3: Bukan Claretta

Rasa dingin yang menggigit mencakar-cakar kesadaran Zoey. Memaksanya bangun. Gadis itu membuka mata. Ketika dilihatnya biru laut yang begitu luas, Zoey mengerutkan kening. Kepalanya disesaki asap kebingungan. Perlahan-lahan, asap-asap itu memudar dan mulai menampilkan apa yang ada di baliknya dengan jelas; sebuah kenangan yang tidak menyenangkan.

Zoey belum pernah bangun tidur dengan perasaan semarah ini.

Dia dicekik oleh seorang pria setelah pulang dari magang, dan pria itu adalah kliennya sendiri. Tanpa alasan!

Zoey tahu dia akan mati, tapi entah bagaimana dia juga tahu bahwa tidak mungkin hari itu adalah kematiannya. Tersisa sedikit kepercayaan diri bahwa orang yang mencekiknya hanya orang sinting yang iseng berbuat kriminal. Mengingat jalanan itu cukup ramai, Zoey percaya diri bahwa mungkin dia akan terbangun di rumah sakit. Mungkin di kamarnya sendiri, ditemukan oleh orang tuanya atau tetangganya atau orang asing yang lewat. Mungkin di ruang autopsi dan menakuti tim dokter di sana.

Tapi bukan di pinggir danau dalam keadaan basah kuyup.

Gadis itu bangun seketika, menatap sekujur tubuhnya yang basah. Tepat di sebelahnya terhampar permadani hijau yang beriak tenang. Zoey tahu dia tidak mungkin semudah itu mati. Tapi terbangun di pinggir danau asing benar-benar membuat dirinya ingin mencebur diri ke dalamnya sekalian biar dia mati sungguhan. Zoey paling benci ketika dirinya terjebak dalam suatu keadaan yang membingungkan!

Kenapa Zoey bisa berada di sini? Apa yang terjadi?

Zoey menyentuh air di pinggir danau. Permukaan air yang jernih itu memantulkan bayangan wajahnya. Rambut hitam sebahunya menghilang, digantikan oleh rambut sepunggung berwarna cokelat gelap. Dan wajahnya ....

Sebentar.

Zoey menyentuh wajahnya dengan kengerian berkali-kali lipat. Tangannya gemetar saat dia terus-menerus menggosok pipinya, seakan itu bisa melunturkan wujud asing yang menempel di tubuhnya kini.

"Kenapa wajahku berubah?" bisiknya takut. "Apa aku diculik oleh sindikat perdagangan manusia? Lalu mereka mengoperasi wajahku seluruhnya?"

Zoey memeluk dirinya sendiri yang basah kuyup. Dia memandangi kedua tangannya sendiri yang masih tremor. Di Oliver, kulitnya berwarna putih cerah, hampir pucat malah, hingga semua orang bisa melihat garis uratnya yang berwarna biru kehijauan. Kulit yang membuat Zoey ingin menggaruknya sampai habis karena tidak suka.

Tubuh gadis asing ini memiliki semua yang Zoey inginkan. Rambut cokelat dengan kedua mata yang memiliki warna senada, dan kulitnya berwarna cokelat keemasan. Bukan putih pucat yang hampir transparan. Wajahnya ... benar-benar cantik. Siapa pun gadis ini, Zoey merasa dia cocok menjadi dewi madu. Sebab semua yang ada dalam dirinya memancarkan nuansa cokelat hangat dan kecantikan yang terasa manis. Bahkan gaunnya yang basah juga berwarna cokelat terang.

Zoey memegang wajahnya lagi. Jantungnya masih berdegup cepat karena panik, bingung, ketakutan.

"Aku pasti sudah gila," Zoey menuduh dirinya sendiri. Dia terus memeluk tubuhnya yang menggigil kedinginan, mengayun-ngayunkannya seraya mencoba memahami apa yang sedang terjadi. "Mungkin aku berhalusinasi dan ini semua tidak nyata."

Sayangnya, berapa kali pun Zoey memejamkan mata dan membukanya lagi, tempat yang mengelilinginya tidak kunjung berubah.

"Aku pasti diculik oleh orang gila," bisiknya lagi, mengubah hipotesisnya. "Hanya itu penjelasan yang masuk akal."

Kliennya adalah orang gila itu.

Untuk waktu yang cukup lama, gadis itu tetap berada di posisinya. Meringkuk memeluk dirinya sendiri sembari mengumpulkan keping-keping ingatan.

Apa yang terjadi setelah dia kehilangan kesadaran semalam?

Zoey tidak lagi panik, tapi dia ketakutan. Kasus perdagangan manusia sedang hangat-hangatnya di negaranya tinggal, Greden. Banyak wanita dan anak-anak diculik, entah tubuh mereka dimutilasi untuk dijual organnya di pasar gelap, atau berakhir di rumah bordil dan menjadi pelacur.

Kemungkinan mana yang sedang terjadi padanya?

"YANG MULIA!"

Zoey terentak. Dia menoleh gugup, mendapati dua wanita berlari tergopoh-gopoh menghampirinya.

Yang Mulia?

Zoey semakin linglung. Dia hampir tidak pernah mendengar panggilan itu di Greden. Lagipula tidak ada negara dalam Perserikatan Negara yang menganut monarki. Semua negara dipimpin oleh presiden. Panggilan Yang Mulia hanya bisa didengarnya di drama kerajaan. Kenapa juga Zoey dipanggil Yang Mulia?

"Yang Mulia! Astaga! Astaga! Langit, tolong kami!" seorang gadis berkulit putih di depannya kira-kira lebih muda empat tahun dari Zoey. Gaun cokelatnya tampak kusam, dan pita hitam di ikatan rambutnya terlihat hampir copot. Gadis itu menatap Zoey seakan dirinya baru saja jatuh dari atas bangunan. Sementara di sebelahnya, seorang wanita paruh baya berlutut dengan mata berkaca-kaca. Wanita itu tampak ingin menangis tetapi ditahannya mati-matian.

"Yang Mulia," isaknya.

"Kalian ... siapa?" tanya Zoey bingung.

"Yang Mulia," wanita paruh baya itu menyedot ingusnya, kemudian memegangi pundak Zoey dengan tatapan sungguh-sungguh. "Kami tau Anda pasti sangat sedih dan kesepian. Tapi bukankah kami sudah berjanji bahwa kami akan menemani Anda ... berpihak pada Anda ... apa pun yang terjadi. Kalau—" wanita itu menaruh tangannya di mulut. Kali ini dia benar-benar akan menangis. "—kalau Anda mati ... kalau Anda mati, siapa yang akan menggaji kami?" Tangisannya meledak. Dia sesenggukan dengan begitu menyedihkannya hingga Zoey ikut terbawa suasana.

Gadis muda di sampingnya langsung memukul pundaknya keras. "Maia, bisa-bisanya kau masih memikirkan gaji di saat majikan kita sedang sekarat?!"

"Aku tidak sekarat," sergah Zoey. "Tapi tau apa yang terpenting dari situasi sekarang?"

Gadis muda itu dan wanita yang bernama Maia memandangnya serius. Menanti Zoey menjawab pertanyaannya sendiri.

"Situasi penting sekarang adalah AKU TIDAK TAHU SIAPA KALIAN!" Zoey membentak mereka berdua. Gadis itu bangkit sambil menggeram. Habis sudah rasa takutnya. Mendadak, Zoey ingin memukul semua orang dan berteriak.

Dia menatap sekitarnya dengan mata nyalang. "Sebenarnya apa yang terjadi?! Aku baru saja pulang kerja dan tiba-tiba seorang pria mencekikku! Klienku sendiri! Kurang ajar! Baru kali ini aku mengalami kekerasan di lingkungan pekerjaan. Kalau aku membawanya ke jalur hukum, dia akan dikenai pasal 361 Hukum Pidana tentang Penyerangan Berencana. Dia bisa dihukum penjara!"

Maia dan gadis muda itu saling bertatapan.

"Yang Mulia ... Anda bekerja? Sejak kapan? Ampuni saya yang lancang, Yang Mulia, tetapi ibu Anda tidak akan pernah mengizinkan Anda bekerja. Semua kebutuhan Anda sudah terpenuhi di istana ini," ujar Maia hati-hati.

"Ibuku? Tidak ingin aku bekerja? Kau pasti salah orang. Ibuku tidak pernah seperti itu, kecuali dia kerasukan roh biksu gunung. Kalian pasti salah orang. DAN BERHENTI MEMANGGILKU YANG MULIA! NAMAKU ZOEY!"

Maia dan gadis muda itu mengerutkan kening.

Maia membuka mulut, tampak merasa serba salah, tetapi akhirnya dia memutuskan bicara lagi. "Mohon maafkan kelancangan saya, Yang Mulia. Nama Anda adalah Claretta, dan Anda adalah seorang selir."

***

"Aku bukan Claretta!"

Zoey terus berlari seraya mengangkat gaunnya tinggi-tinggi. Dia berlari terbirit-birit seperti iblis yang menjauhi neraka.

Aku memang berada di neraka!

Zoey sekarang menyadari satu hal. Satu-satunya tempat di mana sebutan Yang Mulia eksis adalah di Perserikatan Kerajaan.

Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin aku ada di sana!

Gadis itu keluar dari pekarangan dan memasuki area yang lebih luas. Area itu dikelilingi oleh pepohonan berdaun magenta, senada dengan bunga-bunga yang tumbuh di sana. Zoey menduga ini sejenis taman dan semacamnya. Beberapa wanita terlihat sedang menyapu dedaunan yang gugur. Gadis itu melihat jalan setapak yang dinaungi terowongan kecil dari tanaman rambat bunga Gloria berwarna merah darah. Zoey berlari menyusuri terowongan itu, yang entah membawanya ke mana. Namun yang pasti, dia harus keluar dari sini!

"Yang Mulia!" Maia memanggil. Kemampuan mereka berlari benar-benar mengerikan. Secepat apa pun Zoey berlari, mereka tampak berlari lebih cepat lagi.

Mereka ini apa? Setan?

"Berhenti mengikutiku! Sudah kubilang aku bukan Claretta! Aku Zoey! Kalian salah orang. Demi tuhan namaku Zoey!"

Zoey melihat pintu melengkung yang tinggi berwarna hijau muda. Zoey memasukinya tanpa pikir panjang dan sempat terpukau oleh keindahan interior di dalamnya. Dinding-dindingnya dipenuhi oleh ornamen-ornamen rumit yang menggambarkan sebuah cerita. Zoey tidak punya waktu menelitinya, namun dia sekilas melihat wanita-wanita bertelanjang dada yang melakukan aktivitas tertentu. Ruangan itu didominasi oleh hijau dan merah muda lembut. Zoey melihat sebuah patung wanita tanpa baju yang tengah memeluk lelaki yang lebih tinggi. Bibir mereka saling bersentuhan.

Kepalanya segera menyimpulkan sesuatu.

"Astaga, apa aku diculik oleh sekelompok kultus penyembah dewi kesuburan?" Zoey membalikkan badan dan berteriak pada dua wanita yang terengah-engah di depannya. "Aku bukan seorang pagan! Aku menganut monoteisme! Dan dewi favoritku bukan dewi kesuburan, tapi dewi kekayaan!"

Zoey dengar orang-orang Dinding Surga menyembah banyak tuhan. Mayoritas dari mereka adalah kaum pagan. Semuanya mulai masuk akal sekarang. Zoey semakin dan semakin dekat pada kesimpulan bahwa dirinya benar-benar berada di Dinding Surga. Sebuah perserikatan yang menaungi ratusan kerajaan di dalamnya.

Perserikatan yang diisi orang-orang jahat!

"Mia." Maia memanggil gadis muda di sebelahnya. Napasnya tersengal-sengal. "Ambilkan tali. Aku rasa kita harus mengikat Yang Mulia."

Mia membulatkan matanya. Zoey lebih terperangah lagi. Mendengar kata diikat, gadis itu kembali berlari sebelum dua wanita sinting di depannya melakukan atau mengatakan hal aneh. Zoey melihat sebuah pintu lagi. Sepertinya mengarah pada ruangan lain, mungkin jauh lebih besar. Zoey membuka pintu tersebut, lantas terkejut saat melihat ada banyak orang menggunakan gaun dengan warna dan model senada. Pelayan? tanya Zoey dalam hati.

"Yang Mulia! Jangan pergi ke sana!" Mia berteriak.

"Sudah kubilang berhenti memanggilku Yang Mulia! Aku bukan Claretta!" balas Zoey.

Orang-orang dalam ruangan itu menghentikan aktivitas mereka saat melihat Zoey. Zoey berlari lagi, kali ini berbelok dan menemukan tangga besar yang mengarah ke atas di tengah ruangan megah itu. Zoey mengamati, ini tampak seperti ruang bagian depan suatu bangunan.

Benar saja. Berhadapan dengan tangga tersebut, dua pintu raksasa berwarna emas berdiri layaknya penjaga kembar yang gagah. Zoey tidak sempat mengagumi kemegahan ruangan ini. Yang dia pikirkan saat ini adalah keluar ... dan mencari bedebah yang hampir membunuhnya semalam.

"Claretta?" seseorang menahan tangan Zoey. Mendengar dirinya dipanggil dengan nama itu lagi, Zoey kembali meledak.

"BERHENTI MEMANGGILKU DENGAN NAMA ITU! Aku bersumpah aku bukan Claretta! Aku Zoey, oke? Aku bukan selir. Aku adalah calon pengacara. Aku magang di kantor hukum Lennox dan Gabriella. Sumpah!" Zoey mengangkat telunjuk dan jari tengahnya bersamaan. Semua orang di ruangan itu menatapnya seakan gadis itu tengah kerasukan spirit jahat.

Seorang gadis yang tadi menahan lengan Zoey menautkan alis. Rambutnya berwarna hitam keabu-abuan, serasi dengan warna kulit kuning langsatnya yang memesona. Kedua matanya besar dan berwarna hijau jernih. Zoey berpikir, gadis cantik di depannya bisa mendapatkan masa depan cerah di Greden.

Gadis itu menoleh pada Maia dan Mia. "Apa yang terjadi?"

Sebelum mereka berdua membuka mulut, Zoey menyambar, "Aku hampir dibunuh oleh klienku sendiri. Semalam aku pulang jam satu malam, aku baru pulang magang. Tiba-tiba dia sudah menungguku dan KHHHKK!" Zoey mencekik dirinya sendiri, membuat gadis di depannya terperanjat kaget. "Dia mencekikku! Aku pingsan, dan tau-tau sudah berada di sini. Aku berasal dari kota Oliver. Negara Greden. Kau tau, 'kan? Greden bagian dari Perserikatan Negara."

"Hati-hati dengan apa yang kau bicarakan, Claretta!" Gadis itu mengangkat telunjuk ke depan wajah Zoey, memperingatkannya. "Kau mau dihukum mati?"

"Kenapa aku dihukum mati?" Zoey bingung pada awalnya, lantas kedua matanya membesar karena teringat berita terakhir yang didengarnya.

Kaisar Dinding Surga menghukum mati semua warga Perserikatan Negara yang memasuki wilayahnya.

"T-tapi, tapi ... aku memang warga Perserikatan Negara." Wajah Zoey memucat saat mengucapkannya.

Semua orang lagi-lagi menatap Zoey dengan pandangan antara bingung, aneh, dan tidak percaya. Seakan Zoey tengah bercerita bahwa leluhurnya pernah membelah langit atau apa. Gadis itu menggeram frustrasi saat dilihatnya tidak ada yang memercayai kalimat putus asa yang dilontarkannya.

"Kumohon percayalah padaku." Zoey hampir menangis. "Aku hanya ingin pulang, dan setelah itu urusan kita selesai. Kalian tidak akan melihatku lagi. Aku hanya ingin kembali Greden. Kumohon. Aku bukan orang jahat. Aku tidak mengggigit. Sumpah!"

"Maia, Mia, bawa Claretta kembali ke kamarnya. Kalau Ellusiant melihatnya seperti ini ... bukan tidak mungkin dia akan melemparnya lagi ke penjara."

"Baik, Yang Mulia Violetta." Mia dan Maia membungkuk hormat pada gadis itu—Violetta.

"Ellusiant? Dia siapa? Namanya terdengar seperti tukang sulap." Zoey bertanya bingung. Mia dan Maia melebarkan mata, mulut mereka terbuka lebar seperti ingin memperingatkan Zoey, tetapi takut untuk bersuara di luar perintah Violetta.

Violetta juga sama terkejutnya. Dia akhirnya mengangguk pada prajurit yang berdiri di kedua sisi tangga. Masing-masing dari mereka mengambil kedua lengan Zoey, menyeretnya paksa. "Hei, tunggu sebentar. Lepas atau aku akan melaporkan kalian ke polisi!"

Dua prajurit itu terus menyeret Zoey menaiki tangga dengan wajah datar, sementara wanita bernama Maia dan Mia itu memandangnya dengan tatapan rasa bersalah. Zoey tidak menyerah. Dia berusaha melepaskan diri dan terus mengomel. "Lepaskan aku! Lepaskan aku! Apa kalian semua tau bahwa kalian baru saja melanggar hukum pidana? Kalian akan dipenjara selama sepuluh tahun atas percobaan penculikan. Pasal 275 Hukum Pidana. Hei! LEPASKAN AKU!" [] 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top