[5] Tekad Hati

Rhory membuka pintu ruang makan seraya menguap lebar. “Pagi,” sapanya meski langit sudah mulai gelap di luar.

“Ah, Rhory! Kamu lihat Naya?” tanya Sohan dengan raut muka gelisah.

Rhory tidak begitu peduli dengan tamu mereka. Ia langsung menyerbu lemari, meraih gelas dan sebotol wine.

“Rhory! Dia itu belum balik buat makan siang, tahu! Jangan-jangan tersesat.” Sohan menatap panci yang menyisakan cukup banyak kare. “Apa Naya tidak mau makan karena aku tidak bisa masak apapun? Akh!” Hantu itu memukul-mukul pundak Rhory yang keras. “Ayo balik belanja, sana! Kali ini harus banyak beli sayuran!”

“Berisik, ah!” Rhory mengembalikan botol wine ke tempatnya. Bisa gawat kalau ketahuan Arik jika meminum koleksi alkohol yang sangat langka. “Iya, nih, aku cari!”

Sohan tersenyum. “Naya bilang ke perpustakaan. Coba cari dia di sana.”

Manusia serigala itu keluar dengan suasana hati buruk. Bagaimana tidak? Gadis itu adalah keturunan penyihir yang sudah ribuan tahun mengutuk mereka. Wajahnya memang tidak begitu mirip, tapi aura yang terpancar begitu kuat. Aura sang penyihir. Walau ia berucap baik mengenai gadis itu di hadapan Nevan, itu semua hanya demi menyenangkan hati adik kecil mereka.

Hal yang paling tidak bisa ia terima ialah gadis itu punya mantan berwajah mirip dengannya. Itu berarti meski ribuan tahun berlalu darah keluarganya tetap terjalin dengan keturunan si penyihir. Dan Arik berharap padanya agar tidak merusak suasana, menjaga gadis asing itu agar tetap nyaman di antara mereka.

“Akh!”

Batinnya tidak ingin diajak kerja sama meski sedikit berharap kedatangan gadis itu benar dapat melepaskan kutukan yang bersemayam dalam tubuhnya.

“Ada yang mendekat,” peringat Tetu. “Kayaknya si Manusia Serigala.”

“Rhory?” Naya berdiri, gelisah sendiri. Padahal ia sudah nyaman di perpustakaan, mendapatkan pengetahuan unik yang tidak pernah dikenal sebelumnya. “Bukannya Sohan bilang Rhory tidak akan ke sini lagi?”

Tetu melayang di atas meja. “Aku hanya bisa menemanimu sampai sini aja. Besok akan kubantu belajar lagi, tapi kamu harus sendiri.”

Naya terkejut. “Eh, kupikir Tetu akrab dengan penghuni lainnya.”

Tetu menggeleng. “Tugasku hanya menjaga buku. Manusia Serigala itu memang sering ke sini, menghabiskan waktu membaca buku, tapi tidak terlihat menyukainya. Sedapat mungkin aku tidak mau berhubungan dengan mereka, karena itu bukan urusanku.”

Peri itu pun terbang ke arah salah satu rak buku. Ada portal kecil terbuka saat ia tiba, dan peri itu menghilang ke dalam portal tersebut.

Tidak berapa lama pintu perpustakaan dibuka lebih lebar dari sebelumnya. Sosok manusia serigala itu memang muncul dari sana. Naya baru sadar lorong di luar sudah mulai gelap. Gadis itu merangkak masuk ke kolong meja, bersembunyi. Ia takut dengan si manusia serigala, juga tidak sudi berhadapan dengan pemuda berwajah sama dengan mantannya.

“Oi, Nona, Sohan mengkhawatirkanmu. Cepat ke ruang makan.” Rhory hanya berdiri di pintu, mengedarkan pandangan, lalu jongkok. Pandangannya bertemu pada gadis yang menutupi wajah dengan buku. “Hobiku bukan makan manusia, jadi jangan bertingkah seolah kau takut kumakan.”

Naya bergeming dengan badan sedikit menggigil. “A-aku akan menyusul.”

Rhory berdecak pelan. Ia bangkit dan berbalik badan. Namun ia sedikit janggal melihat sudah ada banyak tumpukan buku di atas meja. Penasaran, ia melangkah masuk, menghampiri buku-buku tua itu. Keningnya menyerngit. “Kau bisa baca buku ini?”

Dari bawah meja terdengar gumaman.

“Bahasa kami?”

“Se-setidaknya tulisan di buku itu berubah dan aku bisa membacanya.” Naya menjawab dengan diri masih bersembunyi di bawah meja.

Rhory terkejut. Ia hanya mengamati satu per satu buku dengan judul yang belum pernah dibacanya. Di matanya bahasa buku itu adalah bahasa zamannya, bukan bahasa negara yang ditempati kastil kini.

Naya mengambil kesempatan. Pelan-pelan ia melangkah di bawah meja. Setiba di ujung, ia segera berlari meninggalkan perpustakaan. Lorong sudah mulai gelap, ia hampir saja menabrak beberapa pajangan di tepian. Namun ia tidak berhenti berlari hingga sampai ke ruang makan.

Sohan segera menghampiri dengan raut cemas. “Naya, kenapa? Kamu ketemu Rhory?”

Naya mengangguk.

“Dia menjahilimu?” Sohan langsung berkacak pinggang. “Dasar pria licik! Sudah dibilang baik-baik sama Naya—”

“Tiba-tiba aja dia kabur.” Rhory segera membela diri begitu sampai di ruang dapur.

Naya tersentak dan langsung bersembunyi di balik Sohan. Namun ia harus mengingatkan diri sekali lagi bahwa pemuda itu hantu tembus pandang. Percuma mencari perlindungan pada makhluk halus itu. Meski begitu Sohan merentangkan tangan seolah bisa memisahkan jarak Naya dengan teman senasibnya.

“Rhory!”

Rhory berdecak. Telinganya berdiri tegang. “Bela saja keturunan wanita itu! Lebih sudi aku tetap begini daripada ditolong olehnya.”

Manusia Serigala itu berbalik badan, hendak meninggalkan ruang makan. Saat itu juga Arik sudah berdiri di depan pintu, mencengkram erat sebelah pundak Rhory. “Sudah ribuan tahun berlalu, kamu masih menyimpan dendam? Tolong jangan mengedepankan keegoisanmu, Rhory.”

Rhory menepis tangan Arik secara kasar. “Kau juga jangan terlalu berharap. Dia hanya manusia biasa. Terima saja keadaan ini sampai kiamat!”

Langkah Rhory terhenti begitu melihat sosok mungil boneka kayu yang mengendap di balik pintu. Tatapan mata anak itu menyayat sisi lain hati seorang ahli waris keluarga Faolan.

“Setidaknya… aku ingin kembali menjadi manusia, meski sebentar,” lirih Nevan dengan mata yang tidak akan pernah menitikkan air mata.

Arik menepuk pundak Rhory dari belakang, kemudian berdiri bersebelahan dengannya. “Bekerjasamalah, setidaknya demi Nevan. Ya?”

Sejak dulu pemuda itu tidak pernah kehilangan kendali terhadap emosi sendiri. Meski batin tidak terima, kalimatnya bertentangan dengan orang-orang terdekat, Arik tetap bicara dengan nada tenang.

Rhory berdecak pelan, tidak dapat membantah. “Baiklah.”

“Tapi menurutku jangan memaksakan Naya.” Sohan berpendapat kemudian.

Rhory kembali berbalik badan. Arik menghampiri Nevan, menggendong boneka malang itu untuk bergabung.

“Masalah kita begitu pelik. Beberapa hari lagi bulan purnama. Mungkin saja kamar Nona Alette dapat melindungi Naya dari kita, tapi… apa sebaiknya kita relakan saja Naya pergi sebelum bulan purnama?”

Arik dan Rhory saling bertatapan, dan kembali menoleh pada Sohan yang sudah membuat keputusan sendiri.
Sohan bicara seraya menutup mata. “Aku takut! Aku takut Naya akan trauma dengan penampilan kita saat bulan purnama! Lebih baik ia tetap mengingat kita masih dalam keadaan baik, bukan monster menakutkan!” Hantu itu berusaha menahan emosi, tapi semua isi hati terungkapkan dengan gamblang.

“Pergi pun…” Rhory terdiam.

Arik melanjutkan kalimat teman senasibnya. “Kurasa Nona Naya tidak bisa keluar lewat pintu utama. Saat Nona pingsan, saya mencoba untuk mengantarnya keluar. Seujung jarinya pun tidak menembus perisai sihir.”

“Jendela yang biasa dilalui Rhory?” Sohan bersikukuh.

Arik bergumam. “Benar juga. Mari kita coba.”

Sepuluh menit kemudian mereka berlima tiba di lantai empat, tepat di bawah jendela besar yang tingginya tiga kali tubuh pria dewasa. Jendela itu terbuka begitu saja tanpa kaca. Semilir angin malam cukup kuat berembus dari sana. Sebagai jaga-jaga, Arik membawa tabung berisi air yang dipenuhi ramuan kimia hingga bercahaya, bukan lampu dari lilin yang bisa saja padam akibat angin.

“Sebenarnya kami bisa saja keluar dari jendela itu,” ungkap Arik. “Namun saya tidak bisa meloncat tinggi seperti Rhory. Apalagi ini lantai empat. Yang ada badan remuk semua. Meski tidak bisa mati, tetap saja sakit.”

Sohan mengangkat tangan. “Aku tidak bisa meninggalkan tubuhku begitu jauh. Jika tidak, aku benar-benar mati.”

Nevan menjawab tatapan Naya. “Rhory tidak mau membawaku karena malu.”

“Ah,” gumam Naya mengerti kondisi di mana laki-laki tidak akan pernah mau membawa boneka jalan-jalan karena itu terlihat feminim. Oh, mungkin kecuali laki-laki itu sendiri yang jadi boneka—masuk ke tubuh boneka besar.

Hal tersebut malah mengingatkannya pada sang mantan yang pernah bekerja paruh waktu sebagai badut di taman bermain anak-anak dengan kostum kelinci. Gadis itu mengumpat dalam hati karena jantungnya berdegup mengingat betapa lucunya sang mantan saat itu.

“Ah, tapi Rhory bisa membantu Arik keluar, kan?” Naya memperagakan sedang menggendong orang dari belakang. “Seperti ini.”

“Seperti itu atau seperti ini,” Rhory mengangkat kedua tangan seolah ada orang di kedua lengan kekarnya, “tetap saja tidak menyenangkan.”

“Sependapat,” ungkap Arik langsung mengembuskan napas lelah. “Pernah sekali, tapi ternyata saya tidak bisa menahan diri saat ada manusia tidak sengaja terluka. Rhory kesulitan menahan saya. Karena itu sebaiknya saya tidak keluar.”

“Keluar dengan seperti ini atau seperti ini?” Naya memperagakan dua cara ‘menggendong’, sekedar bercanda.

“Dengan tangga. Lalu tiba di bawah saya injak saja Manusia Serigala ini,” jawab Arik tenang tapi terkesan dingin.

Rhory bersorak agak pelan. “Ah! Terima kasih pun tidak! Dasar Moonwyn berhati dingin!” Pemuda itu menunjuk ke telinga di atas kepala. “Berkat ia, telingaku patah. Tulang rawan yang sangat berharga ini!”

“Beberapa detik kemudian sembuh sendiri, bukan?” jawab Arik tidak mau disalahkan.

“Meski tidak mati tetap saja sakit! Sakit tahu!” ejek Rhory membalikkan ucapan Arik.

Naya tertawa, meski pelan tidak terlalu terdengar. Tanpa sadar gadis itu terhibur dengan keakraban dua pemuda yang bersifat bertolak belakang, tapi terlihat harmonis.

Melihat Naya yang tidak lagi canggung mengekspresikan perasaan, dua pemuda itu segera membuang muka karena ada semburat merah di pipi mereka. Melihat jarak yang perlahan memudar itu membuat Sohan dan Nevan ikut tertawa.

“Kalau begitu,” Rhory mengulurkan tangan, “Tuan Putri mau cara gendongan yang mana?”

Wajah tengil manusia serigala itu membuat Naya tersipu. Namun gadis itu segera mengenyampingkan degupan jantung yang tidak karuan. “Dengan tangga.”

“Hah?” Rhory terlihat kecewa. “Baca suasana dikit, dong, Mbak! Aku udah ribuan tahun gak melu—gendong anak gadis.”

“Salahkan wajahmu terlalu mirip dengan mantanku!” harik Naya kemudian membuang muka dengan keegoisan tertinggi. “Hump!”

Rhory merutuk. “Sial, keturunan adikku! Awas saja kau, begitu bertemu akan babak belur olehku!”

Beberapa detik kemudian Arik membawakan tangga, menyandarkannya agar kokoh ke arah jendela. Rhory melompat duluan ke jendela, berjongkok menunggu Naya yang kikuk menaiki anak tangga aluminium itu. Begitu tiba di atas, Naya terpukau oleh pemandangan asri nan menyejukkan. Meski gelap, kelap-kelip kunang-kunang membanjiri pepohonan dekat kastil. “Wah.”

Tanpa sadar gadis itu melangkah kembali, membuatnya kehilangan keseimbangan. Badan condong ke arah jendela, tangan menjulur mencari pegangan. Rhory dengan sigap menarik kerah baju Naya. Sohan dan Nevan sudah terpekik di bawah. Akan tetapi…

Tangan Naya menyentuh perisai sihir yang tidak dapat ditembus olehnya. Sedetik kemudian ada sengatan listrik yang terasa. Rhory turut merasakan sengatan tersebut. Spontan manusia serigala itu meloncat ke belakang, jatuh dengan pinggul terlebih dahulu mencium lantai. Naya kembali mengulurkan tangan. Ujung jari kembali merasakan sengatan.

Rhory bangkit sambil mengelus bokong. “Apaan itu tadi? Aku tidak pernah merasakan sengatan setiap keluar dari sana.”

“Itu berarti…,” bibir Sohan mengerucut ke atas, “Naya tidak bisa keluar?”

“Tampaknya seperti itu. Sampai… ia berhasil melepaskan kutukan kita,” Arik memprediksi.

Naya turun perlahan, kembali berdiri di tengah-tengah para pemuda malang. “Sepertinya begitu.” Tatapannya bertemu pada Sohan yang tengah menahan diri untuk tidak ‘menangis’. “Tidak apa, Sohan. Rasanya tidak enak keluar dengan harta tanpa bekerja. Walau semua itu punya buyutku, tetap saja itu semua punya kalian yang sudah menempati kastil ini ratusan tahun—hm, ribuan?”

Empat pemuda itu malah membentuk wajah dengan ekspresi sedih masing-masing.

Naya segera bertepuk tangan demi menghangatkan suasana. “Tenang saja! Aku memang bukan murid terpandai di kelas, tapi aku mudah mempelajari suatu hal. Apalagi buku-buku di sini bisa kubaca. Aku… akan berjuang!” Gadis itu mengepalkan tangan ke udara, berusaha mencairkan suasana. “Kalian… juga harus memotivasiku, memberikanku dukungan!”

“Kalau begitu…,” Arik melangkah terlebih dahulu, “akan kuperlihatkan harta Nona Alette.”

Kedua mata Naya terbelalak. “Benarkah? Gudang harta?” Gadis itu mengekor tanpa ragu.

Rhory yang kini telah mengendong Nevan menyusul kemudian. Sohan melayang di sebelahnya, terkikik saat melihat Rhory berdecak sebal. “Dasar wanita. Apapun zamannya tetap cinta harta.”

Naya menoleh sebentar ke belakang seraya melempar tatapan tajam. “Aku terdesak keadaan!” ujarnya kembali mengikuti Arik dari belakang. “Satu-dua keping emas pun tidak masalah. Satu bongkah cincin berlian pun tidak apa. Utangku sangat banyak.”

Rhory kembali berdecak. “Jaman sekarang anak muda berutang banyak? Ke mana orang tuamu, hah? Kau kabur dari rumah?”

Naya tertawa sesaat. “Pak tua seperti Anda berkata begitu? Lucu.”

“Hah?”

“Banyak hal yang terjadi,” ujar Naya tidak ingin menjelaskan keadaannya sekarang. Belum saatnya.

Arik berbicara pelan pada Naya agar tidak didengar oleh Rhory. “Jangankan satu-dua keping harta, Nona boleh mengambil semuanya. Tapi sisakan sedikit untuk modal kami hidup di zaman ini, ya?”

Naya mengangguk setuju. “Dengan wajah tampan, kalian bisa jadi artis. Nanti biar aku jadi produser kalian,” gadis itu berusaha bergurau demi mengakrabkan diri.

Ya. Naya kini telah membuka hati untuk membantu empat pemuda itu. Kini bukan lagi masalah harta karun, tapi tekad hati yang tulus mencarikan solusi pada mereka yang sudah tertimpa kesialan selama ribuan tahun akibat keegoisan moyangnya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top