10: Serigala dan Rubah

Ellusiant melihat Claretta masuk ke dalam pesta.

Gadis itu celingukan memandang sekelilingnya. Ellusiant condong ke depan, menyandarkan tubuhnya ke balkon dan terus mengamati Claretta dari atas. Dia masih tidak terbiasa dengan perubahan drastis Claretta yang seperti ini. Tentu dia tahu alasannya. Ellusiant tidak pernah memaksakan pernikahan mereka, namun orang tuanya lah yang melakukannya. Sikap gadis itu menjadi lebih dingin, berjarak. Berbeda 360 derajat dengan Claretta kecil yang pernah menyelamatkannya dulu dari keputusasaan. Sebuah mimpi buruk berbentuk penjara kotor nan lembap di bawah tanah. Bayang-bayang seorang laki-laki bertopeng itu masih menghantui Ellusiant hingga sekarang. Setiap siksaan, setiap pelecehan, setiap deru napasnya, setiap retakan pada dinding, setiap tekstur pada permukaan lantai, Ellusiant mengingatnya dengan jelas. Seakan dia masih tinggal di sana dan tidak pernah dibebaskan.

Mungkin Ellusiant memang masih tinggal di sana. Hanya raganya yang sepenuhnya ada di sini, namun jiwanya masih berteriak di penjara itu.

Mata Ellusiant berkedip satu kali. Pemandangan laki-laki bertopeng dan penjara itu memudar, digantikan oleh Claretta yang celingukan di tengah kerumunan orang. Ellusiant teringat pada laporan yang diberikan Asher beberapa hari lalu, lalu sedikit banyak menebak motif gadis itu ada di sini.

Masih gigih mencaritahu nama asliku? Bibir Ellusiant melengkung tipis. Merasa agak heran sekaligus geli. Memang apa yang akan dilakukan Claretta dengan nama aslinya?

"Minum?" Violetta menyodorkan segelas sampanye.

"Tidak, terima kasih." Ellusiant menolak.

Niatnya untuk menenggelamkan pikirannya ke dalam pengaruh alkohol langsung sirna begitu Claretta datang. Untuk bisa menikmati pemandangan di depannya, Ellusiant harus dalam kondisi sadar penuh agar bisa mengamati tiap detail, seraya menanti-nanti apa yang akan dilakukan gadis itu selanjutnya. Biasanya Ellusiant adalah pihak yang menciptakan pertunjukan. Baru kali ini dia sangat menikmati duduk di kursi penonton.

"Siapa yang kau perhatikan sejak tadi?" tanya Violetta.

"Mangsa."

Ellusiant memperhatikan bagaimana Claretta terus mengusap-ngusap kain roknya. Rambutnya dibiarkan tergerai hingga siku. Beberapa helai poninya mencuat karena gadis itu tidak bisa diam.

Violetta membelakangi balkon, punggungnya bersandar ringan di pagar. Gadis itu memiringkan kepala, memandangi wajah Ellusiant dengan saksama. "Mengincar salah satunya untuk kau makan?"

Senyum tipis yang sempat melekuk di bibirnya semakin melebar. Geli. "Ya. Ada satu yang ingin sekali aku tangkap untuk kumakan hidup-hidup."

Mata Ellusiant terus mengikuti Claretta yang kini berhenti di tengah-tengah aula, sedang berbicara singkat pada seorang gadis yang memberinya tatapan penuh tanya. Setelah itu, dia kembali berjalan dan mengakhiri langkahnya di dekat meja yang berisi kue-kue. Ellusiant mengamati bahu cokelat Claretta yang terbuka, membayangkan rasanya bisa menelusuri bahu itu dengan bibir dan giginya. Memakan—dengan makna yang lain—gadis itu secara utuh.

Sebelum Ellusiant sempat menghentikan tatapan laparnya, Claretta tiba-tiba mendongak. Pandangan mereka saling mengunci satu sama lain.

"Claretta? Kau ingin membunuh selirmu sendiri?" Violetta memberikan pertanyaannya dengan nada tidak percaya, namun terselip rasa antusias di sana. "Kalau iya, aku tidak akan menghakimimu. Aku mendapat kabar kalau Claretta menerobos masuk Ruang Pusaka. Kau sudah mendengarnya?"

Ellusiant tertawa kecil. "Ya."

Pria itu melihat Claretta menunduk, mengambil kue dengan tergesa-gesa.

"Untungnya dia tidak mencuri apa-apa. Kalau sampai ketahuan dia mencuri salah satu dari sana, aku tidak akan ragu memanggil Dewan Disipliner untuk memberinya hukuman keras. Bahkan lebih keras dari yang kemarin."

Ellusiant menjaga ekspresinya tetap tenang. Bersyukur bahwa dia memerintahkan pelayan untuk diam-diam mengambil buku silsilah yang Claretta ambil untuk dikembalikan ke Ruang Pusaka. Akan sangat merepotkan kalau sampai Violetta tahu. Karena itu berarti Ellusiant, akan dengan sangat terpaksa, menciptakan satu 'pertunjukan' lagi agar semua orang kembali ke tempat duduknya dan berhenti meneriakinya untuk menghukum Claretta.

"Aku tidak tau apa tujuannya masuk ke Ruang Pusaka tanpa izin. Tapi firasatku ... ada rencana jahat di kepalanya." Violetta menoleh, kedua alisnya bertaut. "Bagaimana jika dia ingin tau siapa nama aslimu? Minggu lalu Claretta menyebut dirinya sebagai warga Perserikatan Negara. Bagaimana jika itu benar, Ellusiant? Bagaimana jika dia adalah mata-mata yang dikirim Perserikatan Negara untuk menghancurkan kita? Kau sendiri yang mengatakan bahwa keluarganya sempat menghilang, bukan? Mereka muncul secara ajaib di Kerajaan Ethena. Itu tidak masuk akal."

"Bukankah kemarin dia mengaku kerasukan roh jahat?"

"Mungkin saja itu pura-pura karena panik. Kau menyinggung soal hukuman mati." Violetta menyesap sampanye di tangannya. "Harusnya kau jalani saja hukuman matinya kemarin."

"Begitu?"

"Hu-um."

Ellusiant menangkap sinyal samar dari tatapan Violetta. Dia sudah terlatih untuk menangkapnya kapan pun gadis itu memiliki rencana buruk terhadap Claretta.

Ellusiant berjalan mendekat dan merendahkan wajah. Bahkan tanpa perlu bersusah-payah, wanita itu sudah berjinjit dan menyambar bibir Ellusiant dengan antusias. Alkohol. Manis. Kebohongan. Makian. Ellusiant bisa mencecap semuanya dari bibir Violetta. Ada perintah membunuh yang tertahan di bawah lidah wanita ini. Untuk menyingkirkan Claretta dari posisi selir tunggal dan menjadikan dirinya sendiri satu-satunya wanita di sisi Ellusiant. Violetta persis Grace Bythesea, ibunya. Mereka punya kemampuan untuk mencintai banyak hal sekaligus secara setara. Dalam kasus Violetta, dia terobsesi pada Ellusiant dan kekuasaannya.

Obsesi. Cinta yang terlalu sering diasah hingga menjadi setajam pisau. Ellusiant adalah orang terakhir yang pantas untuk menghakimi Violetta karena itu, sebab dia juga merasakan hal yang sama terhadap Claretta. Jika dipikirkan lebih dalam, bukankah mereka berdua sangat cocok? Monster seperti Ellusiant layak mendapatkan monster yang sama buruk rupanya seperti Violetta. Pemikiran itu membuat Ellusiant menarik napas tajam di sela-sela ciumannya. Merasa tersiksa karena dia begitu ingin memberikan Claretta semua hal terbaik di dunia ini, namun egonya tak sanggup membuatnya menyerah dan membiarkan gadis itu pergi. Pergi dari makhluk menjijikan seperti dirinya.

Saat Ellusiant membuka mata, Claretta juga tengah menatapnya dari jauh.

Ellusiant hampir melepaskan diri, namun Violetta mengalungkan tangan di lehernya dan memagut lebih dalam. Claretta memalingkan wajah.

Tatapan Ellusiant menggelap saat mengikuti gerik seorang pria yang mendekatinya. Farell. Rambut hitam panjangnya tergerai hingga bawah bahu. Saat dia sudah tiga langkah di belakang Claretta, bibirnya menyeringai penuh kemenangan.

Keparat itu, geram Ellusiant.

Violetta memundurkan wajah, terengah-engah. Kemudian dia berbisik di bibirnya. "Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang?"

"Tentang apa?"

"Claretta."

Manik hitam Ellusiant bergeser ke samping wajah Violetta, kembali memandangi Claretta dan Farell yang sedang mengobrol. Lama Ellusiant terdiam sembari mengawasi gerak-gerik kedua orang itu.

"Aku ...." Ellusiant sedikit memiringkan kepala. "Hanya ingin mengamati saja dari jauh."

Seperti biasa. Hanya bisa berdiri dan mengagumi Claretta dari jauh.

Violetta mengangkat alis. "Oh. Seperti serigala yang mengamati rubah?"

Senyum berkembang lagi di bibir Ellusiant. Dia suka bagaimana Violetta terkadang berhasil menyimpulkan sesuatu secara akurat. Jika kisah ini terjadi pada orang lain, hubungan Ellusiant dan Claretta mungkin akan terlihat seperti seperti pengagum rahasia dan orang yang dicintainya. Namun Claretta begitu sial karena orang yang mencintainya adalah seseorang seperti Ellusiant.

"Ya. Seperti serigala dan rubah."

Seperti predator dan mangsanya.

***

Zoey memperhatikan segerombolan orang yang masuk melewati pintu aula. Mereka membawa buku catatan kecil dan kamera. Tidak sebesar kamera yang selalu dibawa wartawan di Perserikatan Negara. Malah, kamera itu adalah seri yang digunakan orang-orang Greden lima tahun yang lalu. Zoey bisa menebak siapa mereka.

Wartawan.

Musik sontak berhenti, dan orang-orang segera menghentikan obrolan dan tariannya.

"PANJANG UMUR KAISAR!" seru seorang wartawan laki-laki, lantas membungkuk rendah-rendah. Suaranya menggelegar ke sepenjuru aula.

"PANJANG UMUR KAISAR!"

"PANJANG UMUR, YANG MULIA!"

Laki-laki yang tadi memimpin penghormatan menegakkan badan dan berbicara lagi. "Yang Mulia. Saya, Rhoman dari Kerajaan Artemist, pemimpin Asosiasi Wartawan periode tahun ini memohon izin untuk memberikan hadiah, jika Anda mengizinkan."

Ellusiant menumpu kedua tangannya di balkon. "Benarkah? Apa yang kau bawa untukku?"

Mata Rhoman berbinar-binar mendengar jawaban Ellusiant. Dia menoleh kepada perempuan di sebelahnya. "Fiona, bawakan barangnya."

Fiona mengeluarkan benda kecil berbentuk persegi panjang dari tas yang dia pinggul di punggungnya. Zoey diam-diam melangkah mendekat, menyelip di antara orang-orang untuk bisa melihat lebih jelas.

Rhoman tersenyum lebih lebar. "Saya mohon semuanya tetap hening selagi saya memutar rekaman di tangan saya."

"... Kami menemukan titik kelemahan Dinding Surga, Tuan."

Orang yang diajak bicara itu tertawa lirih. "Benarkah?"

"Sembilan puluh persen, ya. Ini berdasarkan observasi kami di Samudera Artin. Tuan tidak perlu khawatir mereka akan curiga karena kapal kami berlalu-lalang di laut bebas. Mereka tidak punya alasan untuk menuduh kita begitu saja."

Orang itu mengembuskan napas berat. Terdengar bunyi sendok dan cangkir yang beradu. "Apa yang kau temukan?"

"Perangkat lunak kami mendeteksi adanya pipa bawah laut sepanjang 531 meter dengan kisaran kedalaman 27,5 meter sampai 28,13 meter. Pipa itu menjadi media alat transportasi minyak ke wilayah mereka."

"Dan? Rencanamu?"

"Jika kita tidak bisa meledakkan dari luar, bagaimana jika kita membuat mereka meledakkan diri dari dalam, Tuan?"

"Sihir dinding juga tidak mengizinkan adanya serangan dari dalam wilayah mereka sendiri, Arthur."

"Ya. Tapi Tuan jangan lupa bahwa aturannya hanya berlaku jika itu adalah serangan dengan niat menyakiti. Bagaimana jika ledakan itu terjadi karena kecelakaan?"

Semua orang saling terkesiap.

"BAJINGAN!" maki seorang wanita.

"Mereka tampaknya serius dengan rencana untuk menghancurkan kita. Yang Mulia, kita harus memperketat pengamanan di Laut Hera. Saya, pimpinan Chivalry dari Kerajaan Crovos siap membantu jika diizinkan."

"Kerajaan Zeron juga!"

"Kerajaan Hana siap membantu!"

Satu per satu perwakilan Chivalry dari setiap kerajaan berseru bahwa mereka siap. Zoey mendongak, mengamati ekspresi Ellusiant yang masih tenang. Tidak. Bahkan wajah pria itu tampak terhibur dengan rekaman yang diputar oleh Rhoman.

Rhoman kembali memutar rekamannya.

"Berapa anggaran yang harus saya keluarkan untuk rencana ini?"

"Kami masih menyusun strategi dengan rinci. Detailnya akan saya kirim lewat surel."

"Buat simulasinya. Aku tidak mau membakar uang untuk rencana yang eksekusinya tidak matang."

"Akan saya catat baik-baik, Tuan Presiden."

"Ngomong-ngomong, sudah dapat kabar dari rekan kita?"

"Trinitas Chrysante masih sibuk membangun kekuatan. Mereka mendapat bantuan dari aliansi mereka yang lain."

"Ah, ya. Si Master yang berotak cerdas itu. Aku sudah mendengar tentangnya dari sang Kehancuran. Kupikir dia bagian dari Chrysante."

"Chrysante hanya terdiri dari tiga pendeta. Sang Kematian, sang Kehidupan, dan sang Kehancuran. Sang Master bukan salah satunya. Dia hanya orang yang membantu mereka bangkit kembali dari kematian."

Terdengar suara seruput dari rekaman itu. Zoey merasa tangannya sedikit gemetar di samping tubuhnya. Setelah dia mendengar dengan saksama, dia tahu siapa salah satu pemilik suara tersebut. Zoey mendengarnya ratusan kali dari televisi.

Presiden Agung.

"Aku penasaran dia berasal dari aliansi mana. Kau mendapat info?"

"Saya pikir ... dia hanya tikus seperti Chrysante."

Presiden Agung tertawa terbahak-bahak. Dengusannya mengingatkan Zoey pada kuda saat mereka tengah antusias.

"Tidak kusangka predator seperti kita harus bekerja sama dengan tikus-tikus dalam lubang." Presiden Agung mendesah panjang. Lalu dia kembali melanjutkan, "Selain memastikan rencana peledakan lewat pipa bawah laut berjalan lancar, bisakah aku memberimu tugas lain, Arthur?"

"Ya, Tuan?"

"Beri aku setiap informasi yang bisa kau dapat tentang sang Master Dan aku ingin bisa berkomunikasi dengannya mulai minggu depan. Apa pun caranya."

Rekaman berakhir.

Rhoman memberikan pemutar rekaman kepada Fiona. Pria itu memutar badan, menatap satu per satu orang yang mengerumuninya.

"Siapa pun sang Master ini, dia memegang peran penting dalam banyak rencana yang sedang dijalankan musuh." Rhoman menghadap balkon lagi, mendongak. "Yang Mulia, saya belum tau siapa Master, tapi saya pasti akan menemukannya."

"Bagaimana kau bisa merekam itu semua?" tanya Ellusiant.

Zoey masih terganggu melihat ketenangan janggal lelaki itu. Apakah dia tidak merasa ... resah? Kenapa Ellusiant tampaknya semakin bersemangat mendengar rekaman dari Rhoman? Zoey berusaha memahami jalan pikirannya, tetapi tidak ada kesimpulan yang bisa didapatnya selain bahwa lelaki itu memang haus darah.

Rhoman tersenyum unjuk gigi. "Kebetulan, Yang Mulia, saya memiliki hobi bercocok tanam."

Semua orang tertawa begitu keras mendengar jawabannya. Zoey termangu untuk sejenak, memikirkan kalimat Rhoman sebelum akhirnya mengerti apa maksudnya. Pria itu 'menanam' mata-mata di Perserikatan Negara. Salah satu keahlian wartawan yang paling mengerikan.

"Kerja bagus, Rhoman. Temui aku besok."

Rhoman membungkuk rendah-rendah. "Siap laksanakan, Yang Mulia."

"Silakan nikmati pestanya."

"Tunggu." Violetta menyela. "Kebetulan ada kalian di sini, bagaimana jika kalian meliput sesi buka hadiah untuk Kaisar? Mungkin ada hadiah menarik yang bisa kalian tulis di koran."

"Ah ...." Rhoman melebarkan mata. Dia tampak seperti ditawari berlian oleh sang calon permaisuri. "Itu ide bagus, Yang Mulia! Jika diizinkan, tentu saja."

Violetta memeluk tangan kanan Ellusiant dan memasang ekspresi memohon.

Zoey menunduk, menatap tas kado yang sedang dipegangnya, lantas histeris dalam hati. OH, TIDAK. KUMOHON JANGAN!

"Ya. Kita bisa melakukannya. Tidak perlu semua. Cukup orang-orang terdekat."

Termasuk Zoey!

"Karena selir hadir malam ini, maka hadiah darinya juga perlu kita buka, 'kan?" seru Violetta.

Zoey menahan napas sejenak, merasa gugup saat mata-mata itu menusuknya dari berbagai arah.

Seseorang terkesiap. "Benar juga! Ini pertama kalinya selir datang ke acara ulang tahun Kaisar. Mungkin dia membawa hadiah bagus untuk Kaisar!"

Tuhan, matikan saja aku hari ini, batin Zoey.

"Kado siapa yang perlu kita buka lebih dulu? Milik selir atau milik calon permaisuri?"

"Calon permaisuri dulu! Posisinya lebih tinggi dari selir!"

Violetta melekukkan senyum menawan. "Baiklah."

Violetta turun dari balkon. Sepatu hak tingginya menyentuh tangga demi tangga tak kasat mata di samping balkon—

Zoey hampir tersedak ludahnya sendiri. Dia tidak pernah merasa ditipu sedalam ini. Tangganya tak kasat mata! Bagaimana bisa?! Jika begini caranya, menurut Zoey lulusan teknik sipil dari Perserikatan Negara bukan hanya bisa menangis, mereka juga akan kena serangan jantung, dibawa ke unit gawat darurat, dan mati dengan rasa sedih di dalam kuburnya.

Kaki Violetta berhasil menyentuh lantai. Zoey didorong oleh tangan-tangan di belakangnya agar berdiri di barisan paling depan. Dari ekor mata, Zoey bisa melihat Farell berdiri menjulang tak jauh darinya, mengamatinya dengan serius seraya membenamkan gigi di atas kue bunga mawar.

Awalnya, Zoey tidak begitu memperhatikan gaun Violetta. Sekarang dia bisa melihat dengan jelas bagaimana gaun yang melekat erat di tubuh sang calon permaisuri. Cantik saja tidak cukup untuk menggambarkannya. Gaun itu merepresentasikan keanggunan dan provokatif dengan sangat baik. Gaunnya berwarna merah menyala. Tali tipis melintang dari leher, bahu, dan menutupi puncak payudaranya. Di garis tengah dadanya yang terbuka, semua orang bisa melihat tato bunga teratai. Gaun Violetta sepanjang tumit kaki, namun bagian pahanya terbelah, memamerkan kaki jenjangnya yang memesona. Rambut gadis itu disanggul ke atas hingga Zoey iri dengan garis lehernya yang menawan.

Ellusiant menyusul berdiri di sebelahnya kemudian. Manik hitamnya terus mencengkeram Zoey, merenggut udaranya sedikit demi sedikit hingga gadis itu merasa sesak napas.

"Rayana?" Violetta memanggil. Seorang wanita bergaun cokelat seperti Maia dan Mia menyeruak dari kerumunan. Dia membungkuk rendah di hadapan gadis itu. "Bawakan hadiah yang kubawa."

Rayana mundur dari kerumunan, sebelum akhirnya kembali seraya membawa nampan yang ditutup oleh kain bermotif lambang Dinding Surga. Rayana berhenti di depan Violetta dan membuka kain tersebut. Menampilkan kotak hadiah cukup besar berwarna merah yang diikat dengan pita hitam. Violetta mengambilnya, lantas memberikannya kepada Ellusiant.

"Apakah itu emas?" bisik wanita di belakang Zoey.

"Berlian, mungkin."

Ellusiant mengurai jalinan pitanya, lalu membuka tutup kotak hadiah tersebut. Kemudian, jemarinya mengeluarkan sesuatu berwarna hitam yang terlipat rapi. Ellusiant menaruh kotaknya di nampan dan membentangkan benda di tangannya. Itu adalah ... jubah tidur. Namun meskipun mata Zoey tidak pandai mengenal jenis-jenis kain, dari warna hitamnya yang memantulkan cahaya dari lampu di atas mereka, dia tahu jubah itu terbuat dari kualitas terbaik.

"Sutra bunga teratai," jelas Violetta. "Aku harap jubah ini bisa menghangatkanmu setiap malam."

Bunga teratai. Zoey teringat pada tato di garis belahan dada Violetta. Mungkin itu semacam lambang keluarganya?

"Oh, astaga. Bukankah sutra teratai itu sangat mahal?!" bisik-bisik di belakang Zoey semakin heboh.

"Aku tidak akan bisa menebusnya dengan hasil kerja kerasku seumur hidup. Sutra itu lebih mahal dari harga emas karena sangat langka."

"Aku iri."

"Terima kasih," kata Ellusiant. Meskipun begitu, air wajahnya tidak beriak. Dia melipat kembali jubah itu dan memasukkannya ke dalam kotak.

"Sekarang hadiah dari selir!"

Semua orang, termasuk Ellusiant, kini memberinya tatapan lurus. Zoey menggenggam tali tas kadonya lebih erat selagi dia berjalan maju. Begitu sampai di depan Ellusiant, gadis itu berdeham dan menunduk.

"Ini ...." Zoey menyerahkan kadonya. Di kepala Zoey, dia bisa mendengar suara Maia yang meneriakinya peringatan JANGAN LUPA MENGHORMAT! "... Yang Mulia."

Zoey bersumpah bahwa sepasang mata hitam Ellusiant memancarkan kegelian. Sudut bibirnya tertarik samar sekali hingga gadis itu mengira dirinya sedang berhalusinasi. Sebelum Ellusiant mengeluarkan kotak dari tasnya, Zoey refleks menahan pergelangan tangan pria itu. Ellusiant terlihat sedikit tersentak.

"Tidak bisa dibuka di kamar saja?" tanya Zoey gelisah.

"Tidak bisa!" seseorang memberikan protes. "Harus di sini! Sekarang!"

"Kenapa, Claretta? Memangnya apa yang kau berikan?" tanya Violetta. Walaupun ekspresinya melembut saat bertanya, Zoey bisa merasakan jarum-jarum tak kasat mata yang menusuk lehernya.

"Aku, aku malu. Hadiahku sangat ... fungsional. Sama sekali tidak mahal seperti milikmu." Zoey sengaja menunduk dengan wajah menyedihkan. Berharap mereka mengasihaninya dan menghentikan sesi buka hadiah yang konyol ini. Karena, Zoey bersumpah demi semua tuhan yang ada di dunia ini, dia tidak tahu akan ada sesi buka hadiah!

"Tidak apa-apa." Ellusiant buka suara. "Apa pun yang kau berikan aku akan menerimanya."

"Bagaimana jika dia memberikan racun?"

Ellusiant tersenyum. "Bahkan meskipun itu racun."

Zoey menelan ludah saat Ellusiant mengeluarkan kotak kado dan mengurai pitanya. Zoey melirik lantai, berpikir apakah dia perlu berpura-pura kesurupan lagi. Detak jantung gadis itu seakan tersendat saat Ellusiant menghentikan gerakannya begitu kotak terbuka. Matanya tertegun sesaat.

Kemudian, lelaki itu tertawa terbahak-bahak. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top