WE MEET AGAIN UNDER THE SUMMER SKY
Seperti halnya cinta, tidak ada yang bisa menebak kapan musim panas akan tiba dan kapan akan meninggalkan dunia. Tidak ada yang tahu berapa lama cuaca yang hangat akan bertahan. Bersama semua orang di Copenhagen, tiap-tiap tahun Anania selalu menunggu datangnya musim paling menyenangkan itu. Ketika siang hari sangat panjang, seperti tidak akan pernah berakhir. Matahari terbit pukul setengah lima pagi dan tenggelam pukul sepuluh malam. Tidak ada malam gulita, sebab hingga fajar tiba, langit tidak pernah kelam. Selepas jam kerja dan menyelesaikan makan malam, masyarakat masih punya banyak waktu untuk berenang di sekitar pelabuhan atau sekadar bermain air di pantai.
Saat musim panas, Copenhagen betul-betul berada pada hari terbaiknya. Langit biru cerah membuat dinding-dinding berwarna kuning, merah, dan cokelat semakin terlihat hidup. Bunga warna-warni bermekaran memanjakan mata. Rusa-rusa menikmati udara hangat di antara semak dan pohon di hutan-hutan kecil di pinggiran kota. Orang-orang duduk menyantap makan malam sambil tertawa di halaman belakang atau di taman dan danau di dekat rumah mereka. Aroma yang menguar dari buah stroberi dan apel matang, yang banyak tumbuh liar di tepi-tepi jalan, semakin membuat hati gembira. Untuk negara yang selalu identik dengan mendung, hujan, angin, dan dingin, musim panas merupakan surga bagi seluruh penduduknya.
Pertama kali Anania tiba di sini, pada usia enam tahun, Liisa—wanita yang sudah dia anggap sebagai ibu kedua—selalu mengatakan bahwa matahari akan muncul pada bulan Juni. Sayangnya, harapan itu tak pernah sesuai kenyataan. Awal bulan Juni hujan tetap turun dan udara tetap dingin. Tengah bulan Juni, Liisa berkata musim panas akan datang bulan berikutnya. Lagi-lagi, harapan tinggal harapan. Bulan Juli tidak jauh berbeda dengan bulan sebelumnya. Setiap hari turun hujan. Kemudian Liisa meyakinkan Anania, matahari akan menampakkan diri bulan depan. Agustus pun tiba dan tidak ada perubahan cuaca.
Hingga musim dingin tiba pada bulan November, lebih sering Anania tidak bertemu sinar matahari sama sekali. Mendung dan hujan terus mendominasi hari demi hari. Selama tinggal di Copenhagen, mungkin bisa dihitung dengan jari berapa kali Anania mengenakan pakaian musim panasnya. Bahkan sering kali Anania merasa baju-baju tersebut hanya membebani lemarinya. Untuk apa pergi memakai summer dress, kalau dia harus membawa serta jaket tebal dan berat di dalam tasnya? Gara-gara prakiraan cuaca sering sekali memberi harapan palsu. Pagi hari cerah dan hangat, siang sedikit mendung tebal dan hujan datang.
Namun tahun ini ada pengecualian. Musim panas singgah selama tiga bulan. Musim panas yang terasa seperti kemarau di negara tropis. Sayangnya, bukannya terasa seperti surga, musim panas justru menjadi bencana. Kota ini tidak siap menghadapinya. Terjadi kekeringan yang menyebabkan persediaan air bersih sangat terbatas, sampai-sampai penduduk tidak diperbolehkan menyirami halaman atau mereka akan berurusan dengan hukum. Sepanjang hari gerah sekali. Hampir semua rumah dan bangunan lain tidak dilengkapi pendingin ruangan. Konstruksinya bahkan sengaja dirancang untuk memerangkap panas, guna menghadapi musim dingin yang keras dan panjang. Media massa menyebut peternak terpaksa merelakan hewan ternak mati, sebab tidak tersedia cukup air dan rumput yang bisa menunjang usaha mereka. Akibatnya, harga daging dan produk peternakan lain melambung tinggi.
Mulai sekarang, Anania dan setiap orang di Copenhagen dituntut menyesuaikan diri dengan suhu permukaan bumi yang semakin meningkat. Meskipun bagi Anania, perubahan suhu tersebut tidak terlalu memberikan masalah pada tubuhnya, yang memang diciptakan untuk hidup di negara tropis seperti Indonesia. Sepanas-panasnya Denmark, masih jauh lebih panas Indonesia pada pertengahan musim kemarau.
Kalau hidup terserah padanya, Anania akan menghabiskan musim panas di Tivoli, taman ria di tengah kota Copenhagen, yang sudah berusia seratus lima puluh tahun. Bukan untuk menikmati wahana. Bukan. Anania hanya akan duduk memperhatikan para remaja berkencan dan mendapatkan ciuman pertama mereka. Siapa tahu melihat cinta yang dipenuhi optimisme—kebanyakan dari mereka belum pernah patah hati—bisa membuat Anania tidak kehilangan asa bahwa suatu hari nanti Anania juga akan mendapatkan cinta yang sama.
"Oke, cukup! Bagus sekali, Anania!"
Anania mengerjapkan mata mendengar teriakan fotografer dalam bahasa Denmark. Laki-laki berambut keputihan, yang duduk menghadap ke belakang di atas cargo bike hitam, memberi Anania kode untuk menepi. Kemudian seorang laki-laki muda berbaju biru mendekati Anania dan membantu memarkirkan sepeda Anania.
"Terima kasih, Anania. Kamu benar-benar ... wow ... cantik ... powerful. A real girl boss." Laure, pemimpin proyek, memberikan botol air minum kepada Anania. "Foto-fotonya pasti akan bagus sekali. You are a natural."
"Thank you." Menyenangkan sekali terlibat dalam proyek ini. Tidak ada yang perlu dilakukan Anania selain mengayuh sepeda—seperti yang selalu dilakukan Anania setiap hari—di Frederiksberg, mengikuti cargo bike yang membawa fotografer dan kameranya. "Terima kasih kamu sudah mengajak aku ikut serta. Ini proyek yang ... wow ... unik sekali. Brilliant."
Hari ini Anania menjalani pemotretan untuk profilnya, yang akan dimuat dalam sebuah buku. Founder sekaligus CEO Projektbyen, perusahaan tempat Laure bekerja, menginisiasi diterbitkannya buku berisi foto, profil, serta perjalanan hidup para wanita berbagai usia yang berprestasi dan menginspirasi. Kesemua wanita hebat tersebut memiliki satu persamaan; menggunakan sepeda sebagai alat transportasi utama dalam keseharian mereka. Ada dua puluh wanita luar biasa yang terlibat. Mulai dari aktivis, ibu rumah tangga, pengusaha, anggota senat, seniman, hingga profesor.
Buku pendahulu yang menampilkan tema serupa menjadi salah satu buku terlaris di seluruh dunia dan sudah diterjemahkan ke berbagai macam bahasa. Seluruh hasil penjualan digunakan untuk membeli sepeda, yang akan dibagikan secara gratis kepada orang-orang di negara-negara yang tertinggal secara ekonomi, terdampak bencana alam, maupun yang menjadi korban konflik bersenjata.
"Kata bosku, buku yang akan terbit ini akan bisa menjangkau pembaca lebih banyak lalu membuka pikiran masyarakat mengenai salah satu solusi dari berbagai masalah hidup ... kemacetan, keuangan, kesehatan dan lainnya ... yang mudah dan murah, yaitu sepeda," jelas Laure sambil menemani Anania istirahat. "Pada saat bersamaan, tokoh-tokoh dalam buku ini ... termasuk kamu ... akan menginsipirasi banyak orang, agar tergerak untuk melakukan hal-hal yang tak kalah hebatnya. Mengingatkan bahwa semua mimpi bisa diwujudkan."
"Aku juga berharap demikian. Buku itu pasti akan bermanfaat untuk siapa saja yang membacanya." Sengaja Anania mengusulkan pemotretan dilakukan sore ini, tepat sebelum Anania menghadiri acara amal, pengumpulan dana untuk membantu anak-anak dengan invisible disability. Dengan begitu Annania tidak perlu repot gonta-ganti baju.
Karena akan menghadiri jamuan makan resmi, Anania sudah mengenakan gaun merah panjang dan sepatu hak tinggi. Anania ingin banyak orang tahu bahwa pergi ke sebuah jamuan makan malam tidak harus mengendarai mobil mewah atau limusin. Seseorang bisa tetap terlihat berkelas dan elegan di atas sepeda. Plus, ternyata gaun panjang dan sepatu hak tinggi tidak mempersulit seseorang untuk bersepeda.
"Ah, aku lupa memberi tahu, Anania. Fotomu akan digunakan sebagai cover belakang. Foto yang kita ambil hari ini. Cover depannya nanti foto Freja, astronot kita," Laure menginformasikan dengan antusias. "Kalau kamu tidak keberatan, kami ingin menjadwalkan satu kali pemotretan lagi dengan pakaian yang berbeda, untuk profil di dalam buku. Yang menemani hasil wawancara. Bagaimana?"
"Tidak masalah, aku bisa meluangkan waktu. Bagaimana kalau di sekitar Kongens Nyrtov? Kalian bisa memotretku saat aku berangkat gladi bersih atau pentas. Biar semakin menggambarkan keseharianku." Lokasi Kongens Nyrtov berhadapan dengan Det Konglige Teater tempat di mana Anania mewujudkan mimpi selama berkarier bersama The Royal Ballet of Denmark.
Laure mencatat masukan tersebut di iPad-nya. "Aku akan mencocokkan ide dengan penulisnya. Sebelum dia mewawancaraimu juga. Akan menjadi cerita yang sangat menarik, seorang principal dancer berangkat menaklukkan dunia menggunakan sepeda."
"Nanti beri tahu saja kapan aku harus siap dan—"
Anania menghentikan kalimatnya ketika ada yang menarik-narik ujung gaun merahnya. Senyum Anania mengembang saat mendapati seorang anak perempuan kecil berambut pirang berdiri menengadahkan kepala. Mata birunya menatap Anania penuh rasa ingin tahu.
"Are you a real ballerina?" tanyanya, dengan suara yang menggemaskan.
"Yes, I am. Are you a little ballerina? Siapa namamu dan berapa umurmu?" Anania berjongkok di depan gadis kecil tersebut, tidak peduli kalau gaun yang dipakai untuk pemotretan sekaligus menghadiri jamuan makan malam akan kusut atau kotor.
Senyum anak-anak selalu bisa membuat hati Anania meleleh seperti es krim di atas aspal di bawah matahari musim panas. Apalagi anak-anak yang menyukai balet. Setiap kali bertemu mereka, ingatan Anania bergerak mundur ke masa dua puluh tahun yang lalu. Saat dia masih seusia anak ini dan sangat ingin bisa menari balet. Bisa bertemu dengan seorang balerina rasanya seperti mendapatkan hadiah dunia dan seisinya.
Gadis mungil, yang masih mengenakan leotard putih dan rok merah muda itu, menganggukkan kepalanya naik-turun dengan semangat. "Vera. I am four."
Semakin hari semakin banyak anak di Denmark yang dibesarkan dengan dua bahasa, Denmark dan Inggris, seperti balerina cilik di depan Anania ini. Tidak ada kesulitan baginya untuk berpindah dari satu bahasa ke bahasa lain, sebagaimana orang dewasa.
"Hi, Vera. My name is Ann. And I am ... old." Anania menyeringai lebar.
"Vera-Lousie!" teriak sebuah suara.
Anania mengenali siapa pemilik suara tersebutbahkan sebelum dia melihat wajahnya. Haagen.
###
*Sepeda yang dirancang dan dibangun khusus untuk mengangkut beban. Pada bagian depan sepeda terdapat area kargo yang bisa terdiri dari kotak terbuka, tertutup maupun platform datar. Cargo bike memiliki konstruksi yang lebih kuat daripada sepeda biasa.
**Alun-alun di kota Copenhagen
***The Royal Danish Theater
****Posisi tertinggi yang diduduki seorang balerina dalam sebuah ballet company
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top