2: Kematian Berwujud Sepasang Tangan Yang Mencekik

Zoey barangkali tidak bisa melihat fajar kembali. Mungkin dia ditakdirkan mati hari ini.

"Aku benar-benar bisa mati hari ini," erangan Zoey teredam di lengan bajunya.

Gadis itu meletakkan kepalanya di meja dengan tangan terlipat. Dahinya mengernyit dalam tatkala merasakan denyut menyakitkan di kepala sebelah kanan, menjalar hingga belakang leher. Dia berusaha mengusir kantuk yang sudah menghinggapi matanya sejak tiga jam lalu. Kepalanya sangat sakit karena dipaksa melihat layar selama berjam-jam. Kemarin, dia hanya tidur selama dua jam. Sebelum akhirnya dia terbangun dengan histeris karena belum menyelesaikan draf jawaban untuk kasus yang harus diselesaikan minggu depan. Sekarang sudah pukul satu malam dan berkas mereka belum selesai juga—untuk kasus yang lain lagi. Saking mengantuknya dan sakit kepalanya semakin tak tertahankan, gadis itu hampir saja nekat naik ke atas meja dan menggunakan berkas-berkas di atas mejanya sebagai bantal.

Zoey benar-benar bisa mati hari ini. Jika mati karena kelelahan bekerja itu mungkin.

"Anak magang," panggil Lennox. Atasannya itu berjalan menghampirinya seraya membawa cangkir.

Rasa kantuk sudah mengikis kewarasan Zoey. Gadis itu mendelik tajam pada atasannya, bibirnya menipis kesal. "Apa?"

Pria berambut putih itu menaruh gelas kaca berisi cairan coklat pekat di hadapannya. Teh Canelia. Aroma teh itu memikat penciuman Zoey dan tanpa sadar suasana hatinya yang buruk perlahan melunak. Zoey mengangkat gelas, lalu menyesapnya pelan-pelan. Rasa pahit dan manis menggelitik lidahnya. Tapi, meminum teh hangat seperti ini justru membuat Zoey semakin mengantuk.

"Pulanglah. Berkas-berkas ini biar aku dan istriku yang menyelesaikannya."

"Kalau aku menyerah sekarang kau dan istrimu bisa kewalahan."

Kantor hukum kecil yang menjadi tempat Zoey magang ini memang dimiliki oleh sepasang suami istri, Lennox dan Gabriella. Hanya Zoey anak magang yang mereka miliki, juga satu-satunya pegawai di sini. Mereka pengacara spesialis di hukum perdata, termasuk hukum perjanjian, hukum keluarga, dan hukum waris. Seminggu yang lalu ada seorang klien yang datang ke kantor hukum mereka untuk meminta bantuan menyelesaikan masalahnya. Sejujurnya Zoey agak tidak nyaman dengan aura klien itu. Mungkin instingnya hanya tergerak setiap kali ada orang-orang bersalah yang datang ke kantor mereka dan meminta bantuan. Begitu melihatnya, Zoey tahu ada yang tidak beres dengan klien tersebut. Pria itu terus menatapnya dengan misterius, membuat Zoey merasa tidak nyaman dalam duduknya. Kasusnya sangat mudah, sebenarnya. Pria itu melakukan wanprestasi terhadap perjanjian bisnis, dan dia tidak ingin membayar ganti rugi. Dia berjanji akan memberikan bayaran besar bila Lennox dan Gabriella berhasil memenangkan kasusnya.

"Atau kau boleh menginap," sahut Gabriella. Wanita itu menutup laptop dan menyesap kopinya. "Pakailah kamar di lantai atas, Zo."

Zoey menimbang-nimbang. Sudah larut malam, tetapi Oliver adalah kota yang tidak pernah tidur. Jam satu malam di sini sama bisingnya dengan jam satu siang hari. Seharusnya tidak ada yang perlu ditakuti oleh Zoey.

"Tidak apa-apa jika aku pulang?"

"Pulang saja, atau menginap di sini. Terserah kau, Zo."

Zoey berpikir sebentar, lalu memutuskan, "Kurasa aku akan kembali ke rumahku saja. Terima kasih atas tawarannya, Ella."

"Draf eksepsinya sudah selesai untuk kasus Tuan Kioto?" tanya Lennox.

"Sudah." Zoey mengangguk.

Tunggu. Kioto yang mana? pikir gadis itu.

Mendengar pertanyaan Lennox dia jadi teringat belum menyimpan dokumen di laptopnya. Setelah selesai, Zoey mulai membereskan meja. Walau otaknya masih memikirkan ucapan Lennox. Untuk ukuran firma hukum kecil, klien yang mereka tangani cukup banyak. Zoey takut berkas untuk klien yang baru saja disebut namanya oleh Lennox belum dia kerjakan. Apakah dia perlu membuka laptop lagi dan memeriksanya? Kalau belum dikerjakan, dia akan mengerjakannya sekarang.

Zoey bergidik.

AMBIL SAJA JIWAKU. AMBILLAH. TAPI JANGAN SURUH AKU BEKERJA LAGI, Zoey berteriak histeris dalam hatinya. Ingin menangis.

Lupakan saja. Lupakan. Aku pasti sudah mengerjakannya. Kalau belum ...

Yah, Zoey akan dipecat, dan gajinya yang tidak seberapa itu hanya akan tersisa recehan.

"Kau yakin ingin pulang sendiri jam segini? Perlu kami mengantarmu pulang?" tanya Ella lagi. Nada suaranya kental oleh kekhawatiran.

Zoey, yang masih terbayang-bayang dengan pertanyaan Lennox barusan, mendongak linglung. Hatinya seperti tali tambang yang ditarik dua arah. Yang satu menyuruhnya untuk membuka laptop dan memastikan bahwa berkasnya sudah dikerjakan, sedangkan yang satu lagi menyuruhnya untuk pulang dan melupakannya.

Mungkin aku perlu membuka laptop lagi—

"TIDAK!" Zoey menutup telinganya seraya menjerit, mengagetkan sepasang suami istri di depannya. "AKU MAU TIDUR! AKU MAU TIDUR!"

"Zo, kenapa?" tanya Ella cemas.

"Itu akibat kelelahan bekerja," gumam Lennox. "Aku juga akan menjerit seperti itu jika terlalu lama melihat layar."

"Kalau ada yang belum dikerjakan, beritahu saja kami. Biar kami yang mengerjakannya."

YA, KALIAN SAJA YANG MENGERJAKANNYA!

Biasanya Zoey merasa tidak enak, tetapi kewarasannya hanya tersisa beberapa persen lagi, jadi dia mengangguk. Buru-buru dia memasukkan barang-barangnya ke dalam tas sebelum otaknya kembali memerintahkannya untuk bekerja. Aku harus cepat keluar dari sini, pikir Zoey. Hatinya bertekad untuk melupakan berkas yang dimaksud Lennox barusan. Dia menganggap dirinya sudah mengerjakannya, walau hatinya masih agak mengganjal. Zoey bahkan lupa nama kliennya itu, atau bagaimana wajahnya. Tapi jika ingatannya tidak salah, sepertinya nama yang disebut Lennox barusan milik seorang klien yang pernah membuat Zoey tidak nyaman. Klien misterius yang senang menatapnya diam-diam seperti penguntit cabul.

"Yakin tidak ingin kami mengantarmu pulang?" Entah sudah berapa kali Ella menanyakan hal itu.

Zoey menggeleng. Dia menyeringai kecil. "Tidak perlu. Tidak akan ada yang berminat menculikku, Ella."

Setidaknya itulah yang sering dikatakan ibunya padanya. Zoey tidak cukup menarik untuk diculik orang jahat. Wajahnya terlalu standar, rambut hitamnya telah kehilangan kilaunya sejak dia masuk kuliah, tetapi dia tinggi. Dan, menurut orang-orang, senyum jailnya menarik. Satu-satunya yang Zoey banggakan dari dirinya adalah kemampuannya mengumpat dalam lima bahasa berbeda dan otaknya yang cukup cemerlang. Zoey tidak luar biasa, tapi dia juga bukan gadis biasa-biasa. Zoey ... Hanyalah Zoey.

"Lagipula aku sudah menyiapkan semprotan merica jika ada seseorang yang berusaha melukaiku." Zoey mengangkat satu botol kecil ke depan wajahnya, menunjukkannya pada sepasang suami istri itu.

Ella mengangguk, tetapi kerutan di dahinya belum juga terurai. "Baiklah. Hati-hati. Oh, tunggu." Gadis itu berhenti seraya mengangkat alis. Ella melanjutkan, "Besok tidak perlu masuk kantor. Istirahatlah."

Mata Zoey sontak melebar. "Kau serius?"

"Sangat serius. Cepat pulang sana sebelum aku berubah pikiran."

Ekspresi gembira di wajah Zoey segera layu ketika dia memikirkan kemungkinan lain. "Tapi kau pasti akan menelponku saat aku masih leha-leha di atas kasur dan bilang 'oh, Zoey, bisa tolong bantu aku carikan putusan pengadilan yang pernah mengangkat kasus ini?' atau 'Zoey! Revisi draft eksepsinya sekarang karena aku baru saja menemukan—"

"Tidak, tidak."

Zoey yang sedang mencoba menirukan suara serak Ella sontak berhenti dan hanya cemberut kala Ella tertawa. "Kami tidak akan mengganggumu. Pulanglah, istirahat, makan dan ajak ngobrol keluargamu. Lusa, kau akan ikut berperang bersamaku."

Zoey menepuk-nepuk jidatnya seraya menggerutu. Berperang dalam kamus Ella adalah menyerang lawan sampai titik darah penghabisan saat persidangan nanti. Yang artinya, kalau sampai mereka kalah skor dari lawan, akan ada lembur lagi untuk Zoey dalam menyiapkan bukti-bukti tambahan. Dia hanya anak magang tapi kerjaannya setara pengacara berpengalaman tinggi. Padahal Zoey baru lulus enam bulan lalu, usianya masih 21 tahun, hampir 22. Zoey menyelesaikan studinya dalam waktu tiga setengah tahun.

"Pakai saja jaketku. Di luar pasti dingin." Ella mengambil jaket yang tersampir di kursinya.

Zoey menggigit bagian dalam pipinya dengan gugup. "Aku ...."

Jika Zoey menolaknya, bukankah sikapnya tidak sopan? Akhirnya, gadis itu mengangguk. Tangannya agak gemetar saat mengambil jaket Ella. Bahkan meskipun belum dipakai, kulit Zoey sudah merinding. Dia malu untuk mengatakan kepada Ella bahwa dirinya memiliki kelainan yang agak aneh. Zoey tidak bisa memakai pakaian orang lain. Entah mengapa, itu akan membangkitkan sesuatu yang tidak nyaman dalam dirinya.

"Terima kasih, Ella."

Lennox dan Ella terus memperhatikannya. Jadi, mau tidak mau, Zoey mengenakan jaket itu dan menahan jemarinya agar tidak refleks menggaruk-garuk. Mungkin dia bisa membukanya nanti setelah di bus.

Setelah berpamitan, Zoey melangkah keluar dari kantor. Dia menghirup udara dalam-dalam, lalu berjalan dengan ringan menyusuri trotoar. Zoey benar, Oliver masih begitu ramai. Restoran dan bar masih buka, bahkan bioskop masih buka. Zoey tidak tahan untuk menyeringai lebar. Aroma gurih mentega dan rempah-rempah yang dipanaskan membuat senyuman gadis itu menjadi lebih lebar lagi. Aroma ini pasti datang dari restoran Cham Kaw, restoran khas makanan Benua Timur yang tak jauh dari kantor Lennox dan Gabriella.

Rasa kantuknya hilang seketika, walau kepalanya masih sedikit berdenyut sakit.

Tidak apa-apa. Yang penting besok libur.

"AKU BEBAS!" Gadis itu menjerit, lantas meloncat-loncat sambil berputar-putar. "AKU BEBAS! AKU BEBAS DARI PEKERJAANKU YANG TERKUTUK ITU! AKU BEBAAAAS!"

Beberapa pejalan kaki yang sedang melintasi trotoar memandang Zoey aneh, tetapi tidak repot-repot berhenti untuk mencemoohnya. Benar, itulah yang Zoey suka dari hidup di ibu kota. Tidak akan ada yang cukup peduli padanya. Bahkan meskipun dia menari Hula-Hula sambil bertelanjang di tengah jalan, orang-orang Oliver hanya akan meliriknya tajam, lalu kembali berjalan. Atau, barangkali, melihat manusia dewasa yang menjadi setengah sinting setelah pulang kerja bukanlah pemandangan yang aneh.

"Besok aku mau nonton bioskop," kata Zoey dengan mata berbinar. "Oh, aku juga akan mengunjungi spa. Lalu ...." Zoey mengangkat jarinya satu per satu, "Lalu pergi ke pantai, ke toko buku, joging ke taman kota, karaoke, nonton teater."

Zoey menghitung kegiatan yang akan dilakukannya besok seakan dia libur sebulan alih-alih sehari.

Zoey merasa hatinya mendadak dipenuhi oleh bunga-bunga merah muda yang bermekaran—begitu bahagia. Kalau saja sekarang masih sore, Zoey mungkin akan datang ke bar untuk menghambur-hamburkan uang. Atau dia akan mengajak Fred untuk mabuk-mabukkan di karaoke dan menyanyikan puluhan lagu dengan heboh.

Zoey naik bus di halte terdekat. Gadis itu menggeser kaca sedikit dan menyelipkan kepalanya di sana. Udara malam yang dingin menerpa wajahnya dengan keras hingga hidung Zoey mulai berair. Iseng, dia menjepit kedua pipinya dengan kaca tersebut. Zoey sendiri merasa dirinya menggelikan, tapi dia tetap tersenyum lebar seraya menatap langit malam di atasnya.

Ponsel Zoey berdering singkat.

[Zoey sudah pulang kerja?]

01:23

Ibunya memberi pesan. Zoey tersenyum lagi. Tanpa sadar, jari telunjuknya menggaruk kulit hingga memerah sebelum membalas dengan emot asap dan bus.

[Ibu buatkan mie kuah pakai jahe. Sepakat?]

01:25

Zoey membalas:

[Tambahkan tiga sendok minyak cabai. Tolong :)]

01:25

Tak lama kemudian, jawaban ibunya masuk:

[Sudah ibu taruh botol minyak cabai di samping mangkukmu. Beserta obat diare dan lambungnya.]

01:26

Zoey tertawa. Dia hendak kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket, tetapi jarinya berubah pikiran dan kembali mengetik:

[Zoey sayang ibu dan ayah. Teruslah hidup dengan baik agar kita bisa pergi menginap di hotel bagus dan melihat aurora di utara bumi <3]

01:28

[Kita pesan dua kamar. Ibu dan ayah ingin memadu cinta tanpa kau mengganggu.]

01:29

Zoey menggumamkan ewh, tapi akhirnya tertawa lagi. Ponselnya dimasukkan kembali ke saku celana. Sembari mengusap-ngusap keras lengannya yang tertutup jaket, dia kembali melongok ke jalan dan menjepit wajahnya dengan kaca. Matanya menangkap kilasan berita dari layar besar yang terpasang di depan gedung. Biasanya, layar itu menampilkan iklan pengharum baju atau alat elektronik pembantu rumah tangga, kini benda besar itu menunjukkan tulisan: PERANG ADALAH JALAN TERBAIK UNTUK MEMPERTAHANKAN KEHORMATAN!

Zoey mengikuti tulisan tersebut sampai kepalanya menoleh terlalu ke belakang. Berita tentang perseteruan antara Perserikatan Negara dengan Perserikatan Kerajaan sudah heboh sejak sebulan lalu. Semenjak Kaisar yang baru itu diangkat dua tahun lalu, hubungan kedua perserikatan semakin buruk. Kabar terakhir, Kaisar baru itu menghukum mati semua warga Perserikatan Negara yang masuk ke Dinding Surga, tanpa terkecuali, dan membuat murka Presiden Agung.

"Aku harap berita itu hanya omong-kosong, seperti biasa," gumam Zoey.

Gadis itu menutup kaca dan menyandarkan kepalanya di sana. Orang bilang perang adalah jalan keluar untuk mempertahankan kehormatan, namun bagi orang-orang biasa seperti Zoey, kehormatan adalah komoditas yang bisa dijual demi sesuap nasi. Para politikus yang memprovokasi agar menyerukan perang memiliki uang tak terbatas, orang-orang yang tak akan terlintas di benaknya untuk menjual salah satu organ mereka hanya untuk bertahan hidup. Perang tidak akan mengusik kenyamanan mereka. Berbeda dengan orang-orang biasa seperti Zoey. Jika sampai perang benar terjadi, persetan dengan kehormatan negara, pasti akan ada banyak orang yang berbondong-bondong bunuh diri agar tidak perlu merasakan perihnya akibat perang.

"Sial," umpat Zoey. Dia menunduk. Benar-benar tidak sadar bahwa tangannya tidak mau berhenti mencubit dan mencakar-cakar kulitnya sampai lecet.

"Tahan, tahan." Zoey ingin melatih dirinya sendiri agar bertahan memakai jaket Ella selama mungkin. Dia ingin menyembuhkan kelainannya, namun jemarinya sudah gatal ingin menggores-gores kulitnya lagi. Zoey berusaha bergeming. Setidaknya, dia ingin membuka jaket saat bus sudah dekat dengan halte dekat rumahnya.

Sepuluh detik berlalu.

Dua puluh.

Tiga—

"Tidak." Zoey menggeleng. Dia buru-buru membuka jaket Ella dan menggosok-gosok seluruh badannya. Pantatnya tidak mau diam. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, berusaha menelan tangis gelisah yang sudah naik ke tenggorokan. "Aku sudah melepas jaketnya. Tenanglah, tenanglah."

Gemetar di bahunya mulai mereda. Angin dingin yang menjilat-jilat kulitnya seolah memadamkan bara yang membakar di sekujur tubuh Zoey. Ini bukan penyakit kulit. Zoey, entah mengapa, selalu ingin menarik kulitnya sampai habis sejak kecil karena tidak nyaman. Memakai baju orang lain justru mengingatkan dirinya akan ketidaknyamanan tersebut.

Sesampainya di distrik tempatnya tinggal, Zoey melangkah turun dari bus. Manik hijaunya menangkap seorang pria dengan wajah familier. Ekspresinya berubah masam.

"Kasusmu sedang kami tangani, jadi berhenti menerorku dengan datang ke daerah rumahku." Zoey cemberut. Tiba-tiba dia teringat dengan berkas yang sempat disinggung Lennox.

Sial sekali, padahal aku sudah bertekad tidak ingin mengingat kasusnya.

Pria itu—yang merupakan klien anehnya—duduk di halte dan langsung menatapnya tajam saat melihat Zoey turun dari bus. Kendaraan umum itu kemudian menutup pintu otomatis dan bergulir maju setelah tapak sepatu Zoey sepenuhnya berada di atas aspal.

Zoey bisa saja berkesimpulan pria itu tinggal di daerah sini dan sedang menunggu bus. Tetapi pria itu duduk di bangku paling ujung, jauh dari arah pintu bus. Yang menurut Zoey tidak lazim karena orang normal yang hendak naik kendaraan umum akan duduk di bangku yang lurus searah dengan pintu. Juga, gelas kopi di samping pria itu masih mengepul panas dan juga penuh. Menandakan dia baru saja duduk di sini. Zoey langsung menyimpulkan pria itu bukan duduk di halte untuk menunggu bus, tapi juga bukan sekadar menongkrong.

Dia menunggu Zoey.

"Aku tidak datang untuk membicarakan kasus," ucapnya datar. Rambut hitam panjangnya tergerai angin. Mata birunya tampak lebih dingin dan mematikan dari ujung pisau.

Gadis itu menyipitkan matanya. "Namamu itu ... siapa, ya? Sebentar."

Sesuatu yang berakhir dengan huruf O. Tadi Lennox menyebutnya!

Sayangnya Zoey melupakan namanya. Yang tidak seperti biasanya karena gadis itu cepat menghafal nama orang. Atau mungkin dia sedang tolol hari ini karena stres berat.

"Lupakan. Aku tidak butuh namamu. Kalau begitu, apa yang ingin kau—" ucapan Zoey terhenti saat pria itu bergerak maju tiba-tiba hingga menyenggol gelas kopinya, menciptakan tumpahan pekat di jalan. Zoey baru saja ingin mengeluarkan semprotan merica saat merasakan hentakan di lehernya, membuat kepalanya terdorong ke belakang dengan keras. Zoey kehilangan keseimbangan hingga terjatuh ke jalan. Kemudian meronta-ronta ketika cekikan di lehernya menguat.

"Apa ... yang ... kau inginkan?" tanya Zoey susah-payah.

Pandangannya mulai menggelap. Zoey terbatuk-batuk keras sekali hingga dia pikir tenggorokannya tergores. Kakinya menendang-nendang panik saat dirasakan udara yang dihirupnya menipis. Zoey berusaha melepas cengkaman di lehernya, namun pria itu terus menekan hingga Zoey terengah-engah setengah menangis.

Aku mati malam ini? Sungguh?!

Zoey meneriakkan itu dalam pikirannya kepada tuhan. Seakan-akan Penciptanya sedang bercanda. Tidak ada firasat. Tidak ada tanda-tanda. Kejadiannya terjadi begitu saja tanpa aba-aba. Baru saja Zoey merasakan hidupnya terasa indah. Dia mendapatkan tempat magang yang bagus, dia lulus dengan predikat pujian, karirnya mungkin akan cemerlang di masa depan, orang tua tirinya menyayanginya. Hidupnya benar-benar normal ... tetapi kematiannya akan seperti ini? Mati dicekik oleh klien kurang ajar yang tidak jelas maunya apa?

Zoey merintih saat pandangannya perlahan menggelap. Sayangnya rasa tersiksa ketika udara yang dihirupnya menipis dan semakin menipis tidak mengizinkan Zoey kehilangan kesadarannya. Zoey megap-megap, kembali terbatuk-batuk, lalu megap-megap lagi. Kakinya tidak berhenti menendang-nendang. Gadis itu terus menggelepar di atas aspal seperti ikan di daratan saat paru-parunya meneriakkan oksigen.

Ada banyak wujud kematian, semuanya menyakitkan. Gadis itu selalu bertanya-tanya apa wujud kematian yang didapatkannya. Dia selalu berpikir akan mati karena kelelahan bekerja. Namun kematian untuk Zoey rupanya berwujud sepasang tangan yang mencekik lehernya, merebut napasnya tanpa ampun, dan tuli. Tidak peduli sekeras apa pun Zoey memohon dilepaskan, dia tidak pernah mau mendengar. Zoey merasa dirinya sudah di tepi jurang. Hanya butuh satu tekanan lagi untuk mendorong gadis itu terjatuh dalam jurang kematian yang gelap dan tanpa udara.

Aku tidak mungkin mati hari ini, aku mungkin akan terbangun di suatu tempat setelah ini, pikir Zoey panik. Dia tidak mungkin mati hari ini. Tidak mungkin.

Sebelum kesadaran Zoey benar-benar terseret ke dalam gelap, Zoey mendengar pria itu berbisik, "Maafkan aku. Maafkan aku, Claretta." []


Kalau kalian liat ada tanda (-) itu sebenernya em dash ya, tapi ga kebaca di Wattpad :') 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top