7. Plans
Chapter 7
"Dasar orang idiot." Lagi-lagi Rose mengumpat kesal di kamarnya.
Apa sih yang sebenarnya Nicklaus inginkan? Sampai membeberkan segala ambisinya di depan para petinggi perusahaan seperti itu.
Dan lagi, ada apa dengan reaksi mereka itu?
Seluruh rencananya hampir saja terciduk dan membuat segala sesuatu yang telah ia sembunyikan selama delapan tahun terakhir ini berjalan sia-sia.
Tapi tentu saja, Rose tidak dapat membiarkan hal semacam itu terjadi.
"Ini tidak bisa dibiarkan," dumal Rose, meremas kertas di atas meja kerjanya dan bangkit dari sana.
Ia harus menyusun strategi baru. Strategi yang dapat membuatnya menjalankan rencananya dengan mudah di tengah-tengah kericuhan ini tanpa diketahui niat terselubung miliknya.
Layaknya bersembunyi di keramaian. Di saat orang-orang lengah dan tak sadar, itu merupakan langkah yang bagus bukan?
Rose bergerak meraih ponselnya dan berjalan menuju ranjang lalu menghempaskan tubuhnya. Matanya terlihat fokus mencari-cari sesuatu.
Setelah menemukan apa yang dicari, jemari lentik Rose mengetik sebuah pesan di sana.
To: Dr. Qian (22:49)
Bisa kau temui aku besok siang di café seperti biasa?
Tangannya pun segera mengirim pesan tersebut tanpa ragu barang sedetik.
Tak berselang lama, Rose mendengar suara gemeretak dari luar kamarnya dan di saat yang bersamaan ponsel di genggamannya bergetar. Menunjukkan nama Will Turner di sana.
Rose menghela napasnya panjang sebelum mengangkat panggilan dari kekasihnya itu.
"Bagaimana pesta penyambutannya tadi?" tanya Will, tepat setelah Rose meletakkan ponsel di telinga kanannya.
Begitulah Will. Paling bodoh kalau bicara soal basa-basi.
"Buruk," jawab Rose sekenanya.
"Ada apa?" Nada bicara Will mulai terdengar khawatir. "Apa Nicklaus melakukan sesuatu yang membuatmu kesal lagi?"
"Kau tahu dia selalu menyebalkan setiap saat."
Will terkekeh. "Benar juga," balasnya setuju. "Lalu, apa yang kau lakukan sekarang?"
Rose memutar posisinya dan menarik bantal untuk menutupi kedua matanya. "Berbaring di tempat tidur. Aku benar-benar pusing menghadapi laki-laki itu."
"Kalau dihadapkan denganku, apa kau akan pusing?" tanya Will lagi.
"Apa aku pernah berkata padamu kau itu sangat buruk dalam hal basa-basi?" Rose balik bertanya. "Buka saja pintunya. Aku terlalu lelah untuk bangun."
Sekali lagi Will tertawa, dan di detik berikutnya pintu kamar Rose terbuka: menampilkan sosok Will dengan kemejanya yang digulung sampai lengan dan ponsel di tangan kanannya.
"Kenapa kau bisa sepintar itu?" tanya Will, menutup pintu kamar dan menguncinya lalu berjalan menghampiri Rose.
Rose masih dalam posisinya yaitu berbaring di atas ranjang. "Aku tadi mendengar suaramu di depan," jawab Rose, seolah menjelaskan segalanya.
"Apa aku seberisik itu?"
Will menarik bantal yang menutupi kedua mata Rose dan berbaring di sampingnya.
"Kurang lebih," jawab Rose, memiringkan badannya dan menghadap ke arah Will.
Sudut bibir Will terangkat. "Aku benar-benar merindukanmu."
Rose berdecih pelan. "Kenapa aku masih tidak terbiasa dengan perilaku manismu itu, ya?"
"Mungkin karena aku yang semakin manis setiap harinya?" Will bangkit dan merubah posisinya jadi berada di atas Rose. Ia menopang tubuh besarnya dengan kedua tangan di kedua sisi tubuh Rose.
Pandangan mereka bertemu. Diikuti dengan bibir Will yang menyentuh bibir Rose, hingga keduanya menyatu.
Tapi entah mengapa, Rose merasa ada yang aneh malam itu. Karena jantungnya sama sekali tak berdebar.
Siang itu, suasana kantor nampak ramai seperti biasanya di jam makan siang. Banyak pegawai yang satu persatu keluar dari ruangan mereka dan turun ke lantai satu tempat cafetaria berada.
Kurang lebih ada delapan tempat makan yang menyajikan menu berbeda di sana.
Sama halnya dengan Nicklaus yang kali ini berjalan dengan sekretarisnya dari lantai 21 tempatnya bekerja menuju tempat makan yang biasa disinggahi oleh pegawainya.
Tak sedikit pandangan mata tertuju padanga tatkala kakinya melangkah masuk ke salah satu cafetaria yang menyajikan makanan cepat saji di lantai satu itu.
"Tuan Walton, apa anda yakin tidak ingin makan di ruangan anda saja?"
Nicklaus mendongak dan menatap sekretarisnya yang kini berdiri di hadapannya selagi ia duduk di salah satu kursi yang terletak di dekat jendela.
"Sekretaris Lee," panggil Nicklaus, matanya menyipit.
Brenda Lee, perempuan berusia 32 tahun yang sudah menjadi sekretaris Nicklaus dua tahun belakangan ini pun segera menyigapkan badannya kala dipanggil.
"Ada apa, Tuan Walton? Apa anda merasa tidak nyaman?"
"Apa Rose pernah makan di sini?"
Brenda mengerjapkan matanya selama beberapa kali. "Maksud Tuan?"
"Kenapa para pegawai di sini melihatku seperti itu saat aku masuk ke sini? Apa mereka melihat Rose dengan cara seperti itu juga?"
"Apa Tuan sedang tidak percaya diri? Kenapa belakangan Tuan sering membandingkan diri dengan Rose?"
Benar juga. Apa yang terjadi? Kenapa di kepalanya selalu ada perempuan bertemper buruk itu?
Nicklaus berdecak dan segera melayangkan tangannya di udara.
"Bisa kau duduk? Leherku bisa patah kalau terus menerus mendongak untuk menatapmu seperti itu," kata Nicklaus.
Kedua mata Brenda terbuka lebar. "Mohon maaf, Tuan—"
"Duduk saja," titah Nicklaus dan di detik berikutnya Brenda langsung duduk di hadapannya, namun perempuan itu tanpa sengaja menubruk kakinya dengan meja hingga terdengar suara berdebum yang lumayan keras.
Nicklaus meringis pelan. "Apa kau selalu sekaku itu?"
Brenda menahan rasa sakit di sekujur kakinya dan menggeleng pelan. "Saya sebenarnya lumayan ceria," gumamnya.
"Kalau begitu: cerialah. Aku tidak pernah memerintahmu untuk jadi sekaku itu."
"Tuan—"
Tiba-tiba saja Nicklaus menoleh kepadanya yang membuat Brenda langsung berhenti berucap dan membeku di tempat.
"Apa kau mewarnai alismu?" tany Nicklaus tiba-tiba.
Tangan Brenda spontan bergerak menutupi alis matanya dan menggeleng. "Tidak, Tuan. Alis saya memang selalu seperti ini."
"Memang selalu setebal itu?" tanya Nicklaus seraya berdecak sebal.
"Iya, Tuan."
"Mulai besok bisa kau tipiskan alismu? Melihatmu mengingatkanmu kepada seseorang saja," sungut Nicklaus.
Kedua mata Brenda mengerjap selama beberapa kali. Apa ia baru saja melakukan kesalahan karena terlahir dengan alis tebal?
"B-baik, Tuan.." Brenda mengangguk pasrah, lalu tangnnya menyodorkan menu kepada Nicklaus. "Lalu, sekarang Tuan hendak makan apa?"
Nicklaus terlihat menimang selama beberapa saat. Matanya hendak menelusup lebih jauh ke arah menu makanan, tapi ekor matanya mendapati pergerakkan yang tak asing baginya.
Kepalanya lantas terloleh menatap ke luar jendela, melihat sosok wanita dengan balutan blazernya dan pegawai kepercayaannya yang berjalan mengikuti di belakang.
Wanita itu terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri sebentar sebelum masuk ke dalam mobil yang sudah dibukakan oleh supirnya.
"Mau ke mana perempuan itu?" gumam Nicklaus.
Brenda tertohok. Apa Nicklaus baru saja bicara padanya?
"Maaf, Tuan? Hendak pesan apa?" tanya Brenda sekali lagi, hendak memastikan.
Tiba-tiba saja Nicklaus bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari kursi, berhasil membuat Brenda terkejut dan secara spontan ikut berdiri.
"Tiba-tiba saja aku tidak nafsu makan," papar Nicklaus.
Brenda ketakutan setengah mati.
"Apa ada yang salah, Tuan? Apa alis—"
"Tidak-tidak, bukan itu," sergah Nicklaus cepat, sebelum pikiran Brenda berkelana ke mana-mana.
"Lalu, kenapa, Tuan?"
Nicklaus mengangkat dagunya dan menunjuk ke jajaran pegawainya yang duduk bersebelahan di ujung ruangan.
"Kau bisa makan bersama teman-temanmu itu dan berkata pada mereka kalau aku tak akan memakanmu," titah Nicklaus.
Seluruh wajah Brenda berubah merah padam.
"Tuan salah sangka—"
"Apapun itu," pungkas Nicklaus, nampak tak peduli. "Aku ingin mencari udara segar. Lebih baik kau tidak mengikutiku, dan kalau bisa sekalian kau bilang pada teman-temanmu itu untuk tutup mulut dan berhenti melaporkan berita tidak penting kepada Kakek."
Kemudian Nicklaus melangkah pergi dari sana, meninggalkan Brenda yang tengah mengumpat dalam hati dan melotot kepada orang-orang yang barusan ditunjuk oleh Nicklaus.
Sementara Nicklaus, terus melajukan kakinya keluar dan memberhentikan salah satu mobil di depan bangunan kantornya.
"Sebenarnya aku malas, tapi kenapa sih perempuan itu selalu saja membuat daya saing dalam diriku ini menggebu-gebu?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top