TWENTY FOUR: Something

Hi, guys.

Sebelum membaca aku mau menyampaikan bahwa THE DARKEST EMBRACE akan terbit menjadi NOVEL. Untuk info lebih lanjutnya kalian bisa lihat di instagram @naminabooks atau di instagramku @shanfitriani / @xvshanxv Di sana akan banyak info tentang novelnya termasuk Pre-Order. Jangan sampai ketinggalan PO, karena biasanya akan ada banyak bonus dan diskon untuk PO pertama ^^

[Don't forget to VOTE and COMMENT]

Enjoy~

***

Suara ketukan dari pintu terdengar setelah hampir dua puluh menit pria yang ada di dalam rungan menunggu. Randy sudah menunggu tiga hari lamanya untuk benda itu. Sehingga hanya dengan mendengar ketukan itu pun, Randy dengan antusias menegakkan tubuhnya.

"Masuk!"

Sedetik kemudian, Rick memasuki ruangan. Sambil memegang sebuah map yang tebal, pria itu memasuki ruangan Randy setelah memberi hormat sebentar. Dengan sopan, ia memberikan map itu kepada Randy.

"Apa semuanya ada di dalam sini?" tanya Randy dengan mata yang melekat pada map di tangannya.

Rick mengangguk sebentar. "Ya, data Reynaldo Christofor berada di dalam sana. Kami juga berhasil mendapatkan data lengkap Nora Andreana dari negara asalnya. Semuanya sudah kami rangkum dalam satu map itu. Anda bisa membacanya semua."

"Baiklah. Kau bisa pergi sekarang." Rick kembali menunduk hormat. Sebelum kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan Randy.

Dengan segera, Randy membuka map itu, mengeluarkan semua kertas-kertas yang ada di dalam sana. Ia memilah, melihat yang mana data Nora. Ia ingin membaca semua data riwayat hidup Nora terlebih dahulu sebelum membaca data Aldo.

Hanya perlu beberapa menit bagi Randy untuk membaca semua yang ada di data Nora. Beberapa hal yang dapat disimpulkan bahwa Nora hidup sebatang kara. Semua orang terdekat wanita itu telah meninggal. Ayah-ibunya, paman-bibinya, bahkan kekasih Nora yang bernama Leo Steward juga ikut pergi meninggalkan Nora. Nasib yang cukup malang menurut Randy.

Setelah merasa sudah membaca semuanya, Randy beralih pada kertas-kertas yang berisi tentang data rivalnya. Ia berharap, di dalam sana berisi semua kelemahan-kelemahan Aldo. Dengan begitu, ia bisa mendapatkan Nora dengan mudah.

Randy pun mulai membaca data Aldo dengan serius. Ia membaca riwayat hidup itu dari pria itu lahir sampai sekarang. Namun, perlahan ekspresi Randy berubah. Mulai dari tertarik, mengerutkan dahinya, kaget, hingga kemudian diakhiri dengan ekspresi puas penuh kemenangan.

Randy kemudian sadar, bahwa data keduanya saling berhubungan. Sangat-sangatlah berhubungan. Randy seperti telah membaca alur sebuah film yang di mana para pemerannya saling memiliki benang merah.

Randy tertawa lebar penuh kepuasan. Ia sangat puas membaca semua kertas-kertas itu. Ia menemukannya. Ia telah menemukan apa yang ia cari dan ia harapkan. Kelemahan Aldo. Akhirnya ia mengetahuinya.

"Kenapa kau tertawa mengerikan seperti itu?"

Tawa Randy perlahan mengecil saat ia melihat Gianna memasuki ruangannya.

"Kau harus membaca ini." Randy menyodorkan kertas-kertas yang ada di mejanya.

"Apa itu?" tanya Gianna sembari melangkah maju ke depan meja Randy.

"Data riwayat hidup tentang Nora dan si Christofor," jawab Randy yang sudah bisa mengendalikan tawanya. "Bacalah, kau akan menemukan banyak hal menarik di sana."

Dengan malas, Gianna mulai membaca data tentang Nora. Hanya sebentar. Itu karena dirinya hanya membacanya sekilas. Ia merasa kurang tertarik membaca tentang riwayat hidup wanita yang telah merebut kekasih hatinya. Setelah membacanya, Gianna merasa tak ada yang menarik. Ia malah mengasihani nasib Nora yang sangat menyedihkan itu.

Gianna pun berganti membaca data pria yang ia cintai, Reynaldo Christofor. Ia membaca semuanya hingga kemudian mulai mengeluarkan ekspresi terkejut. Dan seketika, Gianna mulai kembali membuka data Nora dengan tergesa-gesa, membacanya sekali lagi sebelum Gianna kembali membaca semua data Aldo. Ia terus membandingkan isi kedua data tersebut. Randy yang melihat ekspresi Gianna hanya bisa tersenyum miring.

Randy yakin, Gianna juga telah menemukan hal yang sama menarik dengan yang ia temukan.

"A-a-apa ini benar?"

"Kau tak bisa meragukan para anak buahku dalam mencari berita dan data. Mereka yang terbaik. Apa yang kau baca di dalam data-data di sana, itulah yang terjadi."

Gianna tergagap. Ia terus menatap kalimat-kalimat yang ada di dalam sana beberapa kali. Sebelum ia benar-benar dapat menyimpulkan apa yang telah ia baca.

"Jadi, Aldo yang membunuh kedua orangtua asuh Nora? Aldo yang menembak paman dan bibi Nora hingga meninggal di tempat dan saat itu dia hampir ketahuan oleh Nora? Lalu, kemudian dia merasa bersalah dan mengikuti Nora selama ini hingga bahkan masuk di universitas yang sama dengan wanita itu, dengan nama samaran Leo?!"

Gianna kemudian kembali melemparkan data-data itu ke atas meja Randy.

"Sulit dipercaya. Apa Aldo sudah gila?! Setahuku dia bukan orang yang mudah merasa bersalah seperti itu."

"Aku tahu alasannya."

Gianna perlahan memandang Randy yang sudah kembali menatap kertas-kertas itu lagi.

"Apa?" tanya Gianna kemudian.

"Karena dia jatuh cinta." Randy kemudian mengangkat kepalanya, menatap Gianna.

"Apa?!"

"Dia jatuh cinta pada Nora tepat setelah membunuh kedua orangtua asuh Nora. Rasa cinta membangkitkan perasaan bersalahnya. Dan perasaan cinta itu juga yang membuatnya nekat menyamar sebagai orang lain agar berada dekat dengan Nora," tambah Randy dengan wajah seriusnya.

"Tidak masuk akal!" seru Gianna.

"Terserah kau mau percaya atau tidak. Namun, aku sangat yakin bahwa memang itulah yang terjadi," ucap Randy yang kemudian berdiri dari kursinya.

Randy berjalan menuju jendela besar yang ada di ruangannya, membelakangi Gianna yang masih berdiri terkejut di tempatnya.

"Lalu, dengan semua informasi ini, apa yang akan kau lakukan?" tanya Gianna yang hanya bisa menatap punggung Randy.

Randy tersenyum miring. Ia kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam masing-masing saku celananya.

"Tentu saja aku akan mengambil kelemahannya sebagai senjataku," ucapnya dingin. "Dengan begitu aku mendapatkan apa yang kuinginkan tanpa harus mengerahkan banyak tenaga."

***

"Kita di mana?" tanya Nora begitu mereka keluar dari mobil mewah Aldo.

Nora menatap sekitar, tampak kawasan luas seperti hamparan bukit dengan suasana yang asri serta burung-burung yang saling berkicauan. Beberapa rumah besar yang terbuat kayu mengelilingi kawasan itu.

Suasana asri, nyaman, dan tenang itu mengingatkan Nora pada suasana pedesaan. Ia bahkan bisa melihat beberapa ayam yang berkeliaran bersama anak-anak mereka di sekitar kawasan itu.

"Kita berada di salah satu peternakan yang dikelola oleh perusahaan keluargaku."

Nora mengangguk sembari berdecak kagum menatap seluruh peternakan yang sangat indah dan asri itu.

"Sangat indah," bisik Nora, membuat Aldo yang mendengarnya hanya bisa menarik senyuman puasnya.

"Ayo, kita masuk. Peternakan di belakang bangunan itu jauh lebih luas dan indah. Kau akan suka melihatnya. Di sana ada banyak hewan-hewan yang jarang kau temukan di kota."

Aldo dan Nora pun berjalan menuju ke dalam rumah itu dan disambut beberapa pekerja di sana. Mereka terus masuk hingga kembali menembus rumah itu dan memasuki halaman yang luas. Dan di sana, Nora bisa melihat sapi, domba, angsa, bahkan salah satu hewan kesukaannya, yaitu kuda.

"Wow, kau yang memiliki semua ini?" tanya Nora takjub.

"Tentu saja," jawab Aldo. Ia kemudian berjalan ke arah pria paruh baya yang Nora bisa tebak sebagai ketua atau kepala yang memimpin pengelolaan peternakan yang ada di sana.

Aldo berbicara dengan bahasa Italia yang seperti biasa tak dimengerti oleh Nora. Pria paruh baya itu meliriknya sebentar sebelum berbicara antusias kepada Aldo sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.

Beberapa detik kemudian, Aldo kembali berjalan mendekatinya.

"Kau mau mencoba naik kuda?"

Nora terdiam sebelum memancarkan raut tak percaya sekaligus antusias. Ia tak bisa berbicara apa-apa selama sedetik hingga kemudian ia mengangguk cepat.

"Apa boleh?" tanya Nora yang sama sekali tak bisa menyembunyikan nada suaranya yang antusias. Sebenarnya, Nora sangat ingin tahu rasanya menaiki kuda. Nora selalu bermimpi bertemu dengan pangeran berkuda putihnya. Namun, ia merasa akan lebih hebat jika ia menjadi putri berkuda putih. Ia selalu ingin tahu bagaimana rasanya berkuda.

"Tentu saja. Kita bisa melalukan apapun di sini. Kita juga bisa memetik buah-buahan di kebun buah yang tidak terlalu jauh dari peternakan ini," jawab Aldo.

Nora menjadi semakin antusias. Beberapa saat kemudian, pria paruh baya yang tadi berbicara dengan Aldo, datang bersama salah satu anak buahnya. Seekor kuda dibawanya ke hadapan Nora dan Aldo.

"Aku akan menaiki kuda ini?" tanya Nora sedikit ngeri sekaligus antusias.

Aldo mengangguk. "Namanya Great. Dia adalah kuda yang paling kusukai dan sering menemaniku di sini. Dia dinamai begitu karena tubuhnya yang besar dan sehat. Dia kuda terbaik di sini," tambah Aldo sembari mengusap tengkuk leher kuda bernama Great itu.

"Aku rasa aku takkan sanggup mengendarainya," ucap Nora yang semakin ragu. Ia bahkan tak yakin bisa naik ke atas punggung kuda itu sendirian.

Aldo terkekeh geli sebentar. "Memangnya siapa yang akan mengizinkanmu menungganginya sendiri? Kau pemula, bisa-bisa kau akan terjatuh dari kuda begitu kau duduk di punggungnya. Aku tak seberani itu untuk membiarkanmu sendirian," respons Aldo yang masih sedikit tertawa geli.

"Lalu?" Nora menggerutkan dahinya. "Aku bersama siapa?"

Aldo berbalik. Ia menatap Nora. Tatapan memesona dari mata yang sama indahnya seolah membius Nora.

"Tentu saja bersamaku."

Nora terdiam. Pipinya memerah. Ia tak pernah berpikir akan menaiki seekor kuda bersama Aldo. Membayangkan mereka duduk dengan sangat berdekatan saja membuat Nora begitu berdebar. Walau mereka pernah melakukan yang jauh lebih intim, Nora merasa tetap tak terbiasa dengan kedekatannya bersama Aldo.

Terlalu lama berpikir, membuat Nora tak sadar bahwa Aldo sudah menaiki kuda besar itu. Sedangkan Nora hanya terus terdiam di tempatnya sembari merona.

"Hei!"

Nora sedikit terlonjak mendengar seruan Aldo. Nora menengadahkan kepalanya, menatap Aldo. Ia sendiri terkejut melihat Aldo sudah berada di atas kuda besar itu.

"Kau bisa naik?"

Nora masih terdiam, sebelum kemudian menggeleng. Melihat itu, Aldo hanya bisa menggeleng. Aldo sendiri baru sadar bahwa Nora tak bisa naik ke atas kuda dengan sendirinya. Aldo pun terpaksa harus kembali turun dari atas kuda. Tanpa banyak bicara, ia langsung memegang kedua pinggul Nora dan mengangkatnya dengan mudah ke atas kuda. Nora sendiri hanya bisa menjerit setelah sadar dirinya sudah melayang menaiki kuda itu.

Aldo pun dengan mudah kembali menaiki kuda itu dengan bantuan pijakan yang memang ada di kedua sisi tubuh kuda tersebut. Ia sudah duduk di belakang Nora dengan sempurna.

Kemudian, Aldo meraih tali kekang kuda itu. Nora mendadak gugup saat merasakan dada bidang Aldo menempel pada punggungnya. Pria itu pun kembali berbicara pada pria paruh baya tadi, menanyakan arah yang bisa mereka lalui. Sampai akhirnya, Aldo mulai memacu kudanya.

Mereka pun mulai meninggalkan peternakan, memasuki jalan yang dikelilingi pepohonan dengan daun kecokelatan. Guguran daun dari pohon-pohon di sekitar mereka, membuat pemandangan menjadi sangat indah. Hal itu pun membuat Nora seketika semakin antusias. Ia mulai merasa bahwa ini adalah hari terindah yang pernah ia lewati.

Perlahan, Nora menengadahkan kepalanya, menatap Aldo yang tampak santai menatap ke depan sembari mengendalikan kuda itu. Melihat itu, Nora merasa sangat bahagia dan nyaman. Ia pun kembali menatap ke depan sebelum akhirnya menutup mata, membiarkan indra perasanya mengambil alih.

Di saat yang bersamaan, Aldo bergantian menunduk menatap Nora yang tampak begitu menikmati suasana yang ada. Melihat Nora tampak nyaman dan bahagia, Aldo pun tak bisa menahan senyuman bahagia. Ia bahagia, karena ia berhasil membahagiakan Nora. Wanita yang ia cintai hingga saat ini.

***

Gianna menatap pantulan wajah cantiknya di kaca besar meja riasnya. Ia memoles bedak ke wajahnya sekali lagi, sebelum ia memoles lipstik pada bibirnya. Melihat kesempurnaan yang terpantul di sana, membuat Gianna berbangga diri melihat pantulan wajahnya. Ia melihat dirinya sebagai sosok sempurna. Tak ada yang kurang darinya. Semua kecantikan menurutnya telah ia miliki. Namun, bagaimana bisa kecantikannya tak menarik perhatian pria yang ia cintai? Bagaimana bisa kesempurnaannya ini membuat Aldo bergeming tanpa ada raut tertarik sama sekali?

Gianna kemudian meremas lipstiknya. Ia marah karena wajah sempurnanya tak membuat Aldo meliriknya. Malah wanita lain yang dengan mudahnya menarik seluruh perhatian Aldo. Itu sangat tidak adil baginya.

Ia pun berjanji akan mengambil kembali Aldo ke dalam pelukannya. Ia akan merebut Aldo dari sisi Nora. Karena baginya, sejak awal Aldo adalah miliknya.

Gianna tersenyum licik pada pantulannya sendiri. Seolah mereka adalah dua orang yang berbeda namun bersekongkol untuk mendapatkan apa yang selama ini mereka inginkan. Dan tentu saja, yang ia inginkan adalah prianya, Reynaldo Christofor.

Hari ini ia berencana pergi ke rumah Aldo. Bukan karena Aldo, melainkan ia ingin melihat rivalnya secara langsung dari dekat, Nora Andreana. Ia ingin tahu, sebaik apa wanita itu sehingga Aldo dengan mudah berpaling menatap wanita itu seorang.

"Sebentar lagi, Aldo akan kembali menjadi milikku," bisiknya seolah itu adalah sebuah mantra yang akan mengabulkan seluruh keinginannya selama ini.

***

To be continue...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top