Extra Part 02.

Assalamualaikum! Ecieee... komen part sebelumnya tembus 500!
Meski aku tahu beberapa malah spam, ya gapapa di maafin namanya juga usaha.
Pasti kepo kan sama lanjutannya? 
Iyakan?
Ngaku hayo?
Kepo?
Atau .. kangen?
Yaudah palingan intronya gak di baca, pasti langsung mau tahu lanjutannya kan?
Yaudah oke, nih aku kasih tahu spoiler lanjutannya ya.
Terima kasih masih mau mampir, mangga atuh di baca ceritanya.

***

Apa kau pernah membayangkan seseorang yang kau kagumi merasa cemburu padamu?
Apakah itu mustahil?

Pagi itu sama seperti biasanya. Aku mengemudikan mobilku dari apartement menuju kantor. Butuh waktu sekitar lima belas menit jika jalanan tidak macet. Sedekat itu memang dari Tebet menuju SCBD.

Kenapa harus naik mobil? Apa lagi jika bukan karena tiga tetangga apart ku yang ikutan nebeng alias barengan.

Sampai di kantor semua masih sama, kerja kerja dan kerja. Gak ada hal yang lain dari hari lainnya.

Dan hari itu juga, pesanan gitar aku sampai ke kantor. Ada empat gitar akustik yang sengaja ku berikan alamat kantor, untuk di antarkan malam ini sehabis pulang kerja.

Rencananya, aku dan teman-teman satu fandomku akan bermalam sabtu di sebuah rumah yang biasa kami kunjungi setiap akhir pekan, atau kalau lagi sama-sama sibuk, minimal kita harus mampir sebulan sekali.

Sebuah rumah kecil dengan halaman luas yang kami buat atas nama cinta. Sebuah rumah tempat berteduh dan berlindung dari panasnya ibu kota atau derasnya hujan.

Sebuah tempat dimana kami bisa saling berbagi dan bercerita.

"Ra," panggil temanku dari sebrang kubikel.

"Kenapa Sel?" tanyaku padanya. Namanya Sela.

Dia teman satu apartku. Tepat bersebelahan kamar, dan kami mengenal karena sama-sama satu kantor. Sela yang memberi tahu ku apartement yang sekarang aku tempati. Strategis dan harganya terjangkau.

"Nanti malam boleh ikut gak?"

Aku membesarkan kedua bola mataku.

"Hah? Sejak kapan lo suka main ke rumah sana?"

"Gapapa, pengen ikut aja. Lagian Zulfa gak jadi ikut kan?" Tanya nya.

"Tahu dari mana dia gak bisa dateng malam ini?" tanyaku.

"Ya pokoknya tahu."

"Bebas kok, boleh aja kalau mau ikut. Seneng malah, bisa ada temen bawain barang, hehe."

"Jadi belanja dulu?" Tanyanya lagi.

"Iya, nanti ke K-mart Wijaya ya."

"Siap bu bos!"

"Apaan sih," tawaku.

"Ya kan sebentar lagi di angkat jadi wakil direktur." Ledeknya.

Aku segera melemparkan pensil mekanikku padanya, "Shhht... gossip aja!"

"Ya abis jadi manager jadi apalagi dong? Kan kemarin udah di panggil pak bos."

Aku melengos melirik isi ruangan yang untungnya memang sedang sepi karena jam makan siang.

"Gue pergi dulu deh, dah di tunggu di bawah."

"Siapa? Cowok ganteng kemarin ya?" tanyanya.

Aku hanya meringis kemudian melambaikan tanganku.

Hanya butuh waktu singkat untuk menuruni lift dari kantor hingga ke loby. Namun sebelum tiba pada lantai yang ku tuju, lift terhenti di lantai 4.

"Zahra," panggilnya kemudian masuk ke dalam lift.

"Siang Pak." Panggilku pada pria yang kini berdiri di sebelahku.

"Mau makan siang?"

"Iya pak." Jawabku.

"Dimana?"

Aku segera mengangkat kedua alisku, tumben banget sampai tanya, "Claypot popo paling pak."

"Sabang?"

Aku mengangguk lagi.

"Sendiri?"

Sumpah. Iseng banget Pak Dikta nanya detail begini.

"Sama temen pak,"

Ting.

Beruntung lift sudah tiba di lantai dasar.

"Duluan ya pak."

Kataku terburu-buru sembari melangkahkan kakiku dengan cepat sebelum pertanyaan lainnya segera meluncur.

Tak jauh dari pintu masuk, seorang pria berkaos putih berdiri mengenakan topi dan masker. Dengan tinggi badannya yang dan warna kulit nya yang seperti susu, sudah pasti setidaknya akan membuat semua orang yang melewatinya menengok ke arahnya.

Kenapa juga janjian di kantor, padahal sudah ku bilang tunggu di starbucks aja bisa. Apalagi dengan pakaiannya...

"Maaf lama ya."

Ia menggeleng segera, "Lapar."

Aku mengangguk segera dan mengajaknya ke basement untuk mengambil mobilku.

"Ketemu?" tanyaku tiba-tiba.

"Hm?" tanyanya bingung.

"Sama yang kau cari."

Dia mengerutkan keningnya.

"Katanya hari ini mau cari sesuatu?"

"Ah," ia menepuk tangannya, "Belum."

"Mau di bantu?"

Dia segera menggeleng.

"Hyaa... Oh Sehun..." panggilku begitu ia ingin membuka pintu kanan mobil.

"Kenapa?"

"Ini di Jakarta, aku supirnya."

"Aku ingin membukakan pintumu." Katanya terkekeh.

Aku menggeleng, "Ck, alasan yang bagus." Tawaku kemudian.

Aku mengendarai mobilku keluar dari gedung, kemudian melewati jalan gatot subroto.

Tempat makan yang kami tuju sangat kecil, bukan sebuah restaurant mewah, pertama dikenal di awal kemunculan Pasar Santa.

Pertama kali coba, waktu jam makan siang di kantor. Cobainnya juga gak langsung di tempatnya, melainkan delivery. Awalnya yang aku coba adalah menu aneh bin ajaib, karena pucat hanya ada warna putih dari misua, atau terlihat seperti bihun biasa. Dan benar aja, jangan liat dari covernya, karena ternyata super ajaib rasanya enak banget.

Usai memarkir mobil, karena udah lewat jam makan siang tempatnya gak begitu ramai. Ini alasan aku pergi lewat dari jam 12. Untungnya di kantor jam makan siang itu gak baku, selama pekerjaan tidak terganggu dan gak lebih dari 1 jam, izin istirahat jam 4 sore juga gak papa asalkan gak punya penyakit maag.

"Disini?" Tanya Sehun begitu kami tiba di sebuah tempat kecil dengan pintu dan jendela hijau tua yang sudah menyambut.

Aku mengangguk, mengajaknya masuk dan duduk di salah satu sudut ruangan.

Menu yang di hidangkan disini adalah makanan chinese yang di sajikan di mangkuk panas.

Ketika makanan datang, dan Sehun menatapnya, aku sudah bisa menebak raut wajahnya yang bertanya-tanya.

Kenapa harus makan siang disini?
Kenapa harus makan mie?
Kenapa mangkuknya kecil?

"Coba dulu aja," tawaku menatapnya, "Selamat makan."

Aku segera meraih claypot misua tahu telur asin, melahap kelembutan misua dengan baluran tekur asin dan crispynya tahu menyelamatkan rasa laparku siang ini.

Sehun mengikutiku untuk melahapnya menggunakan sumpit yang juga di sediakan.

"Hmmm..."

Ia membesarkan kedua matanya, kemudian berhenti sejenak saat suapan pertama.

"Enak?" tanyaku.

Ia mengangguk, dan tanpa di jeda sepatah katapun melahap dengan cepat isi yang ada di mangkuknya.

"Pelan-pelan aja." Tawaku.

Sehun menganggukan kepalanya.

"Nanti malam aku mau ke rumah angkasa. Tempat anak-anak kurang mampu tinggal, sepertinya aku pernah menceritakannya padamu." Aku meletakkan sumpitku, "Aku baru saja membelikan mereka gitar. Farhan, salah satu anak yang tinggal disana punya ide untuk membuat acara di rumah. Jadi mereka mau buat pentas seni untuk donatur yang sudah menyumbang. Pasti seru."

Sehun mengangguk, mendengarkan.

"Tahun ini kita mau buat lantai dua untuk rumah angkasa, sekarang kan cuma ada enam kamar, total 24 anak. Tiap beberapa bulan, anaknya terus nambah. Belum lagi yang tambah besar kan?"

Sehun kembali mengangguk.

"Nah, nanti lantai dua nya mau tema astronomi. Langit-langitnya kita lukis gambar bulan dan bintang. Pasti seru!"

Kini Sehun meraih gelasnya.

"Bayangin di rumah angkasa, anak-anak yang tinggal nantinya bisa lihat bulan bintang di Jakarta. Sekarang di langit susah lihat bintang, karena kota ini sudah terlalu terang. Hm... terakhir lihat bintang itu di Lombok, bagus banget. Kau harus ke sana."

"Bersamamu?" katanya.

Aku terkekeh, "Boleh kalau aku libur." Kemudian aku ikut menenguk minumanku.

Sehun meraih ponselnya, dan mengetik sesuatu.

"Masih ingat awal cerita aku bangun rumah angkasa?"

Sehun terdiam sejenak, kemudian menoleh menatapku.

"Karena kami?"

Aku mengangguk segera. "Karena EXO."

Sehun tersenyum kemudian mengelus kepalaku dengan lembut.

"Anak pintar." Ledekknya.

Aku segera mendengus, "Aku bukan anak-anak lagi."

"Oh ya, sudah siap menikah." Tawanya.

Aku mengerutkan keningku, "Menyebalkan."

"Kau suka makan siang disini?" Tanya nya mengalihkan pembicaraan.

Aku menggeleng, "Tidak di tempatnya, biasanya pesan untuk di kirim ke kantor."

Sehun mengangguk, "Enak."

"Benerkan? Enak! Jadi jangan salah, walaupun tempatnya kecil dan kelihatannya biasa saja, rasanya enak."

Ia meringis.

"Nanti jika kau ke Seoul, aku akan mengajakmu makan yang enak."

"Kapan?" tanyaku.

"Kau ingin kapan?"

"Besok?" tawaku.

"Eiy... jangan kaget jika tiba-tiba aku membawamu besok ke Seoul."

Aku segera menunjukknya, "Jangan coba-coba!" Ck, aku melipat kedua tanganku ke dada, "Aku akan segera di promosikan naik jabatan, jadi harus bekerja lebih giat. Seperti nya belum bisa dalam waktu dekat ini."

"Satu bulan?"

Aku menggeleng, "Lebih dari tujuh bulan."

"Tiga bulan?"

Ckck, "Kenapa bisa di tawar-tawar?"

Ia tertawa, "Terlalu lama tujuh bulan."

"Kenapa harus cepat-cepat?" heranku.

"Takut aku rindu padamu."

Hahahaha, "Hampir saja kau berhasil membuat wajahku merona."

"Memannya sudah tidak?"

Aku menggulum bibirku sejenak, "Kapan ya terakhir kali kau membuat jantungku berdegup kecang?" aku pura-pura berpikir.

"Saat aku muncul di depan kantormu?"

Aku menggeleng, "Sebelum itu sepertinya, terakhir kali saat kita bertemu di Tokyo? Tapi itu juga sebentar sekali, sudah berapa tahun berlalu?"

"Aish! Kau tahu siapa aku? Oh. Se. Hun! Kau tidak berdebar saat di dekatku? Bohong."

"Sehun Oppa," panggilku, "Apa pernah aku membuat jantungmu berdebar?"

Ia tak langsung menjawabnya. Ia terdiam beberapa saat sebelum ku Tanya lagi.

"Oke, oke. Aku tahu, pasti tak pernah kan?" tawaku.

"Apa?"

"Jadi, jangan mencoba membuat jantungku berdebar. Memberi harapan palsu itu tidak baik."

"Harapan?"

"Iya," aku mengambil sumpitku lagi, kemudian kembali ingin melahap makananku.

Sehun memajukan kursinya. Sehingga tubuhnya mepet dengan meja di hadapanku. Tangannya menggapai belakang kepalku dengan cepat. Ia mengikat rambutku dengan gelang karet yang ada di pergelangan tangannya.

"Rambutmu bisa kotor." Katanya kemudian memundurkan tubuhnya lagi.

Aku sempat terdiam sejenak sebelum menyadari apa yang baru saja terjadi.

"Oh.. hm.. terima kasih." Balasku dengan cepat dan segera melahap makananku.

Ia menopang dagunya dengan kedua tangannya, kemudian menatapku.

"Apa?" tanyaku setelah berhasil menelan.

Ia menggeleng, "Lanjutkan saja makannya."

Aku menaikkan sebelah alisku.

"Aku sudah selesai. Aku bayar dulu." Kataku segera beranjak dari meja.

Sehun tak mengelak, ia menunggu ku di meja makan. Sampai aku menghampirinya lagi dan mengajaknya pergi untuk kembali ke mobil.

Ia membukakan kembali pintu mobilku. Saat aku masuk dan duduk, dia dengan cepat meraih seal belt dan menekan milikku dengan tangan panjangnya.

Aku lebih baik melihatnya cengegesan alias tertawa atau menangis sekalian di bandingkan melihat tatapan diam nya, sungguh. Bayangkan wajah tegasnya itu menghadapku dan kedua matanya menatapku dengan tajam.

Aku takut akan gila.

"Habis ini langsung kembali ke kantor?" katanya tiba-tiba.

Aku mengangguk, "Ya. Kau mau ku antar pulang?"

"Antar aku ke FX Sudirman."

"Ah, kau mau ke kantor?" tanyaku.

Ia mengangguk. "Nanti malam aku akan ke kantormu lagi."

"Hah?" kagetku. "Kenapa?"

"Aku akan ikut ke rumah angkasa."

**

Sore itu ternyata turun hujan. Sejak jam empat sore gerimis kecil berkepanjangan menyerbu jalanan ibu kota.

Aku menatapi tetesan yang menyentuh jendela kaca.

"Kalau masih hujan, bakalan ribet nih nurunin barang-barang ke rumahnya." Celetuk Sela.

Aku mengangguk, "Semoga nanti malam gak tambah deras."

Namun kenyatannya hujan masih menguyur Jakarta. Pukul lima sore, jam pulang kerja Nana, Sela dan Jesi sudah menungguku di loby. Kita akan menuju loading dock baseman untuk mengambil gitar dan memasukkanya ke bagasi mobil.

Setelah meletakkan gitar ke dalam bagasi. Nana dan Jesi bergegas menuju mobil mereka masing-masing, sedangkan Sela ikut bersamaku.

"Cus buruan deh keburu macet nih sore ujan pula." Kata Sela mendorong bahuku dengan cepat.

Aku mengangguk, "Sel, nyetir ya. Ujan gue gak berani." Tawaku.

Sela mengangguk, "Iye iye tenang."

Kami bergegas memasuki mobil, tak lupa bersamaan dengan mobil Nana dan Jesi.

Nana dan Jesi beda kantor denganku. Nana di lantai 21, sebuah kantor Public Relations, sedangkan Jesi berkantor di lantai 10 perusahaan asuransi.

Apa yang membuat kami saling mengenal? Lucunya karena kami pernah bertemu saat nonton konser di Jakarta, jauh sebelum aku bisa pergi ke Korea dan bertemu dengan member EXO. Lucu bukan? Apakah mereka tahu kisahku, tentu saja. Seluruh Indonesia mengetahuinya. Apa aku terkenal? Iya, saat itu. Apa aku di undang ke berbagai media? Iya, namun aku menolaknya. Tak perlu ada yang harus ku ceritakan pada penonton yang begitu terpesona dengan highlight berita "bertemu member EXO" dibandingkan dengan kisah tragis kami, beritanya jelas di siarkan oleh media Korea Selatan, mulai dari sebab kecelakaan hingga penyelesaian masalah. Jadi tentu saja aku tak perlu menerjemahkannya ke bahasa Indonesia kan?

Aku benci saat setelah kejadian itu? Tidak. Aku tidak membenci apapun. Aku hanya merasa harus menjalaninya.

Tentu saja rasa bersalahku pada keluarga Almarhum sahabat-sahabatku yang meninggal disana. Aku menjelaskannya kepada keluarga mereka, meskipun pihak kedutaan telah menjelaskannya.

Aku sama sekali tidak melupakannya. Setiap tahun kala tanggal kejadian itu, aku pergi ke sebuah tempat yang dibuat khusus oleh keluarga sahabatku. Sebuah kuburan kosong bernisan kedua sahabatku. Mayat mereka tidak di temukan, runtuhan jembatan saat itu sangat kacau membuat banyak mayat tertimbun di dasar laut.

Aku bahkan masih mengingat dengan jelas rangkaian kejadian hari itu. Terkadang, jika ruangan yang ku tempati terlalu dingin, aku bisa terdiam membisu dan ketakutan. Suhu di ruangan tak boleh lebih dari 19 derajat celcius. Kejadian itu membuatku takut pada beberapa hal.

TIN!!!

"Gila ya orang naik motor gak pake mata!" teriak Sela membuat lamunanku lenyap.

Sela menengok wajahku sekilas.

"Eh sorry sorry."

"Gapapa Sel." Kataku segera, "Sumpah ni lagu bikin gue bengong." Tawaku mendengarkan lagu yang di putar radio saat itu.

"Yahhh... biasa, tulus kan spesialis lagu bersama hujan." Tawa Sela.

"Dimanapun kalian berada...
Kukirimkan terima kasih..
Untuk warna dalam hidupku"

"Dan banyak kenangan indah..
Kau melukis aku.."
sambung Sela melanjutkan bernyanyi bersama.

"Sel, mampus!" kataku menepuk jidat.

"Hah? Kenapa deh?" Tanya Sela.

"Gue lupa banget!"

"Iya, lupa apa?" Tanya Sela lagi.

"Sehun!" aku segera meraih ponselku. "Bodoh banget gue, astaga... sumpah sih.. duh!!! Sel, berenti di depan tuh halte situ tuh."

"Apaan sih? Sumpah ngomong yang jelas."

"Cari puter balik deh," kataku kini meraih ponsel dan mencari nomor Sehun.

"Kenapa, coba jelasin dulu, jangan ngaco ini udah jauh. Mau kemana?"

"Sehun tuh mau ikut. Gue lupa, dia bilang mau ke kantor!"

"Elah amsyong!" kesal Sela, "Gini nih udah tua banyak yang di pikirin. Jangan gila dah lu Ra, suruh naik taxi buruan."

Aku mengigit bibirku, "Duh gak di angkat telepon gue."

"Chat dulu, kirim location aja, suruh naik taxi. Banyak duit dia, jangan suruh gue nyetir balik ke kantor ya!" kata Sela.

Aku mengangguk mengikuti perintahnya.

"Duh gue aja lah jadi bos." Tawanya.

"Sial lu Sel," kata ku ikut tertawa, sembari mengetik sesuatu ke Sehun.

"Marah gak tuh dia nanti?"

"Sel, jangan buat gue mikir dia marah nih, gawat dia kalau udah ngambek, gue bisa pusing."

"Ya dia gak ngambek aja gue pusing."

"Hah?" tanyaku.

"Ya dia ngomong biasa aja gue pusing. Mana paham gue bahasa Korea." Tawanya kemudian.

"Yeu, garing!"

**

Aku menunggu di depan pagar sembari membawa payung. Ragu jika Sehun memiliki payung dan dia akan kehujanan turun dari taxi.

Hujan nyatanya turun lebih deras di rumah angkasa.

Lebih dari dua puluh menit hingga sebuah taxi berhenti tepat di depan pagar rumah.

Ia membuka pintu nya, membuatku bergegas maju untuk memayungi. Malam itu ia mengenakan jaket jeans biru muda dan topi putih.

Ia meraih gagang payung dan berdiri tegap kemudian menutup pintu taxinya. Aku segera membuka satu payung lagi yang ku genggam.

"Satu payung saja." Katanya membuatku mendengakan wajahku ke atas menatapnya.

"Apa?" tanyaku.

Ia mengambil payung di tanganku kemudian menyuruhku berjalan.

"Gak muat Hun!" kesalku.

Payung kami tak cukup besar, maka dari itu aku membawakan dua payung. Lagi pula ia cukup tinggi dan mempunyai punggung yang lebar.

"Shhht!" katanya tetap melangkah membuat langkahku tertinggal sedikit.

Sampai di depan teras rumah, ia menutup payung nya dan menengok ke berbagai arah. Biar ku tebak, ia pasti mencari tempat payung kan?

"Sini," aku meraih payung yang baru saja ia tutup, "kalau di sini di buka aja dulu, sampai kering."

Ia memperhatikanku membuka kembali payungnya dan ku letakkan di teras.

"Tunggu." Katanya begitu aku ingin meraih pintu untuk masuk.

"Kenapa?"

"Minta maaf."

Aku menghela napasku, "Lagi?"

Padahal aku sudah meminta maaf melalui pesan.

"Maaf aku melupakanmu."

"Dan?" tanyanya.

"Apa lagi?" heranku.

"Sudah menunggu di sana." Katanya menunjuk pagar.

"Ah..." aku mengangguk, "Gapapa, kan memang hujan, jadi aku menunggumu disana."

Ia menggeleng, "Kau bisa kena flu." Ia melepaskan jaketnya, kemudian mengenakannya padaku.

Aku membesarkan kedua bola mataku.

"Kalau begitu harusnya kau mengizinkanku membuka payung satunya, jadi aku tak akan kehujanan." Kesalku.

Ia tertawa, "Aku ingin sepayung berdua denganmu."

Aku memutar bola mataku.

"Ayo masuk, semuanya sudah menunggu."

Aku mendorong lengannya untuk beralih tidak lagi menghadapku.

Kami memasuki ruang tamu, dimana semua penghuni termasuk Nana, Sela dan Jesi sudah menunggu.

"Halo semuanya," kataku menyapa.

"Halo." Balas semuanya.

"Perkenalkan tamu malam ini, Sehun Ahjussi." Tawaku.

Sehun segera menyenggol lenganku.

"Hya!"

"Kenapa? Benar kan?" tawaku.

"Halo Sehun Ahjussi." Panggil beberapa anak yang telah bersemangat.

Aku tertawa melihat wajah Sehun yang memerah.

"Bercanda! Emangnya masih seaneh itu di panggil Ahjussi? Kan kau sudah tua." Tawaku.

Ia mendengus sebal kemudian menggaruk belakang kepalanya.

"Halo, se... lamat malam." Katanya dengan bahasa Indonesia.

"Wooo.. kau belajar bahasa Indonesia?" tanyaku sembari mengangkat kedua alisku.

"Selamat malam!" balas semua penghuni.

"Nama saya... Sehun." Lanjut nya dengan bahasa Indonesia, "Salam... ke..nal ya. Terima cash."

"Terima Kasih!" tegasku.

"Terima kasih." Kata Sehun memperbaiki.

Semua penghuni bertepuk tangan kemudian berdiri dan menghampirinya.

Halo saya Farhan,
Halo saya Dodit,
Halo saya Amira,
Halo saya Alwi,
Halo saya Tita,
Halo saya Amel...

Semua penghuni yang rata-rata masih berada di Sekolah Dasar sedang mengerubungi Sehun. Ia sedikit bingung namun tertawa senang dengan sambutan itu.

"Ini Ibu Irma yang jaga di rumah ini, dan ini suaminya, Bapak Sugeng." Kataku memperkenalkan. "Anaknya yang itu.." aku menunjuk dua anak bergantian, "Alwi dan Amel."

Ibu Irma dan Bapak Sugeng bersalaman dengan Sehun.

"Dan ini temanku, Sela, kami satu kantor," kataku memperkenalkannya.

"Halo, Sela cantik." Kata Sela menjulurkan tangannya.

"Halo Sela cantik." Panggil Sehun.

"Iya makasi ganteng."

Aku segera menoyor lengan Sela sembari memelototinya.

"Bercanda sayang- eh, Sehun maaf."

Sehun yang tak mengerti hanya menaikkan kedua alisnya.

"Gapapa, dia bercanda aja." Kataku menjelaskan pada Sehun.

Sehun hanya mengangguk sembari memberikan senyumannya.

"Ini Nana dan Jesi, mereka penggemar EXO. Kita bagun rumah ini bareng-bareng." Kataku memperkenalkan.

Sehun segera membungkuk berterima kasih membuat Nana dan Jesi salah tingkah.

"Astagfirullah, mimpi gak sih?" bisik Nana.

"Puji Tuhan udah di berikan umur sampai hari ini." Bisik Jesi.

Aku menahan tawaku dengan membekap mulutku kemudian

"Hallo, Terima kasih." Kata Sehun kembali membungkukan pungungnya.

"Iya, halo. Oppa ganteng banget!" kata Nana pakai bahasa Korea.

"Oppa betul-betul seperti malaikat." Tambah Jesi juga dengan bahasa Korea.

Mereka bisa menggunakan bahasa Korea, membuat Sehun membesarkan kedua bola matanya terkejut.

"Kalian juga cantik, seperti hati kalian." Puji Sehun.

Nana dan Jesi saling memukul bahu tak tahan dengan godaan Sehun, dan aku hanya bisa menggelengkan kepalaku berkali-kali. It's okay, mungkin jika jadi mereka hal itu akan terjadi padaku.

"Oke..." kali ini aku mengalihkan pandanganku pada anak-anak yang sudah berkumpul. "Farhan sudah ambil gitarnya?"

Farhan mengangguk. "Sudah di kasih tadi sama kak Nana."

"Farhan bisa main gitar?" tanyaku.

"Kita udah panggil guru main gitar, nanti anak-anak bakalan di ajarin dia, mungkin bentar lagi dateng." Nana menambahi.

"Guru...?" aku mengerutkan keningku.

Nana dan Jesi mengangguk cepat.

"Kok gue gak tahu?" Tanya ku bingung.

"Ide nya Sela." Kata Nana membuatku menoleh.

"Gak papa, dia sukarelawan kok." Tawa Sela. "Tenang aja."

Aku mengangguk meskipun bingung.

"Ehiya, sambil kalian ngobrol-ngobrol, gue izin keliling ya anterin Sehun." Kataku di jawab dengan anggukan ketiganya.

"Silakan bu bos," ledek Sela.

"Bu, Pak, permisi ya." Aku meminta izin Ibu Irma dan Pak Sugeng.

Aku melangkahkan kakiku bersama dengan Sehun. Kami melewati ruang tamu yang cukup luas tanpa kursi, hanya karpet lembut yang menyambut. Setelah melewati pintu pertama, disanalah ada beberapa pintu kamar, masing-masing sisi memiliki tiga pintu kamar.

"Satu kamar ini isinya 4 kasur, jadi ada 4 orang yang tinggal di sini." Kataku.

"Atapnya?" Sehun menatap langit-langit kamar.

"Iya, ada temenku yang bisa lukis gitu, jadi ku minta dia gambar awan sama matahari."

Sehun mengangguk.

"Kalau ini?" Tanya Sehun tiba di kamar kedua.

"Pelangi." Jawabku singkat.

"Iya tahu. Kenapa?"

"Tunggu sampai kamar ke enam, aku jawab."

Dan kami akhirnya tiba di kamar terakhir, kamar ke enam dengan tema planet. Jajaran tata surya terlukis di atap kamar.

"Jadi..." Sehun menatapku, "Kenapa semua tema atap kamarnya benda yang ada di langit? Mulai dari matahari, pelangi, planet-planet?"

Aku mengangguk, "Kali ini aku baru menciptakan langit pagi atau usai hujan, nanti lantai dua akan ada langit malam."

Sehun berjalan masuk dan duduk di salah satu kasur.

"Rumah angkasa." Kataku. "Angkasa itu sangat luas, kita bisa mempunyai harapan seluas angkasa. Mengantungkan cita-cita setinggi itu. Aku ingin mereka bisa percaya untuk meraih impian mereka tanpa takut pada apapun di dunia ini. Selama perjalanan yang mereka lalui benar, mereka tak perlu takut."

"Kau juga?"

Aku menggeleng, "Aku akan merasa bahagia jika impian mereka menjadi nyata. Sebelum terlambat bermimpi, kita harus mencoba menulisnya sejak sedini mungkin, sejak masih kecil sebelum semuanya terlambat. Jangan hanya karena mereka tak punya uang, tak punya rumah, tak punya orang tua, mereka tak bisa bermimpi. Aku menciptakan rumah ini bersama teman-teman lainnya, untuk memberikan kesempatan untuk mereka, memperoleh kasih sayang dan kehidupan yang layak. Karena bukan salah mereka dunia ini tercipta dengan banyak ketidakadilan, juga dengan banyak perbedaan. Namun dari banyak hal kesedihan itu, masih ada kami, yang akan mejaga mereka, dan kami percaya, kami bisa memulainya."

Sehun mendekat menarik tanganku membuatku terduduk di sampingnya.

"Kau sudah bahagia?" tanyanya.

"Dengan rumah ini?" aku melipat kedua tanganku ke depan dada, "Perjuangan kami masih panjang. Ada 24 mimpi yang harus di bimbing." Tawaku.

"Berapa jumlah donatur totalnya?"

"Ku rasa selalu berubah, dan bertambah. Namun kami punya pengurus inti, selain aku ada 10 orang yang benar-benar mengurusi segalanya, mulai dari pencarian dana, mengelola makanan, memantau keadaan rumah, membantu penghitungan gaji Ibu Irma dan Pak Sugeng, memperhatikan tanaman, dan tentu saja membimbing sekolah mereka."

"Juga acara tiap tahun setiap hari Anniversary EXO?" Tanya Sehun.

"Ah ya, aku sudah menceritakannya. Kami para penggemar EXO akan berkumpul di lapangan depan tadi atau di ruang tamu untuk menggelar acara, pernah juga jalan-jalan ke taman wisata. Para penggemar menggalang dana setiap saat, mereka juga menjadi donatur resmi, kami sangat baik mengelola rumah ini. Seperti kalian yang memiliki planet sendiri bernama planet EXO, kami juga memiliki kalian, karena kami adalah pemilik angkasa." Tawaku.

Sehun mengusap kepalaku, "Kau memang yang terbaik."

"Ck ck," aku mengangguk, "Aku memang hebat dalam memanfaatkan ketenaranku saat itu." Tawaku.

Saat aku terkenal dengan kejadian itu. Aku memang tak mau di wawancarai, tapi aku memanfaatkan social media dengan memberi tahu bagaimana perjuangan member EXO untuk bertahan hidup.

Aku membuat banyak tulisan tentang bagaimana kita harus bersyukur untuk kehidupan kita.

Kemudian aktif dalam berbagai gerakan, seperti menanam pohon, berkunjung ke panti, hingga akhirnya terciptalah sebuah ide untuk membangun rumah angkasa.

"Aku memesan makan malam untuk semuanya." Kata Sehun tiba-tiba.

Aku segera berdiri.

"Hah? Kapan?"

Ia tertawa, "Aku bertanya dengan staf perusahaanku, lalu mereka menyarankan mengirimkan makanan ayam KFC agar praktis. Aku sudah beri tahu alamatnya, dan minta tolong untuk mengirimkannya."

"Woo.. Oh Sehun... kau sudah sangat dewasa dan penuh kejutan." Tawaku meledek.

"Aku tak akan menyerah membuatmu tetap meyukaiku." Tawanya mengacak rambutku dan bergegas ke luar kamar.

Aku terdiam mematung melihat punggungnya menghilang setelah keluar dari kamar begitu saja.

Pukul 7.00 malam, kami berkumpul di ruang tamu sembari bercengkrama. Sehun sibuk menjawab beberapa pertanyaan anak-anak sedang aku menjadi penerjemah dadakan.

Tok tok.

"Oh, makanan nya udah dateng kali ya." Kataku bicara sendiri.

Aku segera berjalan menuju pintu.

"Malam." Sapanya.

"Pak Dikta?!" kataku terkejut melihat kehadirannya.

"Zahra, udah di luar kantor kali. Masih aja panggil pak!" ia tersenyum ramah kemudian menoleh ke belakangku, "Kirain salah alamat, Sela ada di dalem?"

"Hm?" tanyaku bingung.

"Siapa Ra?" Tanya Sela dari dalam.

"Hai semuanya," Dikta memasuki rumah dan menyapa, tentu di sambut hangat oleh Sela.

"Mas Dikta akhirnya sampe juga! Keujanan gak?" Tanya Sela.

"Engga pakai payung kan turun dari mobil." Kata Dikta.

"Ra, ini guru yang bakal ngajar main gitar." Tawa Sela dengan cengiran khasnya yang meledek.

Aku membuka mulut ku, "What? Eh..." aku segera menggaruk kepalaku, "Ah, oke. Waw."

Udah gila ya Sela bawa-bawa anak bos jadi guru main gitar ke rumah angkasa. Sumpah out of the box banget anak satu itu. Ya memang sih kita semua seumuran, tapi ... bisa-bisanya. Gak habis pikir sih.

Sela memperkenalkan Dikta pada semua penghuni, persis seperti yang aku lakukan pada Sehun. Bahkan, ia mengenalkan Sehun juga pada Dikta di bantu Nana yang menerjemahkannya.

Sehun ikut menyapa dengan sopan. Dikta mulai meraih gitar dan berbincang dengan anak-anak. Wow, kejadian super mengejutkan dan berjalan sangat cepat, bahkan semua hal itu terjadi ketika aku masih berdiri di depan pintu.

"Ra, sini." Akhirnya Sela memanggilku.

Namun sebelum aku menghampirinya, pintu terketuk kembali, dan seorang kurir KFC tiba di depan rumah.

**

Pukul 08.00 ketika meja makan ramai dan menyisakan beberapa orang saja yang sedang berusaha menghabiskan makanannya, Sehun yang duduk di sebelahku bertanya-tanya tentang rencana pentas seni yang ingin di adakan nanti.

Sela juga terlihat sedang menjelaskan hal yang sama pada Dikta yang duduk di hadapanku.

Bedanya, mereka dengan bahasa Indonesia, dan aku mengobrol dengan bahasa Korea.

"Kalau sudah gede, Amel mau bisa bahasa Korea juga."

Perkataan Amel yang sedang duduk di sebelah kiriku, membuatku segera menoleh.

"Ohiya? Kenapa?" tanyaku tertarik.

"Seru denger kak Zahra sama ka Sehun ngobrol." Jawabnya.

Hahaha, "Kenapa kalau udah besar? Besok Ka Zahra ajarin mau?"

"Beneran?!" seru Amel.

Aku mengangguk, "Iya dong!"

"Asik, nanti bisa ngobrol sama kak Sehun dong?" girangnya.

Aku menangguk, kemudian menoleh menatap Sehun yang tak paham.

"Emangnya ka Sehun ganteng banget ya?" tanyaku lagi pada Amel.

Amel segera mengangguk.

"Ka Dikta juga gak kalah ganteng." Dikta tiba-tiba menyaut.

"Ganteng, tapi gak sipit kaya ka Sehun." Jawab Amel dengan cepat.

"Bisa nihhhh di sipit-sipitin!" Dikta menarik kedua matanya agar terlihat sipit membuat Amel tertawa girang. Begitu juga dengan ku.

"Itu kaya vampire!" teriak Amel.

"Mana ada vampire ganteng!" balas Dikta.

"Ada Edward Cullen." Jawabku cepat.

"Dih, dia sama aku juga gantengan aku ya Amel." Kata Dikta segera bertanya ke Amel.

"Emang iya?" tanyaku pada Amel.

Amel mengangguk cepat.

"Emang Amel tahu siapa Edward Cullen?" tanyaku.

"Engga!" jawabnya cepat membuat kami yang ada di ruangan tertawa.

Tentu saja tanpa Sehun yang tak mengerti.

Aku menoleh baru saja mau menjelaskan percakapan kami ke Sehun, namun Dikta memanggilku.

"Ra, boleh nanya sebentar?"

Aku segera mengangkat alisku.

"Di luar aja sebentar, sebentar banget. Lima menit." Katanya.

Aku mengangguk pelan.

"Aku kedepan dulu ya," kataku pada Sehun.

Ia memberikan wajah bingung, terutama saat aku dan Dikta bangun bersama-sama dan kemudian keluar rumah berbarengan.

"Kalau gue sering-sering ke sini boleh?" tanyanya.

"Ya boleh aja sih, kan lo mau ngajar main gitar." Kataku.

"Izin dulu lah sama yang punya."

"Bukan gue yang punya, ini milik banyak orang, kebetulan gue yang punya waktu bisa sering kesini. Lagian," aku meraih ikat rambutku dari kantung celana, "Lo ke sini aja gak pake persetujuan gue juga kan, langsung di ajak Sela?"

"Cemburu?"

Aku segera membesarkan kedua bola mataku.

"Mana ada!" tawaku. "Tuh yang di dalem pujangga hati gue." Kataku sembari mengikat rambutku.

"Idola lo yang dari Korea itu kan?"

"Udah jadi temen sih sekarang," jawabku cepat.

"Masih suka sama korea-korea gitu?" tanyanya.

"Maksudnya?"

"Ya masih suka sama lagu-lagu Korea?"

Aku mengerutkan keningku, "Lo masih suka sama bola?"

"Beda dong Ra,"

"Sama lah!" kesalku. "Intinya lo cuma mau bilang itu kan? Iya boleh, lo boleh kesini ngajar main gitar."

Aku segera berlalu, namun ia menahan tanganku.

"Ra, kalau aja waktu itu lo gak terlalu fokus sama dunia lo, gue pasti udah nembak lo dengan serius."

Aku menoleh dan tersenyum miring.

"Gimana maksudnya? Dunia mana nih? Lo kan tahu yah gimana gue berjuang buat hidup itu bareng mereka, masa iya gue bisa ninggalin mereka yang ada ketika gue hampir mati, cuma buat lo? Yang bahkan gak nerima gue apa adanya."

"Tapi gue bisa menunggu lo sampai sekarang. Kalau aja-"

"Dikta, lo emang putranya direktur di kantor. Tapi, lo ga bisa buat gue sebahagia gue saat mengagumi mereka. Kenapa gue harus ninggalin kebahagiaan gue, buat orang yang gak bisa bahagiain gue?"

"Bisa Ra."

"Bisa apa?"

"Gue bisa buat kepastian, yang mereka gak bisa berikan pada lo."

"Dikta," aku menghela napasku, "Gue gak minta apa-apa ke mereka. Apalagi kepastian... apaansih, salah gue suka sama lagu-lagu mereka? Salah lo suka banget sama Arsenal? Lo paham gak sih bedanya cinta sama idola sama suami gue nantinya tuh beda, masa iya lo mau nikah sama bola? Sampai sini paham?"

"Ra," panggil Dikta, "Maaf."

"Dikta, kita kenal bahkan dari keluarga lo masih belum jadi apa-apa, masih pegawai biasa, masih jadi tetangga gue. Lo dan gue ujan-ujanan bareng, becek-becekan di sawah, main benteng, petak umpet, mana pernah sih gue marah sama lo walaupun lo udah bikin jidat gue bocor gara-gara lo tembak pake pistol mainan."

Dikta tertawa, "Makanya, sekarang gue tembak beneran. Malah di tolak mulu."

"Ya lo nya aja, nembak pake bawa-bawa Korea segala."

"Gue benci aja gara-gara lo ke Korea nyawa lo hampir hilang kan?" kesalnya.

"Udah ya, gak akan berenti deh lo nyalahin Korea, gue yang salah. Dah lo mending benci sama gue aja, udah paling bener."

Aku memijat keningku.

"Ra, gue sa-"

"Shhht! Diam kau verguso!"

Aku segera masuk kedalam rumah tanpa mau mendengar kata-katanya yang membosankan itu.

Bukannya menolak jodoh, tapi menurutku sikapnya terlalu kekanakan jika ia terus melarangku seperti itu. Bahkan alasannya yang tidak masuk akal.

Kenapa ya orang masih tabu sama perempuan yang mencintai Hallyu? Gak semua perempuan di dunia ini berharap bisa menikah sama Oppa-nya, ya tapi kalau baik, pintar, sukses, bisa kerja bareng lalu menikah juga bisa aja sih. Gak ada yang gak mungkin.

Sepertinya tidak ada yang salah jika cara pandangnya seperti itu, kecuali patut disalahkan jika segala sesuatu nya berlebihan, seperti merugikan orang lain, atau juga merugikan idola nya sendiri sampai harus memiliki segala yang dimiliki idola, mengikuti jadwal penerbangan, mengambil foto diam-diam, membayangkan hal aneh dan merusak nama baik, itu sih psikopat.

Dug.

Jantungku kembali berdegup cepat ketika sebuah tangan meraih lenganku, kemudian menarikku ke sisi lain di dalam rumah. Ia menatapku tajam dengan wajah yang sangat jarang ia tunjukkan pada dunia.

Sorotan matanya tajam menembus nadi. Genggaman tangannya kuat tak ingin terlepas.

"Dia pacarmu?" tanyanya membuatku tercengang.

"Pa? pacar?" tanyaku pada Sehun.

***

Author Note :

To Be Continue gak nih?
Ecieeeee...
Sehun cemburuuu ya Allah, gimana rasanya di cemburuin sama bias?
Jadi kisah Extra Chapter ini di khususkan untuk yang terhormat, magnae EXO.
OH SEHUN IMNIDA.

Kasihan jika beliau jadi sad boy terus ya kan. 
Pssstt.. sekalian aku mau kasih info ya. 
Tanggal 11 - 13 November 2020 ini, aku sedang mengadakan Project E-book.
Jadi Extra Part Sehun ini akan di lanjutkan disana, total 193 Halaman. 
Terdiri dari 6 Chapter. Dan yang aku tuliskan di wattpad baru sampai 2 chapternya aja.

E-book Project ini terdiri dari tiga paket, 27K, 44K, dan 61K. 
Buat lebih lengkapnya buruan cek Instagram aku : temilladwenty / dwen__michan

Kisah Sehun akan selesai di Extra Chapter 193 Halaman tersebut.
Dan ada lagi kisah Chanyeol, yang aku tulis sebagai perayaan Ulang Tahun nya. 

Ada yang mau tahu lengkapnya?
ohiya termasuk spoiler keadaan SUHO juga ada di extra chapter Sehun. 
Tenang, masih ada Baekhyun, Kai, Do, Chen, Xiumin, Lay pastinya. 
Jadi The Day After masih bisa berlanjut juga, penasaran gak?

Menurut kamu harus di ceritain semua member gak sih?
Siapa dulu nih yang harus kita ceritakan?
Kali ini aku tantang lagi buat dapetin 1000 komentar untuk lanjut ke kisah member lainnya. 
Pasti bisa kok! Komen sebelumnya aja mencapai 600 lebih, DAEBAK EXOL JJANG!

Sembari nunggu 2025 biar EXO nya kumpul semua, 
Semoga kita sehat dan bahagia selalu ya!!

Sekian dari aku, xoxo
Temilladwenty

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top