[13] Selamat Datang, Nevan
Purnama di bulan ketiga Naya tinggal di kastil sang penyihir. Sudah dijanjikan malam ini ritual pembebasan kutukan pada Nevan. Setelah belajar dari kesalahan, memperbaiki semua sudut pandang, dan memperluas ilmu sebagai 'penyihir' akhirnya Naya yakin kali ini bisa memberikan hasil terbaik-semoga.
Naya menggambar lingkaran sihir tiga hari sebelum malam purnama, dengan begitu ia tidak tergesa-gesa dan bisa meminimalisirkan kesalahan huruf. Agar lingkaran sihir tidak rusak, ia menggunakan cat minyak yang sepengetahuannya bisa dihilangkan dengan thinner. Baunya cukup menyengat hingga para penghuni kastil lain harus menutup hidung setiap kali lewat ke ruang utama. Siapa yang membelikan cat, thinner, serta kuasnya? Tentu saja Rhory sang kurir serbabisa. Andai pemakaian jasa manusia serigala itu lewat aplikasi, tentu Naya akan memberikannya bintang lima. Oh, minus satu karena abang kurirnya cukup ketus. Tapi tetap lima karena wajahnya 'cukup' tampan.
"Naya kenapa tertawa?"
Nevan kini ada di tengah lingkaran sihir. Boneka kayu itu memiringkan kepala karena heran melihat Naya tersenyum sendirian. Padahal ia sangat takut ritual malam ini kembali gagal dan ia kembali menyerang gadis itu. Sementara sang penyihir gadungan itu terlihat lebih santai dari ritual sebelumnya.
Naya menutup mulut dengan buku catatan, malu takut ketahuan isi kepalanya perlahan diisi oleh si makhluk berambut merah. Gadis itu ingin menyangkal tertarik dengan Rhory yang kenyataannya mungkin saja masih ada hubungan keluarga dengan mantannya dulu. Namun untuk saat ini ia menikmati keakraban bersama empat penghuni kastil tanpa takut dikhianati.
"A-aku hanya tidak sabar ingin melihat wujud manusiamu, Nevan." Naya berkilah-tidak mungkin juga bicara jujur pada Nevan akan isi hati seorang wanita muda.
Bisa dibilang "anak kecil tak perlu tahu" menjadi alasan terbaik untuk boneka kayu itu meski Naya tidak mau mengucapkannya. Apalagi kini ia harus mencurahkan hati dan pikiran untuk Nevan demi keberhasilan ritual.
"Siap?" Naya menatap lurus pada Nevan yang masih berdiri bungkuk.
Boneka kayu itu mengangguk gugup.
Naya merentangkan buku menggunakan ibu jari dan kelingking-sementara tiga jari tengah menahan buku dari belakang. Satu tangan lagi memegang tongkat sihir agar energi yang dikeluarkan lebih terkontrol. Ia mengatur napas seraya menunggu bulatan bulan seutuhnya. Belajar dari kesalahan, ia harus membaca mantra sebelum cahaya menyinari Nevan.
"Bulan yang berkuasa di malam hari menjadi saksi. Kegelapan yang menyelimuti perlahan menyingkir. Atas nama Alette Craush yang telah meminjam kekuatan Dewa Pluto, sebagai keturunannya bernama Naya Ishida, kini sesuai janji saya mengembalikan kekuatan dari Dunia Bawah yang tidak seharusnya muncul ke permukaan."
Cahaya bulan purnama menembus jendela kaca, mengguyur tubuh boneka kayu dengan sinarnya. Lingkaran sihir pun turut bersinar. Lima benda yang menjadi simbol ritual terangkat hingga setinggi kepala Nevan.
"A-aarrgh..." Boneka kayu itu mengerang kesakitan.
Naya tidak gentar. Ia yakin sepenuhnya pada diri sendiri dan melanjutkan mantra.
"Dengan bantuan cahaya bulan sebagai media penghantar, terimalah kekuatan ini kembali, ambil sosok boneka kayu ini, berikan lagi kesempatan atas Nevan Millicent sebagai manusia seutuhnya tanpa kecacatan. Pemutusan kontrak: craush el alette unma ishida el naya van!"
Selingkaran angin mengelilingi tubuh boneka kayu. Pusarannya cukup mengibarkan pakaian yang dikenakan Naya, tapi juga menghisap lima benda ritual ke dalamnya.
Naya berusaha membuka mata karena angin ribut itu turut menerbangkan banyak debu di sekitar. "Apa berhasil?"
Sedetik kemudian pandangannya menghitam. Kedua matanya mengerjap-ngerjap, kepala menoleh kiri-kanan untuk memastikan situasi. Sebuah sosok bagai siluet berdiri jauh di hadapannya, tapi karena sosok itu begitu besar membuat tubuh gadis itu menggigil.
"Siapa?" tanya Naya dengan suara gemetar.
"Telah tersampaikan niatmu, wahai keturunan Alette Craush. Kini kami ambil kembali kekuatan kegelapan yang ada di Nevan Millicent dan ia akan kembali menjadi manusia sedia kala tanpa cacat sesuai janji. Tapi sebagai gantinya, kau lah yang akan kehilangan satu hal berharga."
"Sa-saya?" Naya gelagapan, jantungnya kini sudah berdebar kencang.
"Kau takut?" Suara dari sosok itu terdengar berat dan menggema di telinga.
Naya menelan saliva. Apa yang harus hilang darinya? "Saya tidak memiliki apa-apa."
Sosok itu tertawa. "Tanpa harta pun manusia punya banyak hal yang berharga."
"Asalkan bukan nyawa, silakan." Naya berusaha agar tidak takut di hadapan sosok yang 'berkausa' tersebut. "Karena saya masih harus membebaskan tiga kutukan lagi."
"Syarat diterima."
Sosok itu menghilang. Pandangan Naya dikembalikan. Mata gadis itu mengerjap-ngerjap, mendcapati tubuh boneka kayu itu bercahaya begitu menyilaukan. Perlahan sosok kecil itu berubah besar dan jelas mengikuti lekuk tubuh manusia. Tidak berapa lama angin yang mengelilingi anak muda itu menghilang, disertai cahaya yang melekat di tubuhnya. Persona seorang anak manusia pun berdiri di hadapan Naya-
--dalam kondisi telanjang.
Naya langsung mengalihkan pandangan. "Oh, yang benar saja? Untung saja anak tiga belas tahun!"
Nevan membuka mata. Hal pertama yang ia cek ialah tubuhnya sendiri. Pipinya menghangat begitu menatap kedua tangan manusia dengan kulit mulus, bukan lagi kayu cokelat legam yang selalu menggantung di pundak. Kemudian anak muda itu meraba-raba tubuh, senang bisa merasakan sensasi kulit yang menggelitik.
"A-ah aku jadi manusia lagi!" Anak muda itu meloncat kegirangan. Ia ingin sekali berterima kasih. "Naya-" Melihat gadis itu membalikkan tubuh, Nevan hendak protes, tapi udara dingin menggelitik tubuh dan ia pun sadar situasi. Anak laki-laki itu segera menutupi kemaluan dan membungkuk menyamping. "Waaa-kenapa jadi begini?!"
Naya malah tertawa.
"Jangan ketawa, Naya!" keluh Nevan dengan pipi yang kini sudah semerah tomat.
Naya menunjuk ke sofa. "Di sana ada baju. Cepat pakai!"
Nevan segera beranjak, tergesa-gesa berpakaian. Satu stel baju itu sudah disediakan sebagai upaya 'pencegahan'. Mungkin firasat perempuan begitu kuat akan situasi kali ini. Naya meminta Rhory membelikan baju kasual ala zaman sekarang untuk dikenakan Nevan. Apalagi di kastil tidak ada baju yang cocok untuk anak muda itu karena ia tiba di kastil dengan kondisinya sebagai boneka kayu tanpa busana.
"Sudah!" seru Nevan yakin telah berpakaian.
Naya menoleh. Senyumnya mengembang begitu melihat sosok asli Nevan. Anak laki-laki berwajah mungil dengan bintik-bintik kecil di sekitar hidung. Alih-alih dibilang imut, lebih ke cantik. Gadis itu tidak percaya zaman dulu ternyata sudah ada yang namanya bishounen-laki-laki cantik.
Nevan menggenggam ujung baju hangat dengan kedua tangan. "Ba-bagaimana? Aku tidak pernah pakai baju seperti ini-seperti Rhory."
Naya segera menghamburkan diri memeluk Nevan. "Cocok, kok! Imut! Kyaa!"
Nevan tidak kuasa dipeluk erat-untuk pertama kali oleh perempuan bukan keluarga. Ia pasrah saja saat Naya mengajak badannya meloncat dan berputar-putar sebagai bentuk mengekspresikan kebahagiaan.
"Kita berhasil, Nevan! Horeee!"
Naya melepaskan pelukan, memegang pipi Nevan dengan kedua tangan, mengamati wajah anak laki-laki itu yang kini semakin merona. Gadis itu termenung sesaat, lalu mengangguk puas. Dan air matanya menetes. Nevan menghapus air mata di pipi gadis itu.
"Terima kasih, Kak Naya."
Naya terkekeh. Tangannya kini mengacak-acak rambut Nevan. "Sama-sama, adik kecil-atau mau kupanggil kakek kecil?"
Nevan tertawa. "Jangan, ah!"
Naya ikut tertawa. Keduanya kembali berpelukan.
"uuurrrRRAAAAHHHH..."
Naya dan Nevan segera melepaskan pelukan, menoleh ke sumber suara dengan badan menegang.
"Suara apa itu?" Naya dapat merasakan seluruh bulu kuduknya berdiri.
"I-itu..." Nevan sudah menebak apa yang telah lepas dari 'kurungan'. Sosok mengerikan pun muncul dari lorong gelap. Nevan segera menarik Naya, berlari menuju tangga. "ZOMBIE SOHAN!"
"Haah?!"
Kaki Naya turut berlari karena merasa lebih praktis berlindung daripada menghadapi abyssal yang tidak tahu kemampuannya apa. Sosok mayat dengan tubuh membusuk itu ternyata memiliki kemampuan berlari sama cepat dengan manusia.
"Flida!" Naya mengayunkan tongkat, melempar zombie Sohan agar terpental jauh. Ia kembali berlari menyusul Nevan. "Kok zombie, sih?"
"Sosok lain Sohan," jawab Nevan dengan napas tersengal. Baru saja jadi manusia sudah harus menguras tenaga. Padahal sudah ribuan tahun tidak merasakan daging hangat membungkus tubuh, belum mengecek seluruh persendian, tapi sudah menggunakannya di situasi genting.
Keduanya segera berlindung di kamar Alette. Naya segera menutup pintu.
"Wah, aku bisa masuk," ujar Nevan kaget setelah berada di kamar sang penyihir. "Kupikir bakal terpental."
Naya juga baru menyadari hal penting. "Benar juga? Kalau yang lain udah jadi manusia, masa juga harus bersembunyi di kamarku, sih?"
Ia membayangkan kala Sohan kembali menjadi manusia, ternyata Arik atau Rhory yang tidak sengaja lepas, tentu Sohan akan menumpang di kamarnya semalaman. Lalu andai Sohan dan Arik sudah menjadi manusia, ternyata Rhory lepas kendali, kamar penyihir ini menambah dua pengungsi pria! Walau mereka bisa saja berjanji tidak berbuat macam-macam, tapi otak Naya tidak!
"Nevan sendiri gak masalah. Anak kecil, sih!" tambah Naya gamblang.
Nevan sendiri cukup tersinggung dengan pendapat jujur itu. "Di-di jamanku usiaku ini sudah boleh menikah, tahu!"
Naya mengacak-acak rambut Nevan kembali. Gemas. "Kamu tidur di sofa, sana!"
Dok-dok-dok!
Pintu kamar Naya digendor-gendor dari luar, diikuti erangan serak yang mengganjal di tenggorokan.
"Sohan!" pekik Nevan.
"Zombie!" jerit Naya bersamaan. "Kenapa harus ZOMBIE, SIH?!"
Andaikala Sohan punya fisik, pastinya sudah ditonjok habis-habisan oleh Rhory. Badannya ada, tapi kasihan juga memukul 'orang' yang tidak berdaya. Sebagai gantinya Rhory, serta merta Arik yang ikut geram dengan kecerobohan Sohan, dua pemuda itu menginjak-injak peti mati yang berisikan tubuh sang koki hantu-tepat di bagian kepala.
Nevan sendiri kini tengah sibuk memenuhi mulut dengan berbagai macam camilan rasa cokelat. Naya sendiri mengambil alih dapur karena tidak punya tenaga untuk mengapresiasikan kekesalannya terhadap apa yang telah terjadi semalam.
"Tolong maafkan aku...," cicit Sohan-hantu bersimpuh di sebelah peti matinya.
"Udah dibilang kunci dapur sebelum malam!"
"Memang seharusnya peti mati ini kita ikat dengan rantai tebal!"
Mungkin Alette sudah mempersiapkan kastilnya menampung empat pemuda itu setelah memberikan kutukan. Setiap kamar memiliki pengaman tersendiri, sebuah sihir yang aktif bila bulan purnama tiba. Pintu kamar mereka akan terkunci dan tidak ada yang bisa keluar-masuk, baik itu si pemilik kamar maupun orang lain-tentunya keturunan Alette sendiri.
Namun malam itu Sohan lupa mengunci ruang makan-yang sudah menjadi kamar pribadinya. Fatal, tubuh yang beristirahat di peti mati itu bangkit menjadi zombie-mayat hidup-yang busuk dan buruk rupa. Namun sosok itu hanya saat bulan purnama, setelah semua berlalu tubuh pemuda itu kembali ke semula, tanpa pembusukan, tanpa cacat satu pun, hanya tubuh membeku yang tidak bernapas.
"Aku masih belum mengerti dengan kondisi Sohan," ujar Naya yang kini tengah menghidangkan empat piring omurice. "Ribuan tahun mati suri tapi tubuhnya tidak membusuk, tanpa adanya pengawetan, juga tanpa pembekuan. Tapi saat bulan purnama jadi zombie. Sihir apa yang dipakai Alette, ya?"
"Nanti aja dipikirin." Rhory menyudahi hukuman-lebih tepatnya melepaskan emosi ke benda mati-karena hidung tergelitik dengan aroma masakan. Pemuda itu duduk di sebelah Nevan, mengacak-acak rambut anak itu dengan gemasnya.
Nevan menepis lengan Rhory, melemparkan kerisihan dengan tatapan tajam serta pipi gembung penuh camilan.
Rhory tertawa kecil diikuti nada jahil. "Kangen banget sama tatapan sinis anak satu ini! Selamat sekali lagi, ya, Bocah Millicent!"
Nevan hanya bisa berdesis karena mulut tidak bisa melontarkan sanggahan.
"Sudahi makan camilannya, Nevan, kamu tidak bisa menghabiskan masakan Nona Naya jika terus mengisi perut dengan itu." Arik turut duduk di sebelah lain hingga kini dua pemuda itu mengapit Nevan.
Dengan patuh Nevan menyingkirkan sisa camilan, menarik sepiring omurice, dan langsung menyendok nasi hangat itu ke mulut. "Enak," gumamnya terharu akhirnya bisa makan layaknya manusia biasa.
Naya tersenyum. Ia ingin sekali duduk di sebelah Nevan, tapi kini ia harus mengalah pada dua orang yang sudah lama tidak melihat sosok anak laki-laki itu selama ribuan tahun. Oh, ditambah si hantu yang kini ikut senyam-senyum di balik meja bar.
"Selamat makan," jawab Naya agak telat menyikapi sikap Nevan yang dengan lahap mengunyah masakannya.
Naya bisa melihat keakraban keempatnya semakin erat kala Nevan kembali ke fisik aslinya. Tiga pemuda itu bagai kakak laki-laki yang asik mengerjai sang adik hingga si adik geram sendiri, tapi tidak marah karena tahu tindakan mereka bukti perhatian yang tidak bisa diungkapkan dengan cara manis.
Gadis itu memutuskan untuk menyantap sarapan yang terlambat. Ia mengambil kursi di sebelah Rhory, dengan tenang menikmati suasana hangat keempatnya bagai menonton drama keluarga bahagia.
Saat Arik dan Sohan fokus pada Nevan, Rhory sedikit mengubah posisi duduk dan menyikut lengan Naya. "Kerja bagus," ujarnya pelan.
Naya tertegun sesaat, lalu mengumbar seulas senyuman. Sayang sekali ia tidak bisa melihat bagaimana ekspresi Rhory saat pemuda itu menyanjungnya. Karena... satu pandangan Naya telah tiada. Bayaran atas pengembalian kekuatan kegelapan dari kutukan. Dalam diam gadis itu menahan kesedihan karena dalam tiga bulan ke depan ia akan kehilangan tiga hal penting lain dari dirinya sendiri.
Naya berharap empat pemuda itu tidak akan menyadarinya hingga semuanya berakhir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top