13. She's Back

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Lia berkali-kali menatap sekeliling, siapa tahu ada anak buah Jeno yang mengikutinya. Tatapannya tetap waspada walaupun pada orang-orang yang berpapasan dengannya.

Saat ini, Lia tidak punya tujuan. Pikirannya masih kosong, belum bisa memikirkan rencana dengan matang. Sempat terlintas ingin menemui Haechan tapi Lia tidak ingin membawa Haechan ke dalam masalahnya. Kali ini, masalah yang dia hadapi sangat serius.

Tujuh tahun yang lalu..

Lia dan ayahnya sedang menikmati senja di halaman belakang. Ditemani banyaknya camilan dan buah-buahan serta minuman berbagai jenis dan rasa.

“Jangan dicatat. Kau hanya perlu mengingatnya.” Minho memperlihatkan enam digit kode yang tertera di ponselnya. “Ini adalah kode brankas tempat Ayah menyimpan semua harta Ayah. Jika nanti Ayah sudah tidak ada, itu akan jadi milikmu. Terserah kau mau menggunakannya untuk apa kalau itu sudah jadi milikmu.”

“Apa itu brankas yang aku lihat tempo hari? Apa kini semua aksesnya milikku?”

“Iya. Pengamanannya menggunakan sidik jarimu dan juga retina matamu.”

“Baik, Ayah. Aku akan menjaganya baik-baik.”

“Lia,” ujar Minho sambil menatap anaknya dengan serius. “Jangan percaya siapapun jika suatu saat terjadi sesuatu pada Ayah. Tidak ada kawan yang benar-benar kawan. Mereka semua covernya saja yang kawan tapi sebenarnya mereka adalah lawan. Ayah memang sudah membuat perjanjian bersama mereka tapi itu tidak menjamin semuanya akan aman dan terkendali.”

Lia mengangguk pelan. “Iya, Ayah. Aku akan mengingat ucapan Ayah.”

“Kau sudah bisa bela diri, kan? Apa Pak Yoon sudah mengajarimu semuanya?”

“Sudah, Ayah. Pak Yoon sudah mengajariku bela diri. Menembak dan teknik berkelahi jika menggunakan pisau,” ujar Lia. “Tapi Ayah, tidak apa-apa, kan, jika aku tidak meneruskan usaha ini? Aku ingin jadi seorang Dokter.”

“Tidak apa-apa, nak. Apapun impianmu, raih semuanya.” Minho mengusap pelan rambut anaknya. “Ingat baik-baik kodenya.”

“Baik, Ayah.”

Lia berhenti sejenak di halte bus. Pikirannya belum jernih, belum bisa memikirkan tujuan pasti. Karena masih shock saat tahu bahwa dia memang sedang dimanfaatkan oleh Jeno untuk kepentingan pribadi.

Soal brankas itu, sampai saat ini setelah kematian ayahnya, Lia belum tahu mau menggunakannya untuk apa karena uang yang dia dapatkan dari pekerjaannya sebagai Dokter sudah cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Jadi, Lia membiarkan brankas itu dan belum mengurusnya. Tapi ternyata, ucapan ayahnya tidak salah yaitu tidak ada kawan yang benar-benar kawan.

Dulu, sewaktu Jeno dan ayahnya datang menjemput di panti asuhan, Lia agak kaget tapi karena pikirannya sedang kacau, Lia tidak menolak saat dibawa.

Beberapa saat setelah diantar oleh ayahnya ke panti asuhan, Lia mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal dunia. Seketika, Lia langsung terduduk lemas dengan tubuh yang bergetar. Jadi ini, maksud ayahnya mengasingkan dirinya ke panti asuhan hanya agar dia selamat.

Lalu beberapa saat kemudian, seseorang datang menjemput Lia yaitu Jeno dan Donghae. Mereka lanagsung bertransformasi menjadi sosok yang dapat diandalkan di depan Lia yang sedang rapuh.

“Ayo, ikut bersama Paman. Kita kunjungi ayahmu yang sedang ditangani di rumah sakit.” Donghae mengulurkan tangannya tapi Lia menolak.

“Maaf, Paman. Aku bisa sendiri.

“Ayahmu adalah rekan kerja. Kami sering bertemu untuk sekadar makan malam dan berbincang kecil. Percayalah, Paman bukan orang jahat.

Pikiran Lia sedang kacau jadi tanpa penolakan lagi, Lia memutuskan untuk ikut. Bahkan Jeno langsung menyambutnya dengan senyum hangat.

Informasi tentang Lia yang ada di panti asuhan di dapatkan oleh Donghae dari seorang maid yang bekerja di rumah Minho. Maid itu tentu saja dibayar dengan bayaran yang setimpal karena menjual informasi penting.

Begitulah awalnya, bagaimana Lia dan Jeno bisa terikat. Apalagi Donghae juga tahu kalau Minho meninggalkan brankas yang berisi harta kekayaannya. Tentu saja dia memperlakukan Lia layaknya ratu.

Napas Lia tercekat saat akan bebelok ke sebuah jalan tapi sudah di hadang oleh lima orang. Lia melirik ke arah tangan dan langsung tahu kalau mereka adalah anak buah Jeno karena mempunyai tatto berbentuk trisula.

“Nona, ikut kami supaya kami tidak perlu menggunakan paksaan dan berakhir dengan Nona yang terluka,” ujar salah satu dari mereka.

Lia menyeringai dan menunjukkan wajah dinginnya. Tanpa mempedulikan ucapan laki-laki itu, Lia berbalik hendak pergi tapi dengan sigap anak buah Jeno menarik paksa tangannya.

Tentu saja Lia berontak dan berusaha melawan mereka. Beruntung tubuhnya tidak besar-besar jadi Lia masih bisa mengimbangi. Tidak seperti anak buah Jaemin waktu itu, bahkan Lia tidak bisa berontak karena tubuhnya yang kecil ditahan oleh mereka yang tubuhnya besar.

Karena sudah lama tidak bergerak, dalam artian berkelahi, jadi tubuh Lia agak kaku. Tapi untungnya, teknik yang diajarkan oleh Pak Yoon masih Lia ingat dengan jelas.

“Apa kalian akan menggunakan pisau lipat pada seorang perempuan?” tanya Lia dengan kekehan kecil saat mereka mengeluarkan pisaunya.

“Itu sebabnya, lebih baik Nona menyerah dan tidak melawan.”

“Tidak, aku tidak akan menyerah. Walaupun sekarang aku mati, aku tidak punya penyesalan apa-apa. Bosmu yang akan menyesal karena tidak akan mendapatkan apa yang dia inginkan.” Lia masih melawan.

Cukup lama ketegangan itu terjadi hingga perkelahian tidak dapat dihindari. Lia berusaha melawan lima orang dengan pisau lipat di tangan masing-masing sedangkan Lia dengan tangan kosong.

Hingga akhirnya...

*

Jaemin masih mengenakan baju tidurnya padahal hari sudah siang. Rasanya malas sekali untuk mengganti baju jika tidak ke mana-mana. Selesai sarapan tadi, Jaemin menuju ruang pribadinya dan menatap papan target yang dia buat beberapa tahun yang lalu.

“Susah payah aku mencarinya. Ternyata dia datang sendiri.” Jaemin bergumam dengan seringaian kecil.

Tangannya perlahan membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan dua buah kalung dari sana. Satu kalung berbentuk petir dan satunya lagi adalah kalung couple Yin dan Yang. Tapi yang masih tersisa di Jaemin hanya Yang.

“Bodoh, kau menelisik tubuhku untuk mencari tatto selama ini,” gumam Jaemin sambil terkekeh kecil ketika mengingat tatapan Lia yang tak pernah luput dari dirinya saat dia membuka pakaian. “Tapi nyatanya tanda yang aku punya adalah sebuah kalung bukan tatto.”

“Sialan, di mana aku menjatuhkan pasangannya,” gumam Jaemin lagi saat menatap kalung berbentuk Yang, yang dia punya. “Ibu pasti marah dari atas sana melihat kecerobohanku.”

Selama ini, Jaemin sudah berusaha mengingat di mana kira-kira dia menghilangkan kalungnya tapi dia tidak mengingat apapun.

“Bu, maafkan aku karena menghilangkan pemberian ibu.” Jaemin menatap nanar satu kalung yang masih ada padanya.

Dulu, sewaktu Jaemin sudah berusia delapan belas tahun. Ibunya memberinya dua buah kalung couple berbentuk Yin dan Yang saat Jaemin sedang duduk bersama ayahnya di halaman belakang.

“Apa ini, Bu?” tanya Jaemin dengan wajah heran. “Maksudku, kenapa Ibu memberiku kalung couple?

“Ini adalah kalung turun temurun, nak.” Jaehoon yang menjawab untuk Jaemin. “Dulu, kakekmu memberikannya pada nenek. Lalu ketika Ayah akan menikah dengan ibumu, nenekmu memberikannya pada kami. Dan sekarang, kalung ini kita berikan padamu. Nanti, kalau kau akan menikah, berikan pada pasanganmu. Begitu seterusnya.

Jaemin mengangguk mengerti lalu meraihnya kemudian menyimpannya dengan hati-hati.

Suara dering ponselnya membuat Jaemin tersadar dari lamunannya. Ada panggilan masuk dari Renjun.

“Apa?”

“Ada Lia.

Seulas senyum tipis terukir di bibir Jaemin. Dia segera meletakkan kedua kalung itu di dalam laci kemudian beranjak keluar.

Ketika sampai di ruang tengah, apa yang membuat Jaemin kaget adalah Lia datang dengan keadaan bersimbah darah. Jaemin buru-buru menghampiri Lia yang terlihat sempoyongan.

Saat Jaemin sampai di depan Lia, Lia langsung melayangkan satu tamparan keras pada pipi kiri Jaemin yang membuat Renjun maupun orang-orang yang ada membeku. Jaemin bergeming, dia menatap Lia dengan tatapan datar.

Pelipis Lia terluka, tulang pipi serta sudut bibir yang berdarah. Ada satu luka sayatan di lengan kanan Lia dan di perut sebelah kanan. Bahkan darahnya masih menetes.

“Apa kau juga sama dengan mereka yaitu menginginkan kode brankas milik ayahku?” tanya Lia dengan susah payah karena kesadarannya hampir hilang. Jaemin diam, tidak menanggapi. “Jadi itu sebabnya, kau tidak jadi membunuhku dan malah menahanku lebih lama di sini? Semua orang sama saja ternyata, tidak ada yang benar-benar tulus.”

Seiring dengan ucapannya yang berakhir, tubuh Lia melemas dan jatuh ke lantai. Kesadarannya sudah hilang, Lia pingsan karena kehilangan banyak darah.

Bukannya menangkap tubuh Lia yang hendak jatuh, Jaemin malah membiarkannya terjatuh. “Bodoh, harusnya kau tangkap dia sebelum jatuh. Bukannya malah melihatnya saja.” Renjun menepuk bahu Jaemin.

“Bawa Haechan ke sini,” titah Jaemin pada Mark. Mark mengangguk kemudian pergi.

“Dia kembali dengan sendirinya,” celetuk Renjun lagi.

Hm, sesuai prediksiku.” Jaemin tersenyum tipis lalu mengangkat tubuh Lia dan membawanya ke kamar.

Selagi Haechan masih dijemput, Jaemin melilit luka-luka Lia dengan beberap helai kain agar darahnya berhenti keluar. Juga menyingkirkan rambut Lia yang menghalangi pandangan. Tangannya terulur dan mengusap darah yang ada di sudut bibir Lia dengan pelan.

“Apa Lia sudah tahu tujuan Lee Jeno? Makanya bertanya seperti itu padamu?” tanya Renjun.

“Mungkin.”

“Berarti Lia memang tahu tentang kekayaan yang ditinggalkan oleh ayahnya,” ujar Renjun yang masih berada di kamar Jaemin. “Kalau begitu aku pergi. Semoga urusanmu dengannya cepat selesai.”

Begitu Renjun keluar, Haechan yang baru datang bersama Mark langsung masuk. Dia begitu terkejut melihat Lia yang sedang berbaring dengan keadaan terluka.

“Apa yang terjadi padanya?” Haechan mengambil duduk di pinggir ranjang. “Na Jaemin!”

“Jangan heboh dan cepat obati. Itu hanya luka sayatan jadi kau bisa menanganinya.” Jaemin beranjak dan duduk di sofa.

Haechan mendesis sebal dan langsung mengambil peralatan untuk mengobati Lia. Membersihkan darah di sekitaran wajah dan mulai menjahit luka-luka Lia.

“Ya Tuhan, Lia.” Haechan terus bergumam pelan. “Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau bisa terluka seperti ini. Apa si brengsek itu melukaimu, apa dia yang membuatmu seperti ini? Katakan, aku akan membalasnya untukmu.”

“Lee Haechan!” desis Jaemin dengan tatapan tajam.

“Apa? Kemarin kau bilang tidak tahu di mana Lia tapi sekarang Lia malah ada di sini dengan keadaan terluka? Haha, apa yang sebenarnya terjadi. Apa kau tidak tahu Jeno sedang mencarinya?”

“Diam atau mati?” Jaemin beranjak dan membuka laci nakasnya kemudian mengeluarkan satu buah pistol lalu menarik pelatuknya dan mengarahkannya di depan wajah Haechan.

Haechan menelan ludah gugup, dia membuang muka dan kembali fokus pada luka-luka Lia. Tidak berani buka suara lagi atau Jaemin akan menembaknya saat ini juga.

Setelah selesai, Haechan kembali merapikan alat-alatnya dan meletakkan kotak obat itu di atas nakas kemudian menatap Lia yang mulai menunjukkan tanda-tanda akan bangun.

“Lia..” Haechan menyentuh jari-jari Lia sedangkan Jaemin masih berdiri dengan pistol di tangannya.

Perlahan, Lia mengerejapkan matanya. Masih terasa berat tapi Lia samar-samar melihat bayangan Haechan jadi dia berusaha untuk bangun. Sekujur tubuhnya terasa benar-benar sakit.

“Lia,” ujar Haechan lagi.

“Chan,” gumam Lia dengan suara serak.

“Iya, ini aku. Kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi padamu, kenapa kau bisa terluka seperti ini?” Haechan benar-benar terlihat khawatir.

Tatapan Lia tertuju pada Jaemin yang masih berdiri tanpa bertanya sedikitpun bagaimana keadaannya.

“Brengsek! Kenapa kau meninggalkanku malam itu sendirian?” desis Lia, matanya mulai berair.

“Bukankah itu yang kau inginkan?”

“Tapi bukan dengan cara itu! Aku sendirian dan sekarang berakhir begini!”

“Dengan cara kabur diam-diam dan berakhir mendapat siksaan dariku. Itu yang kau mau?”

STOP!” Haechan melerai, apalagi dia tidak mengerti arah pembicaraan Jaemin dan Lia. “Sebenarnya apa yang terjadi?”

Jaemin tidak mempedulikan Haechan dan meletakkan pistolnya lalu beranjak duduk di samping ranjang. Kini giliran Haechan yang berdiri sambil berkacak pinggang, menatap bergantian antara Jaemin dan Lia dengan perasaan heran.

“Apa yang terjadi?” tanya Jaemin dengan nada pelan. Bahkan Haechan sampai merinding.

“Kau benar, Jeno hanya memanfaatkanku. Dia tidak serius menyukaiku. Aku terluka karena anak buahnya.” Lia berujar pelan. “Tapi ini semua karena dirimu! Kau yang meninggalkanku sendirian malam itu!”

“Aku hanya ingin menunjukkan kalau Jeno tidak serius padamu.”

Haechan masih belum paham apa yang dibicarakan oleh mereka.

“Aneh, kenapa aku bisa ke sini setelah apa yang terjadi. Kau juga sama dengan mereka, bukan? Kasihan sekali aku, hanya dimanfaatkan oleh kalian yang menginginkan harta ayahku,” gumam Lia meratapi nasibnya.

Jaemin hendak beranjak, mengabaikan ucapan Lia tapi Lia menahan tangannya.

“Aku.. Tidak punya tujuan dan tidak punya siapa-siapa lagi. Itu sebabnya aku ke sini..” lirih Lia.

Jaemin tersenyum tipis dan kembali duduk. Tidak sia-sia dia membuat Lia tunduk padanya walaupun dengan kekerasan. Tapi setidaknya sekarang, Lia mencarinya, kembali padanya.

Jaemin menunduk dan mengecup pelan bibir Lia. “Istirahatlah, aku akan meminta Bibi Kim membawakanmu makanan ke sini.”

“Oh shit! Apa yang baru saja aku lihat?!” pekik Haechan.

Kalung milik Jaemin. Zeus dilambangkan dengan petir. Anggota Zeus pakai kalung bukan tatto. Ada beberapa anggota yang bertatto tapi hanya tatto biasa.

Yang ada di Jaemin yang putih yaitu Yang.

**

Ingat ya temen-temen, ini cuma fiksi. Jangan sampai dibawa ke real life karena semua yang ada di cerita ini nggak ada sangkut pautnya sama kehidupan idol yang menjadi visualisasinya.

©dear2jae
2021.09.22 — Rabu.
2022.11.28 — Senin. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top