Keisha terpaksa hadir di bangunan putih tiga lantai bergaya klasik itu, dan dia tahu dia telah membuat keputusan yang tepat.
Rumah keluarga Carter, seperti yang dirumorkan, memang indah dengan tanaman berbunga sebagai pagar alami di depan tamannya yang luas, serta pilar berpilin cantik di teras. Keisha menyukai sekelompok kupu-kupu warna-warni dan capung yang bermain di bunga tepi kolam di samping teras, tepat di sudut jalan setapak kecil menuju pekarangan luas di belakang rumah yang ditanami anggur. Masuk ke dalam rumah, keluarga Carter memiliki semacam aula beratap tinggi, tempat para pelayan memeriksa gadis-gadis yang hadir dan memutuskan apa yang boleh dan tidak boleh mereka kenakan ke dalam.
"Kenapa ada razia segala?" gumam Keisha, yang berbaris di samping Anna. Barisan yang panjang membuat mereka memutuskan berpencar supaya menghemat waktu.
"Taruhan, keluarga Carter diam-diam punya musuh mafia, jadi takut ada yang menyamar dan membawa pistol," balas Anna berbisik.
"Punya musuh gelap dan mengadakan pesta besar. Masuk akal." Keisha mendengus, tapi sepertinya Anna tidak menyadari komentar sinisnya. Adiknya sibuk merapikan rambut yang ia gulung susah payah ke belakang, seakan takut tiba-tiba ikatan pita perak yang serasi dengan gaun lengan panjangnya lepas.
Keisha mengedarkan pandangan, entah kenapa merasa gelisah. Ke mana pun matanya tertuju, ia hanya melihat barisan tamu dengan berbagai model gaun—dari gaun terpendek yang tidak akan disetujui kepala sekolah di acara prom sampai gaun mengembang semata kaki dari abad ke-19. Undangan Elwin tampaknya sudah menyebar hingga ke luar sekolah, karena ada banyak sekali wajah-wajah yang tidak familier. Tidak ada satupun laki-laki di ruangan ini selain tiga penjaga jangkung yang mengenakan jas formal dan sarung tangan putih tebal.
"Kalung besi tahan karat," desis salah satu penjaga di tengah, tepat di barisan Keisha. Dia mengangkat benda perak berkilau redup sambil meringis seakan itu menjijikkan. "Sudah dua orang. Tidakkah kalian membaca peraturan di undangan, bahwa tidak boleh ada satu pun pernak-pernik rendahan seperti ini?"
Sebagian besar para tamu yang berbaris terkikik mengejek, membuat gadis di depan Keisha yang tengah diperiksa itu menunduk dengan wajah merah padam. Keisha bergerak tidak nyaman saat gadis itu terisak dan keluar dari ruangan, meninggalkan dengung tawa yang masih menggema. Tiba gilirannya, Keisha menatap tajam penjaga jangkung itu. Dia menepis tangan si penjaga yang mulai menyentuh area pinggangnya.
Alih-alih marah, si penjaga malah tersenyum puas, lalu mempersilakannya masuk.
Keisha tidak percaya apa yang baru terjadi. Sambil menunggu Anna yang diperiksa, dia mengamati gadis-gadis lain, heran karena mereka mau saja dijamah pria dewasa asing. Senyumnya sedikit mengembang saat penjaga memergoki seorang gadis yang membawa ponsel dan membuangnya jauh ke lantai. Itu adalah gadis menyebalkan yang tertawa paling keras tadi, dan Keisha tidak begitu menyukainya yang selalu pamer karena dia satu-satunya murid yang punya telepon genggam model lipat.
Setelah Anna selesai diperiksa, Keisha mengutarakan pemikirannya, tapi Anna hanya menjawab sambil mengangkat bahu.
"Konon katanya, kalau kita memasuki area rahasia yang terlarang, memang seperti itu, kok."
Keisha menggeleng tidak paham. Ruang tamu, yang kini disulap menjadi ruang dansa megah, sama sekali tidak terlihat seperti area rahasia terlarang. Tempat ini juga memiliki atap tinggi, diapit dua tangga lebar melengkung yang terhubung ke balkon lantai dua. Ada kandelir kristal besar yang menghiasi atap berukir halus, kemudian lampu dengan model serasi terpasang berderet di dinding, di antara jendela tinggi dan lukisan kain bergambar makhluk aneh.
Di dekat tangga, ada sekelompok grup musik yang asyik berbincang. Mereka memegang alat musik senar mirip harpi dan berbagai instrumen senar yang Keisha tidak pernah lihat sebelumnya, serta ada beberapa instrument yang kelihatannya ditiup dan dipukul. Tepat di depan kelompok itu, terdapat sebuah podium lingkaran yang besar setinggi setengah meter. Lantai marmer podium diukiri corak emas yang rumit.
"Di sini tidak ada Robert," Keisha mengungkit anak laki-laki yang disukai Anna sejak SMP. Gaun biru muda selututnya sudah kusut karena diremas terus.
"Yeah, kelihatannya ini pesta untuk para gadis." Anna menyetujui dengan cuek.
"Yang diadakan oleh murid laki-laki baru. Bukankah ini aneh?" tanya Keisha, mengikuti Anna yang bergerak ke meja makanan manis. Anna mengambil satu kue kecil, menggigitnya, lalu melompat mundur saat lelehan madu di dalam kue itu hampir tumpah ke gaunnya.
"Cobalah, ini lezat sekali!" seru Anna dengan mata membulat. Berhati-hati melangkahi tumpahan madu di lantai, dia meraih serbet dan mengelap bibirnya yang mengkilat. Saat Keisha tidak membalas dan hanya menatapnya datar, Anna memasukkan sisa kue ke mulut, menotolkan serbet lagi, kemudian menatapnya lekat-lekat sambil.
"Kei, kita seharusnya bersenang-senang," katanya sambil menggenggam tangan Keisha. "Ini pesta besar pertama kita!"
Mata Keisha tertuju pada sosok di balkon lantai tiga yang memandang ke bawah. Dari jauh, Keisha dapat merasakan sosok itu tersenyum padanya, sebelum menghilang dari pandangan. Orang-orang tampak tidak mempedulikan sang tuan rumah. Para gadis sibuk berbincang penuh semangat, menikmati pesta masing-masing sambil menggigit kue atau mengagumi pajangan antik. Keisha mendongak lagi, mendapati Elwin sudah berada di ujung tangga lantai dua. Laki-laki itu mengenakan jas selutut putih berbordir emas dan celana panjang sewarna, tampak serasi dengan rambut pirang panjangnya yang menutupi telinga.
"Kenapa dia tidak turun?" gumam Keisha, sengaja memandang lurus pada Elwin yang menatapnya.
Didengarnya Anna mendesah. "Entahlah, mungkin supaya kita semua bisa melihatnya lebih jelas."
Alasan itu, menurut Keisha, sangat sombong.
Elwin memberi isyarat pada kelompok musik di bawahnya. Segera saja para musisi memainkan musik ringan bernada santai, yang lama-lama semakin cepat, mengundang seruan pelan "Ooh" dari para gadis seakan mereka telah diprogram untuk menari saat lagu dimulai. Beberapa gadis menaiki podium, berdansa dua dan tiga orang sambil tertawa, bahkan ada yang sengaja merobek bagian bawah gaunnya yang panjang supaya dia dapat melangkah lebih luwes.
Keisha tidak sempat mengeluh kali ini. Dia menyukai musik ini, walaupun belum pernah mendengarnya sebelumnya. Lagu ini memberi kesan yang mengingatkannya pada rumah yang hangat dan makanan manis. Keisha benar-benar terhanyut, hampir ingin menarik Anna ke atas podium yang ramai dan melompat bersamanya. Dia tahu Anna juga merasakan hal yang sama, karena adiknya menggoyang-goyangkan tangannya sesuai irama, tapi tidak terlalu berani untuk mencuri tempat para gadis di podium.
Keisha kembali memandang Elwin, sekadar ingin tahu apa yang dia lakukan. Elwin kali ini tidak menatapnya. Laki-laki itu memerhatikan gadis di podium dengan serius, membisikkan sesuatu pada satu penjaga di sebelahnya, kemudian Keisha melihat beberapa penjaga mulai membimbing gadis-gadis tertentu turun dari podium dan keluar.
Ada yang salah.
Kesadaran kembali menyentuh benak Keisha. Sambil menggenggam erat tangan Anna, dia bergerak ke depan jendela tinggi, menatap beberapa gadis berjalan di jalan setapak berbatu, kemudian keluar ke balik pagar dan menghilang begitu saja. Tanpa protes dan perlawanan. Dia menoleh ke Elwin lagi, dan mendapati laki-laki itu tengah memandang ke gadis lain di podium.
Ruang kosong segera diisi gadis lain setiap ada yang 'gugur'. Tampaknya tidak ada yang mempedulikan nasib sesama teman mereka maupun melirik Elwin yang hanya berdiri di atas. Semua orang di sini terlalu sibuk menari, berdansa, dan memekik, sama sekali tidak keberatan dengan penjaga yang naik dan membawa salah satu di antara mereka.
Seperti terkena Sihir Elwin.
"Ini bukan pesta biasa. Kau lihat, tidak ada orang tua Carter di sini. Ini Sihir Elwin." Keisha menarik Anna yang kebingungan, bertekad menjauh dari tempat ini secepat mungkin. Dalam kondisi normal, dia mungkin sudah tertawa melihat Anna yang menari sambil mengerutkan dahi.
"Kei, pestanya belum selesai!" Anna berhenti, lalu menarik tangannya dari Keisha.
"Dengar, Ann, kita sedang diseleksi. Kita harus pulang sekarang," bisik Keisha, nyaris tak terdengar karena kebisingan ruang dansa. Anna mengerjap. Keisha pun tidak tahu jelas apa yang diseleksi, tapi dia lega karena Anna tidak bertanya dan hanya terpaku pada gadis yang sedang dibawa keluar. Dengan lebih lembut, Keisha menggandeng adiknya berjalan ke depan pintu ganda, namun dihadang oleh seorang penjaga.
"Anda belum boleh pulang, Nona," kata penjaga itu. Dia sedikit lebih tinggi dari Elwin, dan kepalanya menjulang jauh di antara para gadis yang rata-rata hanya sedadanya.
"Ke mana kalian membawa mereka?" desak Keisha.
"Teman-temanmu hanya lelah dan ingin pulang," jawabnya tenang dan singkat.
"Kami juga lelah dan ingin pulang," kata Keisha. Secara naluriah, dia mengeratkan genggaman tangan Anna.
"Tapi saya rasa Elwin ingin berdansa dengan Anda," ucap Si Penjaga sambil bergeser untuk memberi jalan dua penjaga lain yang mengantar empat orang gadis lain keluar, lalu menutup jalan lagi.
Keisha berbalik, menghadap Elwin yang tengah berjalan ke arahnya. Tanpa diperintah, gadis-gadis menyingkir untuk memberi jalan, sebagian dari mereka melirik Keisha penasaran. Keisha jelas bukan tipe gadis yang diharapkan untuk diajak dansa oleh murid populer—dia bukannya jelek, tapi kedua matanya yang berjarak agak jauh terlalu besar dan tajam, sehingga kebanyakan anak lelaki memilih tidak mengusik kehidupannya.
Elwin membungkukkan badan dengan hormat sambil mengulurkan tangannya. Musik masih berdentang, tapi tidak ada yang menari lagi sekarang. Semua orang diam dan menunggu, seakan reaksi Keisha berdampak penting bagi kehidupan mereka.
"Kami ingin pulang," tegas Keisha, suaranya dingin. Biasanya, tidak ada yang berani membantah jika dia sudah memberi tatapan ini, termasuk anak sok jagoan yang mencuri tempat favoritnya di kafetaria dan Ms Murray yang pernah tidak mengijinkannya ikut ujian gara-gara terlambat satu menit. Tapi Elwin hanya tersenyum geli seakan Keisha adalah anak yang merajuk.
"Setelah satu tarian ini, kau dan semua gadis di sini boleh pergi," kata Elwin.
Keisha memandang podium yang kini sudah kosong. Menari dengan Elwin adalah pilihan mudah dan terlihat tak berbahaya. Kemungkinan terburuknya adalah dia akan diseret turun ke podium, lalu berjalan entah ke mana, tapi Keisha mempertimbangkan hal itu sebagai kesempatan bagus untuk mencari tahu apa yang terjadi pada teman-teman sekolahnya.
Dipandangnya Elwin sekali lagi. Dalam posisi setengah membungkuk, kepala Elwin masih lebih tinggi darinya. Laki-laki itu benar-benar percaya diri bahwa dia tidak akan ditolak, dan dengan berat hati Keisha mengakui bahwa dia mungkin benar.
"Ini akan berakhir," ucap Keisha mantap sambil menerima uluran tangannya.
"Tentu saja." Elwin menyepakati, tahu persis maksud Keisha.
Pada detik berikut, Keisha ditarik mendadak oleh satu sentakan ringan yang mengagetkannya. Dia hendak memprotes, tapi Elwin memutar tubuhnya, dan mau tidak mau Keisha harus melangkah cepat untuk mengimbangi gerakan Elwin. Mereka sudah menaiki podium saat musik dimainkan semakin keras dan hentakan sepatu dari para pemain senar mengiringi melodi. Gadis-gadis mulai menari sesuai tempo, tapi tidak ada yang berani naik ke podium. Tempat ini milik Keisha dan Elwin.
Keisha sudah lupa akan semua kecurigaan dan kegelisahannya, dia bahkan tertawa bersama Elwin ketika kepala jangkungnya tersangkut di tangan Keisha saat berputar. Seumur hidupnya, Keisha tidak pernah membayangkan dia akan menari selepas dan segembira ini di tengah banyak orang, bersama Elwin pula. Keisha merasa tubuhnya sangat ringan, seperti ingin terbang.
Dia melepaskan pegangan Elwin, lalu melakukan gerakan memutar tanpa henti dan secara ajaib tanpa kehilangan keseimbangan, padahal dia tidak pernah berlatih balet. Keisha seolah tahu apa yang harus dilakukannya saat dia mengangkat roknya yang berkilau diterpa cahaya, lalu bergerak dalam ritme teratur dari ujung ke ujung. Ujung rambut panjangnya berkibar sejajar dengan pandangannya saat dia berputar. Elwin sudah di bawah podium, tapi Keisha tidak peduli dan tidak berniat mengajaknya naik.
Ketika Keisha menunduk, dia menyadari rupanya corak di lantai podium adalah lampu tersembunyi yang canggih, dan kini ada yang menyalakannya sehingga cahaya keemasan menyirami seluruh kulitnya. Lewat pantulan jendela tinggi, Keisha mengagumi keindahannya.
Detik itu juga dia baru sadar bahwa telapak sepatu datarnya berada satu meter dari permukaan lantai.
Keisha mengerjap, tapi tidak buru-buru menghentikan tariannya. Seakan mengerti isyarat samarnya, musik mengalun lebih pelan dan lambat, sampai perlahan Keisha turun dan menapak lantai. Semua gadis yang hadir hanya berdiri dan terbengong. Terengah, Keisha menatap Elwin di bawahnya, lalu apa yang selanjutnya terjadi sama sekali tidak dipahaminya.
Elwin berlutut dengan sebelah kakinya. Keisha menoleh dan mendapati kelompok musisi meletakkan instrument mereka dan melakukan hal yang sama. Begitu juga dengan para penjaga, kemudian beberapa gadis di antara tamu yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Sambil berlutut, Elwin mengucapkan sebuah kalimat dengan takzim.
"Hormat, Yang Mulia Putri Farven."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top