chapter 2

SIAPA aku?

Aku Liesl. Liesl von Dille.

Atau jangan-jangan bukan?

Ah, aku mulai berpikir aneh-aneh lagi. Tentu saja aku tetap Liesl von Dille, orang-orang di sini saja yang gila. Mereka menganggapku keponakannya, kakaknya, dan sebentar lagi anak.

Entah aku harus bersyukur atau merinding mendengar si gadis perapian menganggapku orang asing.

Seluruh tubuhku yang kaku berusaha bangkit, menghadap si gadis dengan tatapan campur aduk. "Aku," kataku, memulai, "bukan ...."

Sesuatu yang berdecit-decit memotong ucapanku. Atensi kami teralih pada jendela yang tertutup gorden. Aku yakin bunyi itu berasal dari sana, seyakin itu adalah bahaya pertama yang akan kuhadapi setelah diselamatkan dari musim dingin.

Di sana, lewat bagian jendela yang tak tertutup gorden, kulihat sebuah siluet tengah menggantung di luar. Siluet itu bergerak-gerak dan besar. Kupikir bukan hewan, sebab bentuknya mirip manusia.

Oke. Manusia. Aku sedang menakuti diriku sendiri.

Buat apa ada orang susah payah masuk lewat jendela dari tempat mahadingin? Itu hanya akan dilakukan saat kau tidak bisa masuk dari dalam rumah. Itu hanya berarti kau bukan orang yang memiliki akses di dalam rumah. Dan buat apa orang macam itu repot-repot mencongkel gerendel jendela? Tentu saja kita semua tahu.

Tapi aku berharap tidak tahu.

Insting bertahanku meledak gila-gilaan saat jendela berhasil dibuka, menyuruhku lari atau berteriak atau apalah. Ya, ya, andai saja insting tersebut bisa mengendalikan organ tubuhku, pasti jauh lebih mudah. Aku tidak mengharapkan tersebut benar-benar terjadi saat jendela berayun ke luar. Lagi pula itu hal mustahil. Organ dan keinginan merupakan dua hal berbeda yang saling terlilit. Jika salah satu mati--atau setidaknya rusak--yang satu lagi takkan bisa berbuat apa-apa. Namun, ketika seseorang meloncat masuk ke kamar, meninggalkan desing ribut angin di luar, aku merasa tak ada salahnya berharap.

Dia laki-laki, tanpa mantel hangat, tapi jaket berekornya kira-kira cukup untuk menghalau dingin. Separuh wajahnya tertutup syal tebal ungu yang mampu melilit tanganku seperti gips. Kira-kira tubuhnya setinggi seratus delapan puluh setengah, bahkan dari posisi mendaratnya yang berjongkok saja aku sudah tahu.

Dia menoleh, memberiku tatapan dengan mata emas jernihnya sebelum berdiri. Astaga, aku tidak perlu menonton atau membaca banyak adegan aksi untuk tahu bahwa postur tubuhnya kelewat bagus untuk menghajar orang. Aku tahu sebab seni bela diri, balet, dan musik bisa membentuk postur tubuh seseorang.

Pemuda itu mengerjap dan menarik syal. "Hei," dia berkata seperti ingin menghajar kawan lama yang tak lama dijumpai. "Kudengar kau menghilang dua hari."

"Alec," gumam si gadis. Pemuda itu tampak tidak menyadari suaranya. "Dia datang lebih cepat."

"Aku baru hendak mengejarmu saat ada kabar kau sudah kembali," si berandal kembali berkata. Padaku. Setiap nada, setiap kata, yang keluar dari mulutnya mengunci celah-celah paru-paruku sehingga hampir tidak ada udara yang bisa kuhirup. Ekspresi kalemnya tidak membantu.

Si gadis berjalan mendekati Alec, melambaikan tangan pucatnya di depan wajah cowok itu. Namun Alec tetap memandangku. Ini bukan adegan klise romansa, di mana aku menjadi pusat utamanya. Tetapi jika sekiranya ini memang pertunjukkan drama, harus kubilang ini lucu. Sangat lucu.

Si gadis hampir menyamai cameo yang tidak melaksanakan perannya dengan baik. Sementara karakter-karakter di sini bersusah-payah mengabaikannya dan tetap melakukan peran masing-masing. Sementara aku, pemeran baru yang secara mendadak dicomot, setengah mengikuti permainan gadis itu.

"Alec," gadis itu berbisik tajam. "Alec!"

"Hei," kata Alec. Bukan pada si gadis, tapi lagi-lagi padaku. "Mukamu seperti sedang lihat setan. Ada apa?"

Sejujurnya, dia memang kayak setan. Bukan secara tampilan, tapi secara konsep bahwa dia layak ditakuti.

Setelah menyadari Alec tak meladeninya, si gadis menyerah. Dia kecewa, meski yang kulihat bukan raut terluka bak orang patah hati. Tak lama kemudian dia menghampiriku. "Bilang padanya: 'Pergi, sana!'"

"Apa?" aku spontan bertanya.

"Apa?" ulang Alec. Pemuda itu memiringkan kepala seperti hewan yang bingung. Secercah kekesalan dan muka meremehkan muncul dari lengkungan bibirnya. "Oh. Aku baru tahu kalau pewaris Rosafin yang baru diculik akan begini. Linglung. Aneh. Kenapa? Kau kena trauma? Ayolah, kau sudah menghadapi yang lebih parah dari ini."

Si gadis menggeram sampai kertak giginya terdengar dalam bunyi staccato. "Cepat bilang padanya untuk pergi. Katakan aku--kau tidak membutuhkannya selama beberapa saat. Dia akan pergi setelah itu."

Terbetik di kepalaku bahwa rencananya brilian. Aku tidak membutuhkannya, tentu saja. Jadi tidak masalah jika kugunakan kalimat itu ... dengan sedikit modifikasi.

Aku membuka mulut, bersiap melontarkan kata-kata yang telah kususun berdasarkan saran si gadis. Dadaku naik-turun begitu menyadari napasku tidak terlalu baik. Aku memohon, berdoa, berharap kekuatan lamaku yang sudah lama tak bisa kurasakan bisa kembali agar semua ini lebih cepat selesai.

"Pergilah." Itu lebih terdengar seperti cicitan tikus dalam nada dipaksakan. "Pergi."

Alec melakukan kekehan meremehkan lagi. "Aku jauh-jauh ke sini untuk memberimu semangat hidup, tuan putri. Mengusir tamu baik-baik sepertiku tidak ada di etika keluargamu, aku yakin. Memangnya kenapa kalau aku di sini?"

"Aku sudah tidak membutuhkanmu ...." Si gadis melirikku, sedikit tidak yakin, "lagi." Aku mengucapkannya seakan tahu apa makna kalimat tersebut bagi kedua orang ini.

"Apa?" adalah respons yang sama-sama keluar dari si gadis dan Alec.

"Kau mengubah kalimatku. Walau cuma satu dua kata, itu bakal merusak suasana hatinya!" si gadis berteriak di samping wajahku.

Mana mungkin aku peduli. Yang aku inginkan adalah dia pergi dari tempat ini sekarang juga, daripada terus menakutiku dengan senjatanya.

Sesuai seperti yang si gadis katakan, air muka Alec berubah drastis. Aku memang menduganya, tapi tidak sampai separah ini. Wajahnya terlampau keruh. Pupilnya mengecil, sinar merah seakan lewat di sana. Aku cepat-cepat memalingkan wajah dari tatapan itu.

"Oke," kata Alec. Suaranya membekukan napasku. "Kau sepertinya punya masalah yang tidak bisa diberitahu. Terserah kau saja. Selamat malam, putri salju."

Aku bersumpah mataku sudah hampir menangkap sosoknya yang beranjak pergi. Namun, baru sedetik aku menoleh, jubah hitam tersibak di depanku, dan si orang asing mengerikan hilang tanpa menutup jendela. Aku bahkan tidak yakin dia melewati jalan yang sama untuk keluar dari tempat ini.

"Kau ...." Si gadis melompat ke kasur dan menggeram. "Bodoh. Apa kau tahu siapa dia?"

"Apa kau bisa berhenti bertingkah seperti kau ini tidak disadari kehadirannya oleh orang lain?" pekikku padanya. Setelah sial terkubur di salju, mendapat serangan kejut dari orang-orang aneh, ditambah dihampiri orang bermodel pembunuh, sepertinya jantungku sudah cukup keras berolahraga.

Si gadis memutar bola mata. "Aku memang tidak bisa dilihat orang lain selain kau. Itu makanya, kalau kau mendengarku bicara dan melihatku bertindak, tidak ada satupun yang memperhatikan."

"Tapi kenapa? Itu mulai terasa menyeramkan!"

Si gadis melompat turun, kemudian mencoba menggenggam kaca persegi besar yang menyandar dinding di meja. Dia mengangkat kaca itu dengan kedua tangan, masing-masing di kedua sisi vertikalnya.

Dia mengangkat itu, terhuyung sebelum menjatuhkan kaca tepat di depanku, di pinggir kasur yang empuk.

Seandainya kilat dan guntur menyambar, suasana niscaya akan lebih hebat. Rasa kegetku melemahkan seluruh tubuhku yang baru saja mendapatkan sebagian kekuatan. Tidak mungkin, gumamku seraya memandangi pantulan diri di cermin. Di sana memang ada sosok seorang gadis, enam belas tahun, tapi semua yang nampak di cermin berbeda seratus persen dari tampilan diriku.

Gadis di cermin itu bukan aku.

Dan tubuhku―ini juga bukan aku!

Kupandangi tangan, kemudian rambut, lalu kembali pada cermin. Siapa ini? Siapa gadis berambut kemerahan dan bermata biru ini?

Aku seharusnya tahu jawabannya, tapi aku ingin menyangkal. Sebab, aku tidak mengerti ilmu macam apa yang bisa membuat tampilanku saat ini menjadi seperti Vassa—dan si gadis cameo.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top