[14] Sang Vampir

Bertambah satu pengunjung perpustakaan. Nevan yang kini sudah kembali menjadi manusia bagaikan seorang adik manis yang selalu mengikuti Naya ke manapun pergi. Terkecuali malam hari. Naya sudah memasang sihir dengan bantuan energi batu permata hijau pada kamar Nevan hingga anak itu akan aman kala malam bulan purnama tiba.

Seperti biasa, Naya menghabiskan siang hari dengan mempelajari banyak hal di perpustakaan. Apalagi kini targetnya ialah Arik. Ia harus mendalami informasi mengenai vampir terlebih dahulu—disamping mengenal sosok Arik zaman dulu dan juga sekarang.

Di salah satu sudut perpustakaan, Rhory sibuk memilah perkamen yang akan membantu Naya dan menerjemahkannya. Sesekali manusia serigala itu melirik ke Naya, sebelah gadis itu kini ada Nevan yang terlihat begitu lengket dan dengan sangat tenang duduk manis di sebelah gadis itu. Entah buku apa yang dibaca Nevan, tapi perhatiannya cukup fokus pada buku dan sesekali bertanya pada Naya. Melihat sampul bukunya, Rhory baru sadar anak laki-laki itu tengah baca komik yang pernah dibelinya beberapa bulan lalu, atau beberapa tahun lalu?

“Naya, takoyaki itu enak? Kakigori itu benar es yang diparut? Kok bisa es yang keras itu dikikis seperti memotong buah? Ikan ini kue? Kenapa bahan masakan bisa jadi camilan?”

Oke. Nevan tidak duduk manis, anak itu terlalu melit dengan budaya zaman sekarang, tepatnya ke makanan. Dan Naya begitu sabar menanggapi rasa penasaran manusia zaman ‘purba’ itu terhadap kemajuan peradaban.

“Nevan, kau mengganggunya belajar,” Rhory memperingati langsung.

“Aku tak bicara denganmu,” sinis Nevan kemudian menjulurkan lidah.

Rhory berdecak pelan.

Naya terkekeh pelan.”Kalau begitu nanti malam minta Rhory belikan semua yang kamu mau, biar gak penasaran.”

Sadar kalau sikapnya barusan bisa membuat si Tukang Kurir cemberut, Nevan segera menghampiri Rhory dengan tingkah kikuk dibuat-buat. “Kak Rhory~ tolong belikan?” Suara yang dituturkan pun dibuat seimut mungkin.

Kesal, Rhory menggenggam puncak kepala Nevan, membuat kening anak itu hampir mencium meja. “Kau terlalu banyak baca komik, sikapmu udah kayak anak-anak remaja sekarang. Bersikap baik kalau ada maunya. Menyebalkan.”

Nevan menggertak. “Aak, mentang-mentang besar seenaknya! Kubilang ke Arik, kau pelit!”

“Wah, makin ramai saja perpustakaan ini,” ujar Tetu yang tanpa aba-aba sudah duduk di sebelah Naya. Peri Buku itu mengamati Nevan, senyum pun muncul di bibirnya. “Kau berhasil, Naya.”

Naya mengangguk dengan khidmat. “Berkat bantuan semuanya. Tetu paling utama.”

Tetu menepuk pelan lengan Naya. “Kau berbakat. Dan energi sihirmu juga bertambah setelah menggunakan tongkat serta cincin permata itu.”

Naya melirik cincin peninggalan Alette. “Kupikir hanya cincin biasa.”

“Kau tak bilang soal itu?” Tetu menunjuk dengan tatapan lurus ke mata kiri Naya yang jika diperhatikan lebih dalam terlihat jelas tengah bola mata gadis itu memudar.

Naya melirik ke Rhory yang masih senang menjahili Nevan, lalu menggelengkan kepala pelan pada Tetu. “Jangan bilang, ya?” bisiknya.

“Kau tak takut?” Tetu bertanya dengan nada datar agar percakapan mereka tidak memunculkan kecurigaan sang manusia serigala yang bisa mendengar segalanya.

Naya mengambil pena, menuliskan jawaban di halaman buku paling akhir. ‘Aku hanya berusaha semampuku, apapun itu.’

Tangan Tetu meraba halaman tersebut dan tulisan barusan menghilang begitu saja. “Antagonis pun kala memiliki keturunan tidak dipastikan mewarisi kebencian terhadap dunia. Mereka malah melahirkan protagonis yang luar biasa.”

Naya terpegun dengan ucapan Tetu barusan.

Tetu tersenyum dengan makna tersembunyi. “Itu kalimat favorit dari novel kesukaanku.”

Mata Naya melebar takjub. “Peri Buku pun suka baca novel.”

“Bukan sembarang novel. Ia menuliskan kisah nyata yang tersembunyi manis dalam karya fiksi.”

“Jadi penasaran bukunya seperti apa. Boleh pinjam?” Naya terkekeh geli dengan pendapat barusan. Selama ini Tetu berkata semua buku kontrak adalah miliknya; ia mengetahui semua buku yang pernah ada di dunia—dari awal hingga akhir zaman; dan tidak pernah sekalipun bilang boleh meminjamkannya.

Sesuai prediksi, peri itu menggelengkan kepala. “Bukan bacaan yang pantas di duniamu, Naya.”

“Duniaku?” Naya tidak mengerti maksud Tetu barusan apa. Andai peri itu bilang ‘bukan bacaan di zamannya’ masih dimengerti, tapi peri itu mengaitkan dengan ‘dunia’ seolah-olah dunia itu tidak satu.

Tanpa menjelaskan lebih lanjut, Tetu sengaja terbang kembali ke portal, meninggalkan Naya yang kini tengah menerka-nerka sendirian.

Naya masih menggunakan metode ‘wawancara’ pada Arik yang menjadi target ritual berikutnya. Akan tetapi tiba-tiba saja sikap pemuda itu dingin setiap berhadapan dengannya. Tidak hanya sengaja menghindar, Arik tidak pernah lagi pergi ke ruang makan setiap malam.

“Arik, tunggu!”

Naya mencegah langkah Arik yang hendak keluar perpustakaan. Pemuda itu terpaksa berkunjung saat matahari telah terbenam karena disuruh Sohan. Baik Naya maupun Rhory terlalu asik di perpustakaan sampai lupa waktu makan malam yang dijanjikan. Nevan sendiri juga lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan karena hanya itulah tempat yang bersahabat di kastil—alasan lainnya karena ada Naya.

“Tidak bisakah mengulurkan waktu sebentar saja bicara denganku?” tanya Naya hati-hati agar pemuda itu tidak tersinggung.

“Maaf, Nona Naya. Masih ada hal lain yang harus saya urus.” Setiap bertemu, Arik beralasan sibuk membaca perkamen yang ditinggalkan Alette di ruang rahasia. Pemuda itu berniat mengurutkan berkas per tahun dan menambah catatan sesuai kategori. “Sebagai gantinya,” Arik menyerahkan sebuah buku.

Naya menerima buku tersebut. “Ini apa?”

“Semua tentang saya—saya tulis berdasarkan semua pertanyaan yang Nona ajukan pada Nevan, kali ini saya tulis sesuai dengan kehidupan pribadi saya. Dua atau tiga hari lagi akan saya beri lagi catatan lain mengenai kehidupan saya di masa lalu. Kalau begitu, saya mohon undur diri dahulu.” Arik menundukkan badan sedikit, melangkah tanpa keraguan.

Naya menghela napas, menyerah dengan keteguhan Arik yang bisa dibilang ‘egois’. Pasti ada alasan kenapa orang pertama yang bersahabat dengannya itu kini bersikap dingin. “Apa aku pernah menyinggung perasaannya?”

“Kau gak salah. Arik saja yang terlalu keras pada dirinya sendiri.” Rhory menghampiri begitu eksistensi Arik sudah hilang dari pandangan.

Nevan berdiri di sebelah kiri Naya, menarik buku yang diberikan Arik barusan, membaca dengan mata membola. “Dari dulu tulisan Arik selalu rapi. Seperti… laporan formal, bukan kisah diri sendiri.” Anak laki-laki itu terkikik kala membaca sebuah paragraf yang terkesan jenaka. “Gaya tulisannya kaku menggunakan bahasa Naya.” Jari menunjuk ke kalimat yang dimaksud. “Lihat deh, Naya.”

Naya menunduk, menggeser tubuh agar mata kanannya dapat menangkap tulisan yang dimaksud Nevan. Gadis itu sama sekali tidak mengerti dari mana letak lucu dari kalimat tersebut, tapi ia sengaja terkekeh hanya untuk mengikuti suasana hati Nevan.

“Naya,” panggil Rhory.

“Apa?” Kepala Naya menoleh sedikit ke Rhory yang ada di sebelah kanannya.

Rhory terdiam—tengah mengamati.

Naya terpegun sejenak, lalu beralih pandang ke arah lain dengan gerakan kikuk. Gadis itu meluruskan badan, mengambil langkah terlebih dahulu. “Aah, lapar! Nevan, yuk buruan ke ruang makan!”

Nevan menyusul, tapi dengan mata dan tangan yang sibuk membaca ‘diari’ ala Arik. Anak itu ingin mencari kalimat lucu lain hanya untuk dijadikan bahan candaan dengan Sohan nantinya. Sementara Rhory masih terdiam di tempat, mengamati gerak-gerik Naya yang beberapa hari ini sudah menyembunyikan suatu hal darinya—dari mereka semua.

Derap langkah kaki Naya bergema di lorong-lorong kosong nan gelap. Gadis itu terburu-buru karena terlupa suatu hal. Hari ini jadwalnya Rhory berbelanja. Pemuda itu lebih memilih malam bepergian keluar karena sosoknya lari begitu cepat dapat disembunyikan dari batas pandang manusia. Kala dengan bus, kota terdekat dijangkau dengan waktu dua hingga tiga jam, tapi dengan kecepatan lari manusia serigala hanya lima menit—itupun tanpa membuatnya kelelahan.

Naya tiba di lantai teratas, di mana satu-satunya jendela yang ‘memberi izin’ bagi makhluk Abyss ictu bepergian. Di sana sudah ada Arik yang menyerahkan sekantong uang pada Rhory. Dua pemuda itu menoleh, mendapati Naya yang tengah terengah-engah dan mulai mengatur napas setelah berlari.

“Syukurlah belum pergi,” ujar Naya setelah jantung berdegup cukup tenang. Ia menghampiri seraya menyerahkan selembar kertas berisi catatan. “Tolong belikan ini juga.”

Rhory menerima secarik kertas tersebut dan langsung mengantonginya. “Seperti biasa, kan?”

Naya hanya terkekeh. Belanjaan khusus perempuan, tidak perlu lagi diumbar, pengertian saja sudah cukup disyukuri. “Itu… ada tambahan, sih. Hm, jika tidak tahu, aku sudah menuliskan mereknya. Tanyakan saja pada karyawan toko.”

“Oke!”

Rhory pun meloncat ke jendela, segera menghilang dari pandangan. Tanpa suara, Arik juga balik badan dan segera menjauh dari Naya.

“Arik, tunggu!”

Pemuda itu malah semakin mempercepat langkah.

Naya segera menyusul. “Arik, kenapa akhir-akhir ini menghindariku? Aku ada salah?”

“Tidak ada, Nona, tapi tolong jangan dekati saya.” Arik menjawab tanpa memperlambat langkah maupun menoleh ke belakang.

Naya bersikukuh. Ia menarik pergelangan Arik. Arik langsung menepis tangan yang hendak menghentikannya.

“Au,” gumam Naya pelan. Jari telunjuknya sedikit robek. Saat Arik menepis tangannya, bagian tajam di cincin pemuda itu tidak sengaja melukainya. Bukanlah luka berat, Naya tidak peduli dan hendak kembali melangkah.

Namun Arik terhenti, pun menoleh padanya. Tanpa sadar malah sudah berdiri di depannya, begitu dekat. Tangan pemuda itu menaikkan jari Naya yang terluka. Menjilati setetes darah merah yang muncul di permukaan kulit.

Bulu kuduk Naya berdiri. Gadis itu segera menarik tangan dan diri menjauh. “Arik?”

Tatapan pemuda itu kosong. Sekejap pemuda itu hilang dari pandangan. Naya terkesiap karena lorong cukup remang, jauh dari penerangan. Sedetik itu juga Naya merasakan satu tangan merangkul pinggangnya dari belakang. Napas hangat berembus di lehernya.

“Aaakk!” Naya berteriak.

Zzssst—

Arik terpental, membentur dinding.

Naya segera berbalik badan, satu tangan mengecek leher. Tidak ada luka di sana. Ia menghela napas pelan. Namun jantung kembali berdetak keras saat Arik bangun dan tetap dengan tatapan kosong. Naya menyesal telah melupakan tongkat sihir—harusnya ia bawa ke manapun agar ia tetap waspada di setiap kondisi. Untung saja ia terselamatkan oleh batu Malachite yang diperkuat kesaktiannya dengan mantra yang telah dipelajari sebelumnya. Batu itu kini telah menjadi anak buah kalung serta menjadi jimat ampuh.

Kembali dengan gerakan cepat, tidak bisa diikuti mata biasa, Arik menghilang dan muncul tanpa peringatan. Namun pemuda itu tidak bisa menyentuh Naya sedikit pun. Tangannya mencakar-cakar di udara, seakan ada batas tak kasat mata yang tengah digaruk dengan sekuat tenaga. Wajah pemuda itu mengerut—memperlihatkan diri geram tidak leluasa menggenggam apa yang diinginkan.

“Hanya karena setetes darah bisa segila ini?” kaget Naya melihat sikap Arik yang tidak seperti biasanya.

Pemuda itu benar-benar ‘buta’ dan tidak sadarkan diri. Air liur menetes, tampak begitu hasrat menghisap darah manusia.

Naya merasakan aliran sihir lewat permata ungu di cincinnya. Seketika itu juga ia meluruskan tangan ke hadapan Arik. Saat pemuda itu berlari ke arahnya, ia membacakan mantra, “Flida!”

Arik kembali terpental, kali ini lebih keras karena dengan aliran sihir terfokuskan. Bibirnya terluka, tidak sengaja tergigit saat punggung menabrak dinding. Bola mata pemuda itu kembali memancarkan cahaya. Kesadarannya pulih. Ia terbelalak saat bertemu pandang dengan raut muka Naya yang pucat. Arik segera menyadari apa yang terjadi padanya. Pemuda itu bangkit dan segera berlari menjauh.

“Arik!”

Pemuda itu sama sekali tidak ada niat menoleh ataupun menjelaskan apa yang barusan terjadi padanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top