FIVE: Smooth Danger

Nora terdiam. Ia tertegun dalam pandangan terkejutnya memandang pria berkaus putih polos yang ada di hadapannya. Seketika ia sadar saat terakhir kali ia berada di apartemen itu. Ia mencium aroma Leo. Aroma yang sudah pasti dimiliki oleh pria yang juga berwajah mirip Leo itu.

"Leo—" ucap Nora terhenti menyadari sesuatu. "Maksudku, Tuan Aldo," ralatnya.

Aldo semakin tersenyum. "Aku suka saat kau menyebut namaku, Manis."

Nora semakin mengernyit. Sangat aneh rasanya melihat pria berwajah Leo mengatakan kalimat menggoda yang sama sekali takkan pernah dikatakan oleh seorang Leo yang asli. Nora sadar, pria di depannya ini adalah perayu yang sangat ulung.

Nora pikir, pria di hadapannya ini pasti sudah merayu banyak wanita, mengingat Aldo tampak seperti pria yang suka menghabiskan waktunya di kelab malam yang penuh dengan wanita penggoda, membuat Nora tiba-tiba merasa kesal setengah mati dan tak menyukai pria itu.

"Ini piza Anda, Tuan. Terima kasih sudah memesan di restoran kami," ucap Nora dengan ketus sembari menyodorkan piza itu ke dada Aldo.

Nora hendak beranjak pergi sebelum ia merasakan tangannya dicekal oleh tangan besar itu. Nora merasakan sentuhan-sentuhan yang menggetarkan hatinya, persis seperti sentuhan Leo padanya. Detik berikutnya tubuhnya sudah tertarik dan menabrak dada Aldo seperti kotak piza yang sekarang Aldo letakkan entah dimana.

Kemudian, hal lembut menyapa bibir Nora. Ciuman menggebu itu seolah memaksa Nora untuk membalasnya. Pria itu menyesap bibir Nora dengan penuh seolah hanya bibir Nora yang sangat ingin ia rasakan selama ini. Dan Aldo tak bisa menyangkal, bibir manis itu melebihi ekspektasinya.

Nora terbuai. Ciuman Aldo memabukkannya. Hingga kemudian ia sadar, ia tak seharusnya menyukai ciuman pria yang merebut ciuman pertamanya secara paksa. Dengan cepat Nora memukul dada bidang itu dengan kepalan mungil, berharap Aldo melepasnya. Namun, tubuh pria itu seolah terbuat dari baja. Seolah pria itu sama sekali tak merasakan pukulan demi pukulan yang dilayangkan Nora. Semua indra perasa Aldo seolah berkumpul hanya di bibir manis Nora.

"Ini untuk kau yang sudah berani menggodaku dan bermesraan dengan seorang pria keesokkannya."

Sembari terengah dan mengusap bibirnya tak suka, Nora kembali mengerutkan dahinya. Ia benar-benar tak mengerti dengan kalimat Aldo yang menuduhnya bermesraan dengan seorang pria. Padahal hati Nora selama ini hanya berada di Leo, tak pernah yang lain.

"Kau pikir aku pria apa? Menggodaku hanya untuk bersenang-bersenang? Jika itu yang kau pikirkan, aku bisa memperlihatkanmu arti bersenang-senang yang sesungguhnya," lanjut Aldo.

"Tuan Aldo, lepaskan aku!" seru Nora tak peduli dengan ucapan Aldo yang tak ia mengerti sama sekali. Hal yang ingin ia lakukan sekarang hanyalah terlepas dari pelukan Aldo yang masih menjeratnya.

Merasa Nora tak berhenti memberontak dari pelukannya, Aldo pun melepaskan dengan sedikit perasaan enggan. Namun, beberapa saat kemudian ia menyeringai kembali melihat wajah Nora yang bersemu merah karena dirinya.

Nora memakai kesempatan itu untuk segera pergi dari hadapan Aldo. Ia tak ingin menerima konsekuensi lainnya jika ia sampai terus berada bersama pria perayu yang mesum itu. Ia takut, bersama pria itu takkan hanya membuatnya kehilangan ciuman pertamanya. Seperti yang ia duga, Reynaldo Christofor memanglah pria yang berbahaya.

"Kau kulepaskan kali ini. Tetapi selanjutnya, kau takkan pernah lepas lagi," gumam pria itu menatap punggung Nora yang menjauh dari hadapannya.

Ia cukup puas hari ini. Mendapatkan bibir manis itu, benar-benar membuatnya merasa tak sia-sia membayar sekotak piza seharga lima kotak piza hanya untuk melihat wanita manis itu. Ditambah bonus dapat merasakan bibir Nora.

***

Riuh musik dari kelab terdengar begitu mengentak, membuat siapa pun yang mendengarnya juga ikut menjadi bersemangat. Para pengunjung kelab pun tampak meliuk-liukkan tubuhnya dengan semangat di atas lantai dansa yang luas. Kelab malam memang selalu menjadi tempat yang pas bagi orang-orang yang mencari kesenangan dunia.

Namun, tidak dengan Nora. Ia suka menjadi bartender. Bukan berarti ia suka melihat bagaimana banyaknya hal aneh dan tak senonoh berlalu-lalang di hadapannya. Suara musik itu pun sama sekali tak membantu Nora. Ia sama sekali tak tampak bersemangat malam ini.

Nora malah terlihat lebih banyak melamun. Pikirannya sekarang dipenuhi oleh pria tampan menakutkan itu seperti biasa. Ia mengingat ciuman yang terjadi siang tadi. Bahkan rasa dari bibir pria itu masih terasa menempel di permukaan bibirnya. Seharusnya itu perasaan yang salah, tetapi anehnya Nora malah merasa ciuman itu tidak ada salahnya sama sekali.

Jason yang tengah sibuk mengelap gelas-gelas kaca berbagai ukuran itu pun menatap Nora dari jauh. Ia sadar, semenjak bertemu dengan pria malam itu, Nora menjadi lebih pendiam dan sering melamun. Ia tak tahu apa yang dipikirkan oleh Nora, tetapi wanita itu tampak sering murung.

Jason pun mendekati Nora, membuat wanita itu sedikit keluar dari khayalan akan pria bernama Leo Steward. Mungkin Jason takkan pernah bisa menempati hati Nora, tetapi ia selalu bisa menjadi teman yang selalu ada untuk Nora.

"Nora."

Nora mengerjap sebentar sebelum berbalik pada Jason. "Ada apa, J?"

"Apa kau mau merasakan masakanku?"

Nora mengernyitkan dahinya sebentar. "Kau bisa memasak?"

"Hei, aku tinggal di rumahku sendirian. Kau pikir siapa lagi yang akan membuatkanku makanan jika bukan aku sendiri. Aku ahli dalam soal masak-memasak."

"Apa yang ingin kau masak?" tanya Nora.

"Kau suka pasta? Aku akan memasakkan untukmu pulang nanti. Kita akan memakai dapur kelab."

"Apa boleh?" tanya Nora sedikit ragu. Dapur yang tersedia di kelab malam itu memang besar dan lengkap. Namun, Nora tak pernah masuk ke dalam sana. Tugasnya di bar begitu banyak sehingga tak pernah berkunjung ke sana.

"Tentu saja. Aku sering memasak di sana saat dini hari."

Nora tersenyum. Ia menjadi antusias. Ia juga menjadi tak sabar ingin mencicipi masakan Jason. Ia bosan dengan masakannya sendiri. Jadi, ia sangat ingin mencoba masakan baru yang dimasak orang lain untuknya.

***

Aldo tampak tengah sibuk membaca buku sembari menyesap kopi hitamnya saat ponsel yang berada di meja kecilnya berdering. Aldo meletakkan cangkir kopi dan bukunya untuk mengambil ponselnya itu. Ia melihat nama Alfonso, kepala pelayan sekaligus pengawal keluarganya.

Aldo hanya bisa memutar bola matanya malas sebentar, sebelum mengangkat panggilan itu.

"Halo,"ucap Aldo dengan walau panggilan itu adalah panggilan Internasional dari Italia. Bagaimanapun orang yang meneleponnya itu mengerti dengan bahasa ibu milik Aldo.

"Tuan Muda, Tuan Besar ingin Anda segera pulang kembali ke Italia. Beliau bilang Anda masih banyak tugas mengurus perusahaan utama yang ada di sini."

Aldo mengusap wajahnya sebentar. Ia tahu, ayahnya pasti akan segera menyuruhnya kembali ke Italia. "Alfonso, aku bahkan belum genap seminggu berada di sini. Katakan pada Ayah, kalau aku akan tinggal lebih lama di sini. Aku merindukan Indonesia. Aku merindukan Ibu."

"Saya mengerti, Tuan. Begitupun Tuan Besar. Namun, Tuan Besar sedang sakit. Dia baru saja pingsan setelah rapat kemarin. Dokter menyarankan agar Tuan Besar beristirahat dan tak usah mengurus semua perusahaan lagi."

Aldo menghela napas panjang. Semenjak ibunya meninggal, ayahnya benar-benar menjadi pria yang lemah. Ayahnya mulai sering jatuh sakit dan tak ada orang lain yang bisa diandalkan di keluarganya kecuali dirinya. Satu-satunya anak tunggal dari keluarga Christofor.

"Aku mengerti. Aku akan pulang besok. Pastikan Ayah menjaga kesehatannya. Jangan sampai dia melewatkan makannya lagi. Katakan salamku padanya."

"Baik, Tuan Muda. Saya akan menyampaikannya."

Aldo kembali meletakkan ponselnya. Ia memijit pangkal hidung untuk menenangkan pikirannya. Ia belum ingin kembali ke Italia. Ia masih ingin berada di Indonesia, negara yang paling ia sukai. Di mana ibunya lahir dan membesarkannya.

Beberapa detik setelah Aldo merilekskan tubuhnya, ponselnya yang berada di atas meja itu kembali berdering, membuat Aldo mau tak mau kembali terfokus pada ponselnya. Ia pun meraihnya sebelum akhirnya melihat nama penelepon kali ini.

Gianna, nama yang tertera di ponselnya itu.

Aldo mengerang. Membaca nama itu saja sudah membuatnya semakin malas kembali ke Italia. Wanita itu pasti akan kembali mengganggu dirinya begitu ia sampai di Italia. Aldo benar-benar kehabisan akal untuk menjauhi wanita cantik tetapi menjengkelkan itu.

Aldo pun segera mematikan ponselnya. Ia sedang ingin bersantai dan tak ingin diganggu. Baru saja suasana hatinya bagus karena merasakan bibir Nora, ia tak ingin kembali diganggu dengan semua masalah yang ada di Italia.

***

"Woah!" Nora menatap kagum pada pasta yang disajikan oleh Jason.

Kelab itu sudah lebih sepi. Semua karyawan malam sudah pulang, sedangkan karyawan siang belum ada yang datang. Sehingga Jason leluasa menggunakan dapur kelab itu tanpa mengganggu pekerjaan yang lain.

"Cobalah."

Nora memakan sesuap pasta. Ia menutup matanya, merasakan rasa lezat sausnyayang lumer di dalam mulutnya. Jasonbenar-benar mengagumkan. Pria itu tak hanya bisa menjadi bartender yang profesional, ia juga bisa menjadi koki yang andal.

"Ini lezat!" seru Nora mengapresiasi masakan Jason.

Jason hanya bisa terkekeh. Ia senang Nora yang ceria kembali. Ia senang masakannya bisa membangkitkan suasana hati Nora seperti biasa. Tak ada lagi Nora yang pendiam dan sering melamun untuk sementara ini.

"Habiskanlah, lalu kita pulang. Kita harus beristirahat."

"Aku mengerti," jawab Nora sembari mengangguk mengerti.

Setelahnya, mereka pun keluar dari kelab itu bersama. Seperti biasa, Jason dan Nora terkekeh bersama. Nora masih terus semangat mengungkit betapa nikmatnya masakan Jason tadi. Tak ayal pujian itu membuat Jason seolah ingin merona karena kalimat wanita itu.

"Aku akan memasak untukmu lagi jika kau mau," ucap Jason menatap Nora.

"Tidak, tidak usah. Aku tak mau merepotkanmu. Kau juga pasti lelah. Tak usah sering-sering memasak untukku. Aku senang setidaknya aku kenyang pagi ini," ucap Nora sembari tertawa kecil.

Jason ikut tertawa, kemudian sadar bahwa di sudut bibir Nora masih terdapat sedikit saus yang menempel. "Nora, tunggu."

Nora terdiam. Ia melihat Jason mengangkat tangannya dan menyapukan jemarinya di sudut bibir Nora. Membuat Nora sadar, pasti ada sesuatu di bibirnya tadi. Mengetahui itu, membuat Nora menjadi malu sendiri karena kebodohnya.

"Ada saus di bibirmu tadi," ucap Jason menjelaskan. Jarak Jason dan Nora begitu dekat, membuat wajah mereka hanya berada pada beberapa senti saja.

Detik berikutnya, Jason terbuai dengan wajah cantik Nora yang berada di depannya. Ia perlahan kembali fokus pada bibir merah muda Nora. Rasa ingin mengecup bibir itu sangat besar, tetapi berusaha ia tahan.

Namun, semakin lama, Jason semakin tak bisa menahannya. Perlahan ia menggerakkan bibirnya menuju bibir Nora. Gerakan itu begitu perlahan dan berhati-hati, seolah Jason sendiri tak yakin akan apa yang sedang ia lakukan sekarang.

"J."

Tepat saat bibir Jason sudah berada di depan bibir Nora, gerakannya langsung terhenti begitu merasakan kedua telapak tangan Nora menahannya. Membuatnya tersadar bahwa ia hampir mencium bibir Nora. Ia pun menjadi salah tingkah. Ia hanya mengikuti kata hatinya.

"Aku ingin pulang," tambah Nora.

"I—iya, ayo," balas Jason sedikit salah tingkah. Ia cukup sedikit kecewa mengetahui Nora masih menolaknya secara halus persis seperti yang sering wanita itu lakukan.

***

"Sampai jumpa, Jason."

"Sampai jumpa, Nora."

Nora hanya melambai pada Jason yang sudah kembali menaiki motornya. Ia memandang sosok Jason yang sudah menjauh dan menghilang di balik salah satu belokan yang ada di rumahnya.

Ia sendiri merasa bersalah pada Jason. Mungkin ia memang bodoh menyia-nyiakan pria sebaik Jason yang selalu sabar menunggu perasaannya. Namun, sayangnya ia tak bisa menerimanya. Setiap kali Nora ingin memulai hal baru dengan para pria, ingatannya akan selalu kembali pada saat bahagianya bersama Leo. Ia sama sekali tak bisa melupakan pria itu.

Nora pun mengembuskan napas lelahnya. Ia tak tahu sampai kapan ia akan hidup dalam bayang-bayang mantan kekasihnya itu. Nora benar-benar tak bisa berhenti memikirkan Leo setiap saatnya. Dan anehnya, Nora sekarang juga sering memikirkan pria itu, Reynaldo Christofor.

Langkahnya berjalan ke beranda rumahnya. Ia mengeluarkan kunci rumah dari tasnya, hendak membuka kunci pintunya sebelum ia merasa bahwa ia sedang tak sendiri. Ia merasa bahwa sedang ada sesuatu di belakangnya. Ia bisa merasakan aura yang tak bisa ia lihat.

Namun, benar saja. Saat Nora berbalik, ia kaget menemukan sosok pria tinggi itu lagi. Aldo, pria itu seperti biasa dengan wajah Leo yang tampan memesona, tengah menatapnya tajam. Seolah ada raut kemarahan yang tersirat di dalam sana.

"A—Aldo, apa yang kau lakukan di rumahku?"

Tiba-tiba saja Nora merasa berada di dalam bahaya. Pria itu begitu menakutkan dengan matanya yang memandang tajam.

"Hai, Manis. Kulihat kau sedang bermesraan dengan pria itu lagi hari ini. Kau tahu kelakuanmu itu menyakiti egoku. Tak ada wanita yang berani menggodaku sekaligus menamparku, kemudian bermesraan dengan pria lain beberapa hari kemudian."

Nora terdiam. Nora yakin Aldo melihatnya bersama Jason. Pria itu sepertinya salah paham. Namun, yang membuat Nora bingung, kenapa pria itu harus tampak marah?

"Lalu, sedang apa kau di sini? Itu tak ada hubungannya sama sekali denganmu."

Mendengar pertanyaan itu membuat Aldo menyeringai. Wajah tampan yang memilliki seribu misteri itu membuat Nora sedikit bergidik karena tak bisa membaca arti raut wajah yang sebenarnya.

Hingga tiba-tiba saja seseorang langsung membekap mulut sekaligus hidung Nora dengan sebuah saputangan. Nora memberontak berusaha keluar dari kungkungan pengawal berbadan besar itu. Pemberontakan Nora pun perlahan melemah. Ia merasakan rasa kantuk yang luar biasa.

Nora menatap sayu Aldo yang hanya diam menatapnya. Sebelum akhirnya ia benar-benar pingsan. Namun, ia masih dapat mendengar ucapan Aldo sesaat sebelum ia benar-benar kehilangan kesadarannya.

"Membawamu bersamaku, tentu saja."

***

To be continue...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top