Chapter 9

Ciyeeeee yang malam minggunya cuma bisa baca wattpad 😝

***

Aldric meringis saat ia menyiramkan alkohol pada luka di perutnya. Dia melakukannya sendiri tanpa bantuan Roy. Lagipula ini hampir jam 3 pagi, sudah dipastikan temannya itu telah tidur dengan bemper kesayangannya.

Setelah berhasil mengobati lukanya, Aldric masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Tidak terlihat kesulitan dengan luka-luka di tubuhnya. Dia sudah terlalu sering mengalami ini. Banyaknya bekas luka di tubuhnya menunjukkan itu semua, namun itu tidak mengubah keindahan tubuh Aldric. Justru akan menambahkan kesan panas dan menakutkan dari dirinya.

Aldric meletakkan pisau favoritnya ke dalam kotak sebelum berbaring di ranjang. Belum sepenuhnya menutup mata, ponselnya berdering yang membuatnya berdecak tidak suka.

Unknown Number

"Hadiah yang menarik," ucap seseorang di seberang sana yang membuat Aldric tersenyum manis.

"Kau menyukainya?"

"Tidak, namun setidaknya itu menunjukkan jika kau masih segarang dulu."

Cukup berbasa-basi, Aldric kembali berbicara dengan santai, "Apa maumu?"

"Membuat hidupmu menderita." Aldric semakin tersenyum mendengar itu. Pedro benar-benar menggelikan.

"Hidupku memang tidak pernah bahagia," jawab Aldric penuh maksud namun eskpresi wajahnya yang tenang seolah menutupi itu semua.

"Ya, sebelum wanita berkaca mata itu datang. Bisa-bisanya kau melupakan anakku begitu saja setelah apa yang kau lakukan?"

"Aku tidak pernah melupakan Kate, melupakan semua kebodohannya."

"Itu salahmu sialan!" Pedro berteriak penuh emosi, masih tidak terima kenyataan jika anaknya pergi begitu saja meninggalkannya.

Aldric tidak memperdulikan kemarahan Pedro, "Cepat katakan apa maumu?"

"Bethany wanita yang menarik."

Aldric memejamkan matanya sebentar dan kembali membukanya. Tangannya meraih kotak dari dalam laci dan kembali mengambil pisau kecil yang baru saja ia masukkan. Tangannya memainkan ujung pisau itu dengan lihai, seolah ingin menusukkan pisau itu ke mata Pedro.

"Kau tahu dia tidak ada hubungannya dengan ini semua."

Pedro tertawa di seberang sana, "Apa kau khawatir?"

"Tidak."

"Kalau begitu biarkan aku mengganggunya, dia cukup menarik."

"Coba saja." Aldric dengan cepat memutus sambungan telepon itu dan melempar ponselnya ke sembarang tempat. Dia tidak peduli. Jika memang benar Pedro berani memyentuh Betty maka Aldric mempunyai alasan yang tepat untuk membunuh pria itu.

Namun satu hal yang Aldric dapat dari percakapan singkat antara dirinya dan Pedro, pria itu tidak akan menyakiti Betty.

***

Bibir Betty tidak berhenti untuk menggerutu saat Aldric kembali meletakkan telur acak di hadapannya untuk sarapan. Dia bosan dengan makanan itu.

"Berhenti menggerutu dan habiskan makananmu."

Betty menghela nafas kasar dan menatap Aldric yang masih berkutat di dapurnya. Entah apa yang pria itu lakukan. Betty juga belum melihat Roy pagi ini, mungkin dia masih tidur.

"Aku ingin pulang."

"Setelah makananmu habis."

Betty dengan malas memakan makanannya, "Kenapa kau hanya mempunyai telur dan roti? Tidak mungkin jika kau setiap hari makan ini."

"Telur lebih efisien."

Betty berdecak, "Kau membutuhkan ikan, sayur, susu, dan lainnya. Telur saja tidak cukup."

"Aku mendapatkan sayur di tempat Khalid," jawab Aldric dan meletakkan roti bakar dengan alpukat di sisinya.

"Itu berbeda, setidaknya jika aku ke sini lagi aku bisa mengolah sesuatu, kasihan Roy jika hanya makan telur setiap hari."

Aldric menghentikan kunyahannya dan menatap Betty dalam, "Kau ingin kembali ke sini?"

Salah tingkah, Betty mengalihkan tatapannya dan kembali memakan telur dengan lahap.

"Benar begitu?" tanya Aldric lagi.

Betty menggeleng cepat, "Tidak, tentu saja tidak! Aku lebih suka di rumahku sendiri."

Aldric mengangguk dan memakan potongan terakhir rotinya, "Benar, kau tidak akan kembali ke tempat ini. Mungkin setelah ini kau akan aman. Setidaknya dia tidak akan membunuhmu."

"Aku tidak mengerti," gumam Betty penuh pertanyaan.

"Berhenti berpikir dan habiskan makananmu, aku tunggu di garasi."

Aldric berlalu begitu saja meninggalkan Betty yang masih terduduk di meja pantry dengan diam. Apa sebegitu parahnya masalah ini sampai harus membawa nyawanya? Seharusnya dia marah bukan? Marah karena Aldric menyeretnya ke dalam masalah ini, namun entah kenapa Betty tidak melakukan itu. Dia tidak bisa.

Benar, kau tidak akan kembali ke tempat ini.

Betty mendesis mengingat kalimat itu. Apa Aldric serius? Artinya dia sudah aman bukan? Namun entah kenapa hatinya berkata lain. Betty tidak menyukai penolakan Aldric.

***

"Sial! Sial! Sial!" Lukas mengumpat dan terus berlari menerobos kerumunan. Dia tidak menyangka jika orang-orang itu akan mengikutinya sampai ke tempat ini.

Kepalanya menoleh ke belakang dan menemukan empat orang pria bertubuh besar yang mengikutinya. Mereka semua tidak berusaha untuk tidak terlihat mencolok. Kaca mata hitam di malam hari dengan jaket kulit tipis di musim dingin yang mereka pakai sangat menarik perhatian. Hal itu semakin membuat Lukas kesal.

"Sebaiknya kau berhenti menghindar," teriakan itu terdengar jelas dibisingnya festival musim dingin.

Tidak memperdulikan suara itu, Lukas terus berlari hingga dia merasakan tarikan keras pada mantelnya. Tubuhnya terhempas begitu saja menghantam tembok di belakang sebuah kedai yang sangat sepi.

"Sudah kubilang, berhenti menghindar!" Pukulan keras Lukas dapatkan pada wajahnya hingga dia terhuyung dan jatuh. Dalam sekali pukulan pun Lukas sudah terbatuk dengan darah yang keluar dari mulutnya.

Ini sakit!

"Aku butuh waktu!" ucap Lukas mencoba melindungi wajahnya dari pukulan yang akan datang.

"Kau sudah terlambat 3 hari dari perjanjian." Lukas kembali meringis begitu pria itu kembali menendang tubuhnya. Untung hanya satu orang, karena ketiga temannya hanya menonton dan mengawasi keadaan sekitar.

"Aku belum mempunyai uang."

Pukulan kembali menghantam tubuh Lukas, "Kalau begitu jangan berhutang!"

"Kalau aku punya uang aku tidak akan berhutang bodoh!" umpat Lukas dengan meludah.

"Jaga ucapanmu! Bersyukurlah Tuan Wilson tidak meminta kepalamu malam ini."

Lukas duduk bersandar dengan lemas, "Bilang padanya, jangan khawatir. Aku akan melunasi semua hutangku."

"Dasar tidak berguna!" Sekali lagi pria itu menendang perut Lukas yang membuatnya kembali terbatuk darah.

Pria-pria itu pergi meninggalkan Lukas sendiri yang seolah sedang menghadapi ajalnya. Dia benar-benar merasa kesakitan dan lemas, tidak bisa berdiri untuk sekedar meminta bantuan dari orang lain.

Hutang sialan!

***

Betty menggosok rambutnya dengan handuk begitu keluar dari kamar mandi. Berendam air hangat di tengah malam sedikit merilekskan tubuhnya. Untung saja penghangat ruangan bekerja dengan baik saat ini. Sehingga dia tidak mati membeku di musim dingin ini.

Seharian Betty hanya berdiam di rumah. Dia sudah meminta ijin untuk tidak bekerja karena Aldric yang mengantarkannya pulang di siang hari. Lagi pula Betty juga masih terlalu takut untuk keluar rumah. Hanya di tempat ini dia merasa nyaman dan aman tanpa adanya seseorang yang mengikuti.

Betty menyesap coklat hangatnya dengan perlahan, seolah menikmati rasa hangat yang menjalar di tubuhnya. Di saat seperti ini dia merasa kesepian. Biasanya ada Rubby yang selalu mengganggu ketenangannya namun sahabatnya itu menghilang entah kemana selama beberapa hari ini. Cukup khawatir, namun Rubby selalu rutin mengirimkan pesan padanya bahwa ia baik-baik saja.

Apa bisa Betty percaya, jika Rubby sendiri bersama dengan pria yang berbahaya?

Kau juga terjebak dengan pria berbahaya, Beth. Khawatirkan dirimu sendiri!

Suara bel apartemen berbunyi dan Betty menegakkan tubuhnya waspada. Dia meletakkan handuknya dan perlahan mendekati pintu utama. Dia meraih tongkat baseball dan mengintip dari lubang pintu.

Ya Tuhan!

Betty dengan cepat meletakkan tongkatnya kembali dan segera membuka pintu. Begitu pintu terbuka dia langsung disambut dengan tubuh Lukas yang ambruk mengantam tubuhnya.

"Apa yang terjadi?!" Betty bertanya khawatir sambil membawa tubuh kakaknya ke sofa. Dia segera mengunci pintu dan kembali menatap tubuh Lukas yang terlihat sangat memprihatinkan.

"Ada apa denganmu, Kak?" tanya Betty mulai melepaskan sepatu yang dipakai Lukas.

"Tubuhku sakit sekali," gumam Lukas dengan mata yang masih terpejam.

Masih dengan rasa khawatir, Betty berjalan ke dapur dan mengambil air hangat. Dia akan membersikan wajah kakaknya dari noda darah yang mengering.

"Apa lagi yang kau lakukan kali ini?" gumam Betty mulai mengelap wajah kakaknya. Nada suaranya terdengar bergetar.

Dia sedih, tentu saja. Biar bagaimanapun Lukas tetaplah kakaknya. Semenyebalkan apapun pria itu, dia yang merawat Betty sedari kecil. Lukas memang bajingan, tapi dia tidak pernah melupakan Betty sampai dirinya dewasa seperti ini.

"Kenapa, hm? Bisakah kau tidak membuat ulah sehari saja?"

"Mereka hanya berani keroyokan. Aku yakin jika hanya satu aku bisa mengatasinya sendiri," ucap Lukas dan kembali terbatuk.

"Siapa mereka? Apa maksudmu?"

"Penagih hutang." Jawaban singkat itu seolah sudah mewakili semuanya. Lagi-lagi kakaknya kembali berurusan dengan hutang.

"Untuk judi lagi?" tanya Betty sedih. Kapan kakaknya akan sadar dan kembali mengayomi dirinya seperti dulu?

"Itu membuatku ketagihan."

"Dan sampai membuatmu bodoh untuk terus berhutang."

Lukas berdecak namun sedetik kemudian dia meringis kesakitan sambil memegangi ujung bibirnya, "Sial! Aku akan membalas mereka semua jika hutangku sudah lunas!" rutuk Lukas kembali membiarkan Betty mengobati lukanya.

"Jangan berhutang kalau kau tidak bisa membayarnya."

"Kau terdengar seperti ibu," cemooh Lukas, "Lagipula aku tidak akan berhutang jika mempunyai uang."

Betty menatap kakaknya prihatin, "Apa kau tidak sadar jika aku memang harus berlaku seperti ibumu selama beberapa tahun terakhir ini?"

Lukas hanya melemgos dan kembali memejamkan matanya. Dia terlau malas untuk berdebat dengan adiknya. Dia hanya butuh istirahat dan menyiapkan tubuhnya untuk merampok besok. Biar bagaimanapun dia harus segera membayar hutang atau si Wilson benar-benar akan meminta kepalanya.

"Berhentilah berjudi jika tidak menghasilkan. Jujur saja kau bodoh dalam hal itu."

"Aku selalu menang! Tapi hanya dengan si bajingan itu aku selalu kalah yang membuatku selalu berhutang," rutuknya lagi.

"Aku tidak peduli! Ini terakhir kalinya kau seperti ini. Jika kau tidak berubah aku tidak akan membukakan pintuku lagi untukmu, kecuali jika kau memberiku uang satu koper penuh."

"Jangan konyol!"

"Aku tidak."

Lukas tiba-tiba membuka matanya dan menatap Betty serius, "Membicarakan uang, apa kau mempunyai uang? Berikan sekarang."

Detik itu juga Betty menekan luka di pipi Lukas dan beranjak pergi meninggalkan kakaknya yang meringis kesakitan.

Apa aku harus melakukan ritual pengusiran setan untuk menyadarkan Lukas?

***

TBC

Santai aja dulu kalian ya, tegangnya nanti nanti aja 😌

Ini si kampret lukas yang suka ngutang dan banyak gaya 😎

Follow ig : viallynn.story

Jangan lupa vote dan commentnya ya 😘

Viallynn

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top