[12] Sumpah Kemalangan
Di bawah cahaya obor, Naya mendapati Rhory yang tengah duduk di tangga dengan raut wajah agak tegang. Mata pemuda itu melirik sesekali saat gadis itu keluar dari ruangan rahasia. Naya curiga kalau Rhory sudah mendengar semua percakapannya dengan Alette. Tidak lain karena telinga manusia serigala itu dapat mendengarkan suara siapa saja yang ada di kastil.
Naya memutuskan duduk di sebelah Rhory dan tidak menanyakan pendapat pemuda itu langsung. Begitu juga dengan Rhory yang tetap bungkam. Untuk sementara keduanya membiarkan keheningan menguasai suasana sampai perhatian Rhory teralihkan dengan sebuah cincin yang telah tersemat manis di jari telunjuk kanan gadis itu.
“Dari sekian banyak harta karun, kau malah memilih cincin membosankan itu?”
Rhory tipikal pemuda yang tidak bisa berbasa-basi dengan kalimat manis. Memang tidak sama dengan pemuda yang dikenal Naya yang langsung mengeluarkan rayuan bersengat layaknya lebah. Meski begitu, Naya tidak bisa memungkiri masih menyukai mantannya dan menerima sikap sarkasme Rhory.
“Sisa memori Alette,” jawab Naya tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan bertemu sang nenek moyang di hadapan Rhory meski ia tahu pemuda itu tidak akan senang mendengarnya. “Rhory, aku tahu kamu sangat membenci Alette. Aku sendiri juga tidak bisa terima dengan perbuatannya terhadap kalian, tapi… Alette yang tadi bisa dikatakan sosok sebelum di jamanmu. Dari percakapan tadi terlihat jelas ia menyukai kakek buyutmu. Leucos?”
Rhory meluruskan kaki, terlihat tengah mencari ketenangan diri untuk melanjutkan percakapan yang berhubungan dengan Alette. “Aku… mendengar percakapan kalian.”
Naya menoleh, pandangan teralih pada telinga serigala yang bergerak kikuk. Tebakan gadis itu benar adanya dan tidak ingin mengelak pernyataan tersebut.
“Setelah mendengar percakapan kalian… ada keraguan menyelinap dada. Aku bertanya-tanya… mau kuapakan dendam ini setelah melihat sosok Alette tidak pernah kukenal. Sejak kecil dia sosok penyihir angkuh dan serakah. Tapi Alette yang tadi… dia bahkan menyesal tidak dapat membantu mematahkan kutukan yang padahal ia sendiri yang buat.”
“Sebenarnya…,” Naya hendak membeberkan semua yang ia tahu tentang Alette pada Rhory lewat diari yang ada di kamarnya, tapi ia mengurungkan niat tersebut. Gadis itu menggelengkan kepala dan berdiri. “Bantu aku berunding dengan Arik soal harta dungeon itu, ya? Setelah itu… ada hal penting yang tampaknya harus kuceritakan pada kalian.”
Naya berdiskusi pada Tetu sebelum hendak membeberkan kisah-kisah Alette lewat diari yang ada di kamar penyihir itu. Peri buku itu memberikan jawaban yang diharapkan, tapi menceritakan kisah tersebut keputusan Naya seorang diri.
Malam pun tiba, semua penghuni berkumpul di ruang makan seperti biasa. Naya terlebih dahulu berdiskusi pada Arik mengenai harta karun jarahan dungeon. Mereka sepakat untuk membaginya sama banyak. Awalnya Arik dan yang lain menyerahkan semua harta untuk Naya. Namun Naya tetap merasa tidak enak hati, sebagai keturunan Alette setidaknya ia ingin ‘membayar’ utang sang nenek moyang. Pembagian seimbang pun menjadi jalan penengah.
“Masalahnya kita tidak bisa membawa semua harta itu setelah semua selesai. Saranku kita titipkan pada kakek yang tinggal di desa dekat kastil ini. Beliau bilang sudah dari jaman ke jaman menjaga kastil dan menunggu kehadiran keturunan Alette. Apa kalian tahu itu artinya apa?”
Empat pemuda di hadapan Naya bergumam dengan cara masing-masing. Arik terlebih dahulu menyadari pernyataan Naya barusan. “Jangan-jangan… mereka adalah keturunan Sylvan?”
Naya menjentikkan jari. “Kemungkinan besar iya.”
“Tapi,” Rhory menyanggah, “walau keturunan pun, apa mereka bisa dipercaya? Kau pernah bilang mereka tahu soal kastil juga hartanya, mungkin saja mereka menunggu orang sepertimu dan menyita harta kastil ini.”
“Tak masalah!” Naya tersenyum tanpa beban. “Dengan sebanyak ini harta, kita tidak mungkin menggunakan semuanya. Apalagi jika mereka keturunan Sylvan, ada baiknya mereka mendapatkan kembali apa yang pernah diambil, kan? Meski sudah ribuan tahun.” Naya mengacungkan satu jari yang kini sudah dihiasi sebuah cincin sederhana dengan kilauan batu ungu yang menarik perhatian. “Perjanjian!” ujarnya mantap. “Kita bisa buat perjanjian dengan mereka. Perjanjian saling menguntungkan dan menjerat—agar mereka menggunakan harta sebaik mungkin dan menyimpan sisanya untuk di masa depan. Mereka orang Sylvan, kan? Pasti mereka akan sangat menghormati kalian!”
“Saya setuju dengan Nona Naya,” usut Arik. “Seandainya suasana desa bersahabat, tidak ada salahnya juga tinggal dengan mereka. Daripada kota yang pernah Rhory sebutkaan, sepertinya saya tidak akan cocok tinggal di keramaian. Dengan begitu ada satu orang yang turut menjaga harta, bukan?”
Rhory menepuk pundak Arik. “Dasar gak asik! Begitu kita bisa keluar, kalian semua harus melihat kota, apalagi Tokyo! Impianku dari dulu bisa aja kalian main dan minum sake sepuasnya!”
Sohan menggerutu keras. “Huuu Arik terlalu kaku! Kan udah kubilang, aku ingin berpetualang menemukan berbagai macam masakan! Setidaknya ada yang temani aku, dong! Nevan gimana?”
“Aku…” Boneka kayu itu menatap satu per satu wajah yang mengelilinginya. Bibir yang terpahat kaku itu bergerak seakan tersenyum. “Aku… ingin bersekolah. Hehe…”
Naya menutup mulut yang spontan terbuka dengan kedua tangan. Rasa iba kembali menyelimuti dada.
“Dari cerita Naya, aku ingin pergi ke sekolah,” tambah Nevan. “Karena tubuhku lemah, aku tidak pernah pergi bermain dengan teman sebaya. Pergi ke pesta atau undangan lain pun akhirnya aku hanya bisa duduk di ruang tamu, beristirahat ditemani pengawal.”
Rhory menggendong Nevan, mengangkatnya tinggi-tinggi. “Pasti! Mau sekolah paling bagus di negara ini pun tenang aja. Akhirnya harta melimpah ini bisa kau pakai untuk pendidikanmu. Kau pasti bisa jadi apapun yang kau mau, Nevan!”
Boneka kayu itu meneteskan air mata. Nevan hanya bisa mengangguk seraya tangan berusaha mengusap pipi yang basah. Sohan melayang sampai ke atas kepala Nevan, tangan hantu itu ‘mengelus-elus’ kepala boneka yang tidak berambut.
“Baiklah. Masalah harta tampaknya sudah selesai dibahas. Sekarang,” Arik menepuk pundak Rhory agar sang sahabat menurunkan Nevan dan kembali fokus pada percakapan, “Nona Naya bisa membicarakan apa yang hendak Nona sampaikan pada kita.”
Rhory berdecak pelan karena Arik mematahkan suasana haru yang baru saja dirasakan. Namun ia tidak membantah, duduk dengan manis seraya memangku Nevan. Sohan pun turut berdiri dengan mantap di sebelah Arik.
Naya mengatur degupan jantung dengan menghela napas perlahan. Ia tahu akan mengungkapkan fakta yang dirasa tidak penting oleh empat pemuda itu. Namun ia tetap ingin bercerita, seperti tengah ingin curhat pada teman-teman dekat terhadap apa yang ia alami.
“Sebenarnya ini tentang Alette.” Kalimat pembuka itu saja sudah membuat raut wajah empat pemuda itu menegang. “Oke, aku tahu kalian sangat membenci penyihir itu dan kalian tahu bahwa wanita itu adalah nenek moyangku. Di sini aku tidak akan membela Alette dan juga tidak ingin menyalahkan kalian—tepatnya kakek dari kakek kalian, atau mungkin generasi yang cukup jauh di atas kalian.”
Naya kembali menghirup dan menghela napas cukup lama sebelum kembali bercerita.
“Berkat bantuan Tetu, aku bisa baca diari Alette. Tidak semuanya, karena sangat banyak. Tapi anehnya, ada diari yang tertulis setelah Alette meninggalkan Sylvan. Dia yang tidak ada di kastil ini kenapa diarinya ada? Tidak mungkin juga Alette kembali padahal kalian ada di kastil ini, kan?
“Ternyata diari itu bisa ada di kastil, tepatnya di kamar Alette, karena bantuan Tetu yang sudah melakukan kontrak dengannya. Tetu bisa dipanggil asal ada perpustakaan, meski satu rak buku kecil sekalipun. Dan Alette punya perpustakaan kembali di rumah barunya.
“Kebanyakan diari itu tertulis rasa penyesalan Alette sudah mengutuk kalian. Karena ia mendapatkan karma atas sumpahan kepala keluarga Faolan, bahwa ia dan keturunannya tidak akan mendapatkan kebahagiaan sampai kutukan kalian berempat dicabut. Alette benar-benar tidak bahagia setelah pergi dari Sylvan.”
“Kau mengutuk, kami menyumpahi! Hidupmu dan keturunanmu tidak akan bahagia meski kau menemukan cinta sejati, hingga kau mematahkan kutukan anak-anak kami!”
Rhory kembali teringat kalimat ayahnya yang mengutuk sang penyihir sebelum meninggalkan mereka meraung kesakitan akibat kutukan yang menjerat.
“Alette mendapatkan cinta sejati dengan seorang pria biasa. Namun ternyata bila penyihir sudah ‘memberikan hati sepenuhnya’ pada manusia, perlahan kemampuannya sebagai penyihir akan hilang. Alette memiliki seorang anak dengan pria itu, ia bahagia tapi sesaat. Ternyata pria itu anak haram keturunan Faolan yang terpaksa menerima tugas kepala keluarga agar ‘diterima’. Misinya membuat Alette jatuh cinta, terakhir… meninggalkannya. Pria itu meninggal, hanyut di sungai.
“Sebenarnya Alette sudah tahu niat pria itu, tapi ia tetap berharap pada cinta dan yakin pria itu justru akan mengkhianati keluarganya. Orang-orang menyangka pria itu mati karena kecelakaan, tapi Alette tahu pria itu sengaja mencelakai kakinya sendiri dan mencebutkan diri ke sungai yang tengah deras alirnya.
“Alette menuliskan kemarahannya di diari, tapi ia juga sadar sudah berbuat lebih parah dengan kutukan kalian. Ia sudah memutuskan untuk kembali ke Sylvan untuk mencabut kutukan, tapi kekuatan sihirnya sudah melemah. Kurasa… ia sudah lebih dulu meninggal sebelum pergi ke Sylvan. Karena diarinya tidak tertulis apa-apa setelah penyesalan di akhir.”
Sohan berdengus. “Hu, rasakan sumpah serapah ayahnya Rhory! Sampai ajal pun dia tidak bahagia, kan?”
“Masalahnya,” Naya menaikkan ujung-ujung bibir dengan gerakan kaku, “sumpah itu sama dengan kutukan kalian, terus berlanjut hingga ribuan tahun. Aku tidak tahu nasib yang menimpa anaknya Alette, tapi beliau sudah berjuang menghadapi sumpah itu hingga sampai padaku. Berapa banyak penderitaan yang ia dapat setelah kepergian kedua orang tuanya?"
Naya terdiam sesaat sebelum melanjutkan kalimat. "Aku merasa… tidak bahagia. Mamaku meninggal saat aku kecil. Papaku menikah kembali dengan wanita yang tidak menerima kehadiranku. Aku dibesarkan nenek sebelum lulus sekolah. Hidupku serba kekurangan, bahkan masih ada utang di mana-mana. Dan yang paling menyedihkan, uang tabunganku dicuri oleh pria yang kucin—yang kuanggap paling kupercaya di dunia ini.”
Rhory dan Arik sama-sama menundukkan kepala. Berat menghadapi kenyataan yang diterima Naya maupun orang-orang yang hidup sebelum gadis itu. Air mata Nevan sudah kembali menetes.
Sohan langsung bersimpuh dan menjatuhkan kening ke lantai. “Maaf, Naya! Ucapanku tadi keterlaluan!”
Naya menaikkan dagu karena matanya terasa panas dan telah basah. Kedua tangannya mengibas-ngibas seolah dapat mengeringkan air mata. “Tak apa, kok. Dari awal aku pikir ini takdir, bukan kutukan seperti kalian.”
“Naya…” Rhory hendak memberikan kalimat menghibur, tapi tidak ada satupun kosakata di kepala melekat di benaknya, karena itu ia kembali bungkam.
“Tak apa, kok, Rhory. Aku tahu pria itu bukan kau, jadi setelah kalian terlepas dari kutukan, kau harus janji buat tonjok orang itu untukku. Sampai babak belur!” Naya terkekeh geli dengan permintaannya yang kekanakan.
Rhory hanya bisa bergumam. Bukan berarti ia tidak bisa atau tidak akan melakukannya, hanya saja suasananya tidak tepat untuk mengikrarkan janji di hadapan gadis yang berusaha menegarkan diri.
“Kalau begitu semuanya jadi jelas,” Arik bersuara setelah beberapa saat suasana canggung mengelilingi mereka. “Nona Naya tidak hanya berusaha untuk membantu kami, tapi juga untuk diri sendiri. Dan saya berjanji setelah semua ini selesai, saya akan selalu bersedia membantu Nona Naya menghadapi masalah pelik kehidupan. Ah, tidak hanya saya saja, Rhory, Sohan, dan Nevan pasti memiliki perasaan yang sama.”
Sohan mengangguk-anggukkan kepala dengan antusias tinggi. Nevan loncat ke pangkuan Naya, memberikan pelukan lewat dua tangan mungilnya. Naya membalas kehangatan itu kembali dengan mengelus punggung kecil sang boneka kayu.
Rhory ingin sekali melakukan hal yang sama dengan Nevan, tapi diurungkan karena cukup ‘tahu diri’ dengan statusnya sekarang di hadapan gadis itu. Sebagai gantinya ia mengalungkan lengan ke leher Arik. “Pepet terus! Ada celah nanti aku ambil!”
“Pepet?” Arik yang tidak mengerti bahasa gaul hanya bisa kebingungan sendiri.
Sementara itu, tanpa sadar pipi Naya sudah merona karena candaan Rhory barusan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top