chapter 1

Salju ada di mana-mana ketika aku bangun. Sebelum membuka mata saja aku sudah tahu. Entah kenapa, hidungku selalu sensitif ketika berada di sekitar salju dan es musim dingin.

Namun, aku tidak yakin membicarakan bagaimana sensasi musim dingin bagiku sekarang adalah hal yang tepat. Tidak di saat kakiku hampir membeku di bawah gundukan salju. Seluruh tubuhku gemetar, hal normal yang terjadi bila hanya memakai gaun tipis selutut di tengah padang salju.

Pertanyaannya, kenapa aku bisa terdampar di tempat ini, dengan kondisi seperti ini?

Sesuatu yang kasar menembus salju dari kejauhan. Langkah kaki, kurasa. Suara seorang gadis juga menyusul tak lama kemudian. "ALICE!" Ya, Tuhan. Suaranya keras sekali meski suara kakinya terdengar jauh.

Aku berusaha bangkit dari pembaringan super dingin. Berhasil, hanya saja setelah itu aku tidak bisa melakukan apa pun. Mengeluarkan udara dari mulut saja rasanya sulit, seakan-akan paru-paruku sudah ikut membeku. Kakiku masih terbenam. Jika kupaksakan keluar, masih ada udara dingin yang kadang lebih ganas. Lagi pula apa yang bisa kulakukan jika kakiku kembali ke atas?

Aku berusaha melihat ke sana-kemari, memindai padang salju sembari berharap Serena ada di dekat sini. Aku sempat melupakan keluargaku, orang-orang yang berada di atas kapal yang sama denganku, saat mengetahui dingin mencengkeram tubuhku. Sebetulnya ini tidak masuk akal. Musim dingin mendadak di Miami? Di negara asalku saja musim dingin masih amat jauh. Dan bagaimana bisa aku terdampar di salju saat lautanlah yang tengah mengelilingi kapal?

"Alice!" Suara gadis itu kembali. Langkah kakinya semakin dekat, dan sekejap kemudian sosoknya muncul di balik bukit salju. Gadis itu entah kenapa mematung melihatku. Kami bertatapan, meski tidak yakin apakah kami bisa saling membantu. "Alice!" dia histeris lagi. Nadanya berubah, seakan telah menemukan apa yang dia cari-cari sejak tadi. "Astaga, terpujilah Tuhan. Shin! Alice di sini!"

Selagi si gadis berlari-lari menujuku, seorang pemuda yang juga terbalut jubah hangat muncul dari bukit. Dia menyusul si gadis dan keduanya segera tergopoh-gopoh layaknya penguin di kala air pantai menerjang.

Si gadis meluncur duduk di hadapanku, bahkan pipiku sampai ditangkupnya dengan kehangatan sarung tangan. Lupakan soal rasa nyaman di pipiku. Gadis ini jelas-jelas salah orang. "Kau mau mati? Kau gila? Di tengah salju begini tidak pakai baju hangat. Dan sudah tiga hari kau menghilang. Sinting!"

Aku mengerjap, hendak mengatakan sesuatu tapi si cowok berambut putih keburu menegur. "Vassa, hentikan. Dia baru saja ditemukan. Lebih baik segera melapor."

"Kau pergilah," kata Vassa. "Panggil semua bantuan kemari. Aku akan bantu Alice."

Shin melempar lirikan bak tanda ketidakpercayaannya padaku. Dia berdiri ragu-ragu, lalu berlari kembali ke bukit sambil sesekali memperhatikan kami. Agaknya dia khawatir kedua gadis ini tidak bisa menjaga diri lagi.

Tetapi aku tidak butuh perhatian semacam itu. Yang kubutuhkan sekarang adalah memperjelas bahwa ada kesalahpahaman di sini. Aku membuka mulut, "Maaf―"

Sesuatu tumpah bak air terjun ke gaun tipisku. Merah. Oh, tidak. Ini buruk.

Vassa si gadis asing menjerit. Kupikir dia bukan sejenis gadis yang takut melihat darah. Atau, mungkin keterkejutannya bukan bersumber dari cairan itu. Dia mungkin kaget melihat seseorang yang dia duga telah ditemukan kena masalah. Lagi.

Nama Shin bergema di sepenjuru padang salju. Aku melihat beberapa orang datang dari bukit, dipimpin oleh Shin sendiri. Tetapi ketika aku ingin bangkit, lari, dan meluruskan segala-galanya, orang-orang itu sudah menaikkanku ke tandu. Dan, seperti saat tubuhku begitu dingin diselimuti salju, aku kembali hilang kesadaran.

***

Sepertinya kesalahan di sini makin tidak masuk akal.

Aku sadar sejak Vassa memelukku dan membawaku ke tempat berfasilitas wah, jelas ada yang salah. Apa otakku yang kehilangan sesuatu habis mendengar guntur dan pingsan di kapal? Aku bahkan tidak ingat apa yang membuatku pingsan. Jangan-jangan memang benar, otakku bermasalah sampai melupakan sesuatu--melupakan Vassa.

Tapi mungkin juga tidak. Dari tadi, semua hal yang kutemui nyaris bukan seperti hal--hal yang biasa kutemui. Mereka tampak ... tua. Tidak terlalu tua, hanya setidaknya berasal dari 20 sampai 30 tahun lalu. Bentuk ruangan tempatku kembali sadar mengingatkanku pada kamar Harry Potter dan teman-temannya di Hogwarts. Perabotnya tidak modern, tapi berani bertaruh harganya pasti juga mahal. 

Yeah, mungkin saja orang yang memiliki tempat ini memang suka mengoleksi barang-barang abad 20. Banyak orang kaya yang melakukannya. Masalahnya, kalau mereka memang kaya, kenapa memandangku seakan kita saling kenal?

Terutama si Vassa. Dia dari tadi tidak capek mengoceh tentang bagaimana aku harus diselamatkan. Pria berjas putih yang sedari tadi bolak-balik dari mengecekku ke meja tempat alat-alat berbau memuakkan terlihat kesal. Dia direcoki oleh Vassa, dan itu membuatnya jengkel. Kutebak, dialah yang berjasa membuatku sadar.

"Vassa, kakakmu baik-baik saja. Kalau kau terus berisik di sini, dia bakalan pingsan lagi," kata pria itu.

Vassa merengut, lalu berpaling padaku. Kupikir dia bakal histeris. Untung, telingaku bisa dibuat tenang dengan kekalemannya.

Vassa tahu aku sudah membuka mata, meski lemah. Tadinya kesempatan ini ingin kugunakan untuk menjelaskan bahwa aku Liesl, dan aku tidak kenal dia. Haha, kayak mudah saja.

Saat mencoba memuka mulut, aku terbatuk-batuk. Sekujur tubuhku mendendangkan lagu sakit yang tidak ada ampunnya. Belum lagi Vassa mulai mencerocos. "Kak," katanya. "Kau sebaiknya terus ada di tempat tidur sebulan. Akan kutempatkan banyak pengawal di depan kamar dan di bawah jendela. Tidak usah banyak bergerak. Aku tahu kau ingin minta pekerjaanmu yang tiada habisnya itu. Tapi sekarang tidak. Semua itu sudah kusembunyikan hingga kau tak bisa menyentuhnya."

Dia ngomong apa, sih?

"Kakakmu pasti sudah stres sekarang." Aku sepakat dengan si dokter. Aku lelah dengan dingin yang tidak ada ujungnya, ditambah cerewetnya seorang gadis asing. "Keluarlah, Vassa. Tunggu saja orang tuamu sebentar lagi."

"Akan kutunggu kalau kau juga ikut denganku." Vassa punya trust issue yang merepotkan dalam artian lain. Aku juga mengalaminya, tapi energiku tidak rela terbuang sia-sia untuk menyatakan itu. Aku cukup perlu menghindari orang-orang, lebih banyak diam, dan mengekspresikan ketidakpercayaanku dalam gestur tubuh.

"Aku bahkan tidak memiliki waktu sebanyak dirimu untuk menerima ceramah adikku tersayang, Vassa. Rumah sakit selalu sibuk, tahu?" ucap si dokter.

Dia pergi dari meja penuh obat-obatan ke pendiangan di depan tempat tidurku. Api di sana masih besar, dan boleh dibilang itu satu-satunya alasanku suka di sini. Hangat. Si dokter mengecek apakah pendiangan tersebut baik-baik saja.

Vassa berdecak. "Mama  tidak akan bicara banyak. Dia hanya ingin memberitahumu untuk menyelamatkan pewaris Rosafin dengan benar."

"Aku belum pernah gagal."

"Jangan sombong," kata Vassa. "Aku juga belum pernah gagal sebelum saat ini."

Entah kenapa, aku merasakan tatapan Vassa meredup meski ekspresinya tidak berubah. Dia mengetuk-ngetukkan satu jarinya pada jendela. Kakinya digerakkan secara acak. Semua itu sempurna untuk membentuk gestur panik jika dia menggigit bibir atau kuku.

Sedari tadi, yang bicara memang hanya mereka. Namun, di ruangan ini sebetulnya ada empat orang. Terpisah dari kami bertiga, seorang gadis lainnya bersandar pada dinding di samping perapian. Rambutnya kemerahan ditimpa cahaya api, kira-kira panjang seperti Vassa. Aku tidak melihat matanya sebab dia terus mengarahkan pandangan ke pintu, atau lantai sesekali. Pakaiannya merupakan kombinasi yang bagus, tapi bukan seleraku. Kaus lengan panjang, celana hitam se-mata kaki, dan jas hitam yang dibiarkan menggantung di pundak.

Gadis itu sepertinya seumuran Vassa, dan aku, tapi nampak lebih tua berkat caranya berdandan. Mirip orang kantoran. Anehnya, Vassa dan si dokter seperti tidak memperhatikannya.

Sesuatu menyentuh dahiku, rupanya tangan si dokter. "Baguslah. Besok pagi dia pasti sudah bisa bangun dan makan bubur."

"Uh, aku menantikannya," kata Vassa. Dia tersenyum jail. "Kau ingat terakhir kali Papa dan Mama mencekokimu dengan bubur, Alice? Kurasa besok bakalan terjadi lagi."

"Hush," ujar si dokter. "Kau selalu mengusilinya." Dia membetulkan alat-alat dan obat di meja setelah mengecekku, memasukkan segalanya dalam sebuah tas yang entah bagaimana bisa menampung semua itu. Kemudian, dia tersenyum padaku. "Dah, Alice. Paman tunggu kabarmu besok, Sayang. Selamat tidur."

Vassa membuntuti ketika dokter itu hendak keluar. "Mimpi indah, Alice. Tenang, kali ini kau takkan hilang dua kali."

Ya, sudahlah. Mau bicara apa pun juga tidak bisa. Lebih baik aku tidur, menikmati hangat perapian. Besok pagi, sebelum bubur datang, aku akan menyelinap kabur.

Aku sudah hampir menghenyakkan diri ketika sadar si gadis berjas tidak ikut keluar. Vassa dan si dokter melewatinya begitu saja. Seolah-seolah si gadis cuma pigura. Tidak. Bukan itu. Lebih seperti si gadis tidak ada di sana.

Bunyi pintu tertutup tidak serta-merta menenangkanku. Malah, itu membuatku merasa aku sedang dijebloskan dalam bahaya lain. Ruangan ini seolah menyempit dengan kehadiran si gadis. Dinding marun berpola daun musim gugur terlihat seperti cat terkelupas. Sesak kembali menyelimuti paru-paruku, dan api tidak lagi memengaruhi suhu.

Ketika si gadis menatapku, petir seolah menyambar dari luar jendela. "Tampaknya saudariku yang berisik sudah selesai berceloteh," katanya. Apa-apaan?! Suaranya sangat mirip dengan Vassa, hanya berbeda nada. "Jadi, siapa kau?"

Dan bukan hanya suaranya saja. Jika dilihat baik-baik, ukiran wajahnya serupa dengan Vassa.

"Aku penasaran roh orang mati mana yang tiba-tiba membuat tubuhku hidup lagi," dia melanjutkan. "Siapa kau?"

- SNOWMAN -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top