[18] Sang Undead
“Sohan sudah siap?”
Arwah itu mengangguk gugup.
Naya mengingatkan pemuda itu sekali lagi. “Kamu harus kuat berharap untuk kembali hidup. Apa yang kamu inginkan setelah balik ke tubuhmu?”
Dengan sekuat tenaga Sohan berseru, “MAKAN SEPUASNYA SAMPAI GEMUK DAN BERPETUALANG MENEMUKAN BERBAGAI MACAM MASAKAN!”
Naya tersenyum. “Good,” ujarnya pelan. Gadis itu kini menoleh ke Arik dan Nevan yang sudah siap dengan tali tambang yang mengikat tubuh Sohan yang kini terbaring di tengah lingkaran sihir. “Arik, Nevan, siap?”
“Kami akan membantu Nona sekuat tenaga,” jawab Arik tanpa keraguan.
Nevan mengangguk dengan kedua tangan terlilit tali.
Rencana ritual kali ini cukup rumit dari sebelumnya. Ada dua lingkaran sihir, satu untuk ritual pengembalian Sohan menjadi manusia, dan satunya lagi penghancuran inti sihir dari peti mati. Tubuh Sohan dibaringkan di tengah lingkaran sihir paling besar, diikat agar saat menjadi zombie tidak pergi ke manapun. Arik dan Nevan sudah siap menahannya, berdiri di luar lingkaran sihir dan saling berseberangan.
Pertama dimulai dari peti mati. Tiga menit sebelum cahaya bulan penuh menyinari, Naya merapal mantra untuk menghancurkan kotak sihir tersebut. “Dengan meminjam kekuatan langit, hancurkan peti mati abadi ini: detraro un rei!”
Langit berderuh. Sepintas sebuah kilatan cahaya menembus langit-langit kaca, menghantam keras peti mati. Peti itu terbelah-belah dan terbakar. Arik dan Nevan spontan menundukkan badan, terkejut dengan petir yang tiba-tiba saja masuk menyambar.
Sebagai pengguna sihir, Naya sendiri terkejut dengan kekuatan yang dipanggilnya. Ia bahkan membeku beberapa saat sebelum akhirnya dapat menoleh ke arah dua rekan ‘kerjanya’. “Maaf… aku tidak tahu… kekuatannya sebesar ini.”
Arik pun berdiri, tidak ingin terlihat takut di hadapan seorang gadis. “Tidak apa, Nona. Silakan lanjutkan ritualnya.”
“Aku hanya terkejut.” Nevan juga mengikuti sikap Arik, menaikkan tangan yang terlilit tali ke dada, menandakan ia akan selalu siap kapan saja.
“Lain kali kuberi aba-aba,” sesal Naya. Ia pun menghela napas, melihat kembali peti mati yang kini tidak lagi mengeluarkan aliran sihir yang menyesatkan jiwa agar terlepas dari tubuh. Seketika itu juga ia menyadari satu hal. Tidak ada tanggapan dari Sohan tentang petir tersebut. Arwah Sohan tidak terlihat di manapun.
“W-waaa Sohan bangkit!” pekik Nevan. Anak itu buru-buru melangkah ke sisi lain seraya menarik tali.
Zombie Sohan meraung dengan suara parau.
Arik segera sadar dari lamunan melihat peti, pun menarik tali agar zombie itu tidak keluar dari lingkaran. “Nona Naya!”
Naya menggeser posisi agar sejajar dengan lingkaran sihir ritual selanjutnya. Zombie Sohan mengamuk kala cahaya bulan purnama sempurna menyinarinya. Gadis itu takut kekuatan zombie itu lebih kuat daripada pertahanan Arik dan Nevan. Tanpa menunda, ia segera merapal mantra.
“Bulan yang berkuasa di malam hari menjadi saksi. Kegelapan yang menyelimuti perlahan menyingkir. Atas nama Alette Craush yang telah meminjam kekuatan Dewa Pluto, sebagai keturunannya bernama Naya Ishida, kini sesuai janji saya mengembalikan kekuatan dari Dunia Bawah yang tidak seharusnya muncul ke permukaan.
“Dengan bantuan cahaya bulan sebagai media penghantar, terimalah kekuatan ini kembali, ambil sosok Undead ini, berikan lagi kesempatan atas Sohan Rhum sebagai manusia seutuhnya tanpa kecacatan. Pemutusan kontrak: craush el alette unma ishida el naya van!”
Cahaya bulan terhisap ke dalam tubuh Sohan hingga memancarkan cahaya yang begitu menyilaukan. Ketiganya menghalangi pandangan dengan telapak tangan, tapi Arik dan Nevan masih siaga menarik tali secara berseberangan.
Naya kembali didatangi sosok misterius dalam alam sadarnya.
“Kali ini kau kehilangan indera pengecapan.”
Kedua mata Naya terbelalak. Pasalnya ia begitu menantikan Sohan kembali menjadi manusia dan menyiapkan masakan lebih enak dan bervariasi dengan cita rasa tersendiri. Karena itulah kelebihan Sohan sejak dulu. Rhory saja memuji masakan Sohan lebih enak daripada koki manapun di masanya. Namun kini Naya hanya bisa pasrah melepaskan ‘hal yang berharga’ dari dirinya.
Pertemuan mereka lebih singkat dari sebelumnya. Hanya beberapa detik pandangan Naya kembali ke kenyataan. Ia berharap apa yang hilang darinya impas dengan kehadiran Sohan di tengah-tengah mereka.
“Sohan!”
Naya tersadar saat Nevan terisak. Jantungnya berdegup gelisah. Ia segera menghampiri kedua pemuda yang terduduk di samping tubuh yang tidak bergerak sama sekali. Napasnya tercekal. Tubuh Sohan memang kembali utuh, tapi tidak ada pergerakan pernapasan.
“Sohan, sadarlah!” Arik menggoncang-goncangkan tubuh yang terdiam itu dengan suara yang hampir tidak keluar sepenuhnya.
Naya turut duduk, mengecek pergelangan tangan Sohan. Tidak ada denyut nadi, tapi tubuh pemuda itu masih hangat. “Beri aku ruang.” Ia mendekat, menumpukkan kedua telapak tangan di atas dada Sohan, menekan-nekannya agak keras sesuai dengan irama jantung. “Sedikit saja… bisakah aku mengeluarkan sedikit sihir petir untuk memberi kejutan ke jantung Sohan?”
“Naya ngapain?” tanya Nevan cemas.
“Nona Naya berusaha memompa jantung Sohan agar kembali bergerak,” Arik menjelaskan tanpa lepas pandang pada apa yang dilakukan Naya. Ia mengepalkan tangan, berdoa dalam hati. “Mungkin ada sesuatu yang tersekat di pembuluh darah Sohan hingga jantungnya tidak bekerja. Nona Naya tengah berusaha melepaskan atau mengeluarkan hal tersebut.”
“Ah, aku tahu,” Nevan mengangguk mengerti, “aku pernah baca cara medis tersebut… Hm, apa juga harus memberi napas buatan?”
“Tidak—
“Itu buat orang tenggelam,” sanggah Naya tidak sengaja memotong kalimat Arik. Tangan gadis itu berhenti sesaat, melepaskan mantra dengan suara pelan, “e rei tra.” Percikan cahaya kuning mengalir dari telapak tangan Naya, terserap tepat ke jantung Sohan. Tubuh pemuda itu tersentak pelan. Naya mengecek kembali detak jantung Sohan sebelum memutuskan untuk melanjutkan kembali RJP (resussitasi jantung paru). Tidak ada tanda-tanda tubuh pemuda itu bergerak. Naya menahan isak tangis, mulai putus asa karena takut Sohan malah mati karena kesalahannya menggunakan sihir.
“Tunggu, Nona.” Arik menahan tangan Naya yang hendak kembali memompa jantung tubuh yang terbujur itu. “Saya dapat melihat perbedaan warna di wajah Sohan.”
Naya mengamati air muka Sohan, berharap sepenuhnya.
Dan… tidak berapa lama kemudian…
Terdengar kreokan besar dari perut seseorang.
“Wah enak! Ini juga enak! Semuaaaanya enaaaakkk!!!”
Empat orang hanya membatu di tempat kala melihat seisi meja bar sudah penuh oleh kemasan berbagai makanan siap saji. Tentu saja tinggal kemasannya saja, isinya sudah ludas tersedot ke perut si Rakus Sohan.
Naya pun jadi setuju kenapa Sohan tidak diharuskan menjadi manusia pertama kali. Hanya dalam dua hari stok makanan mereka habis oleh satu orang. Bahkan kukis kesukaan Naya pun tinggal kotak. Ingin kesal, tapi gadis itu hanya bisa pasrah pada kerakusan si tukang masak.
Rhory hendak menjitak kepala Sohan, tapi Arik melarangnya. “Jangan cegah aku lagi, Arik! Udah abis kesabaranku lihat kerakusan ni anak!”
“Sabarlah, Rhory. Tinggal sehari lagi. Kita sepakat membiarkannya makan apa saja selama tiga hari. Baru setelah itu kita jadikan babu.”
Sohan menggerutu dengan mulut masih penuh makanan. “Hahian hini! (kalian ini!)”
Nevan bergegas mengambil kantong plastik besar, lalu diserahkan ke Sohan. “Jangan lupa bersihkan!”
“Hih!” Sohan merenggut kantong itu dengan sekali tarikan. Ia mulai mengemasi semua kemasan, menjilati mentega atau remah apapun yang tersisa sebelum membuangnya.
Nevan menangkap tangan Sohan yang hendak membuang sebuah kemasan. “Ini kan kue mentega favoritku! Sohan!” Anak itu menarik pipi Sohan. Sohan tidak mau kalah, juga mencubit pipi Nevan kuat-kuat.
Rhory segera menarik Nevan menjauh. “Heish dah nanti malam aku beliin lagi! Stok makanan juga menipis.”
“Rhory~ belikan daging domba, ya! aku mau menantang diri membuat masakan untuk perayaan sekaligus rasa terima kasihku pada Naya sudah mengembalikanku menjadi manusia kembali! Aku mau membuat kurafuchiqo!”
“Kau jangan minta yang enggak-enggak! Sekitar sini tidak ada ternak domba.” Rhory segera menolak permintaan egois sang sahabat. “Sapi kek, ayam kek.”
“Lagi, kurafuchiqo harus menggunakan panggangan besar, bukan? Kastil ini tidak punya panggangan sebesar itu.” Arik mengingatkan.
Sohan menunjuk lurus ke kompor listrik satu sumbu itu. “Ada, kok! Di paling belakang kastil ini aku ketemu dapur cukup besar. Ada pemanggangan besar di sana. Dapur ala rakyat jaman kita. Kalian saja yang udah ribuan tahun tinggal di sini tapi malas berkeliling.”
Rhory dan Arik saling bertatapan sebagai makna hendak bertanya satu sama lain.
Sohan menaytukan kedua telapak tangan. “Plis, carikan daging domba, Rhory! Aku mau membuatkan masakan enak buat Naya! Daging biasa pasti udah bi-a-sa bagi Naya! Ya? Ya?” Pemuda itu memohon sampai merapatkan jarak antaranya dengan Rhory.
Rhory mendorong kening Sohan. “Iya, iya, bawel!”
Sohan bersorak riang. “Horeee!”
Nevan kembali berteriak geram. “Sampahmu, Sohan!”
Saking bersemangat, Sohan lupa masih menggenggam kantong sampah, tidak sengaja menggoyang-goyangkannya hingga kemasan-kemasan terlempar keluar. Sohan terkekeh geli dan mulai mengumpulkan sisa-sisa makanannya. “Maaf, maaf…”
Naya terhibur dengan keakraban keempat pemuda itu. ia bersyukur dengan sekembalinya Sohan menjadi manusia. Kastil terasa semakin ramai dan penuh dengan warna kehidupan sesungguhnya. Namun ia harus menahan diri untuk tidak berkata apapun mengenai pinalti ritual terakhir, berusaha untuk menutupinya dengan kebohongan.
“Menarik. Aku sudah tidak sabar ingin mencicipi masakan khas Sohan,” ujar gadis itu, pun membantu Sohan membersihkan sampah. “Pedas pun rasanya tidak masalah.”
Air muka Sohan semakin cerah. Pemuda itu tertawa pelan, “Tenang saja! Aku akan membuat masakan paling enak yang tidak akan terlupakan oleh Naya sampai kapanpun!”
“Jadi semakin tidak sabar!”
Ucapan Naya semakin membuat Sohan bertambah ceria. Pemuda itu pun mengoceh tentang cara masak daging domba ala khas keluarganya. Naya mendengarkan dengan seksama. Sesekali Nevan nimbrung karena cemburu perhatian Naya tersita dengan ocehan panjang Sohan. Sementara Arik menyibukkan diri untuk membuatkan teh hangat untuk diminum bersama.
Lain hal dengan Rhory. Pemuda itu selalu memperhatikan Naya. Dan ia sadar gadis itu berusaha menyimpan semua keresahan dengan nada suara ceria. Gadis itu terlihat sudah biasa menyembunyikan masalah sendirian dan pandai memainkan kata agar tidak membuat lawan bicaranya sadar bahwa ia tengah berbohong—lebih tepatnya membohongi diri sendiri.
Tak apa. Setidaknya sampai semuanya berlalu, hingga gilirannya tiba. Dan sampai kapanpun ia akan tetap di sisi gadis itu, membiarkannya berbohong sedikit lagi. Setelah ia menjadi manusia, mereka semua keluar dari kastil ini, ia akan hidup di sisi gadis itu dan tidak akan membiarkannya kesulitan sendirian maupun menutupi permasalahan dengan kebohongan lagi.
Pemuda itu berjanji pada diri sendiri demi gadis pilihan hati.
16/12/2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top