TWENTY NINE: Unfogettable Love

Hi, guys.

Sebelum membaca aku mau menyampaikan bahwa THE DARKEST EMBRACE akan terbit menjadi NOVEL. Untuk info lebih lanjutnya kalian bisa lihat di instagram @naminabooks atau di instagramku @shanfitriani / @xvshanxv Di sana akan banyak info tentang novelnya termasuk Pre-Order. Jangan sampai ketinggalan PO, karena biasanya akan ada banyak bonus dan diskon untuk PO pertama ^^

[Don't forget to VOTE and COMMENT]

Enjoy~

***

"Wah, golongan darah kita sama!" ucap Nora antusias melihat kartu golongan darah yang diberikan oleh petugas rumah sakit.

Hari ini Nora menyumbangkan darahnya pada rumah sakit. Nora pun sekaligus mengajak Aldo untuk menyumbangkan darahnya. Awalnya Aldo tak mau karena ia malas. Namun, karena Nora terus menggodanya bahwa ia takut akan jarum suntik, membuat Aldo mau tak mau menerima tantangan Nora demi membukti bahwa ia tak sepengecut itu.

"Golongan darahmu juga AB?"

Nora mengangguk cepat sembari terus menekan-nekan plester yang menutupi luka suntik di lengannya.

"Bukankah ini menyenangkan?"

"Maksudmu, mendonorkan darah? Biasa saja," jawab Leo.

Nora menggeleng kemudian tersenyum. "Bukan itu. Kita memiliki golongan darah yang sama. Jadi, jika kau kenapa-kenapa dan kekurangan darah, aku akan ada di sampingmu untuk mendonorkannya."

"Apa kau sedang menyumpahiku?!"

Nora cemberut. Menurutnya, Leo benar-benar membosankan. Padahal ia sedang ingin bertingkah romantis. Jawaban Leo benar-benar membuat suasana hatinya menjadi sebal.

"Lupakan saja, aku mau pulang!"

Leo tertawa. "Aku hanya bercanda, Sayang. Apa yang kau katakan benar-benar manis. Hingga rasanya aku ingin mencubit kedua pipi besarmu itu," ucapnya sembari hendak mencubit pipi Nora, tetapi dengan cepat kekasihnya itu menghindar. Wanita itu paling benci pipinya dicubit oleh Leo karena cubitan Leo benar-benar bertenaga dan menyakitkan.

"Hei, berhenti! Menjauh dariku!"

***

Aldo meringis mengingat masa lalu indah itu. Ia kemudian sadar, seharusnya saat itu, ia yang mengatakan semua itu. Bukan malah Nora yang mengatakannya. Karena yang terjadi sekarang malah sebaliknya. Aldo yang tengah berbaring di atas ranjang rumah sakit menatap lengannya. Ia melihat selang yang dialiri darahnya masih berjalan. Ia paling benci darahnya keluar dari tubuhnya bahkan hanya untuk sumbangan amal. Namun, sekarang demi kekasihnya, ia bahkan rela jika harus memberikan seluruh darahnya.

Beberapa jam yang lalu, Nora sudah dibawah ke rumah sakit. Dan betapa terkejutnya Aldo saat dokter mengatakan bahwa Nora kehilangan cukup banyak darah dan membutuhkan asupan darah lebih karena minimnya persediaan golongan darah AB.

Tanpa pikir panjang, Aldo langsung menjadi pendonor untuk wanita yang ia cintai. Demi Nora, ia akan memberikan darahnya. Demi Nora kembali membuka mata indahnya. Aldo rela melakukan apa saja. Selama Nora terus berada di sisinya.

Operasi pengambilan peluru dari punggung Nora berjalan sangat lambat bagi Aldo. Alfonso juga sedang dirawat dan keadaan Alfonso sudah berjalan sangat baik. Pria itu hanya perlu beristirahat untuk mengeringkan dan memulihkan lukanya.

Aldo menunggu dengan tidak sabaran di depan ruang operasi. Ia terus berdoa demi kekasihnya. Berharap ia diberi kesempatan untuk menebus kesengsaraan yang ia berikan pada Nora. Berharap ia bisa membuat wanita yang ia cintai kembali bahagia seperti awal.

Charles sendiri hanya bisa mengusap bahu Aldo, memberi kekuatan pada anaknya itu. Bagaimanapun Charles tahu bagaimana sakitnya melihat wanita yang dicintai sedang bertaruh nyawa.

Tak sampai dua jam, seorang dokter keluar dan tersenyum. Dokter itu tak lain adalah Ronald, dokter keluar Christofor seperti biasa. Senyuman itu pun membuat dunia Aldo serasa kembali utuh. Walau ia tahu dokter itu membawa berita baik untuknya, Aldo tetap menanyakan bagaimana keadaan Nora.

"Keadaannya sudah stabil. Biarkan ia istirahat sebentar. Ia akan sadar besok. Sekarang, kami bersiap memindahkannya ke kamar inap," ucap Ronald.

"Terima kasih banyak, Dokter Ronald. Aku sungguh berterima kasih banyak," ucap Aldo tak hentinya berucap syukur.

"Ya, jaga dia baik-baik, Aldo. Apalagi janinnya masih sangat muda, jadi kau harus memberikan perhatian ekstra. Aku sungguh was-was tadi mengetahui Nona Nora hamil. Untung saja kejadian ini tidak terlalu berdampak untuk Janin itu."

Aldo tertegun. Begitupun dengan Charles.

"Nora hamil?"

Ronald mengangguk. "Kau tidak tahu? Kau benar-benar! Pokoknya jaga dia dengan super ketat kalau kau memang menginginkan bayi itu," ucap Ronald sembari berlalu setelah menunduk hormat pada Aldo dan Charles sebentar.

"Kau benar-benar sudah tak ada pilihan, Aldo," ucap Charles.

Charles kemudian hanya bisa menggeleng-geleng melihat raut wajah Aldo yang sekarang berubah sangat bahagia. Sangat antusias. Seolah kejadian buruk dan kejadian membahagiakan terjadi secara bersamaan hari ini, membuatnya hanya bisa tersenyum.

"Ayah! Nora hamil!"

"Ya, Ayah tahu. Ayah akan mempunyai cucu. Walau Ayah belum punya menantu resmi, aku tak menyangka kau malah sudah mau memberi Ayah cucu. Benar-benar berbakti kau ini," sindir Charles melihat kebahagiaan Aldo.

"Aku harus melamarnya secepatnya!"

"Tentu saja, anak nakal! Memangnya aku akan membiarkanmu lari begitu saja setelah menghamili seorang wanita?!"

***

Matahari mulai tinggi di atas langit, membuat sinarnya menjadi lebih terang setiap menitnya. Cahayanya pun menembus semua kaca jendela yang terbuka, termasuk kaca sebuah kamar inap yang sangat luas itu.

Nora perlahan membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat hanya ruangan putih yang rapi dan indah. Sebelum kemudian ia berbalik menatap jendela yang terbuka lebar, membuat Nora bisa melihat pemandangan kota besar milik Italia yang sangat indah di luar sana.

Perlahan Nora bangun untuk duduk bersandar di punggung tempat tidur. Ia menyadari bahwa ada pemandangan lain yang dapat ia lihat, yaitu sosok Aldo yang tertidur dengan posisi duduk dan kepala yang dibaringkan di atas kasur Nora. Melihat itu pun, membuat dada Nora berdesir. Berdegup seperti biasa.

Senyuman kemudian terbit di sudut bibir Nora. Senyuman yang lembut dan tulus. Perlahan tangannya pun terangkat. Dengan sangat hati-hati, Nora mulai mendekatkan tangannya ke Aldo. Sebelum dengan sangat pelan pula ia mulai menyentuh kepala kekasihnya itu. Ia mengusapnya penuh kelembutan.

Senyum terus mengembang dari bibir Nora. Ia senang bisa menyentuh Aldo kembali. Ia senang merasakan kelembutan rambut Aldo yang semakin memanjang.

Namun, itu hanya sebentar. Gerakan tangan Nora berhenti seiring senyuman Nora yang juga pudar. Tangan Nora pun kembali saat ia kembali mengingat fakta menyakitkan itu. Aldo adalah pembunuh kedua orangtua asuhnya. Terjebak dalam perasaan cinta dan benci jauh lebih menyakitkan daripada terjebak pada keterpurukan.

Nora tertegun saat ia merasakan Aldo mulai bangun. Nora sedikit kelabakan sehingga ia memutuskan membalikkan kepalanya ke arah jendela. Seolah ia sedang memperhatikan kota yang ada di luar jendela, bukannya memperhatikan Aldo yang sedang tertidur.

"Kau sudah bangun?"

Suara serak Aldo pun membuat Nora mau tak mau berbalik ke arah Aldo.

"Bagaimana keadaanmu? Apa kau merasakan sakit?" tanya Aldo lagi.

Nora pun mengangguk.

"Benarkah?!" Aldo menjadi sedikit panik melihat jawaban Nora. Punggungnya pun langsung tegap dan siap siaga. "Benarkah? Di mana itu? Bagian mana yang sakit?"

"Punggung," jawab Nora.

"Jangan banyak bergerak. Aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu dulu. Jangan ke mana-mana!" Aldo pun segera berlalu pergi, meninggalkan Nora hanya menatap lekat pada sikap Aldo yang begitu perhatian padanya, membuat hati Nora seketika menjadi lebih hangat.

Beberapa saat kemudian, Aldo benar-benar sudah kembali bersama Ronald.

"Dia sudah cukup kuat. Hanya rasa sakit biasa. Dia takkan apa-apa," kata Ronald.

"Tapi dia kesakitan."

"Apa rasanya sangat sakit, Nora? Jika iya, katakan," tanya Ronald pada Nora kali ini.

Nora menggeleng dengan wajah polosnya. "Tidak, hanya rasa sakit yang sangat kecil. Kurasa bahkan anak kecil juga bisa mengatasi ini."

Ronald tersenyum geli, kemudian menatap Aldo.

"Lihat?" Ronald kemudian kembali keluar meninggalkan Aldo dan Nora di ruangan itu. Aldo sendiri hanya tersenyum canggung, sebelum kemudian menatap makan siang Nora di atas nakas.

Aldo pun segera meraihnya, menaikkan meja tempat tidur dan menaruhnya di sana, kemudian membuka penutup makanan itu. "Ini sudah siang, kau harus makan terlebih dahulu."

Nora hanya diam menatap Aldo yang sekarang sibuk menyendokkan makan itu, sebelum kemudian mengarahkan sendok ke mulut Nora. Nora hanya bergeming sembari menatap sendok itu, sebelum kemudian kembali menatap Aldo. Aldo sendiri hanya menaikkan alisnya. Nora kemudian akhirnya membuka mulutnya dengan pasrah, membuat Aldo mengeluarkan ekspresi puas karena tak ada perlawanan dari Nora.

"Aku masih bisa makan dengan tanganku," ucap Nora memberikan informasi yang terlihat jelas itu.

"Aku tahu."

Nora menjadi sebal. "Kalau begitu berikan aku sendoknya."Ia hendak mengambil alih sendok itu, tetapi Aldo menepisnya.

"Tidak, aku harus menjagamu dengan ekstra. Kau wanita yang penuh kejutan. Aku harus memastikan kau tak terus-terusan memberiku kejutan atau aku akan mati muda karena serangan jantung karenamu," ucap Aldo serius walau terdengar seperti lelucon.

Mendengar itu, Nora tak bisa menahan tawa gelinya. Sehingga ia hanya terkekeh.

Aldo mengerutkan dahinya. "Kenapa kau tertawa? Aku sedang serius! Kau tak tahu, sudah berapa kali rasanya aku terserang syok karenamu."

Nora semakin tertawa, membuat Aldo mau tak mau ikut tersenyum senang melihat wanitanya bisa kembali tertawa. Hingga kemudian Aldo mengingat sesuatu. Pria itu kemudian merongoh sakunya. Membuat Nora yang melihat itu hanya memandang bingung sembari mengunyah makanan yang baru saja disuapkan Aldo padanya.

Sesaat kemudian mata Nora membulat melihat Aldo mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna biru tua yang indah. Seketika, Nora tahu apa yang Aldo akan lakukan dengan isi dalam kotak beludru kecil itu.

"Nora—"

"Tidak!"

Aldo yang hendak mengeluarkan kalimat manis sembari membuka kotak beludru itu harus tertegun di tempatnya. Ia memandang Nora dengan mata abu-abu yang menyorot pada Nora yang sekarang memandang marah dan kecewa.

Wanita itu kemudian memalingkan wajahnya ke arah jendela begitu Aldo terus menatapnya lekat.

"Apa maksudmu?"

"Jangan berani melamarku," ucap Nora dengan penuh ketegasan walau tak menatap mata Aldo langsung.

"Kenapa?"

"Karena aku akan terus menolaknya," ucap Nora tegas. Senyum yang terbit hari ini sudah menghilang seketika dari wajah cantik wanita itu. Digantikan dengan raut yang tak terbaca.

"Kenapa?"

"Apa maksudmu kenapa?!!" Nora berseru marah. Ia tak suka melihat Aldo yang bertingkah seolah tak punya dosa. "Pertama, kau membohongiku. Kedua, kau menculikku, menyekapku, membentakku, memperkosaku, dan kau bertanya kenapa?!"

"Aku sudah bilang semua itu salah paham. Semua itu kulakukan murni karena aku menginginkanmu. Karena aku mencintaimu, Nora!" balas Aldo. Ia hanya ingin mendapatkan kesempatan untuk membahagiakan Nora.

"Lalu bagaimana dengan membunuh orangtua asuhku? Bagaimana dengan itu, Aldo?!"

Aldo terdiam. Ia kembali melupakan fakta itu. Namun, sungguh, ia hanya ingin bersama Nora.

"Aku tidak akan pernah menikah dengan seseorang yang telah membunuh kedua orangtua asuhku," ucap Nora dingin sembari menekan setiap kata yang ada di dalam kalimat yang baru saja ia ucapkan.

Bagai tersayat ribuan pisau, kata-kata Nora menyakiti lubuk hati terdalam Aldo. Sangat menyakitkan saat orang yang kau cintai mengatakan semua itu. Mengatakan secara langsung bahwa dirimu adalah pembunuh yang mengerikan. Walau memang kenyataannya memang benar. Tetapi, tetap saja, hati terpolos Aldo sangat tersakiti.

Seketika wajahnya kembali murka. Seperti biasa, Aldo menjadi menyeramkan. Dengan cepat ia menampar vas bunga yang ada di nakas hingga jatuh berkeping-keping membuat Nora terkaget.

"BAIK! Baiklah! Jangan pernah menikah denganku! Aku melamarmu karena kau sedang mengandung anakku yang berumur hampir tiga bulan! Aku hanya kasihan padamu!" Kali ini, Aldo yang mengucapkan kalimat mengejutkan dan menyakitkan kepada Nora, membuat wanita itu benar-benar kelihangan kata-katanya. Bahkan saat Aldo sudah keluar dari ruangannya dengan amarah memucak dan membanting pintu.

"Anak? Aku..., hamil?"

Air mata kembali jatuh di pipi Nora. Ia kemudian menyentuh perutnya. Tak percaya bahwa ada buah cinta dirinya dengan Aldo di dalam sana. Mengingat dirinya merasa tak pernah terkena sindrom penyakit ibu hamil sedikit pun. Namun, ia lupa bahwa hampir tak pernah sekali pun Nora datang bulan selama di Italia. Ia baru menyadarinya.

Perlahan Nora mengusap perutnya, dengan air mata sedih bercampur bahagia yang telah berlinang. Ia sadar, kata-katanya memang menyakiti Aldo. Namun, sungguh, ia hanya bingung terjebak antara cinta dan benci yang ia rasakan. Ia masih sangat mencintai ayah dari janinnya itu. Sangat.

***

Beberapa hari berlalu dan semenjak kejadian itu, Aldo tak pernah terlihat lagi di rumah sakit. Membuat hati terdalam Nora terpuruk dalam kesedihannya. Ia mencintai Aldo, sangat mencintai pria itu, sehingga tak aneh jika Nora menjadi murung. Bagaimanapun, Nora jatuh cinta pada pembunuh keluarganya. Seharusnya Aldo mengerti kenapa sikap Nora menjadi seperti sekarang, bukannya ikut marah pada wanita yang sedang hamil itu.

Semenjak itu pula, Nora kerap kali mengusap perutnya. Mengetahui bahwa ada kehidupan mungil di dalam perutnya itu menjadi hiburan tersendiri untuknya. Membuat rasa antusiasnya menjadi semakin bertambah walau sang ayah janin tak ada di sekitanya.

Keadaan Nora pun semakin pulih cukup cepat. Itu karena perawatan medis yang benar-benar hebat dan canggih. Bahkan cukup mahal. Sekarang Nora sedang berada di lantai atap rumah sakit yang luas dan cukup ramai. Yang memang sering ditempati oleh para pasien bersantai. Ia hanya menopang tangannya di atas pagar pembatas sembari melihat sekitar rumah sakit yang ramai namun indah.

Ia pun tak sadar bahwa Charles sudah ada di samping, menikmati pemandangan juga tanpa mengatakan apa-apa sebelum Nora yang kemudian menyadari kehadiran Charles.

"Tuan Christofor?"

Charles berbalik dan tersenyum. "Hai, Nora. Bagaimana keadaanmu? Bagaimana keadaan cucuku?"

Pipi Nora bersemu merah. Ia tak menyangka bahwa Charles mengetahui tentang kehamilannya juga.

"Kami sehat," balas Nora pada akhirnya.

Charles tersenyum semakin lebar. "Baguslah."

"Anda sedang apa di sini?" tanya Nora lagi.

"Aku mengunjungi ibu dari cucuku tentu saja," jawab Charles tersenyum ramah membuat Nora ikut tersenyum karena merasa sedikit terhibur di kesendiriannya saat ini.

"Aku juga punya rahasia. Mau mendengarnya?"

Nora mengernyit tak mengerti."Rahasia?"

Charles mengangguk.

"Apa itu?"

Charles kembali memandang ke depan sebelum kemudian kembali menatap Nora dan tersenyum miring.

"Rahasia tentang, bukan Aldo yang membunuh kedua orangtua asuhmu."

***

To be continue...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top