Pulau Terpencil (3)

Pulau Terpencil adalah karya kak BelladonnaTossici9 - BelladonnaTossici9
Jangan lupa vote dan komen.

Happy Reading 🔥🔥🔥

***

Aku terjatuh ke laut begitu cepat. Rasanya seperti terlempar dari dunia ke dunia lain, dunia yang penuh ketakutan dan kebingungannya sendiri. Tubuhku berputar di udara dan kemudian,  air laut menyambut dengan dingin yang tajam. Aku nggak sempat bernapas, air langsung masuk ke mulut dan tenggorokan. Sebelum sadar, aku sudah terbenam sepenuhnya dalam gelapnya lautan.

Aku mencoba naik ke permukaan untuk mengambil napas. Ya!  Berhasil! Oksigen terasa begitu berharga setiap detiknya. Beberapa detik berlalu, dan aku panik, mencoba membuka mata. Gelombang besar datang, menghantam tubuhku, mendorongku lebih dalam. Aku merasakan setiap tarikan air yang masuk ke tubuhku, menenggelamkan seluruh indra, melenyapkan rasa takut yang sempat kurasakan. Tubuhku bergerak refleks, berenang ke permukaan, dan akhirnya aku berhasil muncul lagi. Air laut terasa begitu dingin dan rasanya nggak ada habisnya. Jantungku berdetak kencang.

Aku memandangi sekitar. Ada banyak orang yang terjatuh juga. Aku bisa melihat Bu Rina, namun dia tanpa pelampung dan langsung tenggelam. "Bu Rina!" Aku berteriak, berharap bisa membantu, tapi tubuhnya menghilang begitu saja di bawah gelombang.

Di kejauhan, aku bisa melihat Pak Fajar, Bu Maya, dan beberapa anggota tim lainnya terlempar ke laut, mereka tersebar jauh, nggak ada yang bisa kujangkau. Aku nggak tahu apakah mereka masih hidup atau tidak. Aku menelan ludah, merasa gelisah. Aku berteriak, mencoba memanggil nama Mas Hilbram. "Mas Hilbram!" Aku berharap bisa mendengar suaranya, setidaknya tanda bahwa dia masih selamat. Tetapi... nggak ada jawaban. "Mas Hilbram!" Aku memanggilnya lagi, kali ini lebih keras, dengan harapan bisa membuat suaraku menembus ombak yang terus bergulung.

Nggak ada suara, hanya deburan ombak yang menggema di telingaku. "Pak Eko!" Aku mencoba lagi, panik mulai menyusup dalam diriku. Tapi tetap hanya keheningan yang menjawab. Lautan yang begitu luas ini menelan setiap teriakan dan harapan.

Jantungku berdegup semakin cepat. "Ya Tuhan, aku harus apa?" lirihku bingung. Tubuhku semakin terasa lelah, aku merasa seperti terperangkap di dunia yang nggak bisa kuatur. Ketika aku hampir terjebak dalam ketakutan itu, aku mendengar suara yang mengarah ke arahku.

"Luna!"

Aku menoleh ke kiri dan melihat Pak Aditya dengan pelampung yang masih melekat di tubuhnya. "Pak Aditya!" Aku berteriak lega. Itu dia. Aku bisa melihat dia mengapung di tengah lautan, meskipun wajahnya terlihat lelah, dan tubuhnya tampak bergoyang-goyang tertarik arus.

"Luna, kamu baik-baik saja?" suaranya serak, dan aku bisa melihat dia menatapku dengan pandangan yang penuh kelegaan.

Aku mengangguk meski aku tahu dia tidak bisa melihatnya dengan jelas. "Aku baik-baik saja, Pak. Tapi, Pak Aditya... kita harus tetap bersama. Jangan terpisah!" Aku berteriak, berusaha menahan rasa cemas. Suara ombak seakan menyapu setiap kata, tapi aku yakin dia mendengarnya. "Bapak bisa berenang kan?"

Pak Aditya mengangguk lemah, terlihat sedikit kelelahan. "Saya bisa berenang, Luna. Tapi... saya tidak pernah berenang di laut seperti ini." Ada kegelisahan yang tak bisa disembunyikan dalam suara Pak Aditya. Aku bisa merasakannya.

Aku menggenggam tangannya, berusaha tetap tenang meski jantungku berdegup kencang. "Kalau begitu, kita harus tetap dekat. Jangan sampai kita berjauhan!" Aku menggenggam tangan Pak Aditya lebih erat, merasa sedikit lega karena kami masih bisa saling meraih.

"Kita sama-sama teriak yang kencang ya, Pak. Siapa tahu ada perahu nelayan atau kapal yang lewat."

Pak Aditya mengangguk. Selama beberapa jam, kami terus berteriak meminta bantuan, tapi nggak ada yang datang. Laut ini luas dan sunyi, hanya ada ombak yang bergulung, seakan mengabaikan usaha kami. Tubuhku semakin lelah, dan rasa haus semakin menjadi. Aku menoleh ke Pak Aditya, berharap ada solusi, sesuatu yang bisa memberi harapan. Namun Pak Aditya tampaknya nggak pernah berhadapan dengan situasi darurat yang mengancam nyawa seperti ini, terutama karena lawan kami sekarang adalah alam liar, lautan lepas. "Pak, kita nggak bisa hanya menunggu. Kita harus berenang mencari daratan."

Pak Aditya menatapku dengan serius, matanya menilai lautan yang nggak berujung di depan kami. "Kamu yakin? Ini lautan terbuka, Luna. Kita bisa hanyut lebih jauh."

Aku paham kekhawatirannya. Peluang hidup dan mati kami saat ini 50:50. Artinya sama besar. Menunggu bantuan yang entah ada atau nggak dan kapan sampainya, sama riskannya dengan mencoba berenang mencari daratan. Kalaupun kami mati di tengah pencarian, paling tidak, kami sudah berusaha. 

Aku mengangguk cepat, tekadku mulai menguat. "Lebih baik bergerak daripada menunggu saja. Kalau kita bertahan terlalu lama di sini, kita bisa kehabisan tenaga. Kita harus berusaha."

Pak Aditya tampaknya ragu sejenak, tapi lalu mengangguk lemah. "Oke, kalau begitu. Kita berenang bersama."

Kami mulai berenang, bergerak bersama-sama dalam keheningan yang menakutkan. Lautan ini terasa lebih menakutkan dengan setiap langkah, dengan setiap tarikan ombak yang semakin kuat. Aku tahu, kami berdua harus bertahan. Aku berusaha menjaga jarak agar kami tetap dekat, takut terpisah di tengah ketidakpastian ini.

Aku merasa sangat kehausan. Kerongkonganku kering setelah berteriak selama berjam-jam. Namun aku nggak boleh meminum air laut yang mengandung banyak garam. Itu bisa berbahaya untuk tubuhku. Aku terus berenang dengan sisa tenaga.

Namun, setelah beberapa lama berenang, aku mulai melihat perubahan pada Pak Aditya. Dia semakin terlihat lemas. Aku menoleh, dan melihatnya menunduk sedikit, seolah mencari kesegaran di antara ombak yang datang silih berganti.

"Pak, jangan!" teriakku ketika melihat Pak Aditya menenggak air laut untuk meredakan kehausan. Itu salah, sangat salah. Tapi sudah terlambat. Beberapa detik kemudian, dia tersedak, dan mulai muntah-muntah.

"Pak Aditya!" Aku berteriak, mengguncang tubuhnya, mencoba menjaga kepalanya tetap di permukaan. Tapi Pak Aditya nggak bergerak. Tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan.

Aku merasa panik, jantungku hampir terhenti. "Pak Aditya, bangun! Bangun!" Aku mengguncangnya dengan sisa tenaga yang ada, tapi matanya tetap terpejam. Aku mencoba menahannya di permukaan, tetapi dia semakin lemah. Hatiku semakin gelisah. Aku harus bertahan, aku harus menemukan daratan, tapi aku nggak bisa meninggalkannya sendirian.

Dengan susah payah, aku menggenggam tubuh Pak Aditya dan terus berenang, meskipun kelelahan mulai menyerang. Laut terasa begitu dalam dan luas, seolah nggak ada akhir. Aku berdoa dalam hati meminta pertolongan pada-Nya. Dia yang memberiku hidup dan Dia pula yang berkuasa mengambilnya. Apabila aku mati di sini, saat ini, aku bersiap dikubur di dasar laut, tanpa nisan dan tanpa nama.

Ketika aku merasa hampir putus asa, akhirnya, di kejauhan, aku melihat sesuatu yang tampak seperti daratan. Pulau kecil, aku nggak tahu itu pulau apa. Aku berenang menuju ke sana, dengan tubuh Pak Aditya yang semakin dingin di tanganku.

***

Sore hari mulai menjelang ketika aku akhirnya sampai di pantai kecil itu. Aku menyeret tubuh Pak Aditya dengan segenap kekuatanku, meskipun tubuhku hampir nggak bisa bergerak lagi. Aku menarik tubuh Pak Aditya ke pasir, berusaha memposisikannya agar tetap terlindung dari ombak.

Tersengal, aku terduduk di hamparan pasir putih dan melihat hamparan biru laut yang nyaris saja menelanku hidup-hidup. Aku masih hidup! Ya, aku selamat! Aku menangis sendirian dengan perasaan campur aduk dalam hatiku. Bersyukur sekaligus ketakuan. 

Di sampingku, tubuh Pak Aditya terkapar nggak berdaya. Dia diam nggak bergerak. Aku memeriksa tubuh Pak Aditya, dan dia sudah sangat dingin. "Pak Aditya..." Aku berbisik, mencoba merasakan detak jantungnya, masih ada tapi sangat lemah. Bibirnya kebiru-biruan, tubuhnya kaku. Aku panik, sangat panik. Aku harus melakukan sesuatu.

Aku mulai membuka seluruh pakaian Pak Aditya, berusaha menghindari hipotermia. Tubuhnya yang terendam terlalu lama di air membuatnya semakin lemah. Tersaruk-saruk dengan lutut gemetar, aku mencari ranting kering, batok kelapa yang sudah membusuk, dan daun-daun kelapa kering untuk membuat api. Untungnya tadi aku sempat mengantongi korek api di saku jins. Firasatku benar. Ilmu bertahan hidup yang selama ini kudapat dari kegiatan pencinta alam, sungguh bermanfaat. 

Korek api itu nggak mau menyala sementara tubuhku semakin menggigil kedinginan. Jantungku berdebar keras. Setiap detik terasa sangat lama. "Aku harus berhasil," gumamku, berusaha menenangkan diri.

"Yes!" Aku bersorak saat korek itu menyala pada detik-detik terakhir di ambang keputus asaanku. Aku berhasil membuat api unggun. Api itu menyala perlahan, dan aku segera mendekatkan tubuh Pak Aditya yang kaku ke arah panas itu, berharap panas api bisa sedikit menghangatkannya. Namun, mataku tidak pernah lepas dari wajahnya yang semakin membiru.

Aku mulai memberikan CPR. Menggunakan segala daya untuk menekan dadanya, berharap ada kehidupan yang kembali. Aku tidak bisa menyerah. "Pak Aditya, bertahanlah..." Aku berbisik penuh harap. Aku menekan dadanya lagi, tetapi Pak Aditya tetap tak bergerak. Bibirku terasa kering, dan air mata nggak bisa kutahan lagi. "Tolong, Pak... bangunlah..."

Tapi tak ada yang berubah. Pak Aditya tetap terbaring diam.

***

Bagaimana part ini? Apa udah bikin tegang dan penasaran? Eiits sabar dulu, next part bakal bikin kalian makin tegang dan panas. Makanya vote dan komen dulu biar besok bisa updet cepet.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top