TWENTY: Rotten to the Core

Malam ini, baik Aldo maupun Nora, mereka tengah bersiap di kamar masing-masing. Di kamar cadangannya itu, Aldo masih memakai handuk menutupi bagian bawahnya sembari berjalan menuju ke tempat tidur di mana setelan malamnya sudah siapa pakai.

Sejak dulu, Aldo tak pernah antusias menyambut acara-acara berhubungan dengan kantor. Apalagi acara yang sangat tidak berguna seperti acara ulang tahun koleganya. Namun, kali ini berbeda. Ia sangat berbeda. Karena adanya Nora, semuanya terasa menyenangkan. Berbicara tentang Nora, membuat Aldo berpikir.

Apa Nora sudah melihatnya?

Di waktu yang sama dan di kamar yang berbeda, Nora baru saja selesai mandi. Ia memakai bathrobe sebelum kemudian keluar dari kamar mandi besar dan mewah Aldo. Ia hendak berjalan ke lemari besar yang berisi gaunnya sebelum langkahnya berhenti karena melihat sesuatu yang mencolok di atas tempat tidur.

Nora terpukau melihat gaun biru tua yang sangat indah telah terbaring indah di atas tempat tidur itu. Gaun bermodelkan skirt A-line selutut itu sangat memesonanya. Sangat cantik.

Nora kemudian mengerutkan alisnya melihat sebuah kotak beludru berwarna biru tua berada di samping gaun itu. Dan Nora juga sadar bahwa ada sebuah kertas catatan yang dilipat sekali di atas gaun itu. Dengan perlahan, Nora mendekat dan meraihnya.

Gunakan semuanya malam ini. Ini bukan permintaan.

Sekali melihat, Nora bisa tahu bahwa Aldo yang menuliskan semua itu.

Dengan perlahan, Nora terlebih dahulu meraih kotak lebar agak pipih itu terlebih dahulu. Karena sejak awal, kotak itulah yang sangat membuatnya penasaran.

Setelahnya, Nora terperangah dengan mulut terbuka. Ia sampai harus menutup mulutnya dengan salah satu telapak tangan melihat isi yang berada di kotak itu. Ia seperti telah kehilangan kata-katanya. Ia tak percaya Aldo membelikan ini untuknya.

Perlahan, tangan Nora yang menutup mulutnya bergerak mengelus tiga benda yang ada di sana. Yang pertama adalah kalung emas putih berliontinkan batu safir yang membentuk mawar biru, serta sepasang anting yang memiliki model yang sama dengan liontin yang berada di kalung itu.

Nora benar-benar tak tahu harus mengatakan apa. Namun, Nora tak bisa berbohong bahwa ia benar-benar bahagia diberikan kalung dan anting-anting itu. Bagaimanapun ia adalah seorang wanita yang juga menggemari perhiasan indah tanpa obsesi berlebihan. Namun, ia merasa bahwa Aldo tak seharusnya memberikan benda semahal ini.

Nora memutuskan untuk memakai semua itu. Biarlah ia merasakan menjadi Cinderella malam ini. Ia tak pernah memakai gaun indah dan perhiasan mahal sebelumnya. Biarlah cukup malam ini ia memuaskan dahaga naluri wanitanya.

Nora kemudian mulai memakai bajunya. Rambutnya ia ikat setengah dan rambut bagian bawahnya ia biarkan terurai layaknya rambut karakter favoritnya, Belle di film Beauty and The Beast.

Lalu kemudian dengan perlahan dan penuh kehati-hatian, Nora memakai kalung itu. Ia seolah takut akan membuat lecet perhiasan mahal dan indah itu. Kalung itu pun menghiasi leher Nora yang jenjang dengan indahnya. Kemudian, ia mengambil kedua antingnya dan memasangnya. Hingga membuat Nora sadar, perhiasan itu membuatnya terlihat cantik. Perhiasan itu seolah mengangkat derajatnya seketika.

"Nora?! Kau sudah selesai?!"

Nora yang tengah mengagumi perhiasan yang ada padanya dirinya buyar mendengar seruan Aldo dari luar. Dengan cepat, Nora merapikan alat makeup yang entah sejak kapan telah tersedia di kamar ini. Sepertinya, Aldo benar-benar tahu apa saja yang wanita butuhkan.

"Ya, aku sudah selesai! Sebentar lagi aku keluar! Tunggu aku di depan!" jawab Nora.

Setelah memastikan bahwa tak ada lagi yang kurang dari penampilannya, Nora pun keluar menghadap Aldo yang tengah sibuk bermain dengan ponselnya.

Seketika Nora terdiam melihat ketampanan Aldo. Setelan malam benar-benar membalut tubuh tinggi, tegap, dan profesional Aldo dengan sempurna. Rambut pria itu pun ditata sempurna dengan model rambut pompadour sederhana yang sangat keren, membuat pria itu semakin memancarkan sinar ketampanannya.

Merasakan kehadiran Nora, Aldo pun berpaling dari ponselnya. Membuatnya ikut memandang terpukau pada Nora. Keduanya tampak lucu karena saling mengagumi satu sama lain tanpa mereka sadari.

"Tuan Muda, Nona Nora, saatnya kalian berangkat."

Keduanya kemudian tersadar saat Alfonso muncul dan membuyarkan pandangan masing-masing. Dan, Nora hanya bisa salah tingkah karena ketahuan memandangi Aldo penuh keterkaguman yang jelas.

"Benarkah? Kalau begitu, ayo," ucap Aldo tanpa mengalihkan pandangan kagumnya yang terang-terangan pada Nora. Pria itu mengagumi miliknya tanpa ada kepura-puraan.

"A-a-ayo," balas Nora sedikit gugup.

***

Sekali lagi mereka berada di situasi di mana hanya ada Nora dan Aldo di dalam mobil. Entah kenapa, akhir-akhir ini, pria itu sudah tak ingin dikawal ke manapun jika sedang bersama Nora. Akhirnya, suasana mobil menjadi sedikit canggung. Namun, tidak dengan Aldo. Ia terus menyunggingkan senyuman kepuasan melihat bahwa wanita cantik yang berada di sampingnya itu adalah miliknya. Dan ia sudah tak sabar memperkenalkan miliknya pada semua orang.

"Kita sampai," ucap Aldo membuyarkan lamunan tersendiri Nora.

Nora pun mengikuti langkah Aldo keluar dari mobil. Seperti biasa, Nora kembali terperangah melihat betapa besar dan indahnya gedung tempat di mana acara itu berlangsung.

"Apa kita terlambat?" tanya Nora.

"Kurasa tidak. Ayo, ikuti aku."

"Baiklah."

Entah kenapa Nora merasa sedikit kecewa karena Aldo tak menggandengnya seperti biasa. Pria itu malah memasukkan kedua tangannya dalam kantong celana setelannya dan berjalan mendahului Nora.

Nora hanya tak tahu saja bahwa sebenarnya Aldo terlalu berdebar untuk terus berdekatan dengannya. Pria itu hanya takut bahwa ia kembali menyakiti Nora jika ia lepas kendali.

Tepat setelah mereka berdua masuk, sebuah mobil mewah lainnya muncul dan terparkir tepat di samping mobil yang dimiliki Aldo. Dari dalam, keluarlah Randy dengan wajah sombongnya serta Gianna yang juga tampil cantik namun dengan wajah ditekuk kesal. Wanita itu kesal karena ayahnya memaksanya untuk menghadiri acara itu dengan si calon suaminya yang menyebalkan itu.

Gianna kemudian tak bisa menyembunyikan wajah antusiasnya saat mengenali mobil Aldo. Ia tak menyangka bahwa pria itu mau datang ke acara ini, mengingat Aldo lebih suka mengirimkan perwakilannya daripada repot-repot datang ke acara yang selalu membosankan bagi pria itu.

"Dengar, sebaiknya kau jauh-jauh dariku setelah kita masuk di dalam. Aku tidak sudi berdekatan denganmu selama acara. Jadi, menjauhlah dariku!" ucap Gianna tajam pada Randy yang hanya tertawa mengejek.

"Kau besar kepala seperti biasa, Sayang. Kau pikir aku juga sudi? Sebaiknya kau berpura-pura menyibukkan diri dan menjauh dariku karena kehadiranmu akan benar-benar merusak gayaku."

Telinga Gianna kembali panas mendengar apa yang dikatakan Randy. Ia hanya mengumpat dan menyumpahi pria yang sudah berjalan pergi meninggalkannya.

Suara pesta terdengar begitu semua orang memasuki ruangan. Acara puncak di mana peniupan lilin dan pemotongan kue oleh pria tua kaya itu juga sudah terlewati. Walau begitu, semua tamu masih tampak menikmati acara. Apalagi acara ini diisi oleh salah satu penyanyi Amerika terkenal, membuat siapapun betah berada di sana.

Nora sendiri bingung. Ia hanya berjalan ke sana kemari menemani Aldo yang terus mendekap pinggulnya dengan sebelah tangan pria itu. Seolah Aldo mempertunjukkan dengan sengaja kepada semuanya bahwa Nora datang bersamanya.

Nora sendiri tak mengerti satupun kalimat yang mereka ucapkan. Walau sudah beberapa minggu di Italia, ia masih juga tak mengerti bahasa penduduk. Yang ia mengerti hanyalah kalimat sapaan dan ungkapan terima kasih. Tak lebih. Sehingga membuat Nora hanya bisa mengerutkan dahinya saat Aldo dan beberapa kenalannya berbicara dalam bahasa Italia. Namun, ia yakin mereka membahas dirinya. Sangat terlihat jelas.

Yang diketahui Nora hanya satu, mereka selalu tertawa elegan.

"Aldo, aku haus," bisik Nora, menyadari bahwa semua orang yang berbicara dengan Aldo seolah tak ada habisnya.

"Kau mau minum?"

Nora mengangguk.

"Baiklah. Di sana ada meja makanan dan minuman. Di sana ada wine, tequila, dan jus. Pastikan kau mengambil minuman berwarna oranye. Itu jus. Aku tak mau kau pulang dalam keadaan mabuk."

Nora mengangguk sembari memutar bola matanya. Walau ia adalah bartender, bukan berarti Nora suka mabuk-mabukkan. Ia malah tak kuat dengan alkohol. Baunya terkadang mengganggu Nora.

"Perlu kutemani?"

Nora menggeleng. "Tidak usah, aku saja. Mereka sepertinya masih ingin mengatakan banyak hal padamu."

"Baiklah, aku akan menyusulmu setelah ini."

Detik berikutnya, Nora menegang saat Aldo mengecup pipinya terang-terangan dengan mesra di depan semua orang. Membuat orang yang sejak tadi bercengkerama dengan Aldo bersorak kecil.

Dengan masih setengah sadar dari syoknya, Nora berjalan ke meja panjang itu. Ia mulai memilah dan mencari minuman oranye, sebelum kemudian meminumnya dengan antusias. Ia benar-benar haus.

Tanpa wanita itu sadari, seseorang tengah menatapnya, memandang penuh syukur dan keantusiasan. Pria itu adalah Randy Vincent. Pria yang selama ini mencari keberadaan Nora hingga membuatnya sedikit frustrasi.

"Akhirnya kutemukan kau, Cantik."

Nora sedikit terkejut saat seorang pria menghampirinya dan mengatakan kalimat itu dalam bahasa Inggris secara samar, membuat Nora tak benar-benar menangkap kalimat pria itu. Nora pun meletakkan kembali minumannya sebelum menatap dengan jelas pria yang ada di hadapannya sekarang.

"Apa?"

Randy tersenyum. "Aku bilang, senang bertemu denganmu lagi," kilahnya.

Nora terdiam. Ia sadar ia pernah melihat wajah itu sebelumnya. Hingga kemudian Nora tersadar bahwa ia bertemu pria itu di kelab malam yang pernah ia datangi di Italia.

"Kau! Namamu Randy, kan," ucap Nora antusias karena berhasil mengingat.

Randy tersenyum puas. "Aku senang kau mengingatku kali ini."

Mata Randy kemudian menatap Nora keseluruhan, membuatnya kembali terpukau dengan kecantikan yang dikobarkan oleh Nora malam ini. Randy jadi ingin bertindak agresif melihatnya.

"Nora, aku selalu ingin bertemu denganmu lagi. Aku yakin kita akan bertemu lagi semenjak pertemuan di kelab malam. Dan aku tak menyangka bahwa inilah harinya."

"Benarkah? Kenapa?"

Randy mengedikkan bahunya. "Hanya ingin saja," jawabnya. "Oh iya, kau sedang apa di sini? Kau mengenal Tuan Jeremy?"

"Ah, tidak," Nora menggeleng. Ia kemudian mengedarkan pandangannya mencari sosok Aldo, tetapi ia tak berhasil menemukannya. "Aku datang bersama—"

"Selamat malam, Tuan Vincent. Kau datang juga rupanya."

Randy dan Nora sedikit terkejut dengan kemunculan Aldo yang tiba-tiba entah dari mana. Pria itu benar-benar seperti bayangan yang bisa muncul dan menghilang kapan saja ia mau. Sedangkan Nora terdiam dan tertegun karena pria itu langsung merangkul pinggangnya dengan posesif sesaat setelah pria itu muncul.

Randy yang melihat tangan Aldo merangkul dengan intim dan posesif pada Nora, membuatnya sedikit mengeraskan rahangnya. Namun, acara ramai itu memaksanya untuk menahan diri.

"Selamat malam, Tuan Christofor. Aku tak menyangka kau akan datang di acara kali ini." Randy kemudian menatap tajam pada tangan Aldo di pinggang Nora secara samar, sebelum kembali tersenyum palsu. "Sepertinya kau kenal Nona Nora Andreana."

Aldo tersenyum. "Tentu saja aku mengenalnya. Nora tinggal di rumahku, bersamaku. Nora adalah tunanganku. Calon istriku. Jadi kurasa, tak aneh jika aku mengenalnya."

Bagai tersambar petir, Randy terdiam. Rasa antusiasnya akan pertemuannya dengan Nora seolah menghilang begitu saja, tersiram dengan api amarah serta cemburu yang dituangkan secara langsung oleh Reynaldo Christofor. Perlahan, tangan Randy terkepal diam di balik senyumannya yang terus terbingkai palsu di depan Aldo dan Nora.

Randy marah. Sangat marah. Ia tak terima ia sudah kalah dalam sebuah perperangan untuk mendapatkan Nora. Ia baru saja menemukan Nora kembali dan ia sudah dikejutkan dengan fakta yang dibawa Aldo.

Nora sendiri hanya bisa terdiam bingung. Sejak tadi Aldo dan Randy memakai bahasa Italia, membuatnya tak bisa mengerti sama sekali apa yang sebenarnya baru saja dibicarakan oleh kedua pria yang hampir seumuran itu.

Di lain sisi, Gianna melihat dan mendengar semuanya. Setelah ia tak bisa tenang sejak kemarin dihantui oleh seorang wanita di rumah Aldo, sekarang ia bisa melihat jelas siapa wanita yang dengan beraninya merebut tempatnya di sisi Aldo.

Baik Randy maupun Gianna, mereka berdua sama-sama diam-diam mengepalkan tangan mereka menahan amarah, tidak terima dengan kenyataan yang ada.

***

PRANG! BRAK! PRANG!

Suara gaduh dan pecahan itu terus terdengar dari ruang kerja Randy tepat setelah ia pulang dari acara itu. Ia sangat marah. Rasanya ia ingin membunuh semua orang semenjak pulang tadi. Ia tak terima. Wanita yang bisa menarik seluruh perhatiannya ternyata telah dimiliki oleh kolega perusahaan sekaligus rival kelompok mafianya. Ia tak mau menerima bahwa Nora Andreana sudah tak bisa ia raih lagi.

"Arghhhhh!!! Tidak!!!" Suara pecahan dan barang hancur kembali terdengar di ruangan yang sempat hening tadi. "Tidak!!! Ya, tidak! Aku sudah berjanji akan menjadikannya milikku jika takdir mempertemukan kami! Tak peduli dengan si Aldo sialan! Aku akan mendapatkan yang aku inginkan! Karena aku tak pernah tak mendapatkan apa yang aku inginkan!"

Randy kemudian meraih telepon rumahnya dengan kasar.

"Rick! Kemari kau!" ucapnya menggelegar, begitu panggilannya diangkat oleh salah satu pengawal yang sering menemaninya. Masih dengan napas memburu karena amarahnya, Randy menunggu sebelum akhirnya pintu ruangannya terbuka.

"Ada apa, Tuan Randy?" tanya pria itu, menatap punggung Randy.

"Cari semua data tentang Reynaldo Christofor! Semuanya! Kumpulkan semua data kelemahannya, segera!" perintah Randy dengan nada membentak penuh amarah tanpa berbalik.

"Baik, Tuan."

Randy mendengar suara pintu yang kembali ditutup, sebelum akhirnya kembali terdengar terbuka. Membuat Randy berbalik kesal mengira Rick kembali karena perintahnya kurang jelas.

Namun, ia hanya memandang malas saat melihat siapa yang masuk di ruangannya sekarang. Orang itu adalah Gianna. Walau tampak tenang, Randy bisa melihat amarah yang sama besarnya di mata tajam Gianna.

Hanya sekali melihat, Randy bisa menebak bahwa Gianna juga pasti mendengar dan sangat marah dengan pengakuan Aldo tadi. Bagaimanapun juga selama ini Randy tahu betul siapa pria yang selalu dipuja-puja oleh Gianna hingga wanita itu selalu memohon padanya untuk membatalkan pertunangan.

Randy hanya diam sembari membalas tatapan tajam Gianna, menunggu wanita itu yang berbicara lebih dulu menyampaikan apa yang ia inginkan.

"Mari kita bekerja sama," ucap Gianna di antara keheningan, layaknya bisikan iblis di tengah malam.

***

To be continue...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top