23: Kekacauan
"Semua sudah siap, Yang Mulia!" jawab Mia. Gadis itu mengangkat jempolnya seraya tersenyum unjuk gigi.
Sementara itu, Dayang Maia memasang wajah muram. Mia memeriksa tas-tas sekali lagi. Zoey mengamati Maia. Pertama kali mendengar rencananya untuk melarikan diri dari istana, wanita itu menentang Zoey habis-habisan. Zoey memahami perasaan Maia, tentu saja. Terutama setelah kejadian di penjara pelayan beberapa hari lalu.
"Kau tidak perlu khawatir, Maia. Kalian berdua akan aman di istana ini."
Pada awalnya, Zoey berencana untuk membawa serta kedua dayangnya kabur. Tetapi kemudian Farell mengusulkan rencana lain yang akan membuat Maia, Mia, beserta keluarga Claretta aman.
Penculikan.
Mereka akan membuat skenario seolah Zoey diculik. Dengan begitu, Ellusiant tidak akan mencurigai Maia dan Mia dan menghukum mereka, apalagi menggunakan mereka berdua agar Zoey bisa kembali ke istana.
"Bukan saya yang saya khawatirkan, Yang Mulia. Tapi Anda." Maia menjilat bibir pucatnya yang kering. Terlihat sekali dayangnya yang satu itu tidak makan dan minum dengan baik.
"Percaya padaku. Semuanya akan baik-baik saja. Aku akan menjaga kalian berdua." Zoey meraih tangan Maia dan meremasnya.
"Yang Mulia, tidakkah Anda mau memikirkannya lagi?"
"Keputusanku sudah bulat. Aku ingin keluar dari tempat ini, Maia. Aku tidak bisa membayangkan bisa berada di sini selamanya."
"Anda bisa saja mengajukan gugatan cerai," timpal Mia. Gadis itu kembali ke pinggir tempat tidur dan bergabung dengan Zoey dan Maia.
"Itu juga bukan ide yang bagus," kata Maia. "Perceraian menciptakan stigma buruk kepada selir dan keluarganya, itu pernah terjadi. Mereka dianggap tidak becus melayani Kaisar. Apalagi selir selalu dianggap sebagai wanita simpanan semata. Satu-satunya jalan adalah menutup mata, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja."
"Maksudmu aku harus ikhlas menjalani hidup seperti ini sampai mati?" Zoey menggelengkan kepalanya dengan wajah pahit. "Tidak. Aku tidak mau!"
Ini bukan sesuatu yang akan dipahami oleh Maia dan Mia. Keegoisan Zoey sangat beralasan.
"Kita sudah membahas ini, Maia. Keputusanku sudah bulat."
"Yang Mulia, Anda tidak bisa selamanya bersembunyi," debat Maia. "Cepat atau lambat Anda pasti ditemukan."
Aku selalu menemukan cara untuk menemukanmu.
Kenangan dua hari lalu di ruang makan berkelebat tanpa izin di benak Zoey, membuat kedua pipinya menjadi panas karena alasan yang sulit dijelaskan.
Tanpa sadar Zoey meremas tangan Maia lebih erat. "Tidak akan selamanya. Jangan khawatir. Aku tau apa yang harus dilakukan. Tolong percaya padaku, Maia."
Mereka berdua saling berpandangan selama beberapa saat, sebelum akhirnya Maia mengalihkan tatapannya dan menunduk. Zoey berusaha tidak terlihat goyah. Dia ingin meyakini Maia bahwa dia akan menemukan cara agar mereka semua mendapatkan akhir yang bahagia. Maia dan Mia hidup aman, Zoey bisa kembali ke Perserikatan Negara hidup-hidup, dan Hugo Bashville akan lolos dari hukuman matinya. Zoey yakin dia bisa melakukannya. Dia hanya butuh 'sedikit' bantuan, bahkan meskipun itu berarti masuk ke dalam perangkap.
Maia membalas genggaman Zoey. Pada akhirnya, dayang itu mengangguk dan tersenyum kecil.
"Terima kasih, Maia," ujar gadis itu tulus. "Kau tidak tau seberapa berharga dukunganmu bagiku."
Gadis itu berdiri, memeriksa tas-tasnya yang disembunyikan dalam lemari. Nanti, akan ada orang kepercayaan Farell yang mengambilnya dari lemari. Dia membawa sejumlah uang dan sebagian perhiasan milik Claretta untuk dijual jika uangnya telah habis. Setelah itu dia membuka buku catatannya, melihat rencana yang sudah disusunnya sejak kemarin. Beberapa sudah dibuat bersama Farell pada hari ketika mereka membuat kesepakatan. Hanya sepuluh menit. Farell hanya membutuhkan sepuluh menit untuk menjabarkan rencananya kepada Zoey, membuat gadis itu yakin bahwa Farell sudah merencanakan ini semua dengan sangat matang sebelum dia datang ke Istana Timur.
Zoey mengepalkan tangannya, berusaha menguatkan dirinya sendiri. Aku bisa mengatasi semuanya, dia meyakinkan dirinya sendiri. Tidak peduli apa yang menantinya di depan, Zoey harus kuat menghadapinya sampai akhir.
Langkah pertama dalam rencananya sedang berjalan menyusuri koridor menuju kamarnya.
Tok-tok-tok.
Mendengar suara ketukan pintu, Maia dan Mia berdiri waspada dari pinggir tempat tidur.
"Siapa?" bisik Mia.
Zoey buru-buru mendorong kembali tas-tasnya ke dalam tumpukan gaun dan menutup lemarinya. "Aidan."
Zoey bersiap-siap, tangannya merogoh saku gaun dan menyentuh sesuatu di dalamnya. Kecil dan dingin. Benda inilah yang akan menjadi klimaks dari rencananya hari ini.
"Apa yang dia lakukan di sini?" tanya Maia.
Zoey tersenyum kecil. "Menjemput kita ke Istana Barat."
"Bukankah hari ini diadakan konferensi pers di Ruang Singgasana?" Maia bertanya. "Akan ada banyak sekali wartawan di sana, belum ditambah oleh menteri dan perwakilan raja ratu dari semua negara. Pasti akan ramai sekali, Yang Mulia!"
Satu sudut bibir Zoey terangkat tinggi. "Tepat sekali."
Keramaian itu akan menambah bumbu dramatis dalam drama penculikannya. Zoey dan Farell hendak memanfaatkan momen kekacauan ketika nanti rencananya dieksekusi. Jika Zoey diculik di istana ini saat sepi, akan semakin mudah bagi Ellusiant untuk melacaknya.
Zoey membuka pintu, melihat Aidan tersenyum di depannya. "Saya dengar Anda berniat untuk datang ke Istana Barat. Saya datang untuk mengantar Anda, Yang Mulia."
"Sebenarnya aku bisa jalan sendiri."
"Kaisar memerintahkan saya untuk menemani Anda jika Anda ingin kelua istana."
Zoey cemberut. Dia tahu itu. Itu sebabnya dia sudah berekspektasi pria ini akan datang setelah dia memberitahu kepala pelayan Istana Timur dia ingin mengunjungi Istana Barat. "Baiklah."
Zoey tadinya hendak mengucapkan selamat tinggal kepada Maia dan Mia, namun dia terkejut saat Maia berdiri dan mengatakan, "Kami ikut, Yang Mulia."
Zoey memelototinya. Berusaha mengirimkan sinyal. Kalian harus tetap di sini.
"Kalian di sini saja. Aku bisa pergi sendiri dengan Aidan. Aku yakin pelayan di Istana Barat juga bisa melayaniku dengan baik."
"Saya rasa dua dayang Anda tetap perlu ikut, Yang Mulia," imbuh Aidan. Malah tidak mendukung rencananya sama sekali!
"Itu sudah menjadi tugas mereka untuk terus mengikuti Anda ke mana pun Anda pergi."
"Aidan benar." Maia dan Mia mengangguk bersemangat. Diam-diam Zoey melayangkan tatapan protes kepada mereka berdua.
Padahal Zoey tidak ingin melibatkan Maia dan Mia ke dalam kekacauan yang akan diciptakannya nanti.
"Terserah kalian saja," gerutu Zoey pada akhirnya.
Konferensi pers yang dilaksanakan hari ini mengundang banyak pejabat tinggi Perserikatan Kerajaan. Menteri, anggota dewan legislatif, dan raja ratu dari kerajaan-kerajaan di bawah Dinding Surga. Ellusiant hendak mengumumkan keputusannya mengenai Perserikatan Kerajaan yang tidak akan memperpanjang Perjanjian Damai. Zoey tidak tahu apakah Perserikatan Negara sudah menduganya atau belum. Kendati kabar tentang ditutupnya Jembatan Besar secara permanen sudah mengudara sejak tiga bulan terakhir ini, tidak ada yang mengira Perjanjian Damai yang sudah menahan kedua perserikatan dari konflik selama lebih dari seribu tahun itu juga akan diakhiri.
Memperpanjangnya adalah sebuah keniscayaan, itu yang dipercaya mereka semua. Sebab Kaisar dan Presiden Agung tunduk pada aturan Komite Perdamaian.
Ellusiant rupanya adalah pengecualian.
Zoey yakin, bahkan Komite Perdamaian pun tidak akan sanggup menghentikan pria itu.
Gadis itu terus tersenyum kepada setiap menteri yang menyapanya. Sesekali, dia membungkuk pada raja dan ratu yang dengan sopan menghampirinya dan menanyakan kabarnya. Tidak ada yang mencurigai Zoey sama sekali. Tidak ada yang mampu mengendus bahwa di belakang mereka ada seorang gadis tengah menyusun rencana untuk membuat huru-hara, kali ini dalam skala besar.
Tatapan Zoey berkelebat ke sekelilingnya. Para menteri berdiri di barisan paling depan. Ada pria berwajah burung yang dulu pernah mengomeli Zoey di Ruang Utama. Wajahnya muram dengan kedua alis yang bertaut kaku. Sebenarnya, bukan hanya dia yang ekspresinya tampak kelam. Hampir semua menteri berdiri gelisah, begitu juga dengan anggota dewan legislatif. Zoey bertanya-tanya apakah mereka diam-diam berdebat di belakang Ellusiant karena tidak menyetujui keputusannya untuk tidak memperpanjang Perjanjian Damai.
"Kaisar telah hadir di ruangan! Beri hormat!"
"Semuanya beri hormat!"
Zoey menenggelamkan tubuhnya di dalam kerumunan dan ikut membungkuk di belakang seorang wartawan berbadan besar, lalu mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat. Ellusiant melewati pintu Ruang Singgasana dengan mahkotanya yang berwarna hitam legam. Jubah kerajaannya berwarna senada, dengan sulaman emas yang membentuk simbol rumit Dinding Surga di belakang punggungnya. Zoey mengembuskan napas lega karena Ellusiant tidak menyadari keberadaannya sama sekali. Di belakangnya Panglima Asher mengikuti dengan ekspresi kaku. Berbeda dengan Ellusiant, Panglima itu mengenakan jas militer berwarna hitam dengan pin-pin yang disematkan di dada kiri dan kanannya. Rambutnya tampak jatuh ke depan menutupi sebagian wajahnya, dan kantung matanya yang menggelap menunjukkan pada semua orang bahwa dia sedang melewati hari-hari yang sulit. Setelah mereka berdua sampai di depan kursi singgasana, orang-orang kembali berdiri tegak.
Zoey menatap bingung ketika kepala orang-orang sekitarnya menoleh ke arah pintu lagi. Gadis itu berjinjit, lantas kedua matanya membulat besar dalam keterpanaan. Enam prajurit masuk melewati pintu seraya menyeret sesuatu—orang, tepatnya. Tangan-tangan mereka terangkat sampai leher dan dibelenggu dengan rantai. Mereka menjerit-jerit tatkala prajurit-prajurit itu menyeret tanpa belas kasih.
"Siapa mereka?" bisik Zoey ngeri.
"Saya mendengar desas-desus di dapur, Yang Mulia, bahwa mereka adalah mata-mata yang ditangkap di dekat Laut Artemist kemarin," sahut Maia.
Mia terkesiap. "Bagaimana mereka bisa menembus dinding?"
Mata-mata ... oh. Mereka yang dilaporkan Farell kemarin, bukan? batin Zoey.
Sampai sekarang, Zoey tidak tahu bagaimana Farell bisa mengetahuinya lebih dulu, padahal dia bukan pimpinan Chivalry dari Kerajaan Artemist. Ellusiant bahkan hampir menusuk matanya dengan pisau roti karena tahu ada sesuatu yang disembunyikan pria itu. Mungkin Ellusiant sudah mendapatkan jawabannya. Sebab Farell masih terbukti hidup sampai sekarang. Hanya saja ... Zoey juga ikut penasaran. Dia bahkan menduga Farell sengaja datang untuk melaporkan hal itu hanya agar bisa bertemu dengan Zoey.
Seseorang menyiapkan kamera di seberang singgasana. Zoey menatap Ellusiant yang duduk di kursi takhtanya seraya menopang kepala. Cara kedua matanya memandang enam orang yang tengah diseret itu membuat Zoey tanpa sadar bergidik ngeri. Kilatan lapar di manik kelamnya adalah gigi yang mendambakan darah, predator yang merindukan mangsanya, dan ujung belati yang menghasratkan daging robek terbuka. Dari kejauhan puluhan meter, Zoey bisa merasakan ketidaksabaran pria itu untuk mencabik-cabik orang-orang di depannya. Dinding sihir adalah kehormatan perserikatan ini, sesuatu yang sangat mereka banggakan sampai mati. Berhasilnya mereka menembus dinding pasti membuat Ellusiant merasa terganggu dan gusar. Wajar jika pria itu begitu berhasrat untuk menghabisi mereka semua, sampai-sampai memutuskan untuk mengakhiri Perjanjian Damai.
Ellusiant mengalihkan tatapannya tiba-tiba dan melihat ke arah Zoey, membuat Zoey sontak mengerdilkan tubuh dalam kerumunan. Tidak, tidak. Dia tidak melihatku, gadis itu meyakinkan dirinya sendiri.
"Berlutut." Suara dingin Panglima Asher terdengar.
Mereka berenam bukan hanya merendahkan lutut dan kepala, mereka bahkan mengambil posisi sujud serendah yang mereka bisa.
Ellusiant berdiri, dan semua suara serentak padam. Zoey melihat Ellusiant memandang tepat ke arah kamera.
"Dua hari lalu pada hari ke dua puluh tiga Musim Panas, orang-orang ini memasuki teritori kami secara illegal melewati Laut Artemist. Ini bukan pertama kalinya Perserikatan Negara melanggar batas kami dan mencederai pasal-pasal dalam Perjanjian Damai, dan mereka berenam juga bukan gangguan terakhir yang dilakukan Perserikatan Negara. Tepat jam tiga dini hari tadi terjadi ledakan di Laut Hera yang bersumber dari pipa minyak di bawah laut. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk mengetahui penyebab ledakannya."
Seorang perempuan yang memakai jas militer menaiki tangga singgasana dan memberikan suatu benda kepada Ellusiant. Zoey berjinjit lebih tinggi lagi sampai ujung-ujung jari kakinya gemetar. Benda yang diberikan wanita itu berwarna perak dan hanya sebesar telapak tangan. Bentuknya seperti ... sebuah ikan, Zoey mengamati. Ikan yang terbuat dari besi. Ellusiant menerimanya seraya tersenyum lebar. Dia menggoyang-goyangkan ikan itu ke depan kamera.
"Teknologi yang bagus. Bukan hanya mampu berenang dengan kecepatan 100 kilo hetter per jam, dia juga bisa membawa peledak kecil yang, mengagumkannya, sanggup meledakkan hampir setengah dari pipa minyak milik kami. Luar biasa. Kami akan menyimpannya dan belajar dari Perserikatan Negara bagaimana cara membuat tekonologi dengan benar. Barangkali kami bisa membuat benda serupa dan membalas kejutan kecil yang dikirim Perserikatan Negara di laut kami."
Laut Hera. Zoey tiba-tiba teringat dengan percakapan yang ditunjukkan Rhoman saat pesta ulang tahun Ellusiant beberapa waktu lalu. Sekarang semuanya mulai terasa masuk akal.
Jadi Perserikatan Negara berupaya mengusik Perserikatan Kerajaan bukan hanya dari satu arah, melainkan dua arah sekaligus? Zoey bertanya dalam hatinya.
Gadis itu berusaha memahami apa yang terjadi di depannya. Zoey bisa membayangkan bahwa ledakan di Laut Hera seharusnya adalah pengalih perhatian dari upaya penyusupan mata-mata melalui Laut Artemist, namun urutan kronologinya terasa ... keliru. Jika memang demikian, bukankah ledakan di Laut Hera seharusnya terjadi lebih dulu? Dan juga, bagaimana bisa ada mata-mata yang berhasil menembus dinding sihir lewat Laut Artemist?
"Ketahuilah bahwa dua kejadian itu adalah toleransi terakhir yang bisa kami berikan kepada Perserikatan Negara. Setelah banyak pelanggaran yang dilakukan, kami merasa Perjanjian Damai sudah tidak berguna lagi. Maka dari itu pada hari ini, bersamaan dengan berakhirnya masa berlaku Perjanjian Damai, kami mengumumkan bahwa Perserikatan Kerajaan tidak akan memperpanjang Perjanjian Damai, dan kami siap dengan segala konsekuensi yang akan mengikuti di belakangnya."
Bisik-bisik dan gumaman terdengar. Para wartawan saling menengok pada rekannya dengan mata terbuka lebar, tidak percaya dengan apa yang mereka dengar.
Konsekuensi yang dimaksud Ellusiant adalah perang.
Ellusiant menatap orang-orang yang masih bersujud di bawahnya. Kepalanya miring sedikit, tampak seperti berpikir sejenak.
"Putar badan mereka," perintah Ellusiant kemudian. Dia memutar sekilas cincin perak di jari tengahnya, sebelum kemudian mengulas senyuman tipis. Tampak bersemangat.
Prajurit yang berdiri di belakang keenam orang itu serentak menarik rantai di leher mereka, memaksa mereka memutar badan.
"Kali ini kalian kuizinkan untuk mengangkat kepala," kata Ellusiant. Suara beratnya melembut, mengalun bak angin musim dingin. "Ayo. Angkat kepala kalian."
Enam orang itu mengangkat kepala mereka ragu-ragu. Zoey melihat kamera dibawa mundur pelan-pelan, barangkali agar ia bisa menangkap pemandangan lebih luas. Pisau-pisau diletakkan di depan mereka, membuat orang-orang itu gemetar hebat bahkan para wartawan yang sedang meliput.
Hening.
Semua orang terdiam.
Ada kepala-kepala yang tertunduk pasrah, ada mata-mata lapar yang mendambakan suatu hal terjadi sebagai bahan liputan, dan ada gadis yang hanya ingin keluar dari ruangan ini dan tidak ingin menyaksikan apa pun yang sedang terjadi.
Mendadak, satu jeritan pecah dan memecut udara. Disusul jeritan berikutnya, dan berikutnya, dan berikutnya, terus merambat bagaikan api. Zoey melihat keenam orang itu mendongakkan kepala ke langit-langit dengan mulut terbuka, menjerit sejadi-jadinya dengan segenap suara mereka, lantas memukul-mukul udara dengan sorot penuh teror dan kengerian.
Ellusiant. Ellusiant menenun ilusinya di hadapan mereka, batin Zoey. Gadis itu menatap sang Kaisar yang hanya duduk di singgasananya seraya menopang kepala. Tersenyum puas. Jangan melihatnya, Zoey memperingatkan dirinya sendiri, lalu menunduk. Takut Ellusiant bakal menyadari tatapannya dari jauh dan menemukannya.
Mia memepetkan badannya kepada Zoey dan berbisik, "Yang Mulia, coba pikirkan lagi rencana Anda."
Keduanya mengembalikan pandangan ke depan. Seorang wanita melolong lebih kencang dari rekan-rekannya yang lain. Gemanya tajam, menggores, menarik serta para pendengarnya untuk ikut jatuh ke dalam rasa sakit seperti dirinya. Zoey melihat wanita itu mengambil pisau di depannya dengan mata kosong, lalu menusuk mulutnya sendiri berkali-kali.
Zoey meremas-remas tangannya yang berkeringat. Lagi-lagi tekadnya digoyahkan. Dia memandangi bagaimana darah dan air liur wanita itu mendarat di lantai ruang singgasana bagai dosa yang tak terampuni.
Tenang, Zoey mengatakan pada dirinya sendiri. Kau tidak akan berakhir seperti itu. Maia tidak akan berakhir seperti itu. Mia tidak akan berakhir seperti itu. Tidak akan ada yang berakhir seperti itu.
Namun meskipun demikian, bayangan kejadian di penjara pelayan kemarin masih menghantui benak Zoey hingga hari ini. Atau bagaimana Ellusiant membuat Farell hampir menusuk matanya sendiri dengan pisau roti. Apa yang akan pria itu lakukan jika Zoey tertangkap hidup-hidup setelah ketahuan membuat drama penculikan palsu?
Tiba-tiba Zoey merasa bodoh. Tidak berdaya. Berpikir bahwa mungkin ... lebih baik Zoey diam saja di istana sampai jiwanya mati. Daripada mempertaruhkan segalanya hanya untuk bisa kembali ke Perserikatan Negara.
"Tidak akan. Kita tidak akan berakhir seperti mereka," bisik Zoey. Gadis itu memejamkan matanya sembari menggelengkan kepala kuat-kuat. Dadanya terasa sesak sampai dia sulit bernapas.
Zoey tidak akan membiarkan raja kejam dan tidak berperasaan itu menghukumnya dan orang-orang sekitarnya lagi. Andai Ellusiant tidak memperlakukannya seperti tahanan, Zoey juga tidak akan berbuat nekat seperti ini. Kesimpulannya: kenekatan dan kegilaannya akibat ulah tiran sang Kaisar itu sendiri!
"Mia, Maia," Zoey memanggil mereka berdua. "Mundur pelan-pelan dari sisiku dan berpura-pura tidak melihat. Aku hanya tinggal menunggu aba-aba dari Farell."
"Kami akan berada di sisi Anda sampai akhir," balas Maia penuh tekad.
Zoey berdecak, kesal dengan kekeraskepalaan Maia. Dia melihat sekelilingnya sekali lagi, mencari-cari tubuh Farell di tengah kerumunan. Kemudian, kepalanya berhenti. Membeku. Menyadari bahwa Ellusiant tengah menatapnya lurus-lurus sejak tadi dari Singgasana. Zoey menarik napasnya pelan-pelan. Dia ingin mengalihkan tatapannya dan berpura-pura, namun kedua mata kelam itu seolah menahan kepalanya.
"Yang Mulia." Mia merengek seraya memeluk lengannya erat. "Saya tidak berani mengangkat kepala. Tapi Kaisar sedang melihat ke arah kita, bukan?"
"Tenang. Tidak akan terjadi apa-apa." Zoey memaksa kepalanya berpaling dan melihat ke arah lain. Semenit kemudian, dia kembali melirik ke arah singgasana lagi.
Ellusiant tidak lagi berada di sana.
Zoey mulai panik. "Di mana Ellusiant?"
Dia melihat Farell. Pria itu berdiri menjulang di barisan sebelah kiri Zoey. Wajahnya ditutup oleh kain hitam, dan rambutnya dimasukkan ke dalam topi. Zoey melihat Farell mengangguk samar.
Tunggu dulu! pikir Zoey panik. Di mana Ellusiant? Kenapa pria itu menghilang tiba-tiba?
Farell mengerutkan kening. Dia memberikan sinyal kepada Zoey untuk segera melakukannya. Rencana mereka.
Zoey menyentuh benda dingin dalam sakunya lagi, lantas menarik napas dalam-dalam. Selagi fokus orang-orang masih terpaku pada 'pertunjukan' di depannya, Zoey diam-diam menjatuhkan bola besi kecil itu ke lantai.
DUG!
Zoey menunduk, memperhatikan benda itu bergulir ke lantai. Farell bilang bom itu akan menguarkan asap tebal saat terbentur lantai. Tetapi ... ke mana asapnya? Gadis itu mengerutkan kening, mendongak kepada Farell di kejauhan dan memelototinya.
Kenapa tidak keluar asapnya? Mulutnya bergerak membisikkan itu tanpa suara.
Manik mata Farell bergerak ke lantai, kemudian dahinya berkerut dengan kekecewaan.
Rusak, mulutnya bergerak. Farell mengembalikan pandangannya ke depan sebentar, sebelum kemudian menoleh kembali dan mulutnya bergerak lagi.
Alihkan.
Perhatian.
Untukku.
Telunjuknya mengetuk-ngetuk pinggangnya—pada sabuk yang tersembunyi di balik tunik hitamnya—lalu menunjuk ke lantai. Zoey berusaha mencernanya selama beberapa detik, lalu tersadar bahwa Farell hendak menjatuhkan bom dari dirinya, dan karena dia berdiri di dekat para menteri di depan, dia tidak bisa menjatuhkannya tanpa ketahuan. Berbeda dengan Zoey yang berdiri di barisan nyaris belakang dan para wartawan terlalu fokus meliput pemandangan di depannya sampai tuntas. Jadi, Farell butuh Zoey untuk mengalihkan perhatian sejenak.
Alis Zoey bertaut, berpikir. Apa yang harus dia lakukan? Apakah dia perlu pura-pura kesurupan lagi?
Zoey menatap bola besi di lantai, hanya butuh lima detik baginya untuk mendapatkan ide. Dia lantas spontan menjerit. "BOM! ADA BOM DI BAWAH KAKIKU!"
Orang-orang sontak menoleh, terkejut, dan mengikuti arah telunjuk Zoey.
"BOM! ADA BOM! SEMUA LARI!"
Kaki Zoey tak sengaja menendang bola besinya sampai kemudian terdengar suara desisan dan letupan, membuat gadis itu terkejut sendiri dalam sandiwaranya.
Astaga, betulan keluar asapnya!
"ADA YANG BAWA BOM!" pekik seorang wartawan pria.
Kepanikan itu menular. Satu per satu orang mulai menjerit dan menyuruh satu dan yang lainnya untuk segera lari dari sana.
"SEMUA KELUAR DARI RUANGAN INI! ADA BOM!" teriak Zoey, sengaja memancing kepanikan.
"LARI!"
"ADA ASAP!"
"KE ARAH PINTU KELUAR! PINTU KELUAR!"
BOOM!
Ledakan lainnya mendadak menyusul dari arah lain. Zoey memekik tertahan, kali ini betulan terkejut. Dia menutup telinga dan merasakan tubuhnya terdorong ke berbagai sisi selagi orang-orang bergerak panik ke berbagai arah. Jeritan di sekelilingnya melengking lebih tinggi, bersamaan, seperti sekumpulan monyet yang hutannya terbakar. Semua orang serentak lari tatkala asap membumbung tinggi dan menyebar ke sepenjuru ruangan. Mia memeluk lengan Zoey semakin erat, sedangkan Maia berdiri di depannya seraya merentangkan tangan.
"Yang Mulia," Maia menoleh ke belakang dan bertanya, "Memang seperti ini rencananya?"
"Aku tidak berekspektasi akan seheboh ini," kata Zoey marah. Dia mencari Farell, mengira pria itu akan muncul dari belakang dan membekap mulutnya. Sebagaimana skenario yang sudah mereka buat sebelumnya.
"Farell." Zoey memanggil nama pria itu. Suaranya tenggelam di tengah lautan jeritan.
BOOM!
Ledakan berikutnya menyusul lagi. Tubuh Zoey limbung ke belakang karena momentum ledakan. Zoey memandangi api yang muncul dengan penuh horor. Seseorang berteriak, api membakar punggungny. Sementara itu, seorang wanita tergeletak di lantai dalam keadaan tidak sadarkan diri dan terlalap api.
Ini tidak benar.
Pundak Zoey menegang ketika sebuah tangan memeluk lehernya dari belakang.
"Ini aku," bisik Farell. "Ayo."
"Kau tidak bilang akan seperti ini," kata Zoey, suaranya hanya berupa embusan napas lirih. Masih syok. "Kau bilang kita hanya akan membuat huru-hara kecil untuk mendukung skenario penculikan."
"Maafkan aku." Farell berucap dengan nada penuh penyesalan. Zoey menoleh ke belakang, hendak melihat wajah Farell lebih jelas, tetapi asap semakin menggulung tebal dan menyamarkan pandangannya.
"Apa maksudmu?"
Tak lama kemudian, jawaban atas pertanyaannya hadir. Awalnya Zoey melihat satu, kemudian tiga, kemudian lima orang berbaju hitam-hitam muncul dari balik kelindan asap dan mendekati tahanan yang bersimbah darah di lantai. Mereka menggunakan penutup wajah seperti Farell.
Apakah mereka dibayar untuk ikut dalam rencana kami? Zoey bertanya dalam hatinya. Farell memang menyebut dia mungkin akan butuh bantuan beberapa orang, tapi Zoey tidak menyangka akan ada sebanyak ini. Dan juga, Ini jelas terlalu berlebihan.
Kenapa mereka mendekati tahanan? Zoey melihat seseorang berjongkok di belakang salah satu tahanan dan menyentak rantainya agar terbuka.
"AMANKAN KAISAR DAN SELIR!" seru Asher. Panglima itu bergerak maju seraya mengeluarkan senjata. Dia menodongkan pistol ke arah si pria bertopeng. "Jangan bergerak sebelum kalian menyesal."
"Oh, kami menyukai rasa penyesalan." Orang yang menjawab Asher adalah seorang wanita berambut seperti laki-laki.
Kemudian, wanita itu menerjang maju dan menendang tangan Asher dengan kecepatan singa betina. Pistol terjatuh ke lantai. Asher hanya tertegun sedetik sebelum kemudian menahan tinju wanita itu dan menendang perutnya.
Wanita itu terbatuk, tertawa.
Zoey memundurkan langkahnya, tidak bisa berkata-kata. Dia melihat para prajurit membantu Asher dengan menyerang orang-orang yang berusaha melukai sang Panglima dari berbagai arah.
BANG! BANG!
Salah satu prajurit tersentak, dan terjatuh ke lantai dengan darah mengalir.
Mia menangis ketakutan sembari memegangi lengan Zoey dengan kencang. Di sekeliling mereka, orang-orang turut berteriak ngeri. Di pintu keluar terjadi benturan antara prajurit penjaga istana yang harus segera masuk dengan orang-orang yang tak sabar untuk keluar.
Asher menggerung marah. Dengan gesit dia menghindari moncong pistol si wanita dan menyikut samping wajahnya tanpa ampun. Wanita itu memekik. Di saat yang bersamaan, seseorang menerjang Asher dari samping. Sang panglima meninjunya dengan mudah, hampir seperti seseorang yang sedang mengusir nyamuk, lalu menendang lehernya hingga orang itu mengerang kesakitan. Si wanita berusaha meraih pistolnya sebelum akhirnya menjerit lagi ketika Asher menginjak punggung tangannya. Tangan pria itu spontan terangkat ke atas, menahan pukulan dari belakang kepalanya. Dengan kecepatan yang hampir sulit tertangkap mata, Asher menarik tangan orang itu dan membantingnya ke lantai dengan keras. Pistol sudah ada di tangan kirinya entah sejak kapan, lantas menembak tengkuk belakang orang tersebut sebanyak tiga kali.
Dan empat kali ke wajah si wanita.
"Kaisar menghilang!" bawahan Asher menyeru.
"Cari!" perintah Asher. "Prioritaskan keamanan Kaisar!"
Asher belum selesai. Kelompok penyerang itu masih melawan Asher habis-habisan.
"Ini keliru," bisik Zoey tidak mengerti. Apa ini bagian dari rencana Farell?
Zoey memundurkan langkahnya dengan waspada. Farell menarik tangannya, mengedikkan kepala ke arah pintu. "Ayo."
"Bukan seperti ini rencana kita!" kata Zoey. Dia menatap Farell dengan penuh tuduhan. "Apa yang sebenarnya kau rencanakan?"
"Kau mau keluar dari sini atau tidak?" Farell balik bertanya. "Kuhitung sampai lima, buat keputusan sekarang!"
Zoey menatap kekacauan di sekelilingnya. Singgasana Ellusiant kosong, terbakar, dan pemiliknya masih menghilang entah ke mana. Gadis itu menggigit bibir frutsrasi. Sambil menggertakkan gigi, Zoey mengikuti Farell dan ikut bergerak bersama gelombang kerumunan yang mendesak keluar menuju pintu utama. Zoey mencoba menoleh ke belakang, entah mengapa masih penasaran dan bertanya-tanya di mana Ellusiant berada. Pria itu menghilang tak lama sebelum bom meledak. Apakah dia menyadarinya lebih awal?
Seseorang menarik tangan Zoey dari belakang. Gadis itu terkesiap, melihat prajurit itu menatapnya dengan mata terbelalak dan memerah saat berkata, "Yang Mulia, lewat sini! Ada pintu darurat khusus Kaisa—"
Dada prajurit itu tersentak. Ucapannya terhenti. Walau kedua matanya terbuka lebar, sorotnya mati. Darah menetes-netes dari punggungnya. Zoey menjerit, refleks membungkuk menangkap tubuh prajurit itu ketika dia limbung ke depan. Di depannya seorang laki-laki berambut panjang dan memakai penutup wajah hitam menurunkan tangannya yang memegang pistol, lalu berjalan menghampirinya dalam langkah-langkah lebar. Seseorang menubruknya dari samping hingga mereka berdua terjatuh ke lantai bersamaan.
Asher.
"Yang Mulia, lari!" Asher berkelit saat pria di bawah tubuhnya melayangkan tinju dengan pistolnya.
Tubuh Zoey terdorong oleh lutut-lutut orang yang sedang berhamburan keluar, membuatnya tersungkur ke bawah.
"Ayo." Farell membantu Zoey berdiri. "Maia, Mia, kalian ikut juga."
Zoey menatap Farell dengan linglung. "Tidak. Mereka tetap di sini!"
"Rencana harus berubah. Ayo."
Beruntung Farell terus memegangi tangannya. Pria itu membantunya berdiri dan menghalangi kepala Zoey dari benturan-benturan orang yang sedang panik.
Terdengar suara letusan lagi, dan lagi, dan lagi.
Bukan seperti ini rencananya, pikir Zoey. Farell tidak menyebut soal ini dalam perjanjian mereka kemarin. Ini bukan pengalih perhatian. Ini pembantaian!
Setelah berhasil melewati pintu, Zoey masih mendengar suara tembakan-tembakan di belakangnya, disusul suara bom berikutnya. Zoey melihat Farell menggerakkan tangannya, dan segera asap-asap di sekeliling mereka mematuhinya. Farell memastikan tubuh mereka tertutup oleh asap selagi mereka menuruni tangga bersama yang lainnya.
"Sedikit lagi," desis Farell. "Jangan lihat ke belakang. Jangan dengar apa pun."
Farell mengeluarkan pistol dari sabuknya, mengangkatnya ke depan dada dengan waspada.
Mustahil untuk bisa mengabaikan kekacauan yang terjadi di belakangnya. Maia dan Mia terus memegangi kain belakang gaun Zoey, gemetar. Baru saja mereka hendak melewati pintu utama Istana Barat, tiba-tiba sebuah tangan meraih pinggang Zoey dan menariknya. Kepala Zoey menabrak sesuatu yang keras—dada seorang pria yang tampak terengah-engah.
"Kau mau ke mana?" geramnya.
Tubuh Zoey menegang. Ellusiant.
"Claretta?" Farell memanggil, padahal Zoey masih ada di depannya. "Claretta!"
Ilusi. Ellusiant menariknya menjauh dari Farell dan kedua dayangnya. Zoey mengamati keseluruhan tubuh pria itu. Ellusiant tampak baru saja terlibat perkelahian fatal. Ada banyak luka sayatan di lehernya, dan darah hampir mengotori sebagian wajahnya. Entah darah siapa.
"Dari mana saja kau daritadi?" Zoey baru menyadari suaranya meninggi tanpa sebab, dan dadanya terasa lega. Sesaat dia melupakan rencananya dan mengamati keseluruhan tubuh pria di depannya. "Kau menghilang!"
"Tidak penting aku berada di mana. Kau ikut denganku sekarang."
"Tidak."
Ellusiant mengerutkan dahinya yang terluka. Zoey mengedipkan matanya beberapa kali, kini benaknya telah kembali ke realita, pada rencananya untuk keluar dari tempat ini dan pulang ke Perserikatan Negara. Zoey berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Ellusiant. "Tidak. Aku ... aku pergi sendiri ke Istana Timur."
"Dengan Farell, maksudmu? Yang baru saja melempar bom di Ruang Singgasana? Yang juga menyuruhmu untuk mengalihkan perhatian agar Chrysante bisa beraksi?" Ellusiant semakin mendekatkan wajahnya, matanya dipenuhi oleh kegeraman. "Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku tidak melihat semuanya?!"
Bulu kuduk Zoey meremang oleh embusan napas pria itu, sekaligus kesadaran yang menghantamnya bahwa Ellusiant tidak pernah pergi dari Ruang Singgasana. Dia menggunakan ilusinya untuk bisa menyaru. Pria ini sudah mengendus ada yang salah sejak awal. Dia mungkin berkelahi dengan salah satu anggota kelompok penyerang itu, itu sebabnya dia terluka.
"Claretta!" Farell terus memanggilnya. Wajahnya kentara begitu panik. "Kau di mana?"
"Tadi selir ada di depan kami!" kata Mia.
"Lepas ilusimu!" kata Zoey marah.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi." Ellusiant memeluk pinggangnya tanpa izin dan menariknya kuat, menyeretnya bahkan. Zoey berusaha mendorong lelaki itu. Sementara Farell masih terus memanggil namanya.
"Ellusiant, lepas!"
Tubuh laki-laki itu sekokoh batu. Tidak peduli sekeras apa pun Zoey mengeluarkan tenaganya untuk membebaskan dirinya, Ellusiant sama sekali tidak melepaskannya.
Ayo berpikir! Zoey memutar otak dengan cepat.
Rasanya agak sulit, terutama setelah gadis itu menyadari dia membuat kebodohan demi kebodohan secara beruntun.
Tidak. Jangan berpikir, gadis itu memutuskan. Lakukan apa pun yang kau bisa!
"Ellusiant, lepas! Dasar kau gila!" Zoey memukuli bahunya. Pria itu akhirnya kehilangan kesabaran dan menghentikan langkah. Zoey langsung memanfaatkan momen kelengahan itu dengan menggigit tangannya tanpa aba-aba.
Ellusiant mengumpat, refleks melepas tangannya, lalu mendesis, "Oh, kau ingin bermain kasar rupanya?"
"YA! AYO KITA BERMAIN KASAR!"
Zoey menyikut tulang rusuk pria itu keras-keras dan melarikan diri.
"CLARETTA!" Suara Ellusiant menggelegar ketika memanggilnya.
Ellusiant tidak memedulikan darah yang mengintip keluar dari buku tangannya dan mengejar Zoey yang berlari kencang ke arah Farell. Lalu, didorong oleh rasa putus asa, Zoey merebut pistol di tangan Farell sampai laki-laki itu terkejut setengah mati.
"Siapa—" Farell hendak memuntahkan serentetan makian, sebelum kemudian pemahaman memenuhi ekspresinya. Dia menatap tangan dan udara kosong bergantian, lalu memaki, "Ilusi. Pantas saja. Dasar Kaisar sialan—"
"Anda menemukan selir?" tanya Mia dengan panik.
"Ada Ellusiant di sini," jawab Farell. "Ilusi menyelubungi mereka berdua."
"Kaisar ada di sini?!" Mia kelepasan berteriak. "Apa artinya beliau sudah tau rencana kalian berdua?"
Di hadapan Zoey, Ellusiant tampak tertawa kecil. "Apa ini? Kalian semua bekerja sama di belakangku? Apa yang terjadi di penjara pelayan kemarin belum cukup?"
Tangan Zoey gemetar saat dia mengarahkan moncongnya ke arah Ellusiant.
"Mundur!" seru Zoey.
"Lakukan, Claretta. Tembak aku."
Tangan Zoey berkeringat, semakin tremor. Dia mungkin kesulitan untuk menjinakkan lidahnya, tapi dia tidak pernah melukai orang lain. Alih-alih mundur, Ellusiant terus berjalan menghampiri gadis itu tanpa gentar, lurus searah moncong pistolnya. Seolah dia tidak akan berhenti sekalipun Zoey melepaskan rentetan peluru.
Tembak, hatinya membisiki. Bunuh dia.
Ellusiant membantu Zoey. Dia menarik ujung pistol dan meletakkannya di dahinya. "Ayo. Tembak aku."
Pria ini menantangnya, tahu bahwa Zoey tidak punya kekuatan untuk melukai seseorang. Zoey menggigit bibirnya yang bergetar.
"Kenapa? Bukankah ini keinginanmu sejak awal? Kau berulang kali mengatakan ingin membunuhku, bukan?" Dada pria itu naik turun, terengah oleh amarah yang menggelegak di balik dadanya. Zoey memekik saat Ellusiant meraih pinggangnya lagi dengan mudah, memeluknya erat, dan jarak mereka hanya terpisah oleh satu pistol di kepalanya. "Aku ada di depanmu sekarang, Claretta. Pilih. Ikut pergi bersamaku, atau bunuh aku."
Ellusiant mencengkeram pistol di keningnya kuat-kuat. Tatapannya mengeras. Sedangkan Zoey semakin gemetar. Ini adalah kesempatannya. Jika Ellusiant mati, dia bisa kembali ke Perserikatan Negara dengan mudah. Pria ini adalah satu-satunya rintangan yang harus Zoey lewati, dan dia sudah berdiri di depannya sekarang, menawari kepalanya untuk gadis itu tembak.
Tembak, pikir Zoey lagi. Ayo tembak. Ini kesempatanmu.
Zoey memejamkan matanya kuat-kuat. Tidak sanggup membalas tatapan Ellusiant yang seakan sanggup menghancurkannya sampai ke tulang.
Pria ini memang ditakdirkan sebagai kematiannya.
Saat membuka matanya, Zoey menggerung marah, dia berteriak, "BERHENTI MENDIKTEKU! Aku tidak akan ikut denganmu atau membunuhmu!"
Sebagai gantinya, Zoey menarik pistol dari cengkeraman Ellusiant dan menyentuhkannya ke bahu pria itu. Napasnya tersengal-sengal. Sambil menggertakkan gigi dan menutup matanya, dan memohon ampun pada seluruh tuhan di muka bumi ini, Zoey menarik palatuk hingga terdengar suara letusan. Tubuhnya terempas ke belakang dan kehilangan keseimbangannya, sementara itu Ellusiant terjengkang ke belakang dan mendarat di lantai dengan suara debuman keras.
"Claretta!"
Farell melihatnya. Selubung ilusinya telah hancur.
Sayangnya bukan hanya Farell dan kedua dayangnya yang melihatnya. Semua orang yang ada di ruangan itu menatapnya. Menatap Zoey dengan pistolnya dan bagaimana Ellusiant terkapar di lantai seraya mengernyit kesakitan. Darahnya menets-netes ke lantai.
"Yang Mulia?"
Zoey menoleh ke sumber suara. Asher baru setengah menuruni tangga. Saat melihatnya, ada kebingungan pekat pada mata kelabu jernihnya. Violetta menyusul di belakang sang panglima. Gadis itu melebarkan matanya dan berteriak.
"SELIR MENEMBAK KAISAR!"
Farell menarik tangan Zoey dan berbisik, "Ayo lari!"
"TANGKAP MEREKA BERDUA!" perintah Violetta. "MEREKA BERDUA PENGKHIANAT!"
Zoey menjatuhkan pistol ke lantai dan memundurkan langkah.
Asher menghampiri Ellusiant dan menyentuh bahunya, dia terkesiap. "Ada racun di pelurunya." Kemudian doa memandang Zoey yang masih syok di hadapannya. "Yang Mulia, apakah ini benar-benar Anda?"
"Claretta, ayo!" sentakan Farell menarik Zoey dari asap kebingungan yang menyesaki kepalanya.
Di saat yang bersamaan, prajurit-prajurit di belakang Asher menerjang maju. Zoey tidak tahu apa yang terjadi di belakangnya ketika dia berlari. Setelah melewati pintu utama Istana Barat, dia mendengar suara ledakan dan letusan pistol lagi. Benar juga. Zoey tersadar. Kelompok penyerang itu pasti telah keluar dari Ruang Singgasana dan mengalihkan fokus para prajurit yang mengejarnya.
Zoey diam-diam terkejut ketika melihat sebuah kendaraan berhenti di depannya. Kendaraan itu terlihat seperti kereta kuda klasik, tetapi ia melayang setinggi lima meter di atas tanah dan sama sekali tidak ada kuda yang menariknya. Inikah Cabrioler?
Benda itu turun ke bawah. Farell membuka pintu untuknya.
"Cepat masuk ke dalam Cab! Cepat!" katanya.
Setelah mereka berhasil masuk ke dalamnya, kendaraan mereka kembali naik. Zoey menoleh, mengintip dari jendela kecil Cab. Zoey melihat Ellusiant dikelilingi oleh penjaga-penjaga istana yang membentuk barikade untuk melindunginya. Pria itu tampak kewalahan melawan racun dalam tubuhnya. Tatapannya tidak beralih dari Zoey sekali pun. Walaupun rambut cokelat panjangnya basah oleh peluh dan hampir menutupi seluruh wajahnya, hanya Zoey yang bisa melihat bagaimana sepasang mata hitam legam lelaki itu telah berubah. Sepenuhnya. Kelembutan dan kekhawatiran yang pernah ada di sana hilang. Digantikan oleh amarah dan rasa terkhianati amat dalam. Saat itulah Zoey seakan bisa mendengar apa yang pernah laki-laki itu katakan, dan barangkali itulah yang hendak dikatakannya andai kondisinya tidak sedang sekarat.
Aku akan selalu menemukanmu.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top