A Passionate Age Gap (4)
This work belong to Fielsya jangan lupa tinggalkan jejak happy reading !!
🔥🔥🔥
Almira’s POV
Cuaca di kota Surabaya lagi nggak tentu. Kadang pagi cerah, tapi malam mendadak hujan lebat, begitu pun sebaliknya. Hal yang bisa menghambat aktivitas seseorang. Nggak bisa dikeluhkan sih, karena yang nurunin hujan kan Tuhan, bukan manusia. Cuma ya kadang-kadang aku juga happy, jadi punya alasan untuk membatalkan janji yang kurang sreg di hati.
Seperti hari ini, aku yang lagi mager alias malas gerak ternyata didukung Tuhan untuk bisa batalin janji hangout bareng temen-temen kampus. Bukan tanpa sebab, mereka jelas akan membawa pacar masing-masing, sedangkan aku hanya seorang jomblo sejati sejak lahir. Bukan karena tidak ada yang tertarik padaku. Hanya saja melihat rumitnya hubungan teman-temanku yang mayoritas terjebak dalam hubungan toxic, aku jadi malas menjalin hubungan dengan lawan jenis. Di tambah papa dan kakakku yang super over protective pasti akan membuat lelaki mana pun yang mendekat, merasa tidak nyaman.
Tapi ya udah lah ya, namanya juga hidup, kadang memang ada orang yang sangat menyayangi kita, melakukan banyak hal untuk melindungi kita dari hal-hal yang tidak kita inginkan. Mungkin itu juga cara papa dan kakakku untuk menjagaku dari banyaknya laki-laki yang tidak baik. Toh nggak ada ruginya juga kalau sampai detik ini aku jomblo. Nggak perlu merasa sakit hati atau cemburu kepada siapa pun. Aku bebas melakukan apa pun dan pergi ke mana pun sesuka hatiku tanpa harus memikirkan orang lain, apakah dia akan setuju atau tidak. Ya, tentunya hal itu tetap harus seizin bodyguard pribadiku.
Suasana sendu di rumah sangatlah nyaman. Hawa yang biasanya terasa panas hari ini terasa sejuk setelah beberapa jam kota ini diguyur hujan tanpa henti. Makan seblak level pedas maksimal dipadu dengan teh hangat sepertinya enak menemani malamku yang sunyi, sepi, dan sendiri.
Ya, rumah ini sangat sepi malam ini karena kedua orang tuaku dan para ajudannya sudah pergi ke luar kota. Harusnya mereka berangkat besok lusa, tetapi entah karena urusan mendesak apa hingga mereka terpaksa berangkat malam ini juga. Kalau saja tahu akan begini, aku menginap dari sekarang saja di rumah kakakku. Tapi mau bagaimana lagi? Tadi aku sudah mengabarinya kalau akan mulai menginap di sana lusa.
Sungguh membosankan, walaupun di rumah ini masih ada beberapa orang asisten rumah tangga dan seorang penjaga rumah, tapi tak ada yang bisa ku ajak ngobrol. Jam sepuluh malam adalah waktu istirahat untuk mereka setelah hampir seharian mengerjakan hampir seluruh pekerjaan rumah yang luasnya nggak kira-kira gini.
Beberapa kali aku coba memejamkan mata, berharap bisa langsung tidur dan terbangun di pagi yang cukup cerah. Namun tak ada hasil.
Mata ini tak bisa diajak kompromi, seolah ingin mengajakku begadang, mereka tak membiarkanku merasakan kantuk sedikit pun.
Kucoba menghidupkan laptop di atas meja belajar, berniat menonton beberapa series baru yang sedang booming. Bukan drama korea melainkan series Indonesia, karena sejujurnya aku kurang suka menonton pria-pria cantik seperti kebanyakan perempuan di luar sana.
Di tengah menunggu laptop yang masih dalam proses menyala, terdengar suara ketukan pintu.
“Siapa?” tanyaku.
“Al, ini aku, Rico,” sahut seseorang di balik pintu. Setelah mendengar namanya, seketika petir menggelegar di luar sana dan membuat listrik di rumah padam.
Jantung rasanya mau copot, kenapa adegan ini mirip dengan adegan-adegan yang ada di film horor? Lagi pula rasanya aneh, kenapa juga tiba-tiba Kak Rico ada di sini jam segini? Bukankah tadi dia bilang akan berusaha memperbaiki masalah rumah tangganya dengan Mbak Reva? Mana mungkin ada di sini? Jam segini pula.
Aku mengecek ponsel yang kebetulan sedang kupegang, untuk memastikan bahwa Kak Rico sudah memberiku kabar, bahwa akan datang ke sini seperti yang biasa dia lakukan. Tapi nihil. Nggak ada pesan teks yang dia kirim atau pun telfon yang tak terjawab.
Sekali lagi ketukan pintu itu terdengar, kali ini ditambah suaranya yang memang sangat mirip dengan kakak kesayanganku itu, memanggil namaku.
“Nggak usah bercanda ya! Kamu siapa? Kamu hantu atau bukan?” teriakku dari dalam dengan kondisi senter dari HP yang sudah kunyalakan.
“Aku serius, buka dulu pintunya. Aku butuh temen ngobrol,” sahutnya.
Aku berjalan perlahan mendekati pintu sambil sedikit merunduk. Tidak mungkin dia Kak Rico. Ini betul-betul aneh, bagaimana bisa dia tiba-tiba ada di sini?
“Mas Rico, ini saya titip lilin untuk Mbak Almira, lampu di kamarnya lupa belum saya ganti dengan yang emergency, jadi di dalam pasti gelap. Saya juga sudah cek genset di belakang, ternyata solarnya habis dan kami juga lupa untuk restock,” ucap Pak Sutaji, penjaga rumah ini yang suaranya terdengar jelas hingga ke dalam kamar ini.
Jadi benar, kalau Kak Rico ada di sini? Aku putuskan memberanikan diri membuka pintu untuk memastikan. Ternyata memang dia kakakku. Tapi, penampilannya nggak banget. Lusuh karena basah kuyup. Bisa ku pastikan dia datang mengenakan motor, bukan mobil.
Setelah melihatku, tanpa aba-aba dia langsung menarik tanganku. Jujur saja, aku tak bisa mengimbangi langkahnya yang cukup cepat dan lebar. Dia membawaku ke kamarnya. Ruangan ini terasa lebih sempit dibanding kamarku meskipun luasnya sama. Hal ini dikarenakan dia yang memasang karpet tebal di sisi-sisi dinding untuk membuat kamar kedap suara. Tak lupa dia juga mengunci pintu setelah menyalakan AC.
“Kakak bisa cerita apa pun sama aku. Aku akan jadi pendengar yang baik,” ucapku seraya menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Hening. Kami hanya saling menatap tanpa ada sepatah apa pun lagi yang keluar. Tak lama berselang, telapak tangan yang terasa cukup kasar meraih tanganku dan mengajakku duduk di ranjang, dan dia merebahkan tubuhnya di pangkuanku.
Matanya terpejam, wajah yang seumur hidup kukenal sebagai kakakku terlihat sangat lelah. Aku memintanya untuk mengganti semua pakaian yang masih basah, tetapi tak ada respons apa pun.
“Kalau saja aku nggak nikah sama Reva, mungkin perasaan ini nggak akan sekacau ini,” ucapnya lirih hingga tanpa sadar buliran bening mulai mengalir dari sudut matanya.
“Kak,” panggilku yang membuatnya seketika membuka mata.
“Al, kenapa kamu selalu bisa nenangin aku? Kamu selalu bisa buat aku nyaman dengan caramu. Kamu nggak pernah menuntut apa pun, bahkan kamu selalu bisa bersikap lebih dewasa dari aku?” tanyanya yang aku sendiri bingung harus menjawabnya. “Kalau saja kamu yang jadi istriku, mungkin apa yang menimpaku sekarang nggak akan pernah terjadi.”
“Aku cuma mau Kakak selalu baik-baik aja. Aku nggak pernah pengen lihat Kakak sedih, karena itu juga akan nyakitin aku.” Setelah mendengar ucapanku, Kak Rico lantas bangkit dan duduk tepat di sampingku, tak ada jarak, dan tatapan kami begitu dalam. “Kalau boleh jujur, aku mencintai Kakak ....”
Tolol, kenapa juga aku harus mengatakan semuanya? Bagaimana caranya agar aku bisa meralat ucapanku sendiri? Apa kata orang, kalau mereka tahu apa yang aku ungkapkan? Adik mencintai kakaknya sendiri? Oh ayolah, kami memang bukan saudara kandung, tapi masyarakat tidak mengetahui hal itu.
“Al ....” Kak Rico mengusap pipiku dengan lembut. Mengangkat kepalaku yang awalnya tertunduk setelah melontarkan pernyataan yang memalukan.
Kepala Kak Rico makin mendekat. Deru napasnya bisa kurasakan, dingin dan hangat sekaligus menguap di wajahku. Tak ada usaha penolakan dariku saat tangan kekar itu menarik lebih dekat.
Satu sentimeter, bahkan mungkin kurang, itulah jarak antara wajah kami. Aku kembali tertunduk, bukan ingin menolak, tetapi karena merasakan gejolak yang cukup besar di dalam hati. Aku takut jika apa yang aku bayangkan betul-betul terjadi, maka aku akan menuntut lebih. Kulihat di beberapa series dewasa yang biasa aku tonton biasanya dalam posisi seperti ini maka adegan selanjutnya adalah ciuman bibir, dari yang awalnya terasa romantis, makin lama makin memanas dan berujung pada persetubuhan.
Argh! Pikiranku kacau. Mana mungkin aku dan Kak Rico melakukannya? Dia hanya butuh teman untuk mendengar keluh kesahnya. Dia bukan tipe pria hidung belang yang akan meniduri perempuan mana pun yang dia temui. Apalagi sudah memiliki istri dengan spesifikasi model yang tubuhnya lebih proporsional dan sintal daripadaku. Walaupun aku mencintainya, bukankah tidak beretika kalau aku mengharapkan tubuhnya di saat Kak Rico sedang bermasalah dengan Mbak Reva?
Kak Rico menyatukan keningnya padaku. Tangannya yang dingin masih memegang tengkukku. Dalam posisi ini kami hanya terdiam, tetapi sedetik kemudian dia mencium kening ini cukup lama, setelah itu turun di bibir.
Awalnya hanya bersentuhan, dan mataku terpejam erat. Namun, entah apa yang membuatku justru menuntut lebih. Adegan dalam series yang aku tonton kini kuperagakan tanpa aba-aba dari Kak Rico. Perlahan, aku mulai menyesap bibirnya, lidahku mulai menjelajah yang juga dibalas olehnya.
Ciuman yang awalnya terasa biasa saja, makin lama terasa justru membangkitkan gairah. Tangan Kak Rico mulai mengelus punggung. Bahkan tanpa sadar posisi badan kami yang semula menyamping kini sudah berhadapan. Entah siapa yang memulainya, tetapi perlahan tapi pasti sekarang tubuhku sudah terlentang di bawah kungkungannya.
Dalam keadaan terpejam menikmati permainan lidah kami, dapat kurasakan tangan kekar mulai menelusup ke dalam kaos hingga berhasil mengangkat bra yang menutupi gundukan kenyal yang baru kali ini tersentuh oleh pria.
“Mmhh ...,” lenguhan kecil mulai meluncur dari mulutku yang masih asyik menikmati manisnya bibir kakak angkatku.
Tangannya yang bergerilya mendapatkan putingku dan memelintirnya, membuatku merasakan sensasi yang baru pertama kali aku rasakan. Ciuman yang kian memanas membuat kami juga saling menyesap bibir masing-masing, seolah tak mau kalah atas apa yang sudah dia lakukan padaku.
Ciuman kami terhenti, tapi bukan berarti adegan ini juga selesai. Ciuman itu hanya berpindah tempat, dari bibir, pipi, dan kini beralih ke leherku yang jenjang. Aku makin menikmati perlakuan ini, tanganku pun meremas lembut rambut Kak Rico diikuti dengan leherku yang juga mengikuti ritme cumbuan darinya. Aku menelengkan kepala ke kiri dan kanan, menjadikan Kak Rico makin leluasa bermain-main di leherku.
Puas main di sana, dia beralih mengangkat kaosku hingga terlepas dari tubuh ini dan melemparnya ke sembarang arah. Kilatan gairah tampak jelas di binar matanya yang melihat payudaraku yang tak lagi tertutup bra. Namun, sebelum dia memainkan benda kenyal di dadaku itu, Kak Rico melepas bra yang hanya terangkat menutupi dada bagian atas.
Lagi-lagi aku tidak menolak atas apa yang sudah dilakukan. Tubuh ini seolah pasrah jika memang Kak Rico menginginkannya malam ini.
Hawa dingin dari AC dan tubuh kakakku yang memang masih terbalut baju basah, nggak bisa membuatku merasa dingin. Suhu tubuh ini terasa meningkat, hingga tanpa sadar, tanganku sendiri yang menarik tubuh Kak Rico supaya makin menindih ku.
Bayangan adegan seorang pria yang rakus menyusu pada tokoh wanita di series terlintas jelas dalam benakku. Aku sungguh ingin merasakan bagaimana rasanya saat putingku dijilat, diemut, disesap bahkan hingga dibuat tanda merah di dadaku.
“Al, kalau aku sampai menyusu, mungkin malam ini akan menjadi malam yang menyakitkan buat kamu. Aku nggak yakin bisa mengontrol diriku lagi setelah menikmati putingmu,” ujar Kak Rico seolah memberiku pilihan, apakah aku yakin untuk melanjutkan adegan panas ini, atau menghentikannya sekarang juga.
“I’m yours toninght! Do it!” ucapku tanpa pikir panjang.
“Kamu yakin? Kamu nggak akan nyesel?” tanyanya sekali lagi, mungkin untuk memastikan bahwa aku benar-benar merelakan tubuhku malam ini untuknya. Aku hanya bisa mengangguk.
Tanpa bertanya lagi, Kak Rico lantas membuka crewneck putih polos yang dia kenakan, menampakkan dada bidang yang dipenuhi bulu-bulu lebat di antara payudaranya. Otot-otot lengannya yang seolah membentuk tumpukan gunung makin membuatnya terlihat gagah.
Telapak tangannya sekali lagi meremas kedua gundukan kenyal milikku, sesekali menyatukan mereka dan menciuminya dengan lembut. Matanya terpejam saat lidahnya terjulur, menjilati puting susuku secara bergantian.
Oh Tuhan, sensasi apa lagi ini? Pantas saja banyak wanita yang sangat merawat payudaranya. Ternyata senikmat ini saat pria sudah tertarik dan bermain-main dengannya.
“Oh ....” Lagi-lagi aku melenguh, tubuhku terangkat membentuk lengkungan saat jilatan itu berubah menjadi sesapan.
Aku lagi-lagi meremas pelan rambut Kak Rico sekaligus menahan kepalanya nggak ingin kalau kenikmatan di kedua susuku justru terhenti karena apa pun. Seolah memahami keinginanku, dia justru memperdalam hisapan itu di salah satu putingku, sedangkan yang lain, dipilin oleh jari-jarinya. Sungguh, ini betul-betul nikmat, bagaimana saat nanti dia menerobos liang senggama ku? Apakah akan lebih nikmat lagi, atau justru menyakitkan seperti yang dikatakan?
“Kak ...,” panggilku lirih dengan napas tersengal.
Dia tidak menjawab, masih fokus dengan payudaraku sambil memejamkan mata. Entah karena menikamati susuku, atau membayangkan bahwa aku adalah Kak Reva. Entahlah, aku tak lagi peduli. Yang jelas, malam ini dia adalah milikku, dan aku miliknya. Persetan dengan istrinya, toh dia juga yang sudah membuat suaminya sendiri datang padaku. Bahkan aku tak lagi peduli dengan penilaian orang lain. Yang aku tahu, aku sangat mencintainya, dan rela melakukan dan menyerahkan apa pun untuknya.
“Ah ... Kak, terus...,” pintaku sambil memejamkan mata menikamati hisapan demi hisapan yang terasa makin keras.
Permainan di payudaraku akhirnya berhenti juga. Jujur saja aku merasa kecewa. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Kak Rico melepaskan satu-satunya benda yang masih menempel di tubuhku, yaitu thong. Ya, aku memang belum pernah menikah, tetapi aku selalu mengoleksi pakaian dalam yang cukup seksi, karena aku sendiri suka melihat keseksian tubuhku sendiri di depan cermin.
Seulas senyum tampak di wajah kakak angkat tercintaku. Tangannya mengelus lembut area vaginaku yang untungnya sudah kucukur bulu-bulu yang sebelumnya menutupi keindahannya.
Tanpa meminta izin, Kak Rico kembali menciumi payudaraku, tapi hanya sebentar karena setelah itu dia turun menciumi perut, paha, dan yang terakhir liang kenikmatan di antara pahaku.
Lidahnya menyapu setiap inci liang area yang ternyata lebih sensitif dari payudaraku. Tak lupa, jarinya juga memainkan klitorisku.
“Oh ..., Kak,” lenguhku lagi dan lagi. Sungguh aku baru merasakan nikmat ini, dan rasanya memang berkali lipat dari sekadar fantasi setelah menonton series dewasa.
Lidah Kak Rico kini menusuk-nusuk, seperti sedang mengetuk pintu sebelum memasuki sebuah rumah. Tanpa sadar, aku juga makin meremas rambutnya yang masih dipenuhi gel rambut. Pahaku juga makin terbuka lebar, memberinya izin untuk melakukan hal yang lebih dari ini.
“Ah ....” Aku tersentak mana kala lidahnya masih asyik bermain-main di liang senggamaku, tangan Kak Rico juga meraih putingku dan memilinnya lagi.
Tak lama dia pun bangkit, melepaskan celana dan boxer, hingga kini tubuh kami sama-sama tanpa busana. Terlihat juga kejantanannya yang sudah tegak mengacung, menunjukkan kesiapannya untuk mengoyak bagian intimku.
“I love you, Al,” ucapnya dengan berbisik. Kemudian dia melayangkan ciuman di bibirku, seraya menindih tubuh ini, dan mendorong kejantanannya, memaksa masuk ke dalam vaginaku.
Aku sedikit memberontak, saat rasa nyeri itu mulai terasa, tetapi Kak Rico menahan gerak kakiku dan makin mendorong pinggulnya hingga akhirnya kejantanannya sukses mengoyak tubuh ini.
Kak Rico terdiam untuk beberapa saat, seolah membiarkan vaginaku beradaptasi dengan keberadaan miliknya yang kokoh di dalam sana. Aku masih meringis, seraya mencengkeram erat lengan atas kakak tercintaku itu.
“Sakitnya cuma sebentar kok. Setelah ini pasti nikmat.” Ah, sial! Apanya yang nikmat? Ternyata apa kata orang itu hanya bualan.
Di bawah sana aku merasakan pedih yang teramat sangat. Nikmat yang tadi sempat kurasakan saat Kak Rico menjelejahi puting dan liang senggamaku dengan lidahnya, tidak sebanding dengan rasa sakit saat kejantanannya memaksa masuk, menyatu dengan tubuhku.
Tak berselang lama Kak Rico kembali menggerakkan tubuhnya. Kurasakan miliknya sudah leluasa keluar-masuk tanpa susah payah seperti awal tadi.
Perlahan tapi pasti, aku juga menikmati permainan ini. Dan ya, aku harus meralat perkataanku. Bersetubuh untuk pertama kalinya memanglah menyakitkan, tetapi nikmat setelahnya jauh lebih membahagiakan. Sakit yang tadi kurasakan kini hilang.
Tubuh Kak Rico terus berayun di atas tubuhku. Senyum yang dulu sering menghiasi hariku, kini kembali padaku. Aku menyambut hangat hunjaman demi hunjaman di dalam sana dengan merangkul lehernya dari bawah.
Dia kembali menciumiku dengan rakus. Desahannya pun terdengar seksi dan makin membangkitkan gairahku. Tuhan, kalau bercinta dengan Kak Rico senikmat ini, sungguh aku tidak akan pernah merelakannya menikahi wanita lain.
Kak Rico mengalihkan perhatiannya pada payudaraku. Dengan posisi tegak lurus dia tetap menghunjam liangku dengan intens. Tangan yang awalnya memegang pinggulku, kini beralih meremas payudaraku, memilin puting dan yang terakhir kembali menyesapnya kuat-kuat.
“Oh, Kak .... udah dulu, aku pengen pipis,” ucapku yang merasa akan ada sesuatu menyengat dari dalam tubuh.
“Keluarin aja, Al, nggak pa-pa. Nanti kamu akan tahu seperti apa nikmat yang sesungguhnya dari bercinta,” sahut Kak Rico dan aku menurutinya.
Aku membiarkan tubuhku merespons apa adanya, hingga akhirnya ada yang meledak dalam tubuhku. Aku menegang seraya mendesah keras. Toh tidak akan ada orang yang mendengar karena kamar ini kan kedap suara.
“Ah ... Al, punyamu sempit banget. Aku nggak tahan lagi, Al,” desah Kak Rico beberapa saat setelah tubuh ini kembali relaks.
Gerakan tubuh Kak Rico makin cepat. Seiring itu pula dapat kurasakan sakit dan nikmat yang muncul bersamaan.
Dia mengangkat kakiku dan meletakkan di bahunya. Tubuhnya yang kini lebih tegak, membuat bokongku secara otomatis juga terangkat. Kak Rico lebih dalam menusukkan kejantanannya dan aku mulai merintih lagi.
Tangan ini reflek memegang paha Kak Rico, berharap dia segera menyudahi permainannya.
“Almira ... oh, aku sayang banget sama kamu, Al. Ah ....” Gerakannya makin tak beraturan, cepat dan liar. Tak lama setelah itu, dapat kurasakan kejantanannya yang semakin menyesakkan vaginaku.
Dia pun menghentikan aktivitasnya setelah menurunkan tempo gerakan pinggulnya dengan diakhiri tiga kali hentakan keras di liang kenikmatan milikku.
Kak Rico luruh, kembali menindih tepat di atas payudaraku. Tubuh kami pun sama-sama dibasahi keringat, seolah dinginnya suasana dan AC tak mampu menutup kelenjar keringat kami.
***
JANGAN LUPA BACA CERITA BARUKU DI KK YA Judulnya PENAWAR LUKA YANG MENGGODA NIH AKU SPIL BLURB NYA. LINK ADA DI BRANDA PROFIL
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top