26: Motel Cinta

Bab ini saya revisi sedikit, boleh banget dibaca ulang karena ada detail yang saya tambahin. Selamat membaca!

Hari melarikan diri. Satu hari sebelum pertemuan dengan Hugo Bashville.

Mereka berhasil sampai di Artemist. Puji langit dan semua Tuhan yang ada di dunia ini. Tetapi sepertinya Zoey tahu mengapa dia dibiarkan selamat. Di hadapannya, Farell berkata selayaknya pemandu wisata yang sedang mengantar Zoey berkeliling neraka.

"Penderitaanmu yang sesungguhnya ada di sana." Pria itu mengangguk ke arah bintik kecil di depan mereka. Bukan, itu bukan neraka ketujuh yang menjadi tempat hukuman Zoey, melainkan pemandangan pulau Kerajaan Artemist. Zoey hendak memaki Farell karena sudah membuatnya semakin takut, tetapi umpatannya segera meleleh di lidahnya setelah kapal mereka semakin dekat.

Bagaimana cara Zoey mendeskripsikannya? Artemist adalah bagaimana para pendongeng menggambarkan tempat tinggal para penjahat. Pulau di kaki langit itu dikelilingi kabut, yang terlihat ganjil karena suhu udara terasa panas menyengat. Warna-warna dalam pulau itu tidak merona indah seperti istana yang sudah ditinggalinya selama sebulan terakhir ini. Jika dibandingkan, Artemist tampak seperti tunawisma yang kecanduan narkoba di pinggir jalan. Layu, kurang gizi, dan muram. Dari puncak gunung terbesar, air terjun mengalir seperti muntahan iblis. Awan-awan di atasnya berwarna kelabu pucat. Kerajaan itu terlihat perkasa sekaligus rapuh. Keji. Terkutuk. Mungkin dikutuk banyak orang baik yang mati di sana.

"Begitu sampai di Artemist, kau akan berusaha sendiri," ucap Farell. Kedua matanya terpancang pada pulau di depannya. Muram membayangi wajahnya. "Bythesea pasti akan menghubungiku segera setelah kita sampai di Artemist."

"Kenapa kau nekat mengambil risiko naik kapal mereka?" tanya Zoey. "Bukankah tadi kau yang bilang kalau kita perlu rencana yang tidak membongkar kerja sama kita?"

"Aku hanya menghitung kemungkinannya. Saat mendengar Asher sudah ada di pelabuhan, aku hanya berpikir bahwa dia bisa menahan Chrysante selama mungkin, setidaknya sampai kau bisa sampai di Artemist dengan aman."

"Tapi Bythesea pasti akan memburumu."

"Hanya jika Chrysante tidak mati di tangan Asher." Farell tampak ragu dan mengubah pikirannya. "Mungkin mereka tidak akan mati, tapi semoga Asher bisa menangkap mereka. Jadi komunikasi antara Chrysante dan Bythesea terputus. Aku bisa punya waktu untuk mempersiapkan diri untuk kabur dan bersembunyi sementara. Tapi bukan itu yang harus kita khawatirkan sekarang. Setelah Chrysante, musuh selanjutnya yang kau hadapi adalah Bythesea sendiri. Artemist adalah rumah mereka. Kekuatan mereka berada di puncaknya di sini. Dan aku tau pasti kalau Bythesea sudah mengirim utusannya ke pelabuhan Artemist."

"Kau bilang Violetta tidak tau bagaimana rencanamu membunuhku. Bagaimana mereka bisa tau kalau kau membawaku ke Artemist?"

Farell menjilat bibirnya. Dia terlihat gusar. "Aku tidak tau. Hanya firasat. Chrysante bukan satu-satunya pion mereka. Bukan tidak mungkin Bythesea juga menanam mata-mata di sekelilingmu, di sekeliling kita sekarang." Farell memandang kapal di sekeliling mereka. "Aku hanya berharap semoga kru kapal ini bukan antek-antek Bythesea. Sepanjang pengetahuanku, kapal ini dicari sendiri oleh Chrysante. Bythesea tidak memiliki keterkaitan langsung dengan misi mereka di istana pagi ini."

Zoey merasa lidahnya mendadak terasa pahit. Dia bahkan tidak peduli kapal siapa yang sedang dia naiki sekarang. Rasanya seperti dia keluar dari kandang monster dan hanya berakhir di kandang monster lainnya.

"Itu sebabnya aku bilang kau harus berusaha sendiri," jelas Farell lagi. "Aku akan mengalihkan perhatian dan tetap membuat mereka kebingungan dengan apa yang ada di kepalaku sekarang. Aku yakin mereka hanya mengirim satu atau dua. Tugas mereka hanya memastikan aku benar-benar membunuhmu. Sama seperti Chrysante."

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan keluargaku?" Zoey mendadak teringat dengan orang tua Claretta. Dia melempar tatapan penuh tuduhan kepada lelaki itu. "Kau mengingkari rencana awal kita. Yang seharusnya mereka aman jadi tidak aman gara-gara kau! Ellusiant ... Ellusiant mungkin sudah mengincar mereka!"

"Tenang." Farell menyeringai kecil. "Aku, 'kan, sudah tau kalau aku bakal mengkhianatimu—" Farell menghindari pukulan Zoey tepat waktu.

"Dasar bajingan!"

"—ya intinya mereka sudah aku amankan sebagai antisipasi. Ah, tidak. Maksudku hanya ibumu yang aman."

Murka Zoey kontan lenyap. Dia mengerutkan kening. "Lalu ke mana ayahku?"

"Tidak ada di rumahnya." Farell memiringkan kepalanya, memandang Zoey dengan alis terangkat. "Aku baru tau kemarin, tapi mungkin seharusnya kau sudah tau kalau ayahmu sudah tidak pulang ke rumah selama dua tahun lebih."

"Aku, 'kan, lupa ingatan," gerutu Zoey. Maksudku, aku mana tau apa yang terjadi dengan keluarga Claretta, 'kan?

Farell mendesah. "Kau dan ingatanmu yang hilang tiba-tiba hanya karena tenggelam di danau itu benar-benar aneh, Claretta. Kadang aku mengira kau dirasuki jiwa lain setelah kau hilang ingatan, karena kau betul-betul berubah jadi orang baru setelah hilang ingatan."

"Ya, jiwa seorang warga Perserikatan Negara bernama Zoey Edevane." Zoey mengangguk. "Sekarang aku sedang berusaha mencari jalan keluar agar bisa pulang ke sana. Itu sebabnya aku bikin onar di sana-sini."

Farell mendenguskan tawa. "Lucu. Kalau begitu, salam kenal, Zoey Edevane, dan selamat datang di kehidupan neraka milik Claretta Eleantha."

Zoey mengembalikan pandangannya ke depan, melihat pelabuhan Artemist yang sudah semakin dekat. Dia bergumam, lebih kepada dirinya sendiri alih-alih kepada Farell.

"Ya, terima kasih. Aku harap kau menyambutku seperti itu dari awal."

Pluit kapal kembali memekik setelah mereka sampai di dekat dermaga. Setelah jangkar diturunkan, pintu rampa kapal dibuka. Pelabuhan Artemist sedikit lebih ramai dari Pelabuhan Gravel. Zoey mendongak, melihat awan-awan di atas kepalanya berubah mendung sementara hanya beberapa mil di belakang kapal langit masih terang-benderang. Burung-burung dara laut terbang menjauhi Artemist, seolah mereka pun melarikan diri dari apa pun yang ada di dalam kerajaan itu. Andai Zoey bisa terbang, dia juga ingin meninggalkan pulau ini dan menyeberangi lautan sampai di Perserikatan Negara.

Maia dan Mia sejak tadi cuma terdiam. Namun tak lama kemudian Maia mengambil tangan Zoey dan meremasnya pelan. Memberinya kekuatan.

"Saya akan melindungi Anda, Yang Mulia," katanya.

"Maafkan aku," ujar Zoey lirih, dan sungguh-sungguh. Zoey merasa malu setengah mati pada kedua dayangnya yang baik dan loyal ini, yang selalu memberi Zoey kekuatan dan memaklumi segala tingkahnya selama di istana. Zoey bahkan hampir membuat mereka celaka karena kecerobohannya. Sekarang, mereka berdua jadi ikut tercebur ke dalam kolam kesialan Zoey. Mempertaruhkan nyawa mereka hanya untuk mengikutinya.

Maia tersenyum seraya mengangguk pelan. "Saya yang seharusnya minta maaf, Yang Mulia."

Zoey ingin bertanya untuk apa wanita itu meminta maaf, tetapi dia melihat pundak Farell menegang di depan mereka.

"Masuk lagi," ujarnya. "Ke geladak. Sekarang."

"Ada apa lagi?" tanya Zoey.

Farell terus mendorong mereka masuk. Walau masih tak jauh dari pintu rampa yang terbuka, setidaknya mereka terlindungi oleh dinding dan badan-badan besar penumpang yang turun.

"Ada apa?" tuntut Zoey.

"Utusan Bythesea. Tapi ada banyak sekali."

"Apa Chrysante melaporkan sesuatu kepada mereka?"

Farell menggeleng. Kentara sekali pria di depannya terlihat panik, seolah apa yang terjadi sekarang benar-benar di luar perkiraannya. "Seharusnya hanya ada satu." Farell menaruh jari telunjuknya di bibir, berpikir keras seraya mondar-mandir di depan Zoey. "Begini. Violetta melihatmu pergi bersamaku. Dia pasti mengutus Chrysante untuk mengikuti kita, untuk memastikan aku membunuhmu. Chrysante tertahan di pelabuhan, jadi pasti tidak ada laporan yang disampaikan ke Violetta setidaknya sampai beberapa jam ke depan."

"Bisa saja kalau mereka menggunakan ponsel—" Zoey menghentikan mulutnya setelah menyadari kebodohannya.

"Kita tidak menggunakan ponsel seperti orang-orang Perserikatan Negara, Claretta."

"Ya, ya, maaf. Aku lupa. Lanjutkan lagi."

Farell mengembuskan napas panjang, matanya jelalatan ke sana kemari sambil berpikir. "Anggaplah ada orang-orang di kapal ini yang memberitahu mereka tentang kita. Bythesea tetap akan mengirim satu atau dua orang utusannya untuk menjemput kita, menjemputmu ke tempat sepi untuk dibunuh. Tapi anehnya, kenapa Bythesea mengutus banyak orangnya ke pelabuhan? Ini bukan menjemput, ini namanya mengepung. Mereka ingin menangkapmu langsung di depan banyak orang!"

Zoey tertegun. Dia mulai menangkap logika yang Farell jabarkan barusan. Sesaat kemudian pria itu menepuk tangannya sekali dengan gestur semakin tegang.

"Tidak. Tunggu, tunggu. Bahkan Asher langsung menuju pelabuhan Gravel. Padahal ada banyak pelabuhan. Tapi kenapa dia, dengan sangat akurat, langsung mendatangi Pelabuhan Gravel? Bagaimana dia tau kita akan langsung menuju Artemist?" Farell menatap Zoey. Sebuah tatapan yang cukup intens untuk menyampaikan sesuatu. Zoey langsung menangkapnya. Memang ada mata-mata di antara mereka, yang sudah menyampaikan laporannya—entah menggunakan media apa—bahkan sebelum mereka menginjak kapal ini. Sebelum mereka sampai di Pelabuhan Gravel.

Zoey menahan diri agar tidak melirik Maia dan Mia. Bulir keringat jatuh di tengkuk gadis itu. Tidak. Pasti bukan Maia dan Mia. Semoga bukan mereka. Jika memang ada mata-mata, Zoey tidak tahu kepada siapa mereka bekerja. Ellusiant atau Bythesea?

Zoey berusaha berpikir positif dan berkata, "Farell, aku pernah dihukum oleh Ellusiant karena pernah merencanakan kabur dari istana dan pergi ke Artemist diam-diam. Mungkin Asher menebaknya dari sana."

Farell mengerutkan dahinya dalam-dalam. Masih belum puas. "Ya, ya. Itu masuk akal. Tapi tetap saja firasatku mengatakan ada yang aneh. Sekarang anggap saja misteri tentang mengapa Asher bisa menebak posisi kita dengan akurat karena dia menebaknya dari pola sebelumnya. Selesai. Sekarang mengapa Bythesea mengirim banyak orangnya? Bukan hanya banyak, tapi dia mengirim yang terkuat, pembunuh-pembunuh bayaran yang biasa mereka kirim untuk menghabisi musuh mereka yang paling kuat. Kalau hanya untuk membawamu ke tempat sepi dan membunuhmu, lima saja sudah cukup walau menurutku masih berlebihan."

"Menurut saya Anda sudah menjawab pertanyaan Anda sendiri," Mia membuka suara. Farell menatapnya seakan dia baru sadar ada orang lain selain dirinya dan Zoey. "Bythesea mengirim banyak orangnya bukan untuk membawa Nyonya Claretta ke tempat sepi seperti yang kalian rencanakan sebelumnya. Tapi mereka ingin mengepungnya. Ingin ... menarik perhatian banyak orang ketika menemukan Nyonya Claretta."

"Ya, tapi kenapa mereka ingin menarik banyak perhatian...?" Pertanyaan itu membentangkan keheningan yang membuat mereka ikut berpikir keras. Sejurus kemudian, lelaki itu melebarkan matanya, seakan ada sesuatu yang menghantam benaknya dan membuatnya paham. "Oh, kau benar, Mia. Kau benar. Kau benar!"

"Kenapa?" Zoey kebingungan.

Farell menggosok-gosok tangannya sembari mondar-mandir lagi di depan Zoey. "Mereka ingin mengepung kita. Mencari perhatian banyak orang. Tapi itu artinya, mereka tidak lagi ingin membunuhmu, Claretta. Tidak sekarang. Tidak di sini. Sesuatu—seseorang—membuat kesepakatan baru, pastinya dengan bayaran yang sangat menggiurkan sampai-sampai Violetta bersedia menahan diri agar tidak mencincangmu sekarang."

"Dan orang itu adalah...?"

"Seseorang yang sangat ingin menemukanmu dengan cepat, tapi satu-satunya yang ingin kau tetap hidup ketika ditemukan." Farell menatap Zoey lagi. "Ellusiant."

Zoey berusaha tetap tenang saat mendengar namanya. Bayangan lelaki itu yang berdarah-darah dan menatapnya penuh kebencian menyerbunya seperti badai.

"Ellusiant bekerja sama dengan Bythesea?"

"Itu baru asumsi. Tapi kemungkinan, ya."

"Dia ingin aku mati juga, Farell. Dia ingin menyeretku kembali ke istana untuk dihukum mati!"

Farell mengintip ke balik dinding seraya menyipitkan matanya. Dia mengangguk muram. "Kau tau apa yang kupikirkan? Jika Ellusiant bekerja sama dengan Bythesea, ada kemungkinan dia tau Violetta sudah lama mengincarmu dan ingin membunuhmu. Dia tidak ragu memanfaatkan hasrat haus darahnya untuk memburumu. Yang artinya, dia menggunakan Panglima Asher, orang militer yang memiliki banyak sumber daya yang dibutuhkan untuk mencari buronan. Sekaligus Violetta Bythesea, predator yang menginginkan kepalamu sejak lama. Musuh terbesarmu sekarang bukan lagi Bythesea, Claretta. Tapi Ellusiant. Di antara semua musuhmu sekarang, dialah yang paling menginginkanmu."

Zoey meremas-remas jarinya yang sudah terasa dingin dan berkeringat. Sejak awal, pria itu memang rintangan terbesar dalam rencananya. Orang bilang setiap manusia akan menemukan 'kerikil' dalam kehidupannya, sebab manusia akan selalu diuji keimanannya oleh Tuhan dengan harapan 'kerikil' itu bisa membuat manusia lebih bijaksana. Tapi Zoey merasa Ellusiant bukan sekadar 'kerikil' yang Tuhan kirim, pria itu adalah batu raksasa yang bukan hanya membuat Zoey jadi mawas diri tapi juga ingin bertaubat dan meminta ampun untuk dosa-dosanya dan dosa seluruh nenek moyangnya. Dalam kata lain, Ellusiant adalah orang terakhir yang Zoey pilih sebagai antagonis dalam hidupnya.

Dia memaksakan tawa kecil dan memukul pundak Farell, lantas berkata, "Itu baru asumsi, 'kan? Kita tidak tau apa yang ada di kepala Violetta. Dia itu orang gila. Mungkin rencananya sesederhana dia ingin menggorok leherku di depan banyak orang. Sekarang, kita fokus saja pada apa yang di depan. Aku harus keluar dari sini hidup-hidup."

Farell mengangguk pelan, masih terlihat ragu, lalu merogoh saku celananya dan menyodorkan kertas yang dilipat. "Ada alamat motel aman yang bisa kau tinggali sementara. Minta kamar khusus. Juga ada alamat orang-orang yang kupercaya yang mungkin bisa menolongmu. Kemudian .... Oh, oh! Hugo Bashville ada di penjara kejaksaan. Jangan mendaftar sebagai dirimu—"

"Aku tidak setolol itu."

"—dan jangan mendaftar sebagai pengunjung. Cari saja ide agar bisa masuk ke sana. Terus awasi sekitarmu. Lari kalau kau melihat seorang laki-laki bertopeng tadi. Sang Kematian. Dia yang paling berbahaya di antara trinitas. Karena kita tidak tau apakah dia berhasil dikalahkan oleh Asher atau tidak."

Sang Kematian. Zoey melihatnya tadi di pelabuhan Gravel. Doanya tidak dikabulkan. Dia benar-benar berharap pria bertopeng mengerikan itu bukan Sang Kematian. Tetapi seharusnya Zoey tahu sejak awal. Sang Kematian adalah bagaimana seharusnya manusia menggambarkan malaikat maut. Seorang laki-laki yang menyembunyikan ratusan senjata di balik bajunya alih-alih sabit di punggung, dan memakai topeng bertuliskan 'aku adalah tuhan' alih-alih tudung hitam membosankan. Zoey ingat dia memandangnya dengan penuh kesengitan tadi. Saat melihatnya pertama kali, Zoey merasakan amarahnya bangkit tanpa alasan yang jelas. Seakan ini bukan pertama kalinya dia melihat pria bertopeng itu. Lagi-lagi dia merasakan adanya ikatan irasional antara dirinya dan orang-orang di sekitar Claretta, bahkan termasuk musuhnya.

Farell menoleh ke belakangnya lagi, gesturnya semakin panik. Zoey berusaha mencari-cari namun dia tidak menemukan apa pun selain orang-orang yang menyesaki pelabuhan. Mungkin Farell sudah mengenali ciri-ciri orang-orang Bythesea sehingga hanya lelaki itu yang bisa melihatnya.

"Oke. Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Zoey.

"Kita keluar satu-satu. Pelan-pelan. Lalu membaur dengan kerumunan. Aku akan mengalihkan perhatian mereka. Tapi jangan pernah menoleh ke belakang. Mengerti? Kau tidak perlu tau apa yang kulakukan. Tugasku adalah memastikan tidak ada utusan Bythesea yang menangkapmu dari belakang."

Zoey ingin bertanya bagaimana cara pria itu melakukannya. Dia agak khawatir Farell akan melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri. Namun kemudian, dia teringat bahwa pria ini baru saja mengkhianatinya tanpa perasaan. Jadi ditelannya kekhawatiran itu dan mengangguk paham. Kenapa juga dia harus peduli?

Dia membaca sekali lagi kertasnya sebelum kemudian memasukkannya ke dalam saku gaun. "Kapan kita akan bertemu lagi?"

Farell mengeluarkan sesuatu dari tas selempang kulitnya. Kantong berisi mutiara palsu dari plastik berwarna biru laut. "Setiap kali kau berhenti di suatu tempat yang penting, jatuhkan butir-butir mutiara sebanyak angka ganjil di tempat yang tidak terlalu mencolok, tapi aku bisa melihatnya."

Zoey menatap Farell seolah dia adalah orang terbodoh yang pernah dilihatnya. "Artemist itu sangat luas. Aku bisa pergi ke mana saja. Bagaimana kau bisa mencari butiran mutiara ini meskipun aku menjatuhkannya?!"

Farell berdecak sebal. "Aku lebih pintar darimu dan lebih terlatih mencari jejak. Ikuti saja apa kataku."

Zoey cemberut, menelan apa pun kalimat buruk yang ingin dikeluarkannya. "Terserah kau saja deh."

Baru saja Farell hendak berjalan, lelaki itu kembali berputar menghadapnya dan berkata lagi, "Oh, oh. Satu lagi. Satu lagi. Ini penting. Aku tau kau sudah ingin menolong Hugo Bashville sejak awal. Tapi kau pernah bertanya mengapa aku ingin kau menolongnya juga, mengapa menolong Hugo Bashville adalah bagian dari kesepakatan kita berdua. Petunjuk kecil untukmu: Bythesea awalnya mendukung keluarga Adams. Lalu tepat setelah Perserikatan Negara menyelundupkan tujuh mata-matanya lewat Laut Artemist, Bythesea berubah pikiran dan mendadak ingin menjadi malaikat penolong bagi Hugo Bashville. Cari tau dari situ."

"Kenapa kau tidak langsung saja memberiku jawabannya?"

Farell langsung merapatkan mulutnya. Tentu saja, jawabannya sudah jelas. Zoey mendengkus sebal dan menggerutu, "Kau juga tidak tau dan ingin aku mencaritaunya, 'kan? Karena kau juga diberi perintah untuk membantu Hugo Bashville dan memanfaatkanku untuk melakukannya."

"Aku punya banyak teori, tapi salah satunya tidak terdengar bagus." Pria itu terlihat ragu sejenak, sebelum akhirnya menyuarakan pikirannya hati-hati. "Tapi sepertinya Hugo Bashville memiliki suatu hubungan yang sangat penting dengan Perserikatan Negara."

***

"Motel ... Vertusa? Namanya terdengar norak."

Zoey mengerutkan kening selagi membaca kertas itu di dalam Cabrioler. Seperti janjinya, Zoey sama sekali tidak menoleh ke belakang dan mencaritahu apa yang Farell lakukan untuk mengalih perhatian utusan-utusan Bythsea di pelabuhan. Begitu Zoey dan kedua dayangnya turun dari kapal, mereka berjalan cepat menuju Cab-Cab yang sedang nongkrong dan segera naik. Tidak ada halangan sama sekali sampai-sampai Zoey merasa langkahnya setengah mengambang, mengira dia sedang bermimpi. Akhirnya ada bagian dari hari ini yang berjalan sesuai rencana. Namun untuk mendapatkan itu, entah apa yang Farell korbankan. Gadis itu sempat melihat siluet punggungnya ketika turun dari kapal sebelum akhirnya menghilang di dalam kerumunan. Zoey berusaha menyingkirkan nuraninya dan tidak memikirkan bajingan itu. Tapi hatinya tetap terasa berat, dan otaknya juga tidak berhenti memikirkan Ellusiant.

Mia mengintip, mulutnya membentuk huruf o besar. "Vertusa adalah dewi cinta dalam kepercayaan Jardin kuno. Jadi itu adalah motel cinta!"

"Tetap kedengeran norak," gerutu Zoey.

Mia tidak sependapat. "Cinta itu memang norak, tapi tetap saja kita mendambakannya."

"Aku tidak." Zoey menjawab sewot. Tepat setelah mengatakannya, otaknya justru berkata lain. Dia malah terus teringat Ellusiant.

Apakah dia berhasil diselamatkan?

Tunggu, kenapa juga aku memikirkannya?!

Tidak, tidak. Hentikan! Dia jahat. Jahat kuadrat! Jangan merasa kasihan padanya! Gadis itu memukul kepalanya sendiri sampai Maia dan Mia terkejut.

"Ada apa, Yang Mulia?" Mia bertanya panik. Zoey hanya bisa menggeleng sambil mengeluarkan suara tangisan tertahan. Dia ingin sekali mencopot kepalanya yang bodoh ini.

Cabrioler mereka berhenti setelah menempuh waktu sejam perjalanan. Matahari terlihat semakin rendah di ufuk barat. Saat keluar, udara dingin menusuk-nusuk kulit di balik gaun Zoey yang sudah basah oleh keringat. Orang-orang mulai berjalan lebih cepat menuju tempat tujuannya. Berbeda dengan tiga wanita yang masih berdiri di bawah bayang-bayang pilar raksasa. Zoey terperangah di dasar tangga, menyaksikan keramaian melintas cepat di atasnya bagaikan tayangan salindia yang dimainkan di layar raksasa. Maia bilang, keindahan ibu kota Artemist masih tidak ada apa-apanya dibanding ibu kota Dinding Surga, Erantha, tetapi Zoey tidak setuju. Karena Artemist layaknya kontradiksi antara dongeng kuno dan futuristis sekaligus yang mewujud di atas tanah. Setidaknya, Greden yang modern belum mencapai tata ruang yang maju dan unik seperti ini.

Artemist memiliki topografi yang cenderung dinamis, tinggi dan rendah seolah bergelombang, berbeda dengan Erantha yang cenderung datar dan membosankan, walaupun tetap memiliki keindahannya tersendiri. Artemist memahat bukit-bukit mereka menjadi kota. Mereka menaklukkannya dan menyusun kota seperti susunan tangga. Memang sedikit terlihat padat, tetapi tersusun rapi. Jumlah bukitnya tidak hanya satu tetapi ada banyak. Kemudian, di setiap puncak bukitnya terdapat patung-patung raksasa bersepuhkan emas yang memantulkan pendar lemah matahari. Bangunan-bangunan tinggi berdiri megah di atas kepala gadis itu, dengan pilar-pilar yang menyangga tiap sisi bangunannya dengan angkuh. Zoey menaiki tangga dan melihat-lihat sekelilingnya, mengagumi presisi tiap sudut bangunan di Artemist. Balok-balok batu duduk di atas satu sama lain dengan simetri yang begitu sempurna sehingga Zoey tahu bukan manusia biasa yang memotongnya.

Tiap bukit itu dihubungkan oleh jembatan yang disangga dengan tiang-tiang batu. Jalanan dan tangga meliuk-liuk ke atas dan ke bawah dengan anggun, desainnya pun dibuat untuk memastikan agar pejalan kaki dan transportasi kuda dapat berjalan dengan nyaman. Cabrioler-Cabrioler tentu saja sangat diuntungkan, mereka melayang mondar-mandir di atas kepala Zoey dengan keanggunan yang membuat iri para burung. Tali-tali dibentangkan dari satu gedung ke gedung lain dan dihiasi kotak-kotak dari kertas plastik berwarna merah. Mungkin itu lampu? batin Zoey bertanya-tanya.

"Ini indah sekali," puji gadis itu.

"Anda harus melihat Artemist di malam hari," sahut Mia. "Jauh lebih indah lagi."

"Artemist adalah kerajaan tanpa moral kendati tempat ini adalah rumah dari ratusan agama. Anda juga harus berhati-hati." Maia menimpali dengan nasihatnya seperti biasa.

"Sekarang kita perlu mencari motel Veritus ini—"

"—Vertusa," ralat Mia.

"Iya, maksudku itu. Motel Cinta atau apalah namanya. Setelah sampai di sana kita ... beristirahat." Zoey butuh menjernihkan kepalanya lebih dulu. Dia tidak boleh bergerak dalam keadaan kacau seperti ini, atau dia akan membuat keputusan keliru lainnya.

Setiap bukit memiliki nama. Cabrioler mereka berhenti di bukit bernama Hara, tetapi Motel Cinta itu rupanya masih cukup jauh lagi. Setidaknya mereka perlu berjalan selama sepuluh menit menuju bukit Estia yang berada tepat di tengah kota. Zoey sedikit cemas tempat ini terlalu mencolok, terlalu padat oleh manusia. Bagaimana kalau ada orang yang mengenalinya? Bagaimana jika salah satu dari perempuan-perempuan bertudung yang melewatinya ini, atau para pria yang mabuk di sudut-sudut jalan, diam-diam melaporkannya dan membuat dirinya tertangkap dalam beberapa menit? Sambil menggenggam kecemasan itu, Zoey menaiki tangga Bukit Estia dan mencari dengan teliti setiap papan nama bangunan di sekitarnya. Semuanya ... adalah motel.

"Mungkin bukit ini memang dialokasikan untuk tempat bisnis motel," jelas Maia saat Zoey menyuarakan pertanyaannya. "Memudahkan petugas istana untuk menagih pajak, jadi dia tidak perlu ke sana-kemari."

Zoey masih merasa itu tidak masuk akal secara teori ekonomi, tapi dia hanya mengangguk-ngangguk saja dan terus berjalan. Motel Cinta yang mereka cari tak kunjung ketemu. Siapa pun orang yang mereka tanyai menolak menjawab dan malah menawarkan motel mereka sendiri. Zoey tergoda untuk menerimanya. Tetapi Farell sudah membuat reservasi di sana, dan Zoey berpikir mungkin motel itu tempat satu-satunya yang aman untuk mereka. Bagaimana kalau ini jebakan lagi? pikir Zoey. Berprasangka buruk lagi. Farell sudah mengkhianatinya. Kenapa Zoey harus memercayainya lagi? Pertanyaan itu bertalu-talu dalam benaknya. Membuat langkahnya berhenti beberapa kali dan ragu.

"Apakah Anda lelah? Mau mencari restoran untuk beristirahat dulu?"

Zoey menggeleng ngeri. "Tidak. Jangan. Aku masih kuat, kok. Ayo."

Mereka berjalan kembali. Sudah berapa jam mereka berjalan? Tiga puluh menit? Satu jam? Zoey tidak tahu. Yang pasti ketika dia mendongak matahari sudah hampir tenggelam sepenuhnya di barat. Firasatnya memburuk seiring semakin gelapnya langit. Napas gadis itu sudah terengah-engah karena kelelahan naik tangga. Menelusuri gang demi gang yang dipenuhi motel. Bukit ini luasnya minta ampun dan semuanya adalah motel! Jika mereka terus berputar-putar seperti ini, bukan tidak mungkin orang-orang Bythesea akan berhasil menyusul. Mau tidak mau, Zoey teringat kembali dengan asumsi Farell tadi di kapal. Jika benar Ellusiant sudah tahu Bythesea memang sudah lama ingin membunuh Zoey dan malah bekerja sama dengan mereka ... bukankah Zoey sudah tidak punya harapan? Musuh terbesarnya bekerja sama dengan orang yang menginginkannya mati.

Oh, jangan lupa Chrysante, otaknya yang sial mengingatkan. Walaupun Zoey masih bingung dengan posisi mereka. Jika mendengar penjelasan Farell, Chrysnte terasa berbahaya karena mereka diperintah oleh Bythesea untuk memastikan Farell mengerjakan tugasnya dengan baik. Sekarang setelah Farell menghilang dan Chrysante tertahan di Pelabuhan Gravel, apakah Zoey masih perlu mengkhawatirkannya?

Tiba-tiba, Mia memekik seraya menunjuk-nunjuk.

"Itu! Itu motelnya!"

Zoey masih tidak mampu melihat ke mana arah Mia menunjuk. "Yang mana, Mia?"

"Itu!" Mia setengah berlari menuju sebuah bangunan dua lantai berwarna putih kusam. Dinding-dindingnya sudah retak sampai Zoey khawatir bangunan itu bisa ambruk sewaktu-waktu. Tidak ada papan nama besar yang menyebutkan nama motelnya, tetapi ada stiker yang ditempel di jendela bertuliskan "Tidak usah banyak omong, ayo menginap di Motel Vertusa!" dan membuat Zoey berdecak dalam hatinya. Ketahuan sekali pemilik motel ini tidak memiliki kreativitas dalam membuat naskah iklan.

"Ini motelnya?" Zoey tidak bermaksud mengeluarkan nada seperti anak manja seperti itu. Bisa menemukan tempat beristirahat yang aman saja sudah cukup. Namun dia betulan khawatir dengan kondisi bangunannya. Bagaimana jika motelnya rubuh saat dia tertidur?

Lonceng-lonceng perak berdencing saat Zoey melangkah masuk ke dalam motel. Maia berjalan di belakangnya, sementara Mia masih di luar dan melihat-lihat sekitarnya dengan takjub. Interior motel ini sama menjemukannya dengan penampilan luar bangunannya. Selain meja resepsionis dan seorang wanita yang tersenyum seperti orang mabuk, hanya ada satu sofa berwarna plum yang sudah terlihat sangat jelek, bahkan Zoey curiga sofa itu memiliki banyak kutu. Wanita itu berdiri. Tunik ungu terongnya tampak mencolok di tengah ruangan monoton ini. Sementara rambutnya berwarna merah membara. Wanita itu tersenyum lebar sekali.

"Kau pasti Selir Claretta, 'kan? Aku sudah menunggumu sejak lama!" seru wanita itu. Zoey hampir saja ingin melarikan diri saat wanita itu menerjang ke arahnya dan memeluknya dengan erat, lalu memaksa mengambil tangannya dan berjabat tangan. "Aku Evelina. Anak ketiga dari tiga bersaudari. Pemilik motel ini. Salam kenal!"

Bibir Zoey melekukkan senyum canggung, tapi dia merasa ada sesuatu yang dilewatkannya saat wanita itu memperkenalkan dirinya sendiri. Siapa namanya tadi? Evalina? Tidak. Sepertinya Evelina? Menggunakan a atau e?

"Aku Evelina, Sayang. Dengan e!" Zoey tertegun. Wanita ini seolah bisa membaca pikirannya. Atau memang bisa.

"F-Farell, Farell bilang dia sudah memesan kamar khusus."

"Oh, Nona, semua kamar di sini adalah kamar khusus! Semua tamuku di sini orang spesial."

Evelina menyeret mereka ke meja resepsionis. Selagi wanita itu mencari-cari kunci, Zoey bertanya, "Umm ... apa maksudmu 'spesial'?"

"Hmm?" Evelina mengangkat kepala, fokusnya terbagi dua. Lalu dia tertawa dan menjawab, "Oh, bagaimana menjelaskannya? Ada perampok yang sudah menjadi buronan selama tiga puluh tahun, ada pembunuh berantai yang mencari tempat tinggal nyaman supaya tidak khawatir dikejar-kejar Scythe—oh, itu istilah untuk polisi dalam negaramu, ada putri mahkota yang harus bersembunyi karena nyawanya terancam, ada bajak laut yang asyik menenggelamkan dirinya di dalam harta karun, dan masih banyak lagi!"

Ada berbagai pertanyaan yang ingin dilontarkan Zoey, tetapi kalimat sebelumnya yang diucapkan wanita itu membuat darahnya seolah tersedot ke bawah. "Maaf, bisa kau ulangi lagi perkataanmu?"

"Ada putri mahkota yang harus bersem—"

"Bukan, bukan, sebelum itu."

Kedua sudut bibir Evelina tertarik ke atas perlahan, menunjukkan baris giginya yang rapi. "Kau menangkapnya, huh? Kau tidak salah dengar. Aku tau apa tujuanmu kemari, Nona. Lebih dari apa yang diberitahu temanmu yang bajingan itu, Farell siapalah namanya. Misalnya seperti aku tau kau merasa putus asa ingin pulang ke rumahmu di Greden."

"Apa yang dibicarakannya, Yang Mulia?" Maia bertanya.

Zoey merasa seperti baru saja disambar petir. Pandangannya menyempit, tubuhnya membeku. Kalau saja jantungnya tidak berdegup kencang karena terkejut, dia pasti mengira sudah mati di tempat.

Wanita ini tahu siapa Zoey.

Tanpa berpikir panjang Zoey langsung menggebrak meja dan menyemburkan pikirannya, "Apa kau tau bahwa jiwaku masuk ke dalam tubuh—"

"Aku ini pemilik motel, bukan penyedia jasa konsultasi, Nona. Jadi, tidak. Aku tidak bersedia menjawab pertanyaanmu, sekalipun kau mengeluarkan pisau dan menggorok leherku. Tapi saudariku yang pertama memiliki penglihatan yang jauh lebih bagus dariku, hanya saja dia jauh lebih sinting. Cari saja dia. Nah, ini kuncinya. Nona, Nona, lihat ke bawah. Hei." Evelina menjentik-jentikkan jarinya dan menyuruhnya melihat ke meja. Menunjukkan kunci yang dimaksudnya. "Bisa lewat lorong di sebelah kananmu."

"Sebentar." Zoey mengangkat tangannya. "Aku belum selesai. Kau tau siapa aku—"

Lonceng pintu berbunyi nyaring. Mia masuk ke dalam motel dengan wajah tegang bercampur panik. "Yang Mulia, Yang Mulia! Saya bersumpah saya melihat prajurit istana! Masih agak jauh di bawah tapi ketika saya berjalan-jalan untuk melihat-lihat, saya malah hampir bertemu mereka! Ada Panglima Asher juga. Mereka sudah ada di bukit ini!"

"Mereka sudah sampai di sini?!" Zoey hampir histeris.

Maia tampak bergerak-gerak gugup di samping gadis itu. "Yang Mulia, Anda memang tidak seharusnya meremehkan kemampuan militer istana dalam melacak seseorang. Tawanan yang diseret tadi pagi di istana hanya diburu beberapa jam setelah Kaisar memberikan perintah untuk menangkap mereka."

Apalagi hanya untuk menangkap Anda. Maia tidak memang mengatakannya, tapi Zoey seakan bisa mendengarnya di udara.

Mia terkesiap tiba-tiba. Kedua matanya melebar memandang Maia. "Tuan Godrik! Kaisar pasti mengutusnya dan Panglima Asher untuk memburu kita!"

"Godrik?" beo Zoey.

Maia ikut terkesiap. Dia menepuk-nepuk pundak Mia dengan heboh. "Godrik Varonius. Adik pertama Panglima Asher." Kemudian mereka berucap bersamaan, "Anjing pelacak paling mematikan di dunia!"

"Jadi Godrik ini anjing?"

"Manusia!"

"Tapi seperti anjing!"

"Dia seorang pemburu sejati. Konon, dia bisa melacak apa pun dengan sangat cepat. Bahkan kelinci yang bersembunyi dalam batu sekalipun."

Mata Zoey membelalak lebar saat pemahaman menguasai benaknya. "Mungkin Godrik adalah alasan kenapa Asher bisa menebak posisi kita dengan tepat. Bukan mata-mata, tapi orang itu!"

"Saya setuju!" Mia mengangguk cepat. Entah mengapa, dia terlihat antusias sekali saat melihat Zoey menyingkirkan prasangka buruknya tentang mata-mata di sekitar mereka. "Memang Godrik. Bukan mata-mata!"

Zoey semakin menyadari seberapa serius situasi mereka sekarang. Gadis itu memberikan tatapan panik kepada Evelina—yang hanya mengukir seringai dan mengedikkan kepala ke lorong di sebelah kanan Zoey. "Jangan khawatir, Nona. Motel kami memiliki banyak fasilitas, salah satunya adalah sihir perlindungan bagi buronan."

Evelina memiringkan badannya dan menatap ke balik bahu Zoey. "Oh, tidak. Tinggal sepuluh meter lagi sampai mereka ada di sini!"

Zoey menggeram marah. "Aku belum selesai denganmu, Evelina. Besok aku akan turun ke sini lagi. Kita perlu bicara."

Gadis itu mendengar suara derap sepatu susul-menyusul dan ribut-ribut di luar motel. Zoey langsung menarik Maia dan Mia menuju lorong yang dimaksud wanita itu. Dari jauh, Zoey mendengar Evelina berteriak, "Jangan lupa kamar nomor 66! Di samping kamar milik si pembunuh berantai!"

Zoey menemui nomor kamarnya, dan tepat setelah itu pintu lobi terbanting terbuka.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top