[Bonus: Deleted Scene #1]

Note: 

Ini hanya bonus deleted scene dalam rangka hari Valentine, ya! Bab ini ditulis setelah Dayang Maia dan Mia dihukum di penjara pelayan karena Zoey ketauan mau kabur ke Artemist. Kalian masih ingat, 'kan? Karena satu dan lain hal, bab ini saya hapus karena masih terlalu dini untuk Zoey dan Ellusiant jadi lebih dekat (selain itu, saya masih pengen nyiksa Zoey-Ellusiant lebih lama ehehehehe *canda). Dan karena ini deleted scene, tulisannya ga begitu well written. Maafin :( 

Sekali lagi, bab ini bukan kelanjutan bab sebelumnya yaaa. Anggap aja ini kaya selingan sambil nunggu kelanjutan update-an sebelumnya. Selamat membaca dan sampai jumpa di bab selanjutnya!

Zoey tidak tahu berapa lama dia mengurung diri di kamarnya. Gadis itu bahkan sempat nekat berencana untuk tidak keluar dari kamarnya selama sebulan penuh dan tidak makan sama sekali. Imajinasi tentang membiarkan dirinya mati dan ditemukan telah menjadi tulang-belulang membuatnya ... puas. Zoey tergoda untuk melakukannya. Namun, tentu saja, takdir tidak akan membiarkan hidupnya berjalan semulus itu. Ellusiant pulang ke istana lebih cepat dari jadwalnya. Maia dan Mia memohon-mohon pada Zoey untuk bersedia pergi ke Istana Barat dan menyambut kedatangan Kaisar, karena memang seperti itulah tradisinya.

Zoey sengaja berlama-lama di kamar mandi. Dia bahkan berpura-pura sakit perut dan ogah-ogahan memakai gaunnya. Kalau saja tidak melihat wajah Maia dan Mia yang sudah pucat pasi, Zoey betulan berniat ingin pura-pura pingsan demi tidak datang ke Istana Barat dan melihat Ellusiant. Membayangkannya saja sudah membuat hati Zoey panas! 

Saat sampai di Ruang Utama Istana Barat, rupanya gadis itu melewati acara utamanya. Ellusiant sudah sampai di istana sejak tiga puluh menit yang lalu dan sudah berada di Ruang Singgasana. Sialnya, dia malah bertemu Moses.

"Di mana sopan santunmu?!" Moses memarahinya terang-terangan lagi. Di samping pria itu, seorang wanita berambut merah keriting menyentuh tangannya seraya menggelengkan kepala, lalu membisikkan sesuatu kepadanya.

"Aku tidak peduli!" sentak Moses. "Selir harus diajari tata krama. Aku dengar kemarin dia berencana untuk pergi ke Artemist tanpa seizin Kaisar untuk menemui Hugo Bashville. Siapa yang kini bersikap tidak masuk akal, istriku? Aku atau gadis ini?"

Zoey tidak bisa menahan diri untuk tidak memutar bola matanya. Apa sih masalah pria ini? keluh Zoey dalam hati.

"APA KAU BARU SAJA MEMUTAR BOLA MATAMU? APA KAU TIDAK PERNAH DIAJARI SOPAN SANTUN?"

"Tidak," jawab Zoey pada akhirnya. Meskipun pria ini menyebalkannya setengah mati, Zoey berpikir Moses adalah orang yang tepat untuk menyalurkan rasa frustrasi dan amarah yang sudah ditahannya sejak kemarin. "Aku tidak pernah diajari sopan santun. Ibuku bilang, baku hantam lebih baik daripada beramah-tamah."

"Oh, kau mengajakku bertengkar? Ayo!" Moses memajukan badannya dan mengangkat tangan—yang sudah mengepal membentuk tinju.

Zoey menggulung lengan gaunnya dan menanggapi tantangan pria itu. "Maju sini!"

"Hentikan."

Mereka semua membeku pada satu perintah absolut itu. Ellusiant menuruni tangga. Tatapan dinginnya terpancang pada Moses yang sudah siap mengangkat tangannya untuk memukul Zoey. Pria itu buru-buru menurunkan tangannya dan membungkuk rendah pada Ellusiant.

"Apa yang terjadi?"

Moses sudah membuka mulutnya untuk menyemburkan jawaban, tetapi istrinya memotong lebih dahulu.

"Tidak ada apa-apa, Yang Mulia. Hanya ada sedikit kesalahpahaman antara selir dan suami saya, tapi semuanya baik-baik saja."

Tatapan Ellusiant beralih pada Zoey. Gadis itu justru memalingkan wajah dengan bibir mengerecut. Dadanya kembali bergemuruh lagi oleh amarah yang sudah dia tahan sejak dua hari lalu.

"Aku tidak yakin begitu, Nyonya Sabina. Suamimu hampir memukul selirku," balas Ellusiant. Dia berjalan semakin dekat dengan Zoey, lalu berhenti di depannya. "Tuan Moses, Anda punya penjelasan yang masuk akal atas sikapmu tadi?" 

"Itu karena Selir Claretta bersikap tidak sopan, Yang Mulia. Beliau terlambat datang untuk menyambut Anda. Ketika saya menegurnya, dia malah bersikap tidak sopan dan memutar bola matanya. Suatu sikap yang sungguh tidak patut untuk seorang selir!" Moses menyemburkan jawabannya, hampir lupa bahwa dia sedang bicara dengan Ellusiant.

Zoey ingin membalasnya, tapi dia sedang tidak ingin bersuara di depan Ellusiant. Karena apa pun yang akan keluar dari mulutnya hanya akan berisi rentetan makian dan kalimat pedas yang sudah ditahannya sejak kemarin. Zoey tidak ingin membuat situasinya semakin runyam lagi. Gadis itu membuang muka, tahu Ellusiant mungkin akan ikut memarahinya. 

"Aku sendiri tidak keberatan selirku tidak datang menyambutku. Kenapa kau yang marah?"

Kedua mata Zoey diam-diam melebar, tidak menyangka Ellusiant akan membelanya.

"Tapi, Yang Mulia—"

"Hati-hati dengan sikapmu terhadap Claretta, Tuan Moses. Apa yang kau lakukan padanya juga berarti kau melakukannya padaku. Jika kau berani lancang padanya, kau juga lancang padaku."

Moses tampak gelagapan dan menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Saya tidak akan berani, Yang Mulia!"

Hening.

Zoey takut Ellusiant sedang memikirkan sesuatu yang kejam. Bukan berarti Zoey merasa kasihan kepada Moses. Tapi melihat bagaimana Ellusiant sengaja membentangkan keheningan yang mencekik kepada pria itu—dan juga kepada orang-orang yang masih berdiri di Ruang Utama—Zoey jadi merasa tidak tega dan ingin menjitak kepalanya sendiri. Mau bagaimana pun, ini semua dimulai olehnya.

"Kembali ke agendamu," perintah Ellusiant kemudian. Lalu dia memandang orang-orang di sekeliling mereka. "Kembali ke agenda kalian masing-masing."

Moses melemparkan satu tatapan penuh kebencian kepada Zoey sebelum kemudian membungkuk pada Ellusiant dan berlalu dari hadapannya. Istrinya justru bersikap ramah pada gadis itu. Dia menyentuh lengan Zoey dan membisikkan maaf, lalu menyusul suaminya keluar dari Ruang Utama bersama beberapa orang. Sementara sebagian menteri lainnya menaiki tangga menuju Ruang Singgasana.

"Pastikan Moses dan seluruh keluarganya mengerti apa yang kukatakan," kata Ellusiant kepada Panglima Asher, yang sejak tadi hanya berdiri diam dari jauh dan kini menghampirinya hati-hati. "Aku tidak ingin ini terjadi lagi."

"Saya akan memberikan peringatan tegas." Asher mengangguk patuh.

Entah bagaimana Zoey tahu peringatan tegas yang dimaksud akan lebih dari sekadar kata-kata yang diakhiri tanda seru. Ellusiant selalu tahu bagaimana cara membuat orang-orang kapok dan trauma. 

Pria itu memutar badannya dan menghadap Zoey. Gadis itu menunduk semakin dalam, cemberut. Bersiap dimarahi. 

"Sudah makan siang?" tanyanya.

Zoey agak terkejut, lalu menggeleng.

"Mau makan bersama denganku?"

Zoey menggeleng lagi.

Di belakang Zoey Mia mengeluarkan suara kesiap kecil. Ketika Ellusiant melihatnya, dayang muda itu berdeham dan menunduk semakin dalam.

Zoey mengira Ellusiant akan marah mendengar jawabannya. Alih-alih, dia mengangguk dan berkata, "Baiklah. Kembalilah ke Istana Timur dan makan siang. Beristirahatlah. Kau pasti lelah."

Ellusiant memandang kedua dayang di belakangnya. Maia dan Mia segera membungkuk rendah lagi seraya berucap, "Kami izin kembali, Yang Mulia."

Masih menolak membalas tatapannya, gadis itu membalikkan badan begitu saja setelah membungkuk setengah hati.

Menjelang malam tiba, pintu kamarnya diketuk. Zoey melirik jam dinding. Bukankah jadwal makan malam masih setengah jam lagi? Saat membuka pintu, detak jantungnya hampir berhenti saat melihat Asher yang berdiri sana. Bayangan trauma segera merayapi hatinya.

"Selamat malam, Yang Mulia. Saya datang untuk menjemput Anda."

"Ellusiant menghukum Maia dan Mia lagi?" tanya Zoey panik.

Asher tersenyum. "Tidak, Yang Mulia. Kaisar menunggu Anda di bawah."

"Di penjara pelayan?"

"Di ruang tamu."

"Untuk membawaku ke penjara pelayan?"

"Untuk makan malam bersama, Yang Mulia." Senyum Asher berubah geli saat menjawab rentetan pertanyaan Zoey yang sarat dengan persangkaan buruk itu.

Gadis itu berdecak pelan. Kenapa pria itu terus muncul saat Zoey tidak ingin melihat wajahnya?

Zoey bersedekap. "Sampaikan kepadanya aku tidak mau makan malam bersama."

"Yang Mulia." Nada suara Asher melembut, namun Zoey tidak menyukainya. Asher terdengar seperti menasihati anak kecil yang nakal. "Saya mengerti Anda mungkin sedang marah pada Kaisar. Tapi bukan tindakan yang bijak untuk menolak kedatangannya."

Zoey melotot dan menyentak kakinya pelan. Dia mulai memarahi Asher.

"Aku memang bukan orang bijak! Kalau aku bijak, aku sudah mengundurkan diri jadi selir dan memulai karir sebagai pendeta, lalu menulis buku spiritual 1001 cara untuk menyalurkan emosi dengan bersemedi di atas batu, dan kalau bisa pakai saja batunya untuk menghantam orang yang sudah membuat kita emosi! Sial, aku jadi ingin menghantam Ellusiant dengan batu!"

Beruntung Asher jauh lebih sabar dari Moses. Panglima itu lagi-lagi hanya tersenyum geli dan menunggu dengan sabar di luar kamar selagi Zoey bersungut-sungut. Dia bahkan tidak menanggapi omelan tidak masuk akal yang keluar dari mulut gadis itu. Ketika mereka sampai di bawah, Ellusiant tampak menyandarkan tubuhnya dengan santai di salah satu sofa. Jubah kerajaannya menghilang, digantikan dengan kemeja hitam dan celana senada yang membuat penampilannya tampak ....

Tidak biasa, komentar Zoey dalam hatinya. Gadis itu belum pernah melihat Ellusiant berpakaian sekasual ini. Pernah, dasar bodoh. Kau melihatnya memakai jubah tidur dari satin berwarna hitam kemarin. Gadis itu ingat sekarang. Dia ingat persis bagaimana rasa panas menjalari pipinya ketika melihat sebagian dada bidang lelaki itu di balik jubahnya. Sayang sekali kamarnya cukup gelap. Zoey tidak bisa melihat dengan jelas. Namun dia melihat ada garis-garis samar yang menyembul dari balik jubah lelaki itu. Tato?

Hentikan. Kau tidak mau melihat wajahnya tapi kau malah mengingat dadanya? Apa otakmu sehat?!

Ellusiant berdiri. Melihat Zoey sengaja berhenti agak jauh darinya, lelaki itu menghampirinya dalam tiga langkah lebar.

"Ayo makan malam bersama," ucapnya.

Zoey memalingkah wajah seraya mengangguk. Baru saja dia hendak berjalan menuju Ruang Makan ketika Ellusiant menghentikannya.

"Bukan di sana."

Gadis itu mengerutkan kening bingung. Ellusiant mengulurkan tangannya, dia bertanya, "Boleh aku genggam tanganmu?"

Zoey menahan perasaan terkejut. Sepuluh menit lalu Zoey ingin menghantam pria ini dengan batu dan sekarang dia dibuat terkesima lagi. Kenapa Ellusiant mendadak bersikap sopan seperti ini? Apa yang direncanakannya?

Di satu sisi dia masih marah, namun di sisi lain hatinya luluh melihat kesopanan lelaki itu. Masih sambil cemberut, Zoey menyerahkan pergelangan tangannya.

"Terima kasih." Ellusiant memberikan senyumannya.

Hati Zoey berdesir aneh. Gadis itu rasa, tubuhnya sudah mulai mengalami malfungsi.

Zoey masih tidak tahu dia mau dibawa ke mana. Ellusiant melewati pintu ruang jamuan dan terus menuju pintu belakang istana. Saat Zoey mengira Ellusiant hendak duduk di teras dekat taman, lelaki itu malah terus berjalan melewatinya. Menuju danau yang kini hanya diterangi dua lampu keemasan. Ketegangan sontak mengaliri nadi gadis itu ketika Ellusiant berbelok mengarah ke semak-semak yang mengelilingi danau.

"Kau mau membawaku ke mana?" tanya Zoey. Tiba-tiba merasa takut.

Ellusiant menoleh, dia tersenyum. "Jangan takut. Aku hanya ingin menunjukkanmu sesuatu."

Zoey justru masih belum tenang. "Kau tidak berpikir untuk memutilasiku, 'kan?"

Ellusiant melepas genggamannya dan meloncati semak-semak. Lalu dia mengulurkan tangannya lagi. "Ayo."

Zoey menyembunyikan tangan di punggungnya seraya menipiskan bibir, masih curiga dengan niat lelaki itu.

"Aku tidak pernah berpikir untuk menyakitimu, Claretta. Percaya padaku."

Memercayai Ellusiant terasa seperti memercayakan nyawanya kepada serigala. Zoey menyipitkan matanya curiga. Dia tidak membalas uluran tangan Ellusiant dan meloncat tanpa bantuannya. Di balik semak-semak itu adalah pepohonan yang menjulang tinggi. Maia pernah menyebutnya sebagai hutan kecil. Kaisar sebelumnya, Ratu Suri, pernah hendak menebang pohon-pohon di sini dan membangun mansion lagi sebagai tempat peristirahat pribadinya. Rencana itu tidak pernah terwujud karena seminggu kemudian sang ratu meninggal. Setelah Ellusiant naik takhta, pria itu melarang penebangan hutan dan membiarkannya seperti ini.

Pohon-pohon yang mengelilinya tinggi dengan batang selebar tubuh orang gemuk. Zoey bisa merasakan akar-akar mereka bergelombang di bawah sepatunya, dengan kerikil dan tanah yang menggumpal karena hujan singkat tadi sore. Hutan itu menyanyikan desik saat angin berembus lembut. Dengan penerangan seadanya, Zoey tidak dapat menerka apakah hutan ini berusaha menakutinya atau justru menyambutnya.

Ellusiant berhenti di depan sebuah pondok kecil yang diterangi lampu-lampu kecil berwarna keemasan. Tanaman rambat menjalar di atapnya hingga menyentuh tanah. Sementara dindingnya hampir seluruhnya terbuat dari kaca. Kunang-kunang berterbangan di sekitar pondok itu, salah satunya hinggap di bahu Zoey sebelum akhirnya terbang kembali.

"Ini ...." Zoey kehilangan kata-kata. Kenapa Ellusiant membawanya kemari?

"Aku sudah mengatakan bahwa kita akan makan malam, bukan?" Ellusiant menunjuk punggung tangan Zoey. "Boleh?"

Zoey mengangguk, membiarkan tangannya kembali digenggam, tetapi perhatiannya tersita sepenuhnya oleh pondok kaca yang terlihat cantik di depannya. Rasanya seperti dia sedang mereguk dongeng, mungkin seorang dewi menuangkannya segelas keajaibannya untuk dicicipi sedikit oleh Zoey sebagai bentuk belas kasihnya. Zoey telah melalui banyak hal berat.

"Kenapa harus jauh-jauh ke sini hanya untuk makan malam?" tanya Zoey.

Ellusiant membuka pintu. Di dalam terdapat meja makan empat kursi dan satu tempat tidur kecil. Di atas meja sudah tersaji berbagai hidangan. Aromanya sangat wangi hingga perut Zoey bergemuruh tidak sabar.

Ellusiant terlihat memikirkan jawaban yang ingin diberikannya. Lalu dia berkata, "Kau bisa mengumpatku dengan bebas di sini."

Zoey mendengkus dan tertawa sekaligus.

"Aku bukan hanya ingin mengumpatmu, tau."

"Ini juga tempat yang bagus untuk membunuhku."

Kali ini Zoey melepaskan tawanya. Sementara senyum berkembang di bibir Ellusiant. Pria itu menarik kursi untuk Zoey dan mempersilakannya untuk duduk. Sebenarnya, makan tanpa bantuan pelayan adalah kegiatan yang normal Zoey lakukan sebelum jiwanya entah bagaimana tersasar ke tubuh Claretta. Namun yang membuat hal ini jadi terasa luar biasa adalah melihat Ellusiant mengambil lauknya sendiri di meja makan yang kecil ini.

"Aku masih tidak menyangka," kata Zoey jujur. Ellusiant mengangkat wajahnya dengan alis terangkat. "Aku tidak tau amal baik apa yang kulakukan sampai bisa duduk makan malam berdua dengan Kaisar."

Sebelumnya aku hanya bisa melihat wajahmu di koran, pikir gadis itu. Atau di layar raksasa depan gedung saat dirinya pulang kerja menggunakan bus. Dilengkapi dengan narasi propaganda yang penuh kebencian. Orang-orang Perserikatan Negara tidak pernah menyebut nama Ellusiant. Hanya Kaisar, yang selalu disandingi dengan kata kejam dan perang.

"Kau memandangku terlalu tinggi," balas Ellusiant.

"Tapi kau memang tidak terjangkau." Zoey mengambil sendok dan garpunya, lalu tercenung sebentar.

"Kau salah satu orang paling berkuasa. Kau bahkan menggerakkan separuh dunia dengan tanganmu." Zoey mengaduk-ngaduk sup jagungnya dengan muram. "Selama ini aku hanya bisa melihatmu dari jauh."

Zoey sendiri tidak mengerti. Efek kupu-kupu yang dialaminya terasa mengerikan. Andai Lennox dan Gabriella tidak menerima kasus klien misterius yang mencekiknya malam itu, apakah semua ini akan tetap terjadi? Zoey bahkan tidak mengerti apa alasannya. Mengapa harus dirinya? Mengapa membunuhnya? Mengapa jiwanya bisa terperangkap di sini? Di mana orang itu? Apakah dia bergerak sendiri atau ... ada orang yang memerintahkannya? Jika ada, siapa? Di mana orang yang memerintahkannya?

"Aku di depanmu sekarang, Claretta." Suara halus Ellusiant membuyarkan lamunannya. Zoey mengangkat wajahnya dan menatap pria itu. "Apa aku masih tidak terjangkau?"

Hati Zoey berdesir seirama dengan hutan di luar pondok, dan sesuatu ikut terbit di sana bagaikan mentari pagi. Zoey menunduk kembali, mengenyahkan apa pun yang sedang beriak dalam hatinya.

"Ya. Kau masih terasa jauh," bisik Zoey.

Ellusiant tampak seperti ingin mengatakan sesuatu, lalu mengurungkan niatnya dan kembali menyantap makanannya. Selama beberapa menit lamanya mereka tetap seperti itu. Sendok dan piring beradu, napas yang berembus teratur, dan jantung yang berdetak cepat tiap kali pandangan Zoey menyapu wajah pria di depannya. Zoey tidak merasa canggung. Keheningan ini tidak berusaha menyakitinya sama sekali. Ada kedamaian. Ada kebingungan. Ada pula rasa bersalah.

Zoey mulai semakin nyaman dalam tubuh Claretta.

Kenyamanan itu berlanjut sampai setelah mereka berdua selesai makan. Zoey tidak tahu bagaimana, tetapi mereka berdua berakhir di atas kasur kecil dekat meja makan. Awalnya mereka hanya duduk dan bercakap-cakap. Hanya sebentar, karena masing-masing dari mereka masih ragu untuk membuka diri.

"Aku rasa aku ingin tiduran sebentar di sini. Bolehkah?" tanya Zoey.

"Tentu."

Sebentar yang dimaksud gadis itu rupanya sampai keesokan pagi. Zoey juga tidak tahu mengapa dia begitu berat untuk meninggalkan pondok itu. Mungkin, dia menyukai kasurnya yang empuk dan seprainya yang menguarkan aroma manis. Mungkin, Zoey suka melihat atap pondok itu yang terbuat dari kaca sehingga dia bisa melihat bintang-bintang dengan lebih leluasa. Mungkin, Zoey suka dengan bagaimana Ellusiant meminta izin untuk berbaring di sampingnya dan menjadikan tangannya sebagai bantal Zoey. Pria itu terlihat lelah, tetapi dia masih menanggapi pertanyaan-pertanyaan Zoey dengan sabar. Mungkin, Zoey suka ketika mereka berdua tertidur dan tangan Ellusiant membungkus pinggangnya dengan mantap.

Mungkin, Zoey hanya suka dengan kehadiran pria itu di sisinya. Dan, malam itu mungkin bisa jadi yang pertama dan terakhir bagi mereka berdua untuk berbaring bersama dengan damai. 

Dengan pikiran itu, Zoey bergelung dalam pelukan Ellusiant dan menipu dirinya sendiri—hanya untuk malam ini. Dia berpura-pura bahwa Ellusiant tidak pernah mengenal Claretta, hanya Zoey Edevane. Zoey berpura-pura bahwa malam ini bukan yang pertama dan terakhir. Bahwa akan ada malam-malam lainnya mereka bisa makan malam dan berakhir tidur bersama seperti ini. Zoey berpura-pura bahwa Ellusiant bukan rintangan terberatnya dalam rencananya untuk kembali ke Perserikatan Negara. 

Zoey berpura-pura bahwa malam ini dia tidak keberatan untuk jatuh cinta pada lelaki itu. [] 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top