12: Lonceng Berdentang Sepuluh Kali di Artemist
Raja langit beranjak ke ufuk barat saat tapak sepatu pria itu melangkah masuk menuju tempat ibadah yang terletak di sudut Kerajaan Artemist. Tempat ibadah itu mencolok bukan karena menara-menaranya menusuk langit seperti dua gigi taring dalam mulut serigala, bukan juga karena cat putih pada dindingnya mulai mengelupas dan dipenuhi lumut-lumut bau, melainkan karena tempatnya terletak di tengah-tengah dosa. Hanya lima puluh langkah dari sana terdapat rumah bordil di mana anak-anak gadis menjual dirinya seharga lima puluh Prazkel, lebih murah dari sekilo daging lembu. Tiga puluh langkah ke kiri dari tempat ibadah tersebut ada bar kumuh di mana lumrah seseorang bisa memesan satu slot wiski yang dicampur dengan ganja. Tempat ibadah itu sendiri juga biasa menjadi tempat di mana seorang ibu rela menjual anak perempuan pertamanya untuk satu rim kertas pengakuan dosa.
Artemist adalah rumah untuk seratus agama dan sejuta dosa, juga sihir-sihir gelap yang terkurung dalam botol atau tersembunyi di balik tudung saji. Tidak apa-apa. Satu agama paling tidak memiliki lima dewanya, dikali seratus, setidaknya ada lima ratus atau lebih dewa yang akan mengampuni dosa-dosa mereka.
Itulah yang dipikirkan para penduduk Artemist.
"Bait-bait Surga menuntunku hingga ujung kesunyian. Biarkan aku memuja setiap bisunya dengan pekikan doa."
Kata sandi pertama. Sang Tikus menunggu. Pintu rumah ibadah itu—Latedral—terbuat dari kayu mahoni yang diukir bunga kelopak tiga, menyimbolkan tiga pendeta utama agama tersebut. Walaupun mereka mengaku dewa mereka adalah Santha Ethernal sang keabadian, yang mereka sembah sesungguhnya adalah diri mereka sendiri. Aku adalah tuhan. Slogan itu seolah dirajah dalam tulang mereka.
Tawa anak-anak merobek keheningan, mereka berlari dan melempar semakin banyak burung Serek ke udara. Kepakan sayap-sayapnya menciptakan suara pak-pak-pak seperti seprai-seprai yang dipukul oleh rotan. Tak jauh dari mereka, terdengar bunyi kelontang berulang-ulang disusul teriakan usiran dari seorang pria tua. Mungkin beberapa burung Serek berusaha mengacau beras-beras yang sedang dijemurnya. Sang Tikus menunggu dengan sabar suara yang ditunggu-tunggunya. Tidak lama kemudian, lonceng rumah ibadah dibunyikan. Tepat di bunyi kesepuluh—pria itu langsung menegang dan melirik sekelilingnya dengan waspada—sebuah suara serak membalas dari balik pintu.
"Kelak, Surga 'kan meniupkan terompetnya dan hiduplah tulang-belulang yang telah mati. Pekikan doamu adalah satu-satunya yang 'kan terdengar di antara kesunyian abadi itu."
Situasi tidak aman.
Jika situasi sedang aman, loncengnya akan berbunyi sembilan kali dan balasannya adalah, "Kelak, Surga 'kan mengembuskan bisunya untuk mengabarkan bahwa ampunanmu telah diterima."
Pria itu mengepalkan tangannya erat-erat dan sontak membalikkan badan untuk kabur—
—hanya untuk mendapati seseorang juga sudah berdiri di sana. Rambutnya yang berwarna perak tergerai hingga punggungnya. Paras tampannya yang biasa ramah kini sedingin air sungai di musim gugur. Pupil pria itu melebar untuk sesaat. Kemudian dia meloloskan satu tawa pendek dari bibirnya yang kering, tidak menyangka bahwa temannya yang seminggu lalu menemaninya di bar berdiri di sini.
"Halo," sapanya.
Tersenyum, sang Tikus membalas, "Oh, halo juga, Tabib Aziel. Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku hanya ingin tau kabarmu. Bukankah minggu lalu kau menyeberangi Jembatan Besar? Aku hanya khawatir kau tidak bisa kembali hidup-hidup," jawabnya, dengan ekspresi khawatir yang dibuat-buat.
"Aku baik-baik saja. Urusanku juga sudah selesai."
Aziel memasang wajah sedih. "Aku sempat mendengar kalau kau mengunjungi Jemima setelah pulang dari sana. Aku agak sakit hati kau tidak menemuiku lebih dulu."
Tikus melirik pintu di belakangnya, bertanya-tanya apakah rekannya masih ada di dalam dan menguping pembicaraan mereka. Daripada mengambil risiko, sang Tikus melangkah keluar dari teras Latedral agar Aziel mengikuti di belakangnya.
"Bagaimana jika kita mengobrol di bar dekat sini?" tawar sang Tikus.
"Eh? Memangnya kenapa kalau di sini? Apa ada yang sedang menguping pembicaraan kita?" tanyanya polos.
Sang Tikus mendesis marah diam-diam. Apakah Aziel ini memang bodoh atau dia terlampau pintar sampai berani memancing-mancing seperti itu? Mungkinkah Aziel kemari karena dia sudah tahu apa yang selama ini dirinya lakukan di belakang punggungnya?
Melihat tatapan tajam dari sang Tikus, Aziel mengangkat tangan menyerah. "Baiklah, baiklah. Ayo kita mengunjungi bar yang kau maksud itu. Mungkin dengan begitu kau mau menjelaskan kenapa kau mengunjungi Jemima alih-alih aku."
"Kau membuatku jijik, Aziel. Kenapa kau sangat terobsesi padaku?"
Aziel mendongakkan kepalanya ke langit dengan mata terpejam, lalu pria itu menjawab dengan nada khidmat, "Kata langit, kita berdua itu jodoh."
Sang Tikus hendak meninjunya, namun Aziel menghindar dengan gesit dan berkata lagi, "Bercanda, bercanda. Aku hanya ingin tau apa yang kau lakukan dengan Etherian pemindah jiwa itu."
Bahu Sang Tikus sontak menjadi kaku. Aziel tahu!
"Keparat kau, Aziel. Berapa banyak yang kau tau?"
Kedua sudut mulut Aziel terangkat tinggi hingga barisan giginya yang rapi terlihat semua. "Lebih banyak dari yang kau pikir. Ah iya. Sekalian aku mau mengembalikan ini."
Kemudian, dia mengeluarkan buku dari tas selempang kulitnya. Bola mata sang Tikus hampir keluar saking terkejutnya. Itu adalah bundelan suratnya dengan Master! []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top