi apa-apa. Laki-laki itu memilih diam dan menyeruput minuman kalengnya. Aneh bukan?
“Aku ingin menamparmu,” ujar Lia. Dia ingin mencoba membuat Jaemin marah. Apakah Jaemin akan bersikap kasar padanya lagi ataukah tetap dengan sikapnya yang menurut Lia sangat aneh. Menjadi baik.
Dengan sendirinya, Jaemin menghadap ke arah Lia dan agak memajukan wajahnya. “Tampar saja.”
Lia menelah ludah gugup. “Ya Tuhan, apa yang terjadi padanya selama dua hari ini? Kenapa sikapnya tiba-tiba berubah? Apa kepalanya sempat terbentur sesuatu?” Lia terus membatin.
Lalu tanpa aba-aba, Lia benar-benar menampar Jaemin dengan keras. Catat, dengan sangat keras. Lia hanya ingin melihat bagaimana reaksi Jaemin.
“Tanganmu ternyata keras juga,” gerutu Jaemin sambil mengusap pipi kirinya yang langsung meninggalkan bekas kemerahan.
Aneh.
“Aku ingin menamparmu lagi.”
“Pipi kanan, ya. Yang kiri masih sakit.”
Lia mengerejapkan matanya berkali-kali. Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, Lia merinding.
Saat ini, sebelum meminta maaf dan mengakui semua kesalahannya. Jaemin hanya ingin memperlakukan Lia dengan selayaknya, menebus perlahan dosa-dosanya. Sudah cukup Jaemin menyiksa Lia selama ini.
Tapi perubahan sikap Jaemin ini membuat Lia merasa aneh. Sangat aneh malah.
Lalu, Lia mulai mengangkat tangan kirinya, bersiap menampar Jaemin lagi tapi melihat Jaemin yang memejamkan matanya, Lia tidak jadi. Kenapa? Kenapa Jaemin bersikap aneh.
“Apa yang terjadi padamu? Kenapa sikapmu jadi tiba-tiba baik seperti ini dan malah menerima semua perlakuanku? Maksudku, saat aku menamparmu tadi, kenapa kau malah diam saja?”
“Kau bilang ingin membalasku. Jadi ya sudah, lakukan saja selagi aku baik dan mau dibalas.”
“Tidak, ini aneh.” Lia mengerutkan alisnya bingung. “Atau, apa kau menjadi baik karena sebentar lagi akan membunuhku? Begitu, ya?”
Jaemin beranjak dan menyentil dahi Lia. “Jangan bicara bunuh-bunuh lagi. Tidak akan ada yang mati.”
Sikap Jaemin yang seperti inilah yang lebih membuat Lia merinding. Sungguh, lebih baik Jaemin terlihat kasar dari pada baik seperti ini. Jaemin juga berpikiran sama, Lia lebih baik keras dari pada lemah.
“Sebenarnya apa yang terjadi padamu?” tanya Lia, dia memegang lengan Jaemin dan tidak membiarkan laki-laki itu pergi. “Jujur, kenapa kau bersikap baik padaku?”
“Dosaku padamu terlalu banyak, aku ingin menebusnya.”
“Kau mau aku kasar lagi?”
“Ya.”
Jaemin malah terkekeh mendengar jawaban Lia. Dia melepaskan kaitan tangan Lia pada lengannya dan berjalan masuk kemudian merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Lia yang kesal langsung menghampiri Jaemin dan menyingkap selimutnya. “Cepat katakan apa yang terjadi padamu! Kau lebih baik bersikap kasar dan kejam padaku dari pada tiba-tiba baik begini! Kau aneh, kau bukan Jaemin yang ku kenal!”
Lia menarik rambut Jaemin hingga laki-laki itu memekik kesakitan. Bahkan Lia menggunakan kedua tangannya dan terjadilah tarik menarik antara Jaemin serta Lia.
“Sakit! Lepaskan tanganmu!”
“Tidak, sebelum kau jujur apa alasan dibalik sikapmu ini!”
“Lepaskan tanganmu dulu baru aku akan mengatakannya!”
“Katakan dulu baru aku akan melepasnya!”
“Ok! Aku menyukaimu!”
Seketika, Lia terdiam dan perlahan tangannya terlepas dari rambut Jaemin. Sementara Jaemin langsung memegang kepalanya yang terasa sakit. Rasanya seluruh rambutnya akan terlepas, dia bahkan memeriksa tangan Lia apakah rambutnya ada yang tersangkut.
“Ah, sialan! Kepalaku rasanya sangat sakit.” Jaemin memegangi kepalanya. “Tanganmu sekeras apa memangnya? Pipiku bahkan kepalaku rasanya benar-benar sakit!”
“Tadi kau bilang apa?”
“Apa? Oh, itu..” Jaemin gelagapan saat mengingat apa yang dia katakan tadi. “Itu.. Hm.. Tidak ada replay. Tidak dengar ya sudah, terserah.”
Lia mendelik sebal. “Kau tahu, aku sebenarnya ingin percaya pada apa yang ku dengar tadi. Tapi sepertinya kau tidak sungguh-sungguh. Tapi aku tetap ingin percaya walaupun kau tidak tulus. Ada rasa senang tapi tidak bisa ku ekspresikan dengan leluasa. Aku tidak bisa membedakan saat kau serius dan tidak. Tapi, ah, sialnya, aku malah merasa senang mendengarnya.”
“Aku ingin mengatakan sesuatu,” ujar Jaemin setelah mendengar penuturan panjang Lia.
“Dari tadi kau bilang ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi terus.”
“Sekarang jadi.” Jaemin menatap kedua mata Lia dengan serius. “Jangan suka padaku ya, jangan sampai kau menyukaiku. Tolong dengarkan baik-baik ucapanku ini, aku menyukaimu dan aku ingin kau percaya. Tapi ku mohon, jangan sukai aku. Biar aku saja yang menyukaimu.”
“Karena aku tidak ingin kau kecewa jika suatu saat tahu kalau aku membunuh ayahmu.”
“Karena.. Aku tidak pantas disukai setelah apa yang ku lakukan padamu.”
Lia terdiam lagi, perasaannya benar-benar campur aduk. Dia membalas tatapan Jaemin dengan sendu. Perlahan, Lia beringsut dan memeluk Jaemin dengan erat.
“Bodoh!” desis Lia. “Kau orang yang paling bodoh. Kau bodoh. Aku membencimu!”
“Ya, aku tahu.”
**
Ingat ya temen-temen, ini cuma fiksi. Jangan sampai dibawa ke real life karena semua yang ada di cerita ini nggak ada sangkut pautnya sama kehidupan idol yang menjadi visualisasinya.
©dear2jae
2021.09.27 — Senin.
2022.11.29 — Selasa. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top