1. Anak Baru yang Misterius

Musim panas tiba lebih cepat di Big Valley.

Saat ini baru memasuki awal bulan Juli, dan Berita Pagi Big Valley melaporkan cuaca hari ini pada dua puluh lima derajat Celcius. Matahari bersinar cukup terik sehingga sebagian besar anak sekolah memutuskan untuk menanggalkan seragam sweter biru tua mereka. Ujian akhir bahkan belum dimulai, tapi demam musim panas sudah menyerang SMA Big Valley.

Tidak ada benar-benar yang serius mendengarkan ketika Mrs Murray menjelaskan poin-poin yang katanya penting dan akan dijadikan soal tersulit di ujian kalkulus minggu depan. Beberapa anak yang duduk di pinggir jendela memandang ke langit di luar yang cerah sambil membayangkan liburan apa pun yang direncakan. Sisanya, yang tidak kedapatan tempat bagus, harus puas menunggu jam pulang sembari mencoret buku tulis, tapi hal itu tidak menghalangi bayangan kursi pantai dan manisan buah segar di kepala mereka.

Hal itu tidak berlaku bagi Keisha, gadis berambut paling pirang di kelas yang duduk di depan, persis di hadapan Mrs Murray, dan menatap tajam ke papan tulis yang tidak ada tulisan apa pun selain tanggal ujian kalkulus yang diukir dengan kapur merah dengan berlebihan dan besar di sudut—seolah mereka akan lupa saja.

Jangan salah, Keisha suka musim panas. Tidak ada yang lebih bergembira darinya saat ujian akhir tiba dan dia akan menghabiskan waktu libur panjang untuk merawat taman bunga kakeknya, lalu menyelesaikan gazebo yang mereka bangun bersama sejak hampir setahun yang lalu—sekarang tinggal pengecatan, dan mereka sedang berdebat karena Keisha ingin mengecat dengan tema putih, sementara Grandpa berkeras mereka harus memberi warna cokelat muda, sesuai warna favorit mendiang neneknya. Keisha bahkan tidak repot-repot memusingkan ujian, karena selain dia tidak terlalu buruk soal pelajaran, dia juga tidak peduli dengan nilai sejak memutuskan tidak akan lanjut kuliah.

Hanya satu hal yang mengganggu. Seseorang. Dan orang itu tengah memandang belakang kepala Keisha, entah bagaimana dia bisa merasakannya.

Maka, Keisha memutar kepalanya sedikit, mengerling pada sosok yang duduk di tiga baris di belakang samping kirinya. Tuh, benar, kan. Pemilik kedua mata biru yang cerah itu terang-terangan menatapnya, sama sekali tidak merasa malu karena kepergok. Keisha sengaja membiarkan mata tajamnya tidak berkedip. Lawannya melakukan hal yang sama. Mereka saling adu tatap-tatapan.

Keisha tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, tapi tiba-tiba saja laki-laki itu sudah ada. Muncul di sekolahnya, tampan, dan langsung populer.

Suatu pagi yang cerah di hari pertama bulan Juli, Keisha mendapati si anak baru duduk di bangku halaman sekolah—bukan sembarangan bangku pula, tapi bangku populer—dikelilingi banyak murid lain hingga ia hampir kesulitan menatap wajahnya. Keisha tidak pernah melihat anak laki-laki itu sebelumnya—bukannya dia tipe pengamat, tapi jika ada laki-laki tampan yang menjadi pusat perhatian satu sekolah, dia pasti akan pernah mendengar tentangnya, setidaknya sekali.

Segera saja, di hari itu juga, dia tahu nama laki-laki itu Elwin. Elwin Carter, putra pemilik perkebunan anggur di sudut kota Big Valley, yang anehnya baru ia dengar pada detik itu. Big Valley adalah kota kecil yang tidak canggih, sebagian dikelilingi hutan yang masih liar, lalu menyisakan beberapa perbatasan terbuka yang berhadapan dengan jalanan kasar panjang sampai akhirnya kau tiba di persimpangan jalan yang bagus menuju Edinburgh. Setiap penghuni baru di Big Valley selalu menjadi perbincangan, karena orang-orang akan berdiskusi dan menebak kira-kira kesialan apa yang menimpa keluarga itu hingga harus bersembunyi di kota tanpa mal.

Masalahnya, Keisha tidak pernah mendengar sekali pun tentang Elwin maupun keluarga Carter. Perkebunan anggur, begitu juga popularitas, tidak diciptakan dalam satu malam, jadi seharusnya keluarga Carter sudah mendiami Big Valley setidaknya bertahun-tahun yang lalu. Fakta bahwa Elwin mengklaim bahwa sebelumnya dia berasal dari negara yang sangat jauh tidak membantu. Ditambah, Elwin tampaknya menyebar sihir pada semua orang sehingga ke sudut bagian sekolah mana pun Keisha pergi, dia mendengar semua gadis memuji betapa tinggi tubuh rampingnya dan bagaimana rambut pirangnya berkilau. Bahkan, Anna, saudara perempuan Keisha yang biasanya pemilih, ikut membicarakannya, padahal dia sudah punya pujaan hati.

Pernah, pada suatu waktu, Keisha bertanya pada orang-orang, untuk memastikan bahwa mereka paham apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tidak banyak berguna. Rasanya seperti menanyakan tentang tokoh idola, mereka akan menjelaskan hal-hal yang tidak penting kemudian tenggelam dalam pujiannya masing-masing. Bahkan Grandpa mengakui keluarga Carter sebagai keluarga terhormat yang sangat ramah dan dermawan pada orang miskin. Tapi mereka kan belum pernah bertemu dengan keluarga Carter!

Keisha tidak pernah sepenasaran ini dengan urusan orang. Dia jarang menaruh perhatian pada anak pindahan di sekolah, karena selain hal itu biasanya hanya terjadi beberapa tahun sekali, Keisha toh tidak benar-benar berniat bergaul dengan siapa pun. Elwin adalah pengecualian pertama. Juga kasus yang aneh, karena Keisha praktis menjadi satu-satunya orang yang tidak terkena 'sihir Elwin'.

"Seperti sihir?" tanya Anna, adiknya yang seumuran, saat Keisha mencoba menjelaskannya pada satu waktu sarapan.

"Seperti sihir." Keisha meyakinkan sebelum menyendok serealnya. Dia merasa lega saat Anna mengetuk dagu dengan telunjuk, karena kemarin Grandpa hanya membalas dengan kalimat prihatin yang menyarankannya untuk bergaul dengan banyak teman.

"Benar," angguk Anna. Senyum Keisha mengembang, akhirnya ada yang sepemikiran dengannya! Anna bukan saudara kandungnya, tapi tumbuh bersama sejak bayi membuat ikatan mereka terasa lebih erat dari apa pun. "Melihat matanya terkadang membuatku merasa seperti tersihir. Kau tahu, seperti tersesat di dalamnya, yang sering dibicarakan di novel-novel romansa. Jangan bilang-bilang, tapi Robert saja tidak memberi efek sedahsyat ini padaku, tahu."

Ada yang aneh dari cara adiknya tersenyum, dan Keisha tahu mereka sedang memikirkan hal yang sama sekali berlainan. Jadi dia menyerah. Meluruskan ini pada Anna hanya akan berujung pada saran 'sebaiknya-kau-banyak-bergaul-deh-baru-ngerti'.

Tidak ada yang bisa menolongnya. Tapi Keisha sadar, dia adalah harapan terakhir SMA Big Valley sebelum Elwin berhasil mempengaruhinya, seperti yang sedang dia lakukan saat ini.

Elwin pasti tahu ada yang tidak beres dari Keisha, dan dia sedang mencoba membereskannya.

Bel pulang mengejutkan keduanya. Keisha cepat-cepat membereskan buku pelajaran yang terbuka tapi nyaris tidak tersentuh di atas meja, membiarkan lautan murid yang mendadak bersemangat menghalangi pandangannya terhadap Elwin. Dia mencuri pandang sedikit saat mengambil ransel di kolong meja. Oh, lagipula Elwin sudah tidak berada di bangkunya, seakan mendadak menghilang—

"Kau akan datang ke pesta akhir musim semiku?"

Keisha terkesiap saat mendapati laki-laki jangkung itu berdiri di samping mejanya. Buku cetak tebal di tangannya terpeleset, yang segera ditangkap Elwin sebelum benda itu menyentuh lantai. Saat Elwin membungkuk, kedua mata birunya yang besar berada tepat di depan Keisha, hanya berjarak sepuluh senti. Ruang kelas ini sudah kosong, bahkan Mrs Murray yang biasanya berlama-lama di kelas sampai semua anak keluar, tidak kelihatan lagi.

Dia akan menghipnotisku sekarang, pikir Keisha, hampir pasrah. Setelah ini aku juga akan memuja rambutnya yang panjang dan berkilau, lalu menyebutnya dalam doa.

"Keisha Norris?" ulangnya.

"Kau tahu namaku," ucap Keisha, terperanjat. Jarang sekali ada murid yang mengingat namanya di kelas. Dia mengambil buku dari tangan Elwin, gerakannya kaku seperti robot saat memasukkannya ke dalam ransel.

"Kita sudah hampir setengah tahun satu kelas di kalkulus," kekehnya geli sambil menyandarkan belakang pahanya ke ujung meja seberang Keisha, lalu memasukkan sebelah tangan ke saku celana seragam sekolahnya yang bercorak kotak-kotak biru tua.

Bohong. Dia baru muncul belum sampai satu minggu yang lalu.

"Kei," panggil Anna dari pintu kelas. Keisha diam-diam menghembuskan napas lega saat Anna masuk, walau adiknya terus mendongak pada sosok lain yang bukan menjadi sasaran panggilannya. Anna masih memandang Elwin saat bertanya pada saudaranya, "Kenapa kau begitu lama? Kita sudah berjanji akan memasak makan siang Grandpa."

"Maaf, aku baru saja menanyakan apakah kalian akan datang ke pesta akhir musim semiku." Elwin melemparkan senyum manisnya pada Anna. Bisa dibilang lutut Anna sudah berubah menjadi jelly, sampai dia harus mencengkram tangan Kelsea erat-erat.

"Tentu saja, kami membicarakan pesta itu sepanjang waktu," jawab Anna cerah.

Tidak, aku bahkan tidak tahu kalau pesta itu ada, bantah Keisha melalui telepati. Mereka tidak pernah bisa telepati, walaupun sering mencobanya, tapi Keisha tiba-tiba berharap adiknya bisa mendengar suara hatinya secara ajaib.

"Senang mendengarnya. Sampai bertemu Sabtu nanti," kata Elwin. Kemudian dia melangkah pergi, sesekali menoleh pada Keisha sebelum menghilang dari balik pintu.

"Kita tidak pernah membicarakan pesta itu," tuntut Keisha saat dia dan Anna menyusuri koridor kelas. Anna, berjalan di depannya, memutar tubuh sedemikian rupa hingga rok biru kotak-kotaknya mengembang anggun. Berbeda dengan Keisha, Anna adalah tipe gadis ceria yang melontarkan senyumannya pada siapa saja. Jika bukan karena bintik-bintik di seluruh tubuh dan rambut keriting merahnya yang sering menjadi bahan gunjingan, Anna bisa saja menjadi gadis populer di sekolah.

"Kita akan membicarakannya sepanjang sisa minggu ini. Kau tahu, para gadis sudah membahas gaun yang akan mereka pakai di kelas biologi tadi," katanya.

"Kita tidak perlu pergi," ucap Keisha.

Anna menghentikan langkah, balas memandangnya seakan Keisha sudah hilang akal. "Kei, semua orang pergi! Dan yang terpenting, kita diundang! Ini adalah kesempatan bagi kita untuk memutuskan tidak menjadi pecundang dalam satu malam."

"Minggu depan ujian sudah dimulai," Keisha mengingatkan.

"Peduli setan!" Anna mencolek pinggang Keisha, lalu terbahak saat Keisha memekik. "Dasar pecundang. Kau tidak pernah mencemaskan ujian. Selama ini kau selalu menghabiskan waktu untuk membenamkan kepala di tumpukan duri tanaman sebelum ujian."

"Grandpa tidak akan membiarkan kita ke pesta," balas Keisha mantap.

Malam itu, saat mereka menyantap pai salmon hasil eksperimen Anna, Grandpa membuktikan hal sebaliknya. Hal kedua yang bertentangan dengan pendapat Keisha setelah soal rasa pai hambar yang menurut Keisha sudah sangat pas.

"Oh, itu bagus!" seru Grandpa. Mengambil serbet, dia mengelap bagian janggut merah berubannya yang basah setelah minum. "Aku dengar keluarga Carter punya rumah yang indah."

"Tapi kita akan ujian," kata Keisha tidak percaya.

"Ya Tuhan, Kei, kita hanya akan mengorbankan waktu dua jam dari ...." Anna berhenti sejenak untuk menghitung dengan jarinya. "... lima hari total untuk mempersiapkan ujian bodoh itu."

"Grandpa tidak melarang kami?" tanya Keisha, berharap.

"Grandpa tidak melarang kalian," ucap Grandpa.

"Grandpa tidak melarang kita!" seru Anna nyaring. Dia berdiri untuk memberi kecupan pada pipi keriput Grandpa, lalu tertawa saat kakeknya pura-pura protes sambil mengelap pipinya yang berminyak bekas bibir cucunya.

Selanjutnya, Keisha tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Anna. Grandpa-lah yang memiliki hubungan darah dengannya, dan Keisha tidak berhak memaksa Anna berdiam di rumah, walau dia diam-diam sebenarnya ingin sekali mengikat Anna malam itu. Ada yang mencurigakan dari pesta Elwin, bukan hanya karena laki-laki itu menyebarkan pamflet undangan untuk mendramatisir. Juga bukan karena pesta akhir musim semi terdengar tidak biasa.

Tapi tamu pesta itu, semuanya adalah para gadis.


-------

A/N

Update sehari lebih cepat LOL.

Fun fact: ini adalah cerita yang alurnya kusiapkan lambat sekali, karena aku kepingin punya novel yang panjangnya bisa sampai 60 ribu kata, dan partnya banyak (selama ini rata-rata ceritaku 30-40 ribu kata).

Dan, dan, aku sadar, dibanding ceritaku yang lain (yang biasa pakai POV orang pertama), gaya bahasa yang ini kinda boring. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top