21b: Di Tempat Ini Tak Ada Pahlawan. Hanya Tuan, Anjing, Dan Orang-Orang Mati
Dua hari sebelum melarikan diri.
"Lepas. Aku tidak mau sarapan di ruang makan," rengek Zoey. Dia baru saja bangun, itu pun Maia langsung mengguncang tubuhnya dengan panik seolah ada bencana yang melanda mereka dan semacamnya.
"Ini sudah jam sebelas siang, Yang Mulia!" Maia merapikan selimut dengan tergesa-gesa. Sementara Mia berlari dari ruang pakaian dengan sepasang sepatu kulit.
"Yang Mulia, ayo kita ke bawah sekarang." Mia juga terlihat sama paniknya.
Zoey menguap. Dengan mata setengah terpejam, dia turun dari tempat tidurnya dan membiarkan Maia menyisir rambutnya yang masih acak-acakan.
"Aku tidak perlu mandi?" Zoey bertanya malas. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya ketika kantuk masih berusaha merenggut kesadarannya. "Aku merasa seperti siluman jeli."
"Tidak ada waktu. Anda harus ke bawah sekarang."
Setelah merapikan keliman gaunnya, Maia mengangguk puas, walau masih ada kerutan di dahinya. Mereka bertiga terdiam sejenak. Zoey yang masih setengah sadar, Maia yang menilai penampilannya, juga Mia yang membuka pintu dan melongokkan kepalanya keluar.
"Saya rasa Anda sudah siap," kata Maia.
Mia kembali masuk lagi dan turut menilai Zoey, sebelum kemudian dia terkesiap dan memekik, "Penyegar mulut!"
Zoey menguap lagi. Masih dengan mata setengah tertutup dia bergumam, "Kenapa tidak mandikan saja aku?"
"Tidak ada waktu!" ujar kedua dayangnya bersamaan.
Maia meminta Zoey membuka mulutnya, lalu dia menyemprotkan cairan yang terasa dingin sampai gadis itu mengernyit dan tersentak sekaligus. Sebelum Zoey sempat memprotes, kedua dayang itu langsung menarik tangan Zoey dengan langkah terburu-buru. Dalam situasi normal, Zoey pasti sudah mengomeli mereka berdua. Namun dia masih terlalu lelah untuk membuka suara. Sudah dua hari berturut-turut dia menangis di kamarnya, meratapi nasibnya yang begitu absurd dan sial dan mengenaskan. Tetapi bukan hanya itu. Ada sesuatu yang juga turut melukai hatinya.
"Sebentar. Biar saya lihat lagi." Maia mengusap-ngusap gaun Zoey yang kusut, berharap itu bisa meluruskan kerutan-kerutan pada kainnya. Sementara Mia menyisiri rambut gadis itu sekali lagi.
"Selesai." Maia mengembuskan napas panjang. Kemudian dia mengangguk. "Silakan masuk, Yang Mulia."
Zoey mengerutkan kening. Masih tidak mengerti dengan sikap mereka berdua. Pelayan yang berdiri di depan pintu ruang makan membungkuk kepadanya dan membukakan pintu.
"Selamat pagi, Claretta."
Zoey hampir tergelincir dari posisi berdirinya ketika melihat Ellusiant sudah duduk di ruang makan Istana Timur. Pria itu menanggalkan jubah kerajaan beratnya. Sebagai gantinya, dia mengenakan jaket hitam dengan kancing-kancing emas dan pin-pin yang tersemat di kedua pundaknya. Hampir mirip dengan jaket militer milik Panglima Asher, kecuali pada pin mahkota yang terpasang di atas saku sebelah kirinya. Zoey menelan rasa panas yang menggelegak di dadanya. Dia masih marah pada pria itu. Zoey bahkan sudah menghindarinya sejak dia pulang ke istana kemarin. Zoey juga tidak hadir pada penyambutan Kaisar di Ruang Utama dengan alasan tidak enak badan sampai mengundang gunjingan di antara para menteri dan seluruh penghuni istana. Persetan. Aku tidak mau berurusan dengannya lagi. Aku harap aku tidak pernah melihat wajah tampan sialan itu selamanya!
Sekarang orang yang menjadi sumber luka Zoey malah duduk tenang di hadapannya. Berbanding terbalik dengan amarah yang membara dari sekujur tubuh gadis itu, Ellusiant justru tersenyum lebar dan mempersilakannya duduk.
"Kau masih marah?"
Zoey memelototinya, tidak jadi menarik kursi. "Tidak. Untuk apa aku marah?"
"Hmm ... Karena aku menggagalkan rencanamu ke Artemist?"
Zoey merasa seolah pria itu baru saja memeras lemon ke atas lukanya yang masih basah. DASAR BAJINGAN, BIADAB, TIDAK PUNYA NURANI, MATILAH KAU DIMAKAN HIU!
Senyum lebar berkembang di bibir Ellusiant. Pria itu berdiri dan menghampirinya. Sepasang mata kelam itu tak kunjung lepas dari wajah Zoey, seolah dia menikmati bara api yang baru saja disiramnya dengan minyak.
"Kenapa aku mendapat kesan kau sedang menyumpahiku mati di pikiranmu sendiri?"
"Wah, aku senang kau bisa membaca pikiran sekarang."
Setelah berhasil membunuh jarak, Ellusiant mengangkat dagu gadis itu dengan kelembutan yang memualkan. Zoey terus memelototinya, sementara Ellusiant justru mengukir senyuman tipis. "Hati-hati dengan harapanmu, Claretta. Bukankah kita sudah menikah? Kau ingat apa bunyi sumpah pernikahan kita dulu? Kita bersumpah untuk terus bersama sehidup semati. Jadi kalau aku mati ... kau juga."
Zoey tertegun. Apa pria ini baru saja mendeklarasikan perang? Dia juga menyumpahi Zoey mati?
"Menurutku kau gila."
"Menurutku itu romantis."
"Mati saja kau dimakan hiu dan ubur-ubur!"
"Aku akan ikut menarikmu ke laut dan kita bisa mati bersama."
Untuk sesaat, Zoey tidak bisa berkata-kata. Kesintingan laki-laki di depannya sudah tidak tertolong lagi!
"Begitu juga sebaliknya, kau tau." Ellusiant melanjutkan lagi. Ibu jarinya menyapu dagu gadis itu ringan, singkat, tetapi cukup membuat Zoey menggigit lidahnya diam-diam dan menahan napas. "Kalau kau mati ... aku juga akan mati."
Zoey membuka mulutnya, tidak menduga jawaban itu akan meluncur dari bibir Ellusiant.
"Jadi jangan melakukan apa pun yang bisa membahayakan nyawamu. Kau mengerti?" bisiknya lagi.
Ellusiant menurunkan tangan dan kembali ke kursinya. Sementara Zoey masih berdiri di tempat, kebingungan, seakan dia terjebak dalam lubang waktu dan membeku pada detik-detik ketika pria itu masih menyentuh wajahnya. Zoey mengedipkan mata beberapa kali. Saat dia menoleh, ekspresi Ellusiant sudah kembali seperti semula; tak berperasaan, angkuh, seakan tidak ada satu pun di dunia ini yang sanggup mematahkannya.
Zoey sanggup.
Seandainya rencananya berjalan lancar, Zoey pasti berhasil menguak rahasia lelaki itu dan menjadikannya sebagai senjata. Dia bahkan bisa menggunakannya untuk menghancurkan perserikatan ini jika dia mau.
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Zoey.
Ellusiant menumpu dagunya dengan kedua tangan, dia tersenyum. "Kau bilang kau ingin tau lebih banyak tentang Frisia. Aku sengaja mengosongkan jadwalku hari ini untuk menjawab semua pertanyaan selirku."
Zoey mendenguskan tawa sinis. "Kau pikir aku bodoh? Kau bisa saja menipuku."
"Tapi aku tidak berbohong padamu kemarin ketika kita bermain. Kau menanyakan siapa nama asliku."
"Jujur saja, kau memilih nama palsu yang jelek."
Ellusiant tertawa. "Menurutmu nama itu jelek?"
"Ralat. Hanya tidak cocok. Nama Darien terdengar terlalu baik untuk bajingan sepertimu."
Aidan, yang entah sejak kapan muncul di samping Zoey, hampir menggelincirkan piring yang sedang ditatanya di meja makan. Di sisi lain Ellusiant justru tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
"Kenapa kau tertawa?" Zoey meraih sendok dan garpunya sembari cemberut.
Tawa Ellusiant mereda, hanya tersisa satu senyum geli yang sangat lebar di wajahnya. "Tidak, tidak. Aku hanya merasa kau semakin menyenangkan." Pria itu mendesah, masih tidak melepaskan tatapannya dari wajah Zoey. "Kenapa kau menginginkan namaku, Claretta? Apa yang kau rencanakan? Jujur saja."
Pegangan Zoey di sendoknya sedikit goyah. Dia berdeham. "Kau sudah menanyakannya kemarin, dan aku sudah memberikan jawabanku."
"Dan kau tau aku tidak memercayainya."
Brengsek, pikirnya. Pria itu membalikkan jawaban Zoey!
Ellusiant memain-mainkan cincin di jari tengahnya. Kendati senyum lebarnya masih bertahan, sepasang mata hitamnya justru berangsur-angsur mendingin. "Mengkhianatiku? Apa kau berencana menjualnya ke Perserikatan Negara?"
Apa yang akan kau lakukan kalau aku melakukannya? Zoey ingin bertanya demikian. Selama sepersekian detik kebodohannya, dia tergoda untuk menanyakan itu dan melihat apa yang akan dilakukan Ellusiant terhadap hal itu. Pasti akan menyenangkan melihatnya gusar.
Zoey menipiskan bibir sebelum akhirnya memberikan jawaban. "Sebesar apa pun rasa benciku terhadapmu, aku tidak sejahat itu, tau."
Walau Zoey memang bisa, tapi bukan berarti dia akan melakukannya. Zoey hanya ingin menggunakan kelemahan pria itu agar dia tidak punya pilihan lain selain membiarkan Zoey pulang ke Perserikatan Negara hidup-hidup. Hanya itu!
"Baiklah kalau begitu." Ellusiant mengangguk. Lalu dia menoleh pada Aidan. "Berikan aku apel."
Aidan segera mengambil buah yang dimaksud. Namun alih-alih yang berwarna hijau atau merah, kepala pelayan itu mengambil buah yang berwarna putih. Zoey mengerutkan kening. "Itu apel?"
"Ini apel putih, Yang Mulia. Apel ini tumbuh di kerajaan Narva dan sangat beracun." Aidan menjawab. Ellusiant menerima buah tersebut dan menggigitnya dengan santai.
"Beracun?" Zoey melebarkan matanya. Dia memandang Ellusiant seolah pria itu baru saja menelan sebilah belati. "Lalu kenapa kau memakannya?"
Aidan memandang Zoey bingung, seakan dia seharusnya tahu jawabannya. "Yang Mulia tidak tau? Etherian harus mengonsumsi racun dan makanan haram lainnya untuk meningkatkan kadar Ether dalam tubuh."
"Oh, ya?" Zoey menatap mereka berdua seperti orang bodoh. Dia mengingat-ngingat apa yang pernah disampaikan Maia dan Mia tentang Etherian. Sayangnya, Zoey lebih banyak bertanya tentang Frisia dan latar belakang Ellusiant—
Oh. OH! Maia pernah menceritakannya! Zoey ingat, walau tidak secara langsung menjelaskannya, wanita itu pernah menceritakan tentang Frisia yang mengonsumsi darah dan daging musuh untuk meningkatkan kekuatannya. Zoey hanya berpikir bahwa Frisia pertama adalah wanita sinting. Tidak dia sangka bahwa seluruh Etherian juga melakukannya!
Ellusiant melirik Aidan, "Dia kehilangan ingatannya. Wajar jika dia bertanya."
Zoey melihat dua pelayan yang memasuki ruang makan. Gadis itu baru sadar bahwa piring Ellusiant sejak tadi kosong. Berbeda dengan dirinya yang telah disediakan berbagai macam roti, kue, bubur oat, buah, dan selai-selai yang menggiurkan. Salah seorang pelayan membawakan nampan yang ditutup tudung saji. Aidan membukanya, lalu perlahan memindahkan apa yang ada di sana ke atas piring Ellusiant.
Daging. Daging mentah.
"Saat kau mengatakan makanan haram, apa tepatnya yang kau maksud?" Zoey bertanya dengan nada ngeri. Matanya masih terpaku pada daging merah segar di atas piring putih milik Ellusiant.
"Semua yang diharamkan langit untuk manusia telan, Yang Mulia. Darah, bangkai, racun, daging-daging hewan buas yang masih mentah." Aidan berhenti sejenak, dia memandang Zoey lama, sebelum kemudian tersenyum lebar hingga terlihat barisan giginya yang rapi. "Juga daging manusia."
Zoey menahan mual yang merambat naik ke tenggorokannya. Matanya beralih pada daging di atas piring Ellusiant, lantas bergidik takut. "Kau sungguh makan daging manusia?"
"Tentu saja. Daging manusia adalah puncak piramida konsumsi Etherian. Kekuatan yang kami dapatkan bisa seratus kali lipat lebih besar dari darah dan racun biasa." Ellusiant mengutarakannya semudah memberitahu bahwa memakan satu buah pisang bisa menambah energi. Benar-benar sinting!
Pandangan Zoey kembali kepada piringnya, mendadak tidak nafsu lagi. Setelah menelan ludahnya berkali-kali, Zoey meraih mangkuk bubur oat dan memakannya dengan mulut yang terasa pahit. Ellusiant melakukannya dengan sengaja, bukan? Pria itu sengaja menunjukkan ini semua agar nyali Zoey menciut. Dia ingin Zoey tahu apa yang bisa dilakukannya jika gadis itu berani membuatnya tidak senang.
"Memikirkan ulang rencanamu?" Ellusiant membuka suara. Pria itu memotong daging di piringnya dengan rapi, lalu memakannya dengan keanggunan yang membuat bunga-bunga layu karena iri. "Itu bagus. Jadi kau tidak perlu membuang-buang waktumu."
"Apa kau setakut itu aku mengetahui rahasiamu?" Zoey membanting sendoknya. "Karena itu kau menunjukkan ini semua? Agar aku berhenti karena takut?"
"Tidak juga." Ellusiant meneguk sesuatu berwarna merah di gelasnya—Zoey bahkan tidak repot-repot mencaritahu itu apa—sampai tandas. Lalu dia melanjutkan lagi. "Sebenarnya aku tidak peduli dengan apa yang kau lakukan di istana ini. Selama kau tidak berusaha melarikan diri atau mengusik keluarga Bythesea, aku membebaskanmu melakukan apa pun yang kau mau."
"Kau tidak takut aku akan mengetahui rahasiamu?"
"Tidak."
Melihat dari air wajah pria itu, Zoey merasakan setitik rasa tersinggung menyengat hatinya.
"Kenapa?" tantang Zoey. "Apa kau berpikir bahwa aku tidak akan mampu melakukannya?"
Sudut bibir Ellusiant menyeringai perlahan, dan itu cukup untuk mengatakan lebih banyak dari hinaan apa pun. "Kau mau aku menjawabnya?"
Rona merah sontak meledak di pipi Zoey. Memang bajingan sejati! umpatnya. Ellusiant menikmati semua ini. Dia tahu Zoey memiliki niat buruk terhadapnya. Tetapi alih-alih menghentikannya dengan terang-terangan, pria itu malah menantangnya untuk terus maju karena percaya bahwa Zoey tidak akan mampu mengalahkannya.
"Aku akan membunuhmu," geram Zoey. Dia menyendok bubur dengan kasar hingga sendok dan mangkuk belingnya beradu keras. "Aku bersumpah akan membunuhmu, Yang Mulia."
"Lakukanlah. Itu ide yang lebih bagus daripada menolong seorang kriminal," balas Ellusiant. Berbanding terbalik dengan Zoey yang misuh-misuh, pria itu menyantap 'sarapan'nya dengan tenang.
Melihat itu membuat amarah di balik dada Zoey terasa semakin membakar dan menggelegak panas.
"Aku akan melakukan semuanya sekaligus." Zoey bergumam sendiri. Masih melahap buburnya dengan marah. "Aku bisa mencoba membunuhmu, pergi dari istana ini, dan menolong seorang kriminal. Persetan dengan posisiku di istana ini, aku bahkan tidak mau kembali lagi ke sini jika berhasil kabur. Kau pikir aku tidak bisa melakukannya?!"
Kemudian, hening.
Zoey tahu dia sesungguhnya tidak mampu. Satu-satunya pertarungan yang bisa dimenangkannya adalah adu mulut dengan pria itu hanya agar dia tidak terlihat menyedihkan. Jangankan untuk membunuh Ellusiant, Zoey bahkan tidak bisa keluar dari Istana Timur. Ellusiant, entah mengapa, bertekad mengurung Claretta di dalam istana sampai-sampai hanya mengizinkannya keluar sebatas Erantha.
Oh, ya ampun, bahkan izin itu pun sudah dicabut dan sekarang aku tidak bisa ke mana-mana lagi! sungut Zoey dalam hatinya. Dia juga takut Maia dan Mia, atau bahkan keluarga Claretta, harus menerima konsekuensi atas kenekatannya.
Lagipula, semua ini tidak masuk akal. Andai saja Zoey tidak mendengar cerita-cerita tentang bagaimana pria itu selalu membiarkan Claretta dihukum oleh Dewan Disipliner karena percobaan menyakiti Violetta, bahwa Ellusiant tidak pernah mencintai selirnya sejak awal, Zoey mungkin berpikir alasan Ellusiant selalu mengurungnya adalah karena dia terobsesi pada Claretta.
Membunuhnya tidak apa-apa tapi keluar dari istana adalah masalah besar. Kenapa? Zoey kebingungan. Apakah Claretta sebelumnya pernah melakukan sesuatu yang membuat Ellusiant, entah bagaimana, paranoid jika melihatnya hilang dari sisinya? Bagi Zoey, Ellusiant bukan satu-satunya sosok yang tidak sanggup Zoey sibak tiap rahasianya. Claretta hampir sama misteriusnya dengan pria itu. Zoey masih tidak tahu apa alasan Claretta begitu membenci Violetta, atau mengapa dia selalu menjaga jarak dari semua orang seakan tidak sudi berhubungan dengan siapa pun ....
Atau mengapa gadis itu melompat ke danau pada hari yang sama dengan peristiwa pencekikan Zoey di halte.
"Kenapa?" Suara rendah Ellusiant menarik kesadaran Zoey kembali ke permukaan. "Kenapa kau selalu ingin pergi?"
Nadanya melembut, tapi itu bukan jenis kelembutan bulu domba yang membuat seseorang merasa hangat. Ini adalah kelembutan desik angin pada hutan di malam hari, kelembutan sebelum gulungan badai menyergap tanah, kelembutan yang hadir sebagai peringatan adanya bahaya laten yang bangkit. Zoey menjilat bibir. Sepasang mata Ellusiant selalu redup oleh bayang-bayang gelap, tetapi sekarang keredupan itu bahkan telah padam sepenuhnya, menyisakan kegelapan total yang tak berujung. Dia belum pernah melihat Ellusiant semarah ini sebelumnya, tidak bahkan di penjara pelayan kemarin. Sebelum Zoey sempat bertindak, dia memekik ketika Ellusiant meraih kursinya dan menariknya mendekat.
Zoey melihat manik mata pria itu bergeser ke arah bibirnya, lalu kembali menatap matanya lagi.
"Aku tidak pernah meragukan kemampuanmu, Claretta. Kau paling pandai melarikan diri dan bersembunyi. Ya, 'kan? Jika tidak, mana mungkin aku bisa kehilanganmu selama dua belas tahun," bisikan pria itu mengalun, menghantui, dan Zoey tertegun.
Dia tidak tahu. Dia juga tidak mengerti. Percakapan ini seharusnya milik Claretta. Namun ada satu sisi dalam hatinya—kecil dan sayup-sayup seperti bintang yang sekarat—ikut menjengit ketika mendengar kalimat Ellusiant. Seolah ... seolah dia juga memiliki bagian dari percakapan ini, entah bagaimana.
Zoey berusaha mundur, namun lelaki itu keburu menggapai pinggangnya dengan cepat dan menahannya kuat.
Setelah itu semua seakan berlomba-lomba melanggar peraturan.
Jantung Zoey berdegup lebih cepat dari biasanya, wajah mereka lebih dekat dari yang seharusnya, dan tangan Ellusiant merampas jarak lebih banyak dari yang pernah Zoey izinkan kepada pria mana pun.
"Tapi, Claretta, aku juga pandai menemukanmu. Aku selalu menemukan cara untuk menemukanmu." Zoey tidak sanggup memundurkan kepalanya ketika wajah pria itu lagi-lagi mencuri jarak, hingga ruang di antara mereka kini hanya sepanjang satu embusan napas. Mau tidak mau Zoey menurunkan manik matanya dan bertemu dengan bibir pria itu.
"Percaya padaku, kau tidak ingin lari dan ditemukan olehku setelahnya. Nyawa keluargamu ada di tanganku, kau ingat?"
Zoey ... tidak tahu harus mengatakan apa. Alisnya bertaut bingung. Ketika dia memberanikan diri untuk membalas tatapan lelaki itu lagi, dia sudah bersiap untuk melihat kekejian yang terpancar di sorot matanya. Bukan masalah. Itu akan memudahkan Zoey untuk semakin membencinya. Namun, gadis itu justru tercekat. Mengapa semua terlihat terdistorsi? pikirnya sedikit kecewa. Seharusnya kedua mata kelam itu mengirisnya dengan dingin dan tak berperasaan layaknya ujung pisau. Seharusnya Zoey melihat bagaimana bibirnya melengkung kejam dan puas karena berhasil membuat gadis itu tak berdaya lagi dan lagi.
Alih-alih ... Zoey melihat ada kefrustrasian yang sedang mencekik pria itu. Ada permohonan putus asa di balik ancaman jahatnya.
Sekarang setelah melihatnya lebih dekat, Zoey semakin yakin ada masa lalu di antara Ellusiant dengan Claretta. Yang menjadi pertanyaannya adalah, apa perannya di cerita ini? Apakah terbangunnya Zoey di tubuh Claretta hanyalah semacam kesalahan dalam sistem rumit alam semesta? Seperti komputer yang mengalami malfungsi, mungkin apa yang dialami Zoey juga seperti itu?
Namun setelah Zoey memikirkannya lagi, klien misterius yang mencekiknya malam itu tidak mengincarnya secara spontan. Pria itu sudah merencanakannya. Dia tahu di mana Zoey bekerja, dia tahu bagaimana cara mengambil perhatiannya, dan dia sudah tahu bahwa dia akan duduk di halte itu, menunggu Zoey pulang bersama kopi panasnya, kemudian membunuhnya. Itu bukan kesalahan acak. Jiwanya yang masuk ke dalam tubuh ini ... sepertinya bukan kesalahan acak. Keanehan-keanehan yang Zoey rasakan dalam tubuh ini, juga bukan kesalahan acak. Zoey tahu bahwa pikirannya adalah miliknya sendiri. Apa yang dirasakannya, termasuk perasaaan-perasaan aneh yang timbul spontan dan tak bisa dijelaskan, juga miliknya sendiri.
Perasaan bahwa Zoey, entah bagaimana, memiliki cerita yang bersinggungan dengan Ellusiant dan Claretta ... itu juga miliknya sendiri, dan Zoey yakin itu bukan sebuah kesalahan acak.
"Claretta?"
Zoey mengerjapkan mata. "Ya?"
"Kau baik-baik saja?" Ellusiant mengamati seluruh bagian wajahnya lekat-lekat, dan sekali lagi pipi Zoey merona.
"Aku ...." Setelah merasa disorientasi sejenak, gadis itu tiba-tiba teringat apa percakapan terakhir mereka. Buru-buru dia menyentak tubuhnya menjauh dan merengut marah. "Aku... aku hanya ingin mengatakan bahwa kau pria jahat, egois, arogan, dan selalu berpikir bahwa kau memiliki semuanya! Dan kalau kau berpikir dengan mengurungku di istana bisa membuatku jadi milikmu, kau salah, Ellusiant. Aku akan jadi satu-satunya hal yang tidak bisa kau miliki."
Pria itu tertegun sejenak mendengarnya, sebelum kemudian rahangnya mengetat dan tatapannya menajam. Saat itulah Zoey tahu bahwa ucapannya tepat sasaran.
Zoey berdiri sempoyongan. Kepalanya mendadak pusing dan sakit. Rasanya seolah ada tulang-belulang yang sedang mengais-ngais tanah dari dalam. Ada ... sesuatu di dalam kepalanya yang telah lama mati sedang mencoba bangkit dari dalam kuburnya.
"Wajahmu pucat. Duduk dulu." Zoey melihat Ellusiant mencoba meraih pinggangnya sekali lagi, lalu mengepalkan tangan dan menyimpannya di samping tubuh. "Habiskan sarapanmu. Biar aku yang pergi."
"Ya. Anda yang pergi, biar saya yang menemaninya, Yang Mulia."
Zoey mengangkat kepalanya kaget ketika mendengar suara baru. Sementara itu, pundak Ellusiant menegak kaku. Seorang laki-laki tinggi berjalan melewati pintu ruang makan dengan bahu tegak percaya diri. Rambut hitamnya dikepang satu ke belakang, membuat rahangnya terlihat lebih tegas dan sepasang mata birunya menjadi lebih tajam.
"Farell." Ellusiant mendesiskan namanya.
Zoey memejamkan mata seraya mengembuskan napas lelah. Kenapa aku sial sekali hari ini? Kenapa harus ada dua laki-laki bajingan yang muncul di depan wajahku?
Lelaki itu tersenyum cerah. "Maaf karena aku menginterupasi momen kalian berdua," katanya. "Aku datang membawa laporan yang sangat mendesak."
Zoey diam-diam mengamati. Farell yang tetap bersikap tenang dan santai, dan gestur Ellusiant yang tegang seolah dia siap mencabik-cabik Farell dengan garpu di meja makan. Ada sesuatu di antara mereka berdua. Zoey memutuskan untuk berpura-pura tidak peduli. Dia menarik mangkuknya lagi dan memakan bubur oatnya.
"Laporan apa?" Ellusiant bertanya. Suaranya terdengar kasar dan dingin.
"Ada beberapa orang yang berhasil menembus pertahanan dinding lewat laut Artemist tadi malam. Masih belum diketahui identitas mereka. Sekarang militer angkatan darat sedang berupaya melacak dan mengejar mereka. Yang membuatku heran, mereka terlihat ... tanpa usaha sama sekali. Seolah ada orang dari dalam dinding yang memberikan mereka akses."
Zoey menelan bubur oatnya, lantas diam-diam melirik ekspresi Ellusiant. Ingin tahu bagaimana reaksinya ketika mengetahui orang-orang Perserikatan Negara mulai tahu cara menembus pertahanan Dinding Surga. Mengejutkannya, ekspresi pria itu tidak semarah yang Zoey duga. Kendati wajahnya tampak dingin, sesuatu dalam tatapannya justru menunjukkan sebaliknya. Mengingatkan Zoey pada tatapan janggal Ellusiant ketika Rhoman memutar rekaman di pesta ulang tahunnya beberapa minggu lalu. Manik mata Ellusiant bergeser meliriknya, Zoey buru-buru memalingkan pandangan dan memakan oatnya lagi.
"Kita bicarakan ini di tempat lain," ucap Ellusiant.
"Tentu, Yang Mulia." Farell tersenyum seraya membungkukkan badan.
Ternyata Zoey salah. Ekspresi Farell juga tak kalah janggalnya. Baik kedua lelaki itu sama-sama tidak menunjukkan ekspresi tertekan sama sekali. Jika Perserikatan Negara selalu membanggakan senjata penyerangan mereka yang canggih, Perserikatan Kerajaan memiliki dinding pertahanan terbaik sepanjang masa. Satu-satunya alasan perang dunia belum pecah kembali adalah karena Perserikatan Negara tidak pernah berhasil menembus Dinding Surga. Sekarang Farell melaporkan adanya musuh yang berhasil menembus dinding, tidakkah itu ... sangat mengkhawatirkan?
Ellusiant membalikkan badan dan menoleh pada Aidan. Kepala pelayan itu keluar dari ruangan, lalu kembali bersama jubah kerajaan.
"Berapa banyak yang berhasil masuk?"
"Masih belum diketahui."
Ellusiant memakai jubahnya seraya mengamati Farell. Zoey diam-diam menunduk takut, ajaib sekali Farell masih sanggup berdiri tegak setelah ditatap setajam itu oleh Ellusiant.
"Kau bukan kepala Chivalry dari Artemist, tapi alih-alih Ivan, malah kau yang datang dan memberikan laporan. Ada alasan masuk akal?"
"Kebetulan saya sedang bertugas ke sana, Yang Mulia."
"Tugas?" Satu sudut bibir Ellusiant terangkat sedikit. "Tugas macam apa?"
Farell hanya terdiam dua detik, tetapi saat dia membuka mulutnya untuk menjelaskan, Ellusiant melambaikan tangannya sekali dan menyela dengan nada bosan. "Kau berbohong."
"Saya tidak—"
Farell terdiam selama beberapa detik. Mata birunya terlihat kosong. Dahinya mengernyit-dalam seraya mengusap-ngusap matanya. Lima detik kemudian, dia bergerak maju hingga membuat Zoey terperanjat. Tangannya mendadak berkelebat cepat ke arah Zoey dan mengambil pisau roti yang tergeletak di samping mangkuk bubur, lalu mengangkatnya ke depan bola matanya sendiri.
Zoey menegakkan tubuh dan memandang Ellusiant marah. "Apa yang kau lakukan?!"
"Oh, Farell hanya merasa ada hewan di matanya. Jadi dia perlu menusuknya sampai mati."
Ya Tuhan.
"Hentikan," kata Zoey.
"Aku benci orang yang berbohong, Claretta." Ellusiant menopang kepalanya pada satu tangan yang sedang menumpu di lengan kursi. "Lagipula hanya satu mata. Dia masih bisa melihat dengan mata satunya lagi."
DASAR BIADAB! Zoey ingin histeris. Ketika Farell benar-benar mengayunkan tangannya, Zoey buru-buru berdiri dan menahan pergelangan tangan lelaki itu.
"Ellusiant, hentikan!"
"Kau yang menyingkir dari sana, Claretta."
"Tidak mau! Kau yang seharusnya melepaskan dia!"
Farell menyikut gadis itu dengan keras sampai terdengar suara deg! yang memilukan. Zoey mengaduh, mengerang keras, dan dia bertahan. Gadis itu terus berusaha menjauhkan tangan Farell dari wajahnya sendiri dengan sekuat tenaga.
"Ellusiant!"
Zoey melihat ekspresi Ellusiant yang mengeras karena marah. Walaupun kedua mata kelamnya tetap menyorot Farell dengan keji, Zoey merasakan pegangan Farell pada pisau itu berangsur-angsur melonggar. Pria itu mengerjapkan matanya, lalu menatap Zoey dan tangannya bergantian dengan dahi berkerut. Zoey mengembuskan napas lega. Dia mengernyit sembari memegangi tulang rusuknya yang disikut keras oleh Farell. Zoey tidak melebih-lebihkan, namun rasanya seperti diseruduk oleh tanduk banteng.
Terdengar suara kursi digeret. Ellusiant berdiri dan melewati mereka berdua dengan tatapan dingin. "Kita lanjutkan ini di ruanganku, Farell."
Seluruh pelayan yang ada di ruangan itu segera membungkuk rendah ketika Ellusiant meninggalkan ruangan. Aidan buru-buru mengikutinya di belakang. Sekalipun laki-laki itu sudah tidak ada, jejak amarahnya masih tertinggal di ruangan dan mencekik semua orang yang ada di dalamnya.
"Apa maksudnya dia masih ingin mencongkel matamu di ruangan lain?"
"Mungkin." Farell melempar pisau rotinya ke meja seraya menyeringai. "Aku yakin kau sudah sering mendengar bahwa suamimu bukan orang yang berbelas kasih."
"Dia memang psikopat." Zoey menyetujuinya dengan marah, sementara Farell tergelak.
Zoey melihat Aidan kembali lagi ke ruang makan. Dia menghampiri mereka berdua dengan kepala tertunduk.
"Mari, Tuan Farell. Saya antarkan Anda ke Istana Barat." Kemudian dia memandang Zoey dan senyumannya semakin lebar. "Kaisar mengutus tabib untuk memeriksa Anda. Tulang rusuk Anda pasti sakit sekali disikut keras seperti itu." Aidan melirik Farell dengan sengaja.
"Apakah Anda mau menghabiskan sarapan atau kembali ke kamar, Yang Mulia?"
"Kembali ke kamar," sahut Zoey cepat. Dia sudah melihat Ellusiant memakan racun dan daging mentah, lalu menyaksikan seseorang hampir mencongkel matanya sendiri dengan pisau roti. Aidan pikir Zoey masih sanggup menyantap sarapannya?
"Baik, Yang Mulia." Aidan mengangguk kepada Farell, memintanya untuk berjalan duluan.
Lelaki itu tersenyum lebar dan menepuk-nepuk pinggang Zoey dengan kurang ajar hingga baik Zoey dan Aidan sama-sama membeku dalam keterkejutan. Lalu dia mendekatkan wajahnya ke telinga Zoey.
"Sampai jumpa lusa," bisiknya.
Sebelum Zoey sempat mengumpatnya, Farell membalikkan badan dan berjalan cepat keluar ruangan. Hanya berjarak sepuluh detik setelah kepergiannya Zoey baru tersadar dengan apa yang dikatakan laki-laki itu sebelum keluar. Sampai jumpa lusa.
"Kurang ajar," rutuk Zoey seraya menepuk-nepuk pinggangnya, seolah itu bisa menghapus jejak tangan Farell di sana. "Beraninya dia menyentuh—"
Zoey berhenti, meraba-raba. Tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang bertambah di saku gaunnya. Ada selembar kertas yang sengaja dilipat tebal. Farell. Zoey curiga ini dari Farell ketika dia menyentuh pinggangnya dengan tidak sopan barusan. Gadis itu melirik pelayan-pelayan yang diam-diam memperhatikannya. Buru-buru dia keluar dari ruangan, diikuti oleh Maia dan Mia di belakangnya. Seorang tabib sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Zoey menyuruhnya untuk menunggu sebentar di depan bersama kedua dayangnya. Dia membuka kertas tersebut dengan jantung berdebar.
Kau tau? Selain sebagai pimpinan Chivalry kerajaan Croasia, aku juga punya pekerjaan sampingan sebagai pembantu selir yang ingin kabur dari istana.
Kalau kau tertarik, buka pintu kamarmu pukul setengah 6 sore nanti.
-Farell-
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top