16. Kau, punya aku

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Tubuh Haechan bergetar hebat saat Jeno mencengkram kerah bajunya. Sekasar-kasarnya Jaemin padanya, tapi Jaemin tidak pernah sampai menyentuhnya seperti ini. Paling hanya ancaman saja.

Beberapa saat yang lalu, Jeno datang menemuinya di ruang pribadinya.

“Dua hari yang lalu, kau pergi ke mana?” tanya Jeno dengan tatapan tajam. “Aku diberitahu bahwa kau pergi bersama seseorang menggunakan sedan mewah. Orang itu berpakaian serba hitam. Siapa dia?

Haechan menelan ludah gugup saat tatapan Jeno begitu mengintimidasi. “Dia temanku, kami biasanya memang sering keluar untuk sekadar berbincang-bincang.

“Kau pikir aku bodoh? Kau pergi di saat jam kerja dan sikapmu aneh. Katanya kau terlihat seperti orang yang sedang terburu-buru.

“Sungguh, dia adalah temanku.

“Katakan dengan jujur atau aku tidak segan-segan akan memukulmu!” desis Jeno.

Dan saat ini, Haechan sedang berlutut di hadapan Jeno setelah sebelumnya diseret oleh Jeno supaya tidak menimbulkan perhatian di rumah sakit.

Tatapan Haechan tertuju pada orang-orang yang berdiri di belakang Jeno. Mungkin dia akan langsung pingsan kalau dipukul sekali oleh mereka.

“Itu pasti ada kaitannya dengan Lia, kan? Katakan yang sejujurnya jika kau tidak ingin kehilangan nyawa!” desis Jeno sambil terus mencengkram kerah baju Haechan.

“Sungguh, dia adalah temanku. Tidak ada kaitannya dengan Lia.” Haechan masih berusaha menutup mulutnya rapat-rapat tentang Lia. Karena dia tahu, Lia terluka oleh Jeno.

Jeno berdiri dan menendang bahu Haechan hingga Haechan terpental ke belakang. Tubuhnya mengenai sebuah kursi kayu hingga rasanya sangat nyeri. Haechan meringis tapi masih berusaha bertahan dan tidak membocorkan tentang Lia. Bahunya terasa semakin nyeri karena tendangan Jeno.

“Baiklah, sepertinya kau memang ingin mati.” Jeno mengeluarkan pistolnya dari dalam saku dan menarik pelatuknya.

“Tunggu, Jeno, ku mohon, jangan begini. Aku tidak tahu apa-apa.” Haechan berlutut dan memohon di depan Jeno. “Maafkan aku, aku benar-benar tidak tahu apa-apa.”

“Terserah kau tahu atau tidak. Hari ini kau akan mati.” Jeno menodongkan pistolnya di kepala Haechan.

“Tunggu!” sela Haechan. “Lia..”

“Bagus, cepat katakan.”

Haechan mengambil napas sebanyak-banyaknya sebelum bicara. Berkali-kali membatin, mengatakan maaf pada Lia. Haechan masih ingin hidup.

“Lia ada di mansion Jaemin.” Haechan langsung menunduk lesu setelah mengatakannya.

Kedua alis Jeno berkerut saat mendengar nama Jaemin. “Apa aku bisa mempercayaimu?” tanyanya memastikan.

“Ya, Lia ada di sana selama ini.”

“Maafkan aku, Lia. Maaf. Aku ingin menyelamatkan diriku sendiri, batin Haechan.

“Baiklah.” Jeno segera berlalu pergi meninggalkan Haechan yang masih berlutut.

*

Dua hari berlalu sejak kepergian Lia dan Jaemin merasa kosong. Dan dua hari sudah Jaemin tidak keluar dari mansion, dia hanya berkeliaran di kamar dan ruang makan. Kini, tatapannya tertuju pada secarik kertas yang diberikan oleh Lia padanya.

Tujuannya untuk mendapatkan kode brankas sudah tercapai bahkan Lia sudah menyerahkan dirinya untuk rela membuka brankas itu. Tapi entah kenapa rasanya masih ada yang mengganjal. Apalagi saat ini Jaemin juga sedang kesal karena Renjun terus-terusan mengejeknya. Bahkan Jaemin sampai tidak bisa tidur karena memikirkan masalah ini.

“Kau sudah tidur dengannya, melakukan hubungan layaknya pasangan, kadang perhatian walaupun sebenarnya tujuanmu adalah membuatnya tunduk. Tapi ternyata, sekarang kau tahu dia tidak bersalah sama sekali apalagi kau salah target dan membunuh ayahnya yang tak bersalah. Kau pasti merasa sangat bersalah padanya.” Renjun memang mengutarakan pikirannya tapi terdengar seperti ejekan dan itu membuat Jaemin kesal. “Apa kau ingin saran?

“Tidak! Kau lebih baik pergi dari sini sebelum aku murka.

“Baiklah, saranku adalah berlututlah dan memohon padanya, minta maaf dengan tulus. Itupun belum tentu Lia akan memaafkanmu tapi setidaknya kau sudah meminta maaf.

Jaemin berdecak dan melempari Renjun dengan bantal sofanya. “Aku tidak tahu harus memulai dari mana.

“Apa kau punya rencana?

Jaemin mengangguk. “Aku sudah memikirkannya dan keputusanku memang akan meminta maaf tapi belum tahu mau mulai dari mana. Untuk saat ini, fokusku adalah Lee Donghae. Aku akan membunuhnya dan menghancurkan usahanya, aku juga akan membunuh Jeno. Lalu setelah urusan dengan Lee Donghae selesai, baru aku akan meminta maaf pada Lia dan akan menebus semua dosa-dosaku padanya.

“Bagaimana jika Lia ingin membunuhmu?

Jaemin menatap kosong ke arah gelas kopinya yang masih mengepul lalu menghela napas berat.

“Maka aku akan menyediakannya senjata yang akan dia gunakan.

“Oh my god!” Renjun agak kaget dengan jawaban Jaemin. “Ok, terlepas akan semua permasalahan yang ada. Apa kau tidak merasakan apa-apa padanya? Perasaan sayang dan sejenisnya?

“Awalnya aku berusaha untuk tidak jatuh padanya. Aku berusaha mendoktrin diriku bahwa dia adalah anak dari orang yang membunuh orang tuaku dan aku harus membunuhnya juga. Tapi ternyata, saat aku tahu fakta yang sebenarnya, perasaanku padanya jadi lebih jelas. Kesimpulannya, ya, aku menyukainya tapi aku bahkan tidak berani mengatakannya karena aku tahu responnya pasti akan jauh dari ekspektasi. Seperti ucapanmu, mungkin kata maaf tidak akan cukup.” Jaemin tersenyum tipis.

“Rumit, urusi saja masalah pribadimu.” Renjun beranjak dan meninggalkan Jaemin.

Jaemin beranjak dan segera mengenakan pakaiannya lalu meraih kunci mobilnya kemudian segera turun. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan waktunya untuk makan malam tapi Jaemin malah mengabaikan pertanyaan Bibi Kim yang menanyakan kapan Jaemin ingin makan.

“Tuan, anda mau ke mana?” tanya Mark yang sudah siap untuk mengantar Jaemin.

“Aku akan pergi sendiri. Kau bisa bersantai.”

Setelah memastikan kelengkapannya yaitu pistol dan tentu saja pelurunya serta pisau lipat dengan berbagai jenis ada di dalam mobil. Jaemin segera melajukan mobilnya.

Tujuannya kali ini adalah Panti Asuhan Shilla, tempat di mana Lia berada. Lokasinya ada di Incheon, perjalanannya memakan waktu kurang lebih satu jam tiga puluh menit. Jaemin melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang walaupun jalanan tidak seramai biasanya.

Jaemin bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Lia nantinya jika tahu bahwa Jaemin membunuh ayahnya. Sepanjang perjalanan, Jaemin terus memikirkan permasalahan yang kian rumit ini. Lalu keputusan akhir terlintas di pikirannya yaitu fokus utamanya saat ini adalah Lee Donghae dan Jeno. Membunuh dua orang itu lalu akan meminta maaf pada Lia. Jika Lia tidak memberi maaf dan malah ingin membunuhnya maka Jaemin akan menerimanya.

Setelah sampai di Panti Asuhan Shilla, Jaemin tidak langsung masuk melainkan mondar-mandir di depan teras seraya berpikir kembali apakah dia akan masuk atau memilih pulang.

“Ah, sialan. Ada apa denganku!” desis Jaemin dan memilih melangkah menuju mobilnya.

“Selamat malam, Tuan. Kalau boleh tahu, ada keperluan apa di sini?” seseorang menyapa Jaemin ketika hendak masuk ke mobil.

“Oh, tidak ada. Aku hanya mampir sebentar.” Jaemin mengulas senyum tipis dan hendak masuk ke mobil tapi perhatiannya teralihkan oleh sosok Lia yang muncul dari arah gerbang masuk.

Lia dan dua orang yang merupakan pengasuh panti baru saja kembali dari mini market untuk membeli sesuatu. Pandangan mereka bertemu dan Lia buru-buru menghampiri Jaemin.

“Bukannya aku sudah bilang untuk mengabari dulu sebelum datang? Kalau tiba-tiba begini nanti aku tidak bisa pamit pada yang lainnya,” bisik Lia pelan.

“Lia, ajak masuk saja dan bicara di dalam. Di luar dingin, sepertinya akan turun hujan,” ujar salah satu dari dua orang itu.

“Tidak usah, aku hanya sebentar. Aku..” kalimatnya belum selesai tapi tangannya sudah ditarik oleh Bibi Park, wanita yang dulunya sempat berkenalan dengan Lia.

Jaemin menoleh dan menatap Lia untuk meminta tolong tapi Lia hanya diam mengikuti di belakang. Jujur, kalau tujuan Jaemin datang adalah untuk membawanya membuka brankas, Lia belum siap sebab Lia tahu bahwa setelah itu Jaemin akan langsung membunuhnya.

“Bicara di sini saja. Bibi akan memeriksa anak-anak yang lain,” ujar Bibi Park dan meninggalkan Jaemin serta Lia di ruangan pribadinya.

“Apa kau mau minum sesuatu?” tanya Lia yang masih berdiri dengan kaku.

“Duduk saja.”

Lia hanya mengangguk dan beranjak duduk di hadapan Jaemin. “Harusnya kau mengabari lebih dulu, jadi aku bisa bersiap. Tapi, tidak apa-apa, aku akan tetap ikut. Aku bisa memberitahu Bibi Park kalau aku akan pergi ke suatu tempat untuk waktu yang lama.”

Hati Jaemin terasa ngilu mendengarnya. Sungguh, untuk saat ini lebih baik kalau Lia memakinya bukan bersikap baik seperti ini.

“Siapa Bibi Park itu?”

“Dulu waktu ayahku menitipkanku di sini, Bibi Park yang pertama kali menyambutku. Walaupun hanya satu hari tapi Bibi Park sangat baik padaku.”

“Kenapa hanya satu hari?”

“Karena Paman Donghae dan Jeno datang menjemputku. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah rekan ayahku jadi aku ikut bersama mereka tanpa tahu bahwa sebenarnya mereka punya niat lain.”

Jaemin menghela napas kasar dan membuang muka. Kemarin, kalau dia bertanya pada Lia maka sudah pasti Lia akan berkata bahwa itu bukan urusannya. Tapi sudah dua pertanyaan yang diajukan oleh Jaemin dan Lia menjawabnya dengan jujur. Itu semakin membuat Jaemin merasa bersalah.

“Oh ya, jarak dari sini menuju lokasi brankasnya tidak terlalu jauh. Ini baru jam sembilan tiga puluh, selagi sepi apa kau tidak mau pergi sekarang?” tanya Lia setelah sempat hening.

Jaemin meletakkan tangannya di atas meja dan menunduk dalam diam. “Kenapa kau jadi pasrah begini?”

“Karena aku sudah lelah untuk bersikap tangguh dan baik-baik saja. Aku sudah bilang, kan, sebelumnya bahwa aku tidak punya siapa-siapa lagi.” Lia tersenyum tipis.

“Kau, punya aku. Kau bilang bahwa kau merasa nyaman denganku, jadi kau punya aku.

“Ya, kau memang tidak punya siapa-siapa lagi. Jadi, kalau mati tidak akan ada penyesalan,” timpal Jaemin.

Bibi Park kembali membawa dua gelas minuman untuk Jaemin dan Lia setelah memeriksa anak-anak yang lain tidur karena malam semakin larut.

“Astaga, Bibi.” Lia meraih nampan minumannya dan meletakkannya di atas meja. “Terima kasih, Bi.”

“Apa dia pacarmu?” tanya Bibi Park.

“Bukan, Bi. Dia temanku.”

Kini giliran Jaemin yang hatinya terasa ngilu mendengar jawaban Lia akan status mereka. Jaemin menyeruput minumannya dan membuang muka, menatap ke arah jendela.

“Baiklah, kalian lanjutkan saja bicaranya. Bibi duluan tidur ya, Lia. Malam ini Bibi tidur di kamar Bibi Lee. Kalau temanmu mau menginap, pakai saja kamar kita. Hari sudah malam jadi siapa tahu temanmu ingin menginap.”

Selepas Bibi Park pergi, suasana kembali hening. Baik Jaemin maupun Lia sama-sama diam, fokus pada minuman masing-masing.

“Kau hanya bertemu satu hari dengan Bibi Park. Tapi kenapa kau terlihat sangat akrab?”

“Aku sering datang mengunjunginya jika di rumah sakit jadwalku kosong.”

Jaemin beranjak setelah minumannya habis. Lia yang melihatnya ikut berdiri dan menahan tangan Jaemin yang hendak melewatinya.

“Kalau mau pergi sekarang, tunggu sebentar, ya. Aku harus pamit pada Bibi Park. Tunggu aku di luar, sebentar saja.”

“Ya, aku akan menunggumu di luar.”

Lia mengangguk dan segera menemui Bibi Park. Sedangkan Jaemin lebih dulu keluar dan menunggu Lia di dalam mobil.

Tak lama, Lia keluar dengan pakaiannya yang sudah rapi. Lia hanya memberitahu Bibi Park bahwa dia mungkin tidak akan datang lagi dalam waktu dekat sebab ada urusan.

“Di persimpangan jalan, belok kiri. Nanti di sana ada SMA lalu belok kanan. Setelah itu..”

“Cerewet!” desis Jaemin yang membuat Lia langsung diam.

Jalanan sudah sepi karena malam semakin larut, Lia heran saat Jaemin malah berbelok ke arah kanan bukannya kiri saat tiba di persimpangan.

“Kau salah arah, harusnya ke..”

“Aku tahu. Bisa tidak kau diam saja dan jangan banyak bicara?” desis Jaemin menyela ucapan Lia.

Tatapan Lia tertuju pada dashboard mobil Jaemin, di mana ada pistol dan pisau lipat di sana.

“Apa kau selalu membawa senjata ke manapun kau pergi?”

“Ya, untuk membuat diam orang-orang yang cerewet sepertimu.”

Lia mendelik sebal dan menatap ke arah jalanan. Hal itu tak luput dari perhatian Jaemin dan Jaemin tersenyum tipis.

Ya, lebih baik Lia bersikap kasar padanya dari pada melemah dan hanya pasrah.

**

Ingat ya temen-temen, ini cuma fiksi. Jangan sampai dibawa ke real life karena semua yang ada di cerita ini nggak ada sangkut pautnya sama kehidupan idol yang menjadi visualisasinya.

Guys, jangan lupa follow instagram ya @dear2jae 🖤 thank you.

©dear2jae
2021.09.25 — Sabtu..
2022.11.28 — Senin. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top