7: Menenun Rasa Sakit
"Ada perkembangan?" Ellusiant bertanya dengan suara lembut.
"Sejauh ini dia masih bertahan, Yang Mulia." Savir, sang kepala penjara, mengerling ke arah tahanan yang terduduk lemah di atas kursi. Walaupun gelap, Ellusiant bisa melihat bagaimana tubuh pria itu luka di mana-mana akibat siksaan beruntun. Dia memiringkan kepalanya, menimbang-nimbang.
"Nyalakan penerangan, Savir." Ellusiant memberi perintah. Senyum berkembang di bibirnya. "Aku ingin melihat wajahnya dengan jelas."
Terutama saat Ellusiant bermain bersamanya.
Setelah menyalakan lampu, Ellusiant duduk di kursi yang diberikan oleh Savir. Dia menyeret kursinya ke hadapan tahanan itu. Dia tahu pria itu masih sadar.
"Aku tidak akan membuka mulut, tidak peduli sebanyak apa pun rasa sakit yang kalian berikan," ucap orang itu lirih.
"Manusia mungkin bisa menahan rasa sakit, tapi tidak dengan rasa takut," jawab Ellusiant. "Hmm ... tapi aku lebih suka mengkombinasikan keduanya."
Pria itu membuka matanya yang lebam dan memandang Ellusiant. Isaiah, anggota badan intelijen Perserikatan Negara. Lahir dan besar di Espana, negara bagian Perserikatan Negara sebelah utara yang hanya disentuh sedikit oleh matahari. Isaiah ditangkap dua minggu lalu setelah menyamar sebagai salah satu anggota tim naturalis yang ingin melakukan eksplorasi di hutan kerajaan Ethena. Isaiah adalah orang yang membuat Ellusiant memutuskan untuk menutup Jembatan Besar dan tidak mengizinkan siapa pun dari seberang masuk wilayahnya lagi, untuk alasan apa pun, bahkan termasuk alasan penelitian. Karena Isaiah pula Ellusiant mengumpulkan semua warga Perserikatan Negara yang masuk ke wilayahnya dan menginterogasi mereka semua. Mereka yang ketahuan membawa misi 'tambahan' dihukum mati tanpa kecuali. Sedangkan yang tujuannya bersih dia biarkan hidup dan tidak diizinkan untuk pulang kembali ke negara asal mereka. Kendati begitu, Ellusiant memerintahkan utusannya untuk menyampaikan ke Perserikatan Negara bahwa semua warganya sudah dihukum mati. Itu adalah peringatan keras dari Ellusiant karena sudah mengkhianati kepercayaan yang sudah terjaga selama bertahun-tahun.
"Aku tidak akan membuka mulut," kata Isaiah lagi. Kali ini suaranya melemah. Dia hampir kehilangan kesadarannya.
Ellusiant menyandarkan tubuh di kursi. Masih sabar.
"Tidak apa-apa. Kita punya banyak waktu. Savir masih punya banyak metode yang ingin dicobanya. Dia sangat kreatif, kau tau."
Savir, yang berdiri di samping Ellusiant, mengangguk seraya tersenyum. Mata kelabunya menyorot Isaiah dengan lapar.
Ini tidak seperti Ellusiant senang menghabiskan waktu dengan percuma. Isaiah bukan sekadar mata-mata. Pria itu memiliki Ether di dalam tubuhnya. Sesuatu yang seharusnya hanya dimiliki oleh orang-orang Dinding Surga.
"Apa kekuatannya?" tanya Ellusiant kepada Savir.
"Dia bisa memanipulasi listrik, Yang Mulia."
"Hm ... Etherian rendahan, jumlah kalian sangat banyak di sini. Tapi jelas merupakan harta karun bagi Perserikatan Negara. Benar?" Ellusiant bisa membayangkan bagaimana orang-orang seberang menatap Isaiah. Memuja, iri, sekaligus menatapnya sebagai simbol harapan.
"Saya curiga bahwa nenek moyangnya adalah penduduk Dinding Surga yang membelot ke sana," kata Savir lagi.
Ellusiant memajukan tubuh. Hidungnya mencium aroma darah, pesing, dan keringat bercampur jadi satu. Isaiah mengangkat tatapannya, balas memandang Ellusiant.
"Kau yakin tidak mau kooperatif dengan kami? Kalau kau bersedia melakukannya, aku akan membebaskanmu dari sini dan membiarkanmu kembali kepada keluargamu di Espana. Jarang sekali aku bermurah hati kepada musuhku, Isaiah."
Butuh segenap kekuatan untuk mengatakannya. Ellusiant tahu apa yang diperbuat pria ini. Menjadi mata-mata hanya salah satu tugasnya. Selain itu, dia juga eksekutor yang bertanggung jawab atas kematian lima belas orang Dinding Surga yang dibantai di Perserikatan Negara.
Kekejaman Ellusiant bukan tanpa alasan.
Melihat Isaiah yang masih bergeming, Ellusiant memberinya satu kesempatan terakhir.
"Aku memberimu satu menit penuh untuk memikirkannya."
Isaiah mendongak dan membalas tatapannya dengan linglung. Untuk sesaat, mata cokelatnya memiliki binar redup oleh harapan.
"Keluargamu, Isaiah. Bayangkan bagaimana anak-anak perempuanmu membuka pintu dan melihatmu di sana." Ellusiant semakin mendekatkan wajah di depan Isaiah, berbisik lebih pelan. "Menurutmu apa yang akan mereka lihat, hm? Kau sendiri? Atau justru ... mayatmu?"
Ellusiant sanggup melakukannya. Dia sanggup mengirim jasad Isaiah yang sudah dimutilasi dengan rapi ke depan pintu rumahnya. Membiarkan anak dan istri pria ini melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri. Apa pun yang mereka rasakan, itu lah yang juga dirasakan oleh keluarga korban yang pria ini bunuh tanpa ampun.
Ekspresi lunak Isaiah perlahan mencair, membentuk satu ekspresi baru yang dingin dan penuh kebencian. Dia meludah tepat di wajah Ellusiant.
"Mati kau, raja bajingan." desisnya. "Mati saja kau! Mati. Mati. Mati!" Isaiah menyentak tangannya yang diborgol ke belakang dan berusaha menyerang Ellusiant. Kursinya yang terus bergerak maju beberapa senti menciptakan suara debum bertubi-tubi.
Savir menghajar Isaiah dengan gembok besi yang sedang dipegangnya. Pria itu terjengkang ke belakang seraya mengerang kesakitan. Darah keluar semakin banyak dari hidungnya, menetes-netes di lantai.
"Beraninya kau bersikap kurang ajar!"
Ellusiant menunduk. Dia mengambil sapu tangan dari saku celana dan mengelap ludah bercampur darah di wajahnya dengan tenang. Denyut nadinya barangkali tidak melebihi tujuh puluh per menit. Ellusiant melirik barisan pisau yang tergantung di sabuk Savir. Dia mengambil satu yang paling kecil. Tidak perlu yang besar, Ellusiant berpikir. Yang kecil ini cukup untuk membuat Isaiah menjerit.
"Kembalikan dia ke posisi semula."
Savir mematuhinya.
Ellusiant memakai sarung tangan lateks. Lalu, masih dengan ketenangan yang sama, dia menahan kelopak mata kanan Isaiah dan menusuk bola matanya dengan pisau tersebut. Savir terkejut dan mundur dengan hati-hati. Sementara Isaiah melolong panjang, air mata bercampur darah merembes keluar dari matanya. Ellusiant memundurkan tubuh dan menenun ilusi di sekitar Isaiah. Lihat ke depanmu, ada monster berkuku setajam pisau hendak memotong setiap bagian tubuhmu. Dimulai dari jari-jarimu, tumit, betis, kemudian setiap sendimu akan dicabut satu per satu. Jeritan pria itu semakin keras. Dia berusaha menyentak tubuhnya menjauh dari monster-monster yang dia kira sedang mencoba memutilasi tubuhnya.
Ellusiant merasakan kemarahan mematikan satu-satunya penerangan di akal sehatnya. Dia tidak menulikan pendengaran. Justru, dia mendengar baik-baik setiap jeritan Isaiah yang melengking tajam.
Siksa dia lebih keras! suara-suara gelap dalam benak Ellusiant meraung liar. Lebih banyak rasa sakit! Lebih banyak jeritan!
"Keluar, Savir." Ellusiant menyuruh kepala penjara di sampingnya. Savir mungkin akan trauma melihat apa yang akan dilakukan Ellusiant setelah ini. "Sebentar lagi pertemuan dengan menteri keuangan. Aku harus menyelesaikan ini sebelum Tuan Ariel sampai di istana."
"Baik, Yang Mulia."
Setelah Savir keluar, Ellusiant kembali duduk dan mengamati Isaiah yang masih menjerit-jerit. Urat-urat hijau di pelipis dan lehernya menonjol. Pisau masih menancap di matanya. Dia memperhatikan bagaimana peluh di sepanjang pelipis Isaiah mengalir turun ke paha. Pria itu sudah di ambang batas rasa sakitnya sendiri. Mungkin ... Isaiah sebentar lagi akan pingsan.
Nanti dulu, pikir Ellusiant. Dia meningkatkan kekuatannya, menyulam lebih banyak ilusi. Keringatmu panas dan perih, semakin kau sakit, semakin banyak keringat yang kau hasilkan.
Isaiah meraung kesakitan lagi. Suara jeritannya bergerigi karena serak. Kakinya tidak mau diam ketika keringatnya terus menetes-netes ke atas pahanya. Kali ini Isaiah berani memohon ampun pada Ellusiant, yang hanya bersandar santai dengan wajah kaku.
Ellusiant menghentikan ilusinya sesaat, memberi kesempatan kepada Isaiah untuk bernapas sebentar. Dia berdiri, menumpu satu tangannya pada sandaran kursi Isaiah hingga wajah mereka lebih dekat lagi. Menantangnya. Jika dia berani macam-macam lagi, Ellusiant juga tak kalah 'kreatif' nya dengan Savir.
"Nah, Isaiah, aku harap sesi pelajaran singkat tadi membuatmu belajar sesuatu walau sedikit. Sekarang waktunya guru memberikan ujian." Ellusiant menjambak rambut Isaiah hingga kepalanya terdongak ke belakang. "Begini peraturannya. Aku punya lima pertanyaan, masing-masing bernilai dua puluh. Pastikan nilaimu melebihi batas bawah, oke? Delapan puluh. Ingat baik-baik. Jika nilaimu kurang dari delapan puluh ... aku terpaksa harus mengajarimu lagi."
Pundak Isaiah bergetar. Satu matanya yang tersisa memerah, menatap Ellusiant nanar dan penuh kebencian.
Ellusiant duduk kembali di kursinya. "Apa yang sedang direncanakan Perserikatan Negara?"
"Membunuh kalian semua tanpa sisa, sebagaimana Frisia pernah membunuh bangsa kami tanpa ampun."
"Hm, kurang lengkap. Poinmu hanya lima. Apa tepatnya yang sedang direncanakan Perserikatan Negara?"
"..."
"Nol poin." Ellusiant mengetuk-ngetuk pahanya dengan telunjuk. "Senjata apa yang sedang diciptakan Perserikatan Negara?"
"Itu tidak akan dimengerti oleh orang-orang bodoh sepertimu."
Ellusiant bersedekap dan memandang langit-langit, berlagak berpikir. "Hm ... dua poin. Di mana alamat rumah Presiden Agung?"
Isaiah mengerutkan kening dengan perubahan pertanyaan Ellusiant. "Aku tidak tau kau sedungu ini. Kau hendak meneror rumahnya dengan mainan sihir?"
Ellusiant tertawa pendek. "Nol poin. Satu pertanyaan lagi. Berapa banyak jumlah Etherian di Perserikatan Negara?"
"Ada banyak sekali, dan jauh lebih kuat dari pasukanmu."
"Begitu? Hm ... baguslah. Aku suka setiap kali musuhku berusaha lebih keras untuk melawanku. Aku jadi merasa ... sangat penting. Dua puluh poin untukmu." Kedua sudut bibir Ellusiant terangkat tinggi. "Nah, Isaiah. Nilaimu 27. Sayang sekali, masih jauh dari batas bawah nilai yang aku berikan."
Lelaki itu berdiri seraya membetulkan posisi sarung tangan lateksnya. Dia mencabut pisau dari mata Isaiah tanpa aba-aba hingga pria itu meraung kesakitan.
"KAU RAJA GILA! SINTING! ORANG-ORANGKU BENAR. KAU PSIKOPAT! MONSTER!" Kaki kursi Isaiah mengetuk-ngetuk lantai selagi pria itu tidak bisa diam. Darah mengalir begitu saja dari bola matanya yang rusak.
"Jangan seperti itu, Isaiah. Aku jadi sakit hati." Ellusiant mendesah panjang. Dia memutar-mutar pisau di tangannya. "Sepertinya aku juga perlu memberikan materi ekstra tentang sopan santun, hm?"
***
Ellusiant mengunci dirinya sebentar di dalam toilet. Dia mencengkeram kepalanya seraya mengerang kencang. Suara-suara dalam benaknya terlalu berisik, bahkan setelah dia memuaskan dahaga mereka dengan siksaan terhadap Isaiah tadi. Pria itu mati mengenaskan di atas lantai dingin penjara setelah dia memberikan Ellusiant informasi yang berguna. Ellusiant berusaha mengatur napasnya yang memburu, tetapi rasa menyiksa dari dalam tubuhnya tidak memberi ampun. Bukan, Ellusiant tidak merasa kesakitan. Dia lapar.
Ellusiant menutup matanya rapat-rapat. Dia menelan ludah dan membuka matanya lagi, kedua tangannya gemetar. Dia butuh sesuatu untuk meningkatkan Ethernya kembali setelah dikeluarkan banyak untuk menyiksa Isaiah tadi. Ellusiant sudah memerintahkan Aidan untuk membawakannya bisa ular Naja, tapi Ellusiant butuh yang lebih dari itu. Dia butuh makanan atau minuman yang jauh lebih mematikan. Haruskah Ellusiant memerintahkan Savir untuk memotong bagian tubuh tertentu milik Isaiah beserta sebotol kecil darahnya?
Ellusiant mengangkat wajah dan melihat pantulannya di cermin. Merasa jijik pada dirinya sendiri. Dia teringat pada gadis yang sudah menghantui tiap sudut benaknya selama hampir separuh hidupnya. Tidak. Menghantui adalah diksi yang terlalu lemah. Gadis itulah dunianya. Dia yang membangun kembali dunia Ellusiant setelah hancur lebur dua belas tahun lalu, di penjara bawah tanah.
"Claretta." Ellusiant membisikkan namanya bagai doa.
Ellusiant juga hanya bisa melihat Claretta dari kejauhan, sebagaimana manusia hanya mampu menatap dewa-dewi dari jarak yang sangat panjang seraya menggumamkan doa.
Claretta tidak layak mendapatkan monster seperti dirinya, bukan? Gadis itu pantas mendapatkan semua hal yang baik. Sekarang pun, dia rela memberikan seluruh miliknya hanya untuk Claretta. Tapi bukan ini. Bukan sesosok monster yang kecanduan darah dan jeritan dan racun dan kematian.
Ellusiant kembali mencengkeram kepala, bahkan menjambak rambutnya sendiri. Kali ini hatinya yang terasa sakit. Haruskah dia melepaskan Claretta agar gadis itu bisa bahagia di luar sana?
"Tidak," Ellusiant menggeleng keras. Tubuhnya gemetar tak terkendali oleh pemikiran itu. "Tidak akan pernah. Dia tidak boleh ke mana-mana. Tidak boleh. Tidak boleh. Tidak boleh." Lebih baik Ellusiant yang memotong kepalanya sendiri daripada harus menyaksikan gadis itu meninggalkannya. Lebih baik dia yang pergi.
Ellusiant menghabiskan sepuluh tahun lebih untuk mencarinya ke mana-mana. Mengacak-ngacak Dinding Surga hanya untuk bisa menemukannya. Bagaimana mungkin Ellusiant rela melepasnya lagi?
Sayangnya, Claretta tidak mengingatnya sama sekali.
"Yang Mulia?" Suara Asher terdengar. Dia mengetuk pintu. "Anda baik-baik saja?"
"Ya," jawab Ellusiant serak.
Lelaki itu membuka kran lagi dan mencuci mukanya. Setelah selesai, dia keluar dan menemukan wajah khawatir Asher di depan pintu.
"Anda terlihat pucat," kata Asher.
"Aidan sudah menyiapkan apa yang kuminta?"
"Ya. Sudah ada di atas meja ruang kerja Anda."
"Mayat Isaiah itu ... jangan langsung dibakar. Aku ingin tangannya."
Ya! Bagian tangan adalah yang paling enak! Suara-suara dalam kepala Ellusiant meraung kesenangan.
Asher mengangguk. Ekspresinya tidak beriak. "Hanya tangan?"
"Sedikit darahnya juga."
"Baik, Yang Mulia."
Asher tidak akan terkejut. Untuk Etherian-Etherian normal di luar sana, bisa ular dan daging mentah hewan buas saja sudah cukup untuk meningkatkan Ether mereka. Namun Ellusiant dan Asher berbeda. 143 kerajaan dengan ratusan juta penduduk mengandalkan kekuatan mereka untuk berlindung. Mereka butuh sesuatu yang lebih kuat dari sekadar bisa ular beracun dan daging mentah hewan buas.
Lagipula, Ellusiant memang lebih menyukai efek yang dihasilkan daging manusia ketimbang hewan buas. Ilusinya menjadi lebih kuat, lebih tajam, lebih hidup.
Lebih mematikan.
"Bagaimana kondisi Claretta?" tanya Ellusiant. Ekspresinya tetap datar, seolah dia hanya sedang menanyakan cuaca.
"Selir ... baik-baik saja, Yang Mulia. Saya mendapat laporan dari kepala Istana Timur selera makannya naik drastis."
Walaupun dia tidak ingin Asher tahu, namun Ellusiant tidak bisa menahan air wajahnya yang berangsur-angsur melunak. Ini masih terasa asing di telinganya. Claretta hampir selalu mogok makan, satu upaya kecilnya untuk memberontak. Selama setahun pernikahan mereka, terkadang Ellusiant harus melakukan cara yang keras untuk memaksa Claretta makan. Ellusiant akan mengancam bukan hanya gadis itu yang kelaparan, tetapi juga keluarga serta dua dayangnya. Saat Claretta menganggap dirinya hanya menggertak, lelaki itu benar-benar merealisasikan ancamannya. Selama dua hari penuh, Ellusiant menyita seluruh makanan dari keluarganya beserta kedua dayangnya. Baru pada saat itu Claretta mau makan walau hanya sedikit.
Bohong kalau Ellusiant bilang hatinya tidak terluka setiap kali Claretta bersikap dingin seperti itu. Tidak apa-apa jika gadis itu tidak mengingatnya lagi. Tidak apa-apa jika dia membencinya. Tapi Ellusiant benci setiap kali Claretta menyakiti dirinya sendiri. Ellusiant bahkan melonggarkan beberapa protokol istana hanya agar gadis itu bisa bergerak bebas, namun apa pun yang dilakukan Ellusiant selalu tidak pernah cukup. Claretta kerap meminta hal yang paling mustahil bisa dia berikan; pergi darinya.
"Ah, ada dua hal lagi yang ingin saya laporkan juga, Yang Mulia." Asher menatap Ellusiant serius. "Saya mendapat laporan dari Tristan bahwa selir beberapa kali memohon untuk diizinkan keluar dari istana."
"Kalau dia hanya ingin berjalan-jalan di Erantha, aku tidak pernah melarangnya, bukan?" Ellusiant mengerutkan dahinya. "Apa yang membuatmu khawatir?"
Ellusiant merasa dia sudah memberi Claretta cukup banyak kelonggaran. Andai dia boleh mengikuti kata hatinya dan abai terhadap perasaan gadis itu, Ellusiant sesungguhnya ingin mengurung Claretta selamanya di dalam Istana Timur.
"Ya. Tapi ... ini agak aneh. Tiga hari pertama setelah insiden di danau itu, selir terus-terusan mengatakan bahwa dia ingin pulang ke Greden."
Ellusiant terdiam. Dia melirik Asher, menunggu apa lagi yang ingin pria itu laporkan.
Asher menggaruk rambutnya dengan alis bertaut. "Mungkin ... mungkin selir kembali dirasuki roh jahat?"
Ingatan Ellusiant melayang pada kejadian seminggu lalu. Bibirnya seketika melengkung samar. Harus dia akui, dia takjub dengan ide nekat Claretta di situasi seperti itu.
"Ya. Mungkin dia dirasuki lagi," jawab Ellusiant kalem, kendati tawa sudah berada di ujung tenggorokannya.
"Anda tidak merasa resah?"
"Kenapa aku harus resah? Panggil saja tabib atau ahli tenung yang bisa mengusir roh jahat dan semacamnya."
Ekspresi Asher tampak mengerut bingung.
Mereka sudah sampai di depan Ruang Pertemuan. Lima prajurit membungkuk rendah di hadapan mereka berdua. Ellusiant sengaja tidak langsung masuk dan menoleh kembali kepada Asher.
"Apa laporan kedua yang ingin kau sampaikan?"
Asher melebarkan matanya sejenak, seakan baru teringat. "Oh, ya. Yang kedua, saya mendengar ini dari Kayla dua hari lalu."
Kayla? Wanita sadis yang sekarang bertugas menunggu perpustakaan Istana Timur?
"Apa Claretta merusak koleksi buku berharga di perpustakaan?"
"Tidak merusak. Tepatnya mencuri." Asher menoleh kepada Ellusiant. Ekspresinya khawatir sekaligus bingung. "Dia menerobos Ruang Pusaka keluarga Frisia dan mengambil buku silsilah."
Itu baru hal aneh.
"Kenapa dia melakukan itu?" tanya Ellusiant muram. Menerka-nerka apa yang dipikirkan gadis itu.
"Kami sudah menyelidikinya diam-diam. Dimulai dari topik yang sering diobrolkan dengan kedua dayangnya, histori buku-buku yang beliau ambil di perpustakaan, kesimpulan sementara kami sepertinya selir sedang mencaritahu sesuatu tentang keluarga Anda, Yang Mulia. Lebih utamanya, selir sepertinya menginginkan nama asli Anda."
Kedua sudut bibir Ellusiant terangkat tipis. Apa yang sedang direncanakan selirnya sekarang? []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top