11. Love-hate relationship

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Jaemin berkali-kali mengembuskan napas kesal karena melihat Lia yang masih saja memikirkan tentang semalam. Bahkan sarapan yang ada di depannya terabaikan begitu saja karena Lia bengong.

Ketukan meja dari Jaemin membuat Lia sadar, dia menatap Jaemin dengan tatapan datar. “Makan atau kau tidak akan dapat makan selama seminggu nantinya?”

“Ya.” Lia memutar bola mata malas dan segera menyuap makanannya. Tangannya menyuap makanan, mulutnya mengunyah tapi pikirannya terus bekerja. Sungguh, Lia benar-benar tidak sadar dan lupa total tentang apa yang terjadi semalam.

“Hari ini aku pergi dan ingat perjanjian yang sudah kita buat. Lakukan apapun yang ingin kau lakukan asal jangan keluar.” Jaemin meletakkan alat makannya dan beranjak.

“Berikan aku ponsel. Aku bosan kalau tidak melakukan apa-apa.” Lia menahan tangan Jaemin yang hendak pergi.

“Tidak.”

“Dasar pelit!”

Interaksi itu sukses membuat Bibi Kim dan maid yang lain tersenyum kecil. Selama ini, Jaemin selalu sarapan sendiri tapi kadang bersama Renjun yang datang pagi-pagi. Dan selama ini, raut wajah Jaemin tidak pernah terlihat bersahabat, selalu datar dan dingin, bahkan untuk tersenyum saja jarang.

Sekarang, saat Lia menemaninya sarapan, raut wajah yang semula datar dan dingin terlihat melunak. Walaupun masih datar tapi Bibi Kim dan maid yang lain menyadari tatapan Jaemin pada Lia terlihat teduh.

“Aku pergi.” Jaemin kembali menghampiri Lia yang masih makan. Lia hanya menanggapinya dengan anggukan. “Apa kau tidak mau bilang hati-hati?”

“Tidak.”

Jaemin berdecak dan akhirnya berlalu pergi. Sebenarnya tidak ada tujuan pasti, hanya saja Jaemin ingin meninjau perkembangan usahanya.

Setelah Jaemin pergi, Lia selesai makan lalu Bibi Kim membersihkan meja makan. Benar-benar tidak ada yang bisa Lia lakukan untuk mengisi kebosanan.

Lia beranjak dan berjalan menuju ruang tengah, lalu berjalan menuju ruangan pribadi Jaemin yang hanya bisa diakses dengan retina mata. Kemudian berjalan menuju halaman belakang dan menatap anak buah Jaemin yang berjaga.

Lelah berkeliling di bawah, Lia naik dan menuju kamar kemudian mulai menelisik setiap sudut kamar Jaemin. Tangannya membuka laci nakas samping ranjang yang ternyata isinya kosong. Lalu membuka laci nakas yang ada di sudut kamar, isinya kosong juga. Lia membuka lemari kecil tempat Jaemin menaruh wine, isinya memang wine semua. Tidak ada hal lainnya.

“Sepertinya dia meletakkan semua barangnya di ruang pribadi,” gumam Lia dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. “Siapa dia sebenarnya. Kenapa aku tidak bisa menemukan satu petunjuk tentang dirinya?”

Lia kembali termenung di pinggir ranjang sambil menopang kedua dagunya sembari mengingat beberapa percakapaannya dengan sang ayah, dulu.

“Lia, maafkan Ayah karena sudah menyembunyikanmu dari khalayak ramai. Ayah hanya tidak ingin kau berada dalam bahaya karena pekerjaan Ayah cukup berisiko.

“Tidak apa-apa, Ayah. Aku tidak merasa sedih karena semua orang memperlakukanku dengan baik. Jadi, aku bahagia.

“Lia, maaf karena Ayah sudah menyakitimu dengan membuat tatto di bahumu. Tapi itu Ayah lakukan untuk menandakan bahwa kau adalah anak Ayah, kelompok mafia Helios.

“Apa semua kelompok mafia juga punya tatto masing-masing?

“Punya.

Lia mengembuskan napas pelan lalu beranjak dan menuju balkon, duduk sendirian menikmati embusan angin sambil kembali termenung. Bukan karena memikirkan hal semalam tapi memikirkan saat dirinya dan Jaemin bergelut di atas ranjang.

Lia merasa malu pada dirinya sendiri saat kembali mengingatnya tapi Lia bukan mau mengingat kegiatan mereka melainkan mengingat-ingat apakah pandangannya melewatkan sesuatu pada tubuh Jaemin sebab Lia tidak menemukan tanda apa-apa, minimal tatto. Karena ayahnya pernah bilang bahwa kelompok mafia punya tattonya masing-masing.

Kesimpulan Lia saat ini adalah Jaemin bisa saja adalah mafia karena suasana di mansion Jaemin sangat menyeramkan, seperti rumahnya dulu. Apalagi perangai Jaemin yang kasar dan tidak segan membunuh orang. Tapi anehnya, Lia tidak menemukan petunjuk apa-apa hingga saat ini.

“Apa aku melewatkan sesuatu?” gumam Lia. “Ku rasa tidak. Tubuhnya bersih dari tatto dan hanya ada bekas luka yang mulai pudar.”

“Atau dia membuat tatto di bagian yang tidak terlihat?”

“Apa aku harus menunggunya buka baju dan menelisik tubuhnya?”

“Tidak, kau gila, Choi Lia. Jangan, jangan melihatnya ketika dia sedang ganti baju atau dia akan mengira kau menyukainya!”

“Tapi kalau tidak begitu, aku tidak akan tahu.”

“Tunggu, apa aku harus tidur lagi dengannya. Supaya dia menanggalkan seluruh bajunya?”

“Hahahahaha.. TIDAK!”

Lia mengembuskan kasar dan memukul pelan kepalanya sendiri saat pikirannya mulai ke mana-mana. Dia beranjak dan keluar dari kamar Jaemin dengan wajah jengkel. Beberapa kali menghentakkan kakinya karena kesal.

Hari sudah siang dan Lia lapar lagi tapi Lia tidak mau makan. Bibi Kim dan maid yang lain sedang bersantai sejenak karena pekerjaan sudah berkurang.

“Nona, mau makan siang?” tanya Bibi Kim.

“Tidak, Bi. Tapi, apa ada sesuatu yang bisa aku makan seperti kue kering atau sejenisnya?”

“Ada, Nona. Bibi selalu menyiapkan berbagai jenis makanan ringan untuk Tuan Jaemin.” Bibi Kim berjalan ke arah lemari dan mengambilkan Lia satu toples kue kering.

“Terima kasih, Bi.”

Lia membawanya ke ruang tengah dan menyalakan televisi sambil mengunyah kuenya. Sungguh, hidup tanpa ponsel itu sangat membosankan. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu luang. Ah, sebenarnya bukan tidak ada, ada banyak yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu luang tanpa ponsel, tapi Lia hanya sedang malas dan ingin bersantai dengan ponsel.

Tanpa disadari, Lia sudah menghabiskan setengah toples kue kering. Bukan toples besar tapi sedang. Karena agak kenyang dan lelah menonton tayangan, Lia ketiduran di sofa dengan posisi terlentang hingga sore.

*

“Apa saja yang dia lakukan?” tanya Jaemin pada salah satu anak buahnya yang berjaga.

Beberapa saat yang lalu ketika Jaemin pulang, dia mendapati Lia tidur di sofa ruang tengah dengan posisi terlentang. Setelah memindahkannya ke kamar, Jaemin segera turun dan menginterogasi anak buahnya apa saja yang Lia lakukan selama dia pergi.

“Selesai sarapan, Nona Lia pergi ke depan ruang pribadi Tuan lalu ke halaman belakang dan kembali ke kamar. Nona Lia baru keluar dari kamar saat siang dan meminta kue pada Bibi Kim lalu duduk menonton televisi hingga tertidur.”

Hm, baiklah. Terima kasih informasinya.” Jaemin kembali naik dan menuju kamarnya.

Tatapannya fokus pada Lia yang sedang terlelap. Jaemin pikir, Lia mungkin saja sedang mencari informasi tentang dirinya. Tapi karena Lia terlalu diam, diam dalam artian seolah dia tidak peduli. Jadi, Jaemin belum bisa menebak apa isi pikiran perempuan itu.

Lalu apa yang aneh menurut Jaemin adalah kenapa Lia terlihat pasrah saat dirinya bilang Lia tidak akan bisa keluar dari mansion ini. Jaemin memang menyiksa dan Lia masih saja melawan. Tapi entahlah, Jaemin hanya berpikir Lia sedang menyembunyikan sesuatu. Padahal inti dari apa yang ingin Jaemin tahu sudah terungkap yaitu tentang siapa Lia sebenarnya.

Jaemin mengusap wajahnya dengan kasar lalu menghela napas gusar ketika akhirnya Lia terlihat bergerak dan membuka mata.

Hng.. Apa kau yang memindahkanku ke sini? Seingatku aku tidur di sofa.” Lia beranjak duduk.

Jaemin mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Lia kemudian berpindah ke tengkuk dan menarik rambut Lia hingga Lia mendongak.

“Kau pasti sedang mencari tahu sesuatu tentangku. Iya, kan?”

Akh, sakit!” pekik Lia saat Jaemin semakin menarik rambutnya. “Aku baru saja bangun dan kau langsung bersikap kasar! Memangnya apa yang sudah ku lakukan? Bukankah aku sudah bersikap baik dan tidak melawan?”

“Entahlah, aku hanya sedang kesal!” desis Jaemin seraya menghempaskan tubuh Lia ke lantai. “Lalu, apa yang kau lakukan di depan ruang pribadiku?”

Mata Lia berkaca-kaca saat lututnya terasa nyeri karena langsung berbenturan dengan lantai. Lia mengepalkan tangannya kuat, lututnya sakit tapi hatinya terasa lebih sakit lagi diperlakukan seperti ini.

“Aku hanya melihat-lihat. Lagi pula aku tidak hanya ke depan ruang pribadimu tapi ke halaman belakang juga. Ponsel tidak ada dan aku bosan jadi aku memutuskan untuk mengitari sekitar.” Lia menatap Jaemin dengan tajam.

Jaemin bersimpuh di depan Lia dan kembali menarik rambut Lia. “Benarkah? Kau pikir aku akan percaya begitu saja?”

“Lebih baik kurung saja aku di ruang bawah tanah supaya aku tidak ke sana kemari jika kau tidak percaya apa yang ku katakan.” Lia meringis karena merasa tarikan Jaemin begitu kuat. “Bukankah kau sendiri yang bilang kalau aku bisa melakukan apa yang ku inginkan asalkan tidak keluar dari sini?”

“Ya, aku memang mengatakannya tapi aneh saja karena kau berjalan menuju depan ruang pribadiku!” desis Jaemin.

Lia memegang tangan Jaemin yang sedang menarik rambutnya. “Mau sampai kapan kau menyiksaku?” tanya Lia ketika matanya bertemu tatap dengan mata Jaemin.

“Sampai aku puas.”

“Apa yang kau inginkan dariku? Bukankah kau sudah merenggut segalanya dariku, bahkan aku tidak virgin lagi karenamu. Lalu, aku tidak melawan lagi karena perjanjian yang kita buat tapi kau masih saja bersikap kasar padaku dan menyiksaku seperti ini.” Lia terisak, pertahanannya runtuh, hatinya sakit. “Kalau kau hanya ingin menyiksaku sampai mati. Kenapa kau tidak membunuhku saja sekalian?”

Lia menunduk dan menangis, untuk pertama kalinya di depan Jaemin. Wajah angkuh yang selalu dia tunjukkan hilang seketika, wajah dingin yang selalu dia perlihatkan sirna. Lia tidak bisa menahannya lagi, menjadi kuat seperti petuah ayahnya tidak selamanya bisa dia terapkan. Lia perempuan dan hatinya rapuh. Memangnya siapa yang tidak merasakan sakit dan sedih saat diperlakukan seperti ini.

“Ayah, maafkan aku. Maaf, Ayah. Maaf, karena aku tidak bisa menemukan keadilan untuk Ayah. Jangankan keluar dari sini, berkeliaran ke arah yang salah saja aku disiksa. Maaf, Ayah. Lia membatin.

Air matanya terus mentes, bibirnya bergetar hebat. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, mulai dari kepala hingga kaki. Lia lelah.

“Aku.. Aku tidak tahu apa yang kau cari dan kau inginkan dariku hingga memperlakukanku seperti ini. Tapi, jika memang ingin membunuhku, bunuh saja aku.” Lia tersenyum tipis dengan air mata yang masih berlinang. “Lagi pula, aku tidak punya siapa-siapa lagi. Aku sendiri, seorang diri. Bertahan hidup di dunia yang keras ini. Jadi, bunuh saja aku kalau itu yang kau inginkan.”

Jaemin terdiam, melihat Lia menangis di depannya membuat termenung. Ternyata, pertahanan Lia runtuh juga.

Sungguh, Jaemin tidak mengira respon Lia akan seperti ini. Dia kira, Lia akan melawan karena dia tahu perangai Lia seperti apa. Tapi nyatanya, Lia pasrah dan malah terdengar seperti orang yang menyerah.

“Ada apa denganmu? Kenapa kau tiba-tiba melunak seperti ini. Ini bukan dirimu, Choi Lia!”

“Lalu aku harus apa?” Lia terisak lagi. “Aku melawan, kau akan menyiksaku. Aku pasrah, kau bilang ini bukan diriku! Lalu, apa yang harus aku lakukan?”

Lia meninggikan nada suaranya di depan Jaemin sambil meremat ujung bajunya. Bahkan tangan Jaemin masih betah bertengger di rambutnya.

“Lepas, ku mohon lepaskan genggamanmu dari rambutku. Kepalaku sakit,” lirih Lia pelan.

Perlahan, genggaman tangan Jaemin mengendur dan terlepas dari rambut Lia. Tapi Jaemin masih belum bisa tenang, seolah Lia memang sedang berakting di depannya.

“Aku belum bisa tenang karena bisa saja saat ini kau berpura-pura lunak di depanku!”

“Aku lelah, bukankah ini yang kau inginkan? Melihat pertahananku runtuh? Lalu apa yang membuatmu tidak bisa tenang, apa karena aku berjalan ke depan ruang pribadimu?”

“Ya.”

Lia tersenyum tipis. “Berjalan ke depan ruang pribadimu saja, reaksimu seperti ini. Bagaimana jika aku masuk, apa kau menyembunyikan sesuatu yang penting? Kenapa kau takut sekali, bukankah itu hanya bisa diakses olehmu.”

Jaemin memicingkan matanya. “Bagaimana kau tahu kalau itu hanya bisa diakses olehku?”

“Bodoh! Memangnya kau akan membiarkan Bibi Kim yang mengakses ruang pribadimu?”

“Lihat, kau baru saja melunak dan sekarang mengataiku bodoh lagi. Ini memang dirimu, lebih baik kau terus begini supaya aku tidak merasa bersalah jika menyiksamu.” Jaemin beranjak.

“Kau memang bodoh, aku melunak dan bersikap sopan karena perjanjian yang kita buat. Aku mencoba menjadi orang yang konsisten akan ucapanku. Tapi kenapa kau malah menyuruhku terus melawan agar kau tidak merasa bersalah saat menyiksaku? Memangnya kau pernah merasa bersalah saat menyiksaku?”

Langkah Jaemin terhenti lalu dia berbalik menatap Lia. “Bangun!” titahnya.

Lia masih duduk dan merapikan rambutnya yang berantakan. Kemudian bangun sesuai perintah Jaemin.

“Perjanjiannya cukup dua saja yaitu tidak boleh keluar dari mansion ini dan tidak boleh ke depan ruang pribadiku. Selain itu kau bebas.”

“Dasar labil! Jadi laki-laki itu harus konsisten bukannya malah labil.”

“Tadi kau menangis di depanku, bahkan meminta dibunuh. Sekarang kau malah melawan lagi.” Jaemin berdecak.

Lia tidak menimpali dan berjalan lebih dulu ke kamar mandi lalu menutup pintunya dengan keras.

**

Ingat ya temen-temen, ini cuma fiksi. Jangan sampai dibawa ke real life karena semua yang ada di cerita ini nggak ada sangkut pautnya sama kehidupan idol yang menjadi visualisasinya.

©dear2jae
2021.09.20 — Senin.
2022.11.24 — Kamis. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top